7. Love Lesson

Besoknya di pagi hari, Jayden sudah menunggu di tepi danau, tempat ia berjanji akan menemui Julia. Dan terima kasih, berkat gadis itu Jayden tidak bisa tidur nyenyak semalaman.

Julia bilang ia sudah bertunangan.

Waktu Jayden mendengar pengakuannya, Jayden memang agak syok. Tapi itu tak sampai membuatnya merasa putus asa.

Jayden van der Lijk.

Ia bahkan pernah menjalin hubungan dengan istri seorang pilot yang kesepian karena selalu ditinggal suaminya. Hubungan mereka tidak terikat. Istri sang pilot itu tahu suaminya juga sering berselingkuh, ia tak bisa menuntut suaminya untuk setia karena tugas sang suami mengharuskannya bepergian ke seluruh dunia. Ia juga mencari pelampiasan ketika sang suami tak berada di rumah. Itu cukup adil.

Jayden juga pernah menjalin hubungan juga dengan tunangan seorang juru masak yang bekerja di kapal pesiar. Gadis itu tak tahan untuk hubungan jarak jauh namun karena hubungan mereka sudah direstui oleh orang tua kedua belah pihak maka gadis itu tak bisa memutuskan tunangannya. Khusus untuk gadis ini, Jayden tidak terlalu lama menjalin hubungan dengannya. Gadis ini tergila-gila padanya. Setelah berkenalan dengan Jayden dan berhubungan selama dua bulan, gadis ini memutuskan tunangannya di telepon setelah sebelumnya mengatakannya pada Jayden. Gadis ini menuntut Jayden untuk menemui orang tuanya. Dan Jayden meninggalkannya. Say good bye! The end.

Jayden tidak menginginkan hubungan jangka panjang dengan gadis ini. Dari awal Jayden sudah menekankan hal ini padanya. Ia tetap konsekwen jika menikah maka hubungannya dengan istrinya adalah hubungan simbiosis mutualisme. Ia tidak butuh cewek cengeng yang tidak tahan dengan hubungan jarak jauh dengan tunangannya dan merengek-rengek di kakinya memintanya untuk melanjutkan hubungan mereka.

Nah, yang ia sendiri tidak mengerti adalah mengapa Julia harus berbeda?

Untuk pertanyaan itu ia tidak bisa tidur. Ia terus berusaha meyakinkan dirinya kalau semua itu karena Julia tidak tergila-gila padanya.

Dia Jayden van der Lijk. Tidak ada seorang wanita yang tak menyukainya. Mereka sukarela bertekuk di kakinya bahkan menjadi teman semalam juga bersedia.

Lho, bukankah Marta juga tidak begitu? Jadi kenapa hanya Julia yang menggugah perasaannya?

Kalau Julia menyerahkan hati padanya, apakah ia masih penasaran sampai tidak nyenyak tidur seperti ini?

Jayden sering bertemu dengan wanita yang pura-pura sok jual mahal. Tarik ulur dan mengira bisa membuatnya bertekuk lutut tapi biasanya jurus itu tak akan bertahan lama. Bila Jayden mendekat, para wanita pasti bagaikan anjing yang diberikan tulang oleh tuannya.

Itu tak berlaku untuk Julia.

Jayden sudah mendekat, gadis itu makin menjauh. Jayden mengulurkan tangannya, Julia menampiknya. Jayden berbisik, Julia menutup kedua telinganya.

Dan ia kesal dengan fakta kalau Herman dengan mudah bisa mengakrabkan diri dengan Julia. Marah karena Julia membalas uluran tangannya.

Yang dirasakannya sekarang adalah frustasi. Dan gawatnya ia tidak tahu bagaimana mengatasi hal itu. Dalam kekesalan pada gadis itu, ia teringat akan ibunya, Arabella van der Lijk. Wanita yang pernah tersakiti karena rasa cinta.

Cih!

Jayden tak ingin seperti ibunya. Yang benar saja, dia harus mencintai seorang sampai akhir hayatnya. Seperti yang selalu diulangi dalam otaknya. Rasanya mual.

Mual?

Benarkah ia tidak suka konsep setia? Ah, mengapa itu tak lagi mengganggunya sekarang. Ada saatnya ia melihat ibunya tersenyum menatap foto ayahnya secara sembunyi-sembunyi. Ada kalanya ketika ia masih kecil ibunya mengusap kepalanya di waktu malam dan mengatakan betapa tampannya ia, mirip ayahnya.

Oh, damn!

Ia tidak ingin seperti ibunya tapi ia lebih tak ingin seperti ayahnya.

Di masa tuanya ia bahkan tidak memiliki orang yang dicintainya. Hidupnya sungguh menyedihkan meskipun ia memiliki harta yang berlimpah. Apakah harta bisa menjadi ukuran kesuksesan seseorang dalam hidupnya?

Lalu bagaimana dengannya? Apa yang menjadi ukuran suksesnya?

Hatinya melembut hanya mengingat senyum itu meskipun senyuman milik Julia sama sekali bukan ditujukan untuknya sekarang. Ia bahkan bisa membayangkan seperti apa senyum itu di tahun-tahun mendatang. Ia tetap berharap dapat menyaksikan senyum itu untuknya di masa depan. Ah, mengapa konsep yang dulu membuatnya merasa mual itu sekarang jadi begitu menyenangkan?

Akhirnya setelah ia menyadari suatu hal dan mengambil keputusan, ia bisa memejamkan matanya dengan nyaman ketika jam hampir menunjukkan jam tiga seperempat dini hari. Ia tertidur selama dua jam dan dibangunkan oleh alarm khas di desa itu. Ayam jantan.

Dengan tekad yang kuat ia joging menuju tepi danau tempat ia dan Julia bertemu pertama kali. Ia akan mengatakan dirinya akan tetap memperjuangkan gadis itu. Ia akan mengalahkan tunangan Julia agar gadis itu percaya kalau hanya dirinya yang bisa membahagiakannya. Julia tidak bisa melarikan diri lagi. Sudah terlambat bagi Julia untuk menampik kehadirannya. Jayden tak bisa tak terlihat lagi di hadapannya. Dan Julia tak memiliki pilihan selain memberinya kesempatan.

Jayden duduk di salah satu batu besar di tepi pantai. Bagian tepi batu itu berlumut karena terendam air danau. Jayden membuka sepatunya dan iseng menggosokkan telapak kakinya tepi bagian batu yang berlumut itu. Kemudian ia melakukan hal yang biasa dilakukan Julia, mencelupkan kakinya dan menendang-nendang air danau yang terasa sangat dingin.

Jayden menunggu sambil memikirkan apa yang harus diucapkannya jika Julia muncul nantinya. Meskipun tekadnya sudah bulat mengenai gadis itu tapi ia masih belum memikirkan langkah-langkah apa yang harus dilakukannya. Ia juga membayangkan pria seperti apa yang menjadi tunangan gadis itu. Cowok metroseksual?

Jayden mencibir.

Pria macam apa yang membiarkan tunangannya berlibur sendiri di Pulau Samosir.

Ya, pria macam apa?

Jayden menaikkan sebelah alisnya, keningnya berkerut memikirkan sesuatu.

Sesuatu yang masih menjadi teka-teki mengapa Julia dan Marta berada di desa ini. Meskipun desa ini memiliki sebuah penginapan tapi tetap saja desa ini bukanlah tujuan wisata nomor satu di Sumatera Utara. Kalau kedua gadis itu ingin berlibur, mereka pasti lebih memilih Parapat yang memiliki lebih banyak hotel dan hiburan lainnya. Yang memilih berlibur di Pulau Samosir pasti lebih menginginkan ketenangan.

Ketenangan.

Kedua gadis itu butuh ketenangan.

Mengapa?

Jayden merasa dirinya tidak peka. Marta jelas bermasalah dengan waktu tidurnya. Ia pingsan kemarin. Lalu Julia? Apa tujuannya ke desa ini hanya semata-mata menemani sahabatnya?

Jayden mengusap dagunya, terus berpikir.

Julia masih belum muncul juga. Ia melirik sneaker navy yang tergeletak di sampingnya. Ia mengusap wajahnya.

Mengapa?

Alasan apa yang bisa membuat seorang gadis kota seperti Julia menyepi di desa terpencil?

Jayden tersentak ketika ia teringat kalau ia pernah menanyakan alasan Julia datang ke desa ini. Jayden ingat bagaimana wajah Julia ketika Jayden menebak ditinggal kekasih sebagai alasannya. Ah, bagaimana Jayden bisa melupakan detil itu.

Sial!

Jayden menyambar sneakernya lalu memakainya secara asal dan meninggalkan tepi danau itu secepatnya. Ia berlari dengan langkah-langkah panjang. Karena ia memang memiliki sepasang kaki yang panjang jadi hal itu tidak menyebabkan masalah baginya. Ia harus secepatnya bertemu dengan Julia dan secepatnya memastikan kebenaran kalau gadis itu memang bermasalah dengan tunangannya.

Jayden agak senang dengan pikirannya itu. Ia akan mendapatkan keuntungan dengan keadaan seperti itu. Harusnya masalah Julia bukanlah masalah sederhana sampai ia harus melarikan diri.

Jayden berlari terus melewati jalan setapak, kadang-kadang sepatunya hampir terlepas karena dipakai secara asal sampai ia harus berhenti kemudian memasukkan kakinya dengan benar lalu mengingat tali sepatunya dan mulai berlari lagi menuju bolon yang ditempati oleh Marta dan Julia.

Jayden menghentikan langkahnya begitu tiba di depan rumah panggung itu. Pintu rumah panggung masih tertutup tapi ia berkeyakinan kalau Julia sudah bangun. Gadis itu memiliki kebiasaan bangun sebelum matahari terbit. Itu yang Jayden ingat ketika Julia tinggal di kliniknya.

Angin pagi yang dingin berhembus ketika Jayden menaiki tangga rumah itu. Ia menaikkan jaket olahraganya sampai ke atas hingga menutupi lehernya.

"Julia," panggilnya sambil mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban dari dalam. Jayden mendekatkan telinganya berharap mendengar kegiatan dari dalam rumah.

"Julia," panggilnya sambil mengetuk pintu lagi.

"Ya."

Jawaban. Tetapi bukan suara Julia.

Marta membuka pintu dari dalam. Dalam penglihatan Jayden, Marta pastilah mengalami kesulitan tidur lagi karena ia melihat bayangan hitam di bawah matanya.

"Dokter mencari Julia?" tanya Marta seakan bisa menebak apa yang menjadi alasan Jayden datang pagi-pagi begini.

"Ah ya. Dia ada?"

Marta menggeleng.

"Dia pergi. Mungkin sedang ke tepi danau," jawabnya.

"Aku baru dari sana," sahut Jayden.

Sudah satu jam.

"Mungkin ia sedang bersama Herman. Cari saja dia di penginapan itu," saran Marta.

"Si Pengacau itu tidak bersamaku," sahut Herman yang muncul tiba-tiba. Ia bergerak mendekati tangga tapi tidak naik karena tangga itu tidak akan muat untuk kedua pria dengan tubuh besar dan kaki panjang seperti dirinya dan Jayden.

"Bahkan tadi aku singgah ke rumah Amang Pangulu, dan Julia juga tidak ada di sana," tambahnya.

Jayden mengusap dagunya sambil berpikir ke mana Julia pergi. Tidak ke tepi danau, tidak bersama Herman, tidak berada di rumah Kepala Desa.

Jayden tidak ingin melewatkan satu detil lagi. Keningnya berkerut.

Sial!

Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa dan tak sengaja mendorong Herman sampai pria itu hampir jatuh terjengkang. Herman sendiri cukup terkejut melihat Jayden yang terlihat kuatir. Tapi belum sempat ia bertanya, Jayden sudah berlari meninggalkan tempat itu, meninggalkan Marta yang masih bengong dan Herman yang mencoba berdiri tegak.

"Bang, mau ke mana?" teriak Herman.

Jayden sudah tak terlihat di ujung jalan. Ia membayangkan hal ekstrim yang akan dilakukan Julia. Ah, bukan bunuh diri. Gadis seperti Julia tidak akan bunuh diri untuk alasan-alasan konyol. Tapi ia akan melakukan hal-hal yang membuatnya senang tanpa memikirkan akibatnya dan menyusahkan semua orang.

Contohnya, berenang.

Sial! Umpat Jayden lagi.

Kalau gadis itu berani melakukan hal-hal yang membahayakan, Jayden bersumpah akan memberi pelajaran padanya.

Pria itu menyusuri tepi danau dimulai dari tempat ia berjanji untuk bertemu dengan Julia tapi gadis kepala batu itu sama sekali tak ada di sana. Jayden berlari lagi di sepanjang tepian.

Ia pasti ada di suatu tempat.

Ah, bagaimana kalau ketika ia berenang, kakinya kram?

Jayden mengacak-acak rambutnya sendiri dan mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang tiba-tiba menyerang otaknya itu.

Eh, tiba-tiba ia mendengar suara riak air tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ada yang menyebabkan air di danau itu beriak. Jayden berjalan mendekat, menyipitkan matanya untuk mendapatkan visi yang lebih jelas.

Jelas ada yang bergerak di dalam air. Darah Jayden mendidih. Ia sangat marah sehingga tanpa pikir dua kali, pria itu langsung terjun ke dalam danau tanpa repot-repot melepaskan jaket dan sneakernya. Dalam tiga kali kayuhan, tanpa mengambil nafas, pria itu berhasil menyusul Julia. Julia cukup terkejut menyadari ada orang lain yang sedang mendekatinya menjadi panik dan kehilangan kemampuan mengapung.

Julia sadar kalau sosok yang berenang menyusulnya itu memancarkan aura kemarahan. Jayden menangkap pinggang gadis itu sebelum gadis itu kehilangan keluwesan bergerak. Ia menahan gadis itu agar tidak sampai harus menelan air danau. Julia ingin berontak tapi Jayden memegangnya dengan kuat jadi tak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti kemauan Jayden yang menariknya ke tepi danau.

Jayden menarik tangan Julia ke luar dari danau. Begitu ke luar, angin dingin yang berhembus membuat gadis itu berdiri menggigil tapi ia menatap Jayden dengan emosi yang meledak-ledak.

"Apa yang kau..."

Jayden langsung membungkam bibirnya ciuman. Ciuman yang panas dan penuh amarah. Jayden menyesap bibir bawah Julia lalu lidah Jayden menyusuri setiap inci bibir gadis itu, mendesak masuk ke dalam mulut Julia sebagai hukuman atas kelakuan Julia yang telah membuatnya marah.

Julia tentu saja kaget, secara refleks ia mendorong tubuh Jayden tapi tangan kokoh Jayden memegang bagian belakang kepalanya sehingga ia tak bisa memalingkan wajahnya. Lidah Jayden masih menuntut Julia berpartisipasi. Lutut gadis itu gemetar. Bukan oleh hawa dingin atau karena bajunya yang basah oleh air danau tapi karena ciuman Jayden yang menggoda dan liar.

Jayden butuh pelampiasan kemarahannya dan satu-satunya yang bisa membuatnya lepas dari kemarahannya hanya bibir gadis itu. Ia menggeram dalam ciumannya.

Kau benar-benar harus dihukum!

Dengan ciuman?

Persetan!

Aku butuh ini.

Jayden sadar pertahanan Julia mulai melonggar. Gadis itu mengerang dan tanpa disadarinya ia memeluk leher Jayden. Jayden merapatkan tubuh gadis itu ke tubuhnya.

Ia serasa terbakar. Ada bagian lain di tubuhnya merasa harus dipuaskan tapi ia tak ingin menakuti Julia. Dengan alasan itu ia mengubah gaya ciumannya. Jayden mencium Julia dengan lembut dan membuat gadis itu nyaman sehingga mengikuti iramanya. Gadis itu membuka bibirnya agar lidah Jayden memiliki akses lebih. Ibu jari Jayden mengusap pipi Julia dengan lembut. Julia memejamkan matanya.

Ia begitu pas denganku.

Jayden tersenyum dalam hati karena ia sadar kalau Julia sama sekali tak bisa kabur lagi setelah ini. Julia miliknya, mutlak!

Jayden menyudahi ciumannya ketika ia menyadari Julia menggigil kedinginan ketika angin kembali berhembus. Ditariknya gadis itu ke dalam pelukannya meski ia sadar kalau jaketnya juga basah. Ia berharap kalau kehangatan dari tubuhnya bisa menghangatkan gadis itu.

"Kedinginan, Mooie Vrouw?" bisiknya parau. Gadis itu mendongak menatap Jayden.

"A-aku meninggalkan jaketku di sana," gumamnya sambil menunjuk ke arah sebuah batu. Jayden melirik ke arah yang ditunjuk. Jaket merahnya tergeletak di atas batu itu. Lalu ia menggigil lagi.

"Tunggu sebentar."

Lalu Jayden melepaskan pelukannya dan dengan langkah panjang menuju batu di mana Julia meletakkan jaket merahnya. Kemudian ia mengambil jaket itu dan kembali ke tempat Julia. Bibir Julia menggigil menahan dingin. Jayden tergoda lagi untuk menciumnya. Tapi ia sadar kalau ia melanjutkan kemauannya maka tak akan habisnya, waktu seakan berhenti dan akhirnya Julia bisa terserang flu.

"Terima kasih," ucap Julia ketika Jayden membantunya memakai jaketnya. Tapi tidak ada gunanya karena pakaian Julia sudah basah. Ia bertindak impulsif ketika ingin berenang di danau tanpa memikirkan konsekwensinya kalau ia akan kedinginan dalam perjalanan pulang dengan pakaian yang basah.

Jayden menjentik kepalanya.

"Aduh!"

Julia mengelus keningnya yang baru saja dijentik oleh Jayden. Ia mendelik menantang Jayden. Tapi ketika matanya tertuju pada bibir Jayden, teringat akan apa yang baru saja dilakukannya, wajahnya memanas padahal kaki dan tangannya sudah hampir membeku karena kedinginan.

"Apa yang kau lakukan tadi?" tanya Jayden dengan nada marah.

"Berenang," jawab Julia pura-pura cuek dan memalingkan wajahnya dari Jayden.

"Itu bahaya, kakimu..."

"Kakiku sudah sembuh dan aku baik-baik saja sebelum kau datang," potong Julia cepat.

Jayden menggeleng sambil mengibaskan rambutnya yang basah. Julia harus mundur supaya tidak terkena air kibasan dari rambut Jayden namun kemudian ia sadar kalau tak ada gunanya ia menghindar karena dirinya juga sudah basah.

"Mengapa kau menciumku?"

Jayden menghentikan usahanya mengibaskan rambutnya ketika mendengar pertanyaan Julia. Mereka tak bisa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Kau tidak tahu?" tanya Jayden dengan tatapan terarah pada Julia.

"A-aku, mana aku tahu!"

"Kau Gadis Bodoh! Sekali lagi kau melakukan hal bodoh, aku akan...."

Jayden mengepalkan tangannya dengan gemas. Ia tak bisa berlaku kasar pada wanita meskipun di masa lalunya ia punya kecenderungan selalu mematahkan hati wanita dan membuat wanita menangis tapi memukul wanita adalah pantangan baginya.

"Akan apa?" tantangnya sambil balas menatap pria bermata biru teduh itu.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan padamu nantinya. Kau...."

Ia menurunkan tangannya dan mengacak rambut basah Julia.

"Kau harus tanggung akibat kemarahanku," ancamnya. Meskipun begitu, Julia menangkap nada perhatian dalam suara khasnya. Dan itu sanggup membuat lutut Julia lemas.

"Apa kau selalu begitu kalau marah?" tanya Julia sengit. Dan siap dengan rencana kabur jika pria itu tiba-tiba meledak.

Jayden mengangkat alisnya dan menatap gadis yang tampak berantakan itu.

"Maksudmu?"

Julia berdehem dan mengatur nafasnya sebelum menjawab. Ia masih ragu tapi Jayden tetap menunggu ia melanjutkan kata-katanya.

"Kalau kau marah kau akan melampiaskannya dengan ehm...."

"Ciuman? Biasanya tidak, Nona. Ini sedikit melenceng. Aku tidak tahu akan mencekikmu atau menciummu tapi aku mengambil pilihan yang tepat."

Julia menggigil. Ia menyalahkan angin walau ia tahu itu lebih karena kata-kata Jayden yang provokatif.

"Ayo kita kembali. Kau perlu baju kering. Sebelum kau terjun ke danau tadi, Mijn Lieve, pernahkah kau berpikir kau akan kedinginan ketika kau selesai dan akan membeku dalam perjalananmu kembali?"

Julia menelan ludahnya dan menjawab, "Untuk waktu yang akan datang, aku akan mempertimbangkan membawa pakaian kering."

Jayden menaikkan alisnya hingga alisnya yang tebal membentuk satu garis, menandakan ia cukup jengkel dengan jawaban itu. Julia hanya membalasnya dengan cengiran.

Ia mengulurkan tangannya membantu Julia berjalan melewati batu-batu berlumut yang ada di tepi danau. Jemari Julia yang dingin serasa dialiri listrik beratus voltase dalam genggaman tangan Jayden.

Jayden masih tetap menggandeng tangan Julia setelah melewati batu-batu itu. Julia ingin melepaskannya namun ia tergoda untuk terus menikmati tangannya terus berada dalam genggaman hangat pria itu.

Sekali ini saja.

Jayden membimbing gadis itu ke arah yang berlawanan dari rumah panggung yang ditempati Julia. Julia menghentikan langkahnya dan membuat Jayden menoleh padanya.

"Ya?"

"Bolon ke arah sini," tukas Julia sambil tangannya yang bebas menunjuk ke arah kanan.

Jayden berdehem, mengatur suaranya.

"Aku tahu," sahutnya.

Mengapa kau membawaku ke arah yang berlawanan?

Jayden menaikkan alisnya, ia tahu Julia sedang bertanya lewat tatapan matanya meskipun ia tidak mengucapkannya.

"Kita kembali ke tempatku," lanjut Jayden membuat Julia memicingkan matanya

"Mengapa aku harus ke sana?" tanyanya.

Jayden menatap Julia dengan dibarengi senyuman licik di bibirnya yang dihiasi kumis tipis. Julia selalu bergidik jika Jayden tersenyum seperti itu dan kali ini pun ia tak luput dari rasa kuatir.

"Ada apa?" tanyanya was-was.

Jayden memegangi dagu gadis itu dan mengusap bibirnya dengan ibu jarinya, meski ringan namun membuat Julia terbakar lagi. Ternyata hanya satu sentuhan ringan saja dari pria yang memiliki daya tarik seksual ini mampu membakar setiap bagian tubuh Julia tanpa terkecuali.

"Kau bisa menjelaskan ini pada Marta?"

Bibir Julia yang disentuh Jayden terasa perih. Ia menyentuh bibirnya. Matanya mengerjap beberapa kali.

Ia teringat ciuman panas itu. Saat bibir Jayden menyentuh bibirnya, lidah Jayden, kumis kasarnya menggesek kulit wajahnya.

Oh!

Wajah Julia memerah dan memanas dalam waktu bersamaan. Ia melupakan kalau kumis kasar pria itu pasti sudah meninggalkan bekas di kulit wajahnya. Disentuhnya lagi bibirnya sekali lagi. Ia yakin wajahnya pasti sudah tidak karuan. Selain kulitnya yang merah pastinya bibirnya juga bengkak karena ciuman panas itu.

"Ini!!! Gara-gara kau!!!" teriaknya marah sambil menuding Jayden yang masih dengan tenangnya tersenyum.

"Kau yang memprovokasi. Jangan menyalahkanku," cetusnya sambil tertawa.

***

"I HATE U, JAYDEN!!!" teriak Julia dari dalam kamar mandi ketika Jayden berbaik hati menyediakan pakaian kering untuknya.

Ia bisa mendengar Jayden tertawa terbahak-bahak di luar.

Pakaian kering yang disediakan Jayden adalah pakaian olah raga milik Jayden yang ukurannya tentu saja ukuran raksasa berupa t-shirt biru bergambar logo klub sepak bola dan celana traning hitam. Dan tentu saja tidak ada pakaian dalam. Julia sangat malu dan tidak berani keluar dari kamar mandi.

"Keluarlah Julia. Kau akan kedinginan di sana," teriak Jayden.

"Hmrgh! Aku benci kau, Jayden."

"Sorry Mijn Lieve, aku tidak punya baju ukuranmu. Hanya itu yang bisa kau pakai atau kau bisa keluar tanpa pakaian dan aku senang hati memelukmu."

Dalam mimpimu!

Wajah Julia memerah, perutnya serasa diisi oleh sekumpulan kupu-kupu berterbangan, lututnya lemas sampai ia harus duduk di atas dudukan toilet.

Keluar tanpa pakaian dan dipeluk Jayden.

Bolehkah aku mencobanya?

Julia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat.

Are you crazy?

"Keluarlah Julia," panggil Jayden lagi. Kali ini sambil mengetuk pintu.

"Aku tidak mau keluar dari sini," tukas Julia dengan nada marah.

"Hmm... Sayang sekali, aku sudah menyiapkan kopi panas untukmu. Mungkin kau lebih suka kedinginan daripada duduk dan minum kopi bersamaku."

Kedengarannya kopi panas memang menggiurkan buat Julia.

"Berapa lama pakaianku bisa kering?" tanyanya. Ia diam sejenak.

"Sedikit lama kurasa."

"Aku mau pulang. Aku tidak peduli, jika Marta bertanya apa yang terjadi, aku akan bilang aku terjatuh di danau," tukas Julia masih belum bisa meredakan amarahnya.

"Bagaimana kau bisa menjelaskan bibirmu?" tanya Jayden. Julia diam untuk beberapa detik. Ia mungkin akan malu jika Marta sampai tahu tapi itu lebih baik daripada ia terjebak di tempat ini dengan pakaian kebesaran milik Jayden tanpa pakaian dalam. Ihhh!

Julia bangkit dari dudukan toilet, dengan sangat terpaksa memakai pakaian yang serba kebesaran. Jika ia bertekad untuk pulang, maka ia juga tidak bisa berjalan tanpa pakaian sementara pakaiannya sendiri sudah basah.

Selesai melipat celana training yang kepanjangan itu, ia berdiri dan bersiap-siap untuk menerobos keluar. Ia mempersiapkan mental jika pria itu menatap ke tubuhnya.

Ah, siapa juga yang tertarik dengan tubuh dibalut baju kebesaran meski tanpa pakaian dalam?

Ia menghitung sampai tiga lalu menarik nafas dan membuka pintu kamar mandi. Keinginannya menerobos keluar menguap karena pria itu sudah menutup akses keluar. Ia menghalangi jalan Julia dengan berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Minggir aku mau pulang," usir Julia.

Tapi pria itu sama sekali tak bergeser seinci pun dari tempatnya dan kalau Julia tidak salah, mata pria itu tertuju ke dadanya. Seketika lututnya lemas lagi.

Tapi ia sudah bertekad ia tidak akan kalah. Biarlah ia tetap pura-pura tidak memperdulikan hal itu.

Benar-benar pemandangan yang indah, pikir Jayden mesum.

Ia sudah mencoba mengalihkan pandangannya dari tubuh yang hanya terbalut pakaian yang serba longgar itu tapi ya, ia hanya pria normal. Pria yang disuguhi pemandangan yang menggiurkan yang membuat celananya menjadi sesak. Darahnya menjadi panas dan ingin segera menerkam mangsa yang ada di depannya.

"Tutup matamu!"

Jayden menyeringai.

"Dalam mimpimu," bisiknya parau.

Suara itu membuat dada Julia berdentam sampai ia menduga kalau Jayden pasti mendengarnya. Darahnya berdesir dengan intensitas yang aneh.

"Bye!"

Julia baru hendak melangkah ketika Jayden menahan tangannya.

"Jangan pergi," pintanya. Mata keduanya bertemu lagi dan Julia seperti tersihir masuk ke sebuah ruangan yang menawarkan kenyamanan dan kehangatan. Ia ingin menolak masuk tapi hatinya menolak pergi meskipun otaknya memerintahkannya untuk pergi.

"Kita harus bicara. Maukah kau duduk bersamaku di ruang tamu sambil menikmati secangkir kopi panas? Aku janji tidak akan menatap ke arah sana," janji Jayden tapi tetap saja pandangan terarah ke bagian dada Julia.

Julia bersidekap berusaha melindungi dirinya dari tatapan Jayden yang seolah akan menelanjanginya walau ia tahu semua itu sia-sia. Leher bajunya melorot dan memperlihatkan tulang leher dan bahu mulusnya. Julia menariknya ke atas lagi.

"Sekarang pun kau sedang menoleh ke arah sana!"

Jayden terkekeh. Ia tahu kalau janjinya itu kosong. Berjanji kalau ia tak akan menoleh ke arah dada Julia seperti kucing yang berjanji tak akan menerkam ikan yang ada disodorkan depan matanya.

"Oke, aku akan tutup mata."

Apapun yang kau mau asal kau tinggal.

Jayden memejamkan matanya. Julia mendongak. Ia kesal untuk alasan ia harus mendongak jika ia harus menatap wajah pria itu. Jayden terlalu tinggi untuknya. Bahkan ketika Jayden menciumnya, pria itu menunduk dan Julia harus mendongak. Itu sangat tidak adil buatnya.

Wajah Julia memerah lagi. Ia begitu menguatirkan keadaannya yang tidak normal lagi karena terlalu sering tersipu dan memiliki kecenderungan menjadi penggugup jika berada di dekat pria ini.

"Sekarang, kau mau duduk dan mendengarkanku?" tanya Jayden. Sebelah matanya terbuka mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Julia.

"Kau mengintip," tukas Julia dingin. Jayden segera menutup wajahnya dengan telapak tangannya tapi matanya terbuka dan mengintip lewat sela jarinya.

"Begini oke?"

"Dasar bule pervert!"

"Lust is not pervert!" ujarnya membela diri. Tapi ia langsung menutup rapat mulutnya ketika Julia mendelik ke arahnya.

"Lima menit, oke? Kau dengarkan aku lima menit, setelah itu kau boleh memutuskan mau tinggal atau pergi," tukas Jayden. Tanpa menunggu jawaban balasan dari Julia, ia mengandeng jemari gadis itu menuju tempat duduk yang terbuat dari kayu di ruangan itu. Ruang tamu yang merangkap ruang makan sederhana. Tidak ada peralatan elektronik di ruangan itu karena Jayden tidak suka menonton televisi dan jika ingin menonton televisi, mereka harus membeli antena parabola karena tempat itu tidak bisa menangkap siaran dengan antena biasa. Jayden menganggap itu pemborosan karena ia lebih suka mengisi waktunya dengan membaca buku-bukunya dan mengurus tanamannya.

Julia duduk di atas kursi kayu sederhana itu dan sebelumnya ia mengingatkan dirinya untuk tidak menghempaskan tubuhnya kalau ia tidak ingin bokongnya sakit. Jayden duduk di sampingnya. Sepoci kopi sudah tersedia di meja. Tampaknya Jayden memang yakin kalau Julia tidak akan pergi, buktinya ia sudah mempersiapkan dua buah cangkir di meja.

Jayden meraih poci kopi dan menuangkan kopi ke dalam cangkir membuat ruangan itu dipenuhi oleh aroma harum kopi khas Sumater Utara.

Meski dengan menjamurnya coffeeshop di mal-mal terkemuka di seluruh Indonesia namun kopi yang berasal dari Sidikalang memiliki cita rasa yang khas karena rasanya yang kuat yang tapi itu bukan masalah bagi Julia karena sebagai editor bila sedang dikejar tenggat waktu, ia bisa minum 3 cangkir kopi pekat dalam satu hari.

Jayden menyerahkan cangkir yang telah terisi kepada Julia dan Julia menerimanya lalu menggumamkan terima kasih dengan suara yang sulit ditangkap. Ia tidak langsung meminum kopi itu tapi memutar-mutar cangkir, menghirup wanginya sambil memejamkan matanya. Tangannya terasa hangat karena panas dari cangkir itu berpindah ke telapak tangannya.

"Kau sedang orgasme?"

Julia kontan melotot. Cangkir yang sedang dipegangnya hampir terlepas dari tangannya kalau saja Jayden tidak sigap meraih tangannya, kopi panas itu pasti sudah tumpah. Julia jengah, pria berdarah asing seperti Jayden memang tidak pernah malu-malu mengungkapkan hal ini secara gamblang tapi ini jelas minum kopi bukan orgasme seperti yang dikatakan Jayden.

Jayden terkekeh melihat ekspresi kaget yang terpeta jelas di wajah Julia.

"Tak perlu sekaget itu, kalau kau jadi pacarku, kujamin aku bisa membuatmu orgasme berkali-kali, auw!"

Jayden meringis ketika Julia mencubit lengannya.

"Hei, aku hanya mengatakan yang sebenarnya padamu!" protesnya sambil mengusap bekas cubitan gadis itu. Julia jengah, wajahnya merona. Ia tak pernah membalas masalah orgasme dengan pria. Oke, kadang-kadang ia membahasnya dengan Bianca. Ralat! Bianca yang membicarakannya dan ia hanya menjadi pendengar setia. Dengan Marta, jangan harap. Waktu ia menikah, Julia cukup penasaran dengan bagaimana kesan pertama dan bertanya padanya. Marta hanya tersipu-sipu dan menjawab kalau semua itu bukan urusannya.

"Kau suka bercinta dengan gaya apa?"

Setan!

"Ah, belum pernah?"

Julia menggertakkan giginya, ia kesal, jengkel iya, malu iya. Namun ia masih berusaha untuk tetap tenang dan menahan emosinya. Dengan anggun diletakkannya cangkir yang masih berisi kopi ke meja.

"Begini, Dokter Jayden, jika aku harus mendengar ocehanmu tentang kemampuanmu di atas ranjang yang menurutmu bukanlah omong kosong, kurasa aku akan memaksa diriku untuk segera pergi," tukas gadis itu. Jayden menyilangkan kakinya dan tangan kanannya menopang rahangnya sambil menatap Julia dengan tatapan intens. Di bibirnya tersungging senyum yang sangat menggoda.

"Dengar Julia, aku tahu kau tertarik padaku," tukasnya. Seperti biasanya penuh percaya diri. Julia sedang mencoba menenangkan degup jantungnya yang hampir meloncat ke luar.

"Sekarang kau tidak bisa menghindariku setelah kau menciumku," tukasnya lagi. Julia mendelik.

"Kau yang menciumku!" raungnya.

"Ya, ya. Kau membalasnya."

"Julia, kukira kita tidak perlu bertengkar karena pristiwa tadi bukan? Adalah suatu fakta kalau kita berciuman," desahnya.

Julia terdiam dan merenung. Pikirannya kembali pada peristiwa di tepi danau. Mereka berciuman di tepi danau. Dulunya ia penasaran setiap ia menatap bibir Jayden yang lebar dan tegas, sekarang ia sudah tahu bagaimana panasnya bibir itu bertemu dengan bibirnya dan ia masih saja tetap penasaran.

Ah, aku pasti sudah gila! Aku menginginkan ciumannya lagi. Dan siapa aku? Aku berstatus tunangan Colin. Pria ini tahu dan ia pasti memandang rendah padaku sekarang.

Julia masih sibuk dengan pemikirannya ketika Jayden meraih jemari tangannya dan menggenggamnya. Perasaan disengat listrik ribuan voltase itu kembali datang menyerang jantungnya.

"Jangan menyalahkan dirimu atas segala yang terjadi, Mijn Lieve," tukas Jayden lembut. Pria ini seakan tahu saja kalau Julia sedang menyalahkan dirinya membalas ciumannya.

"Jayden."

Pria bertampang tegas itu memberinya kode agar ia diam dulu.

"Jangan menolakku lagi, Julia. Aku tidak percaya kalau kau masih bisa melanjutkan pertunanganmu setelah kau menciumku seperti tadi."

Jayden merasakan tangan Julia menegang dalam genggamannya. Gadis itu menarik nafas panjang sebelum mendongak menatap mata Jayden. Matanya menatap Jayden dengan sendu. Ya, Jayden tak salah mengartikan kesenduan yang ada di dalam matanya.

"Mijn Lieve," bisik Jayden. Pria itu menarik Julia ke dalam pelukannya. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Julia namun ia tahu kalau ia harus memeluk gadis itu.

Lagi-lagi dalam sehari ini Jayden merasa Julia begitu pas dengannya.

"A-aku punya tunangan."

"Ya, aku tahu," bisik Jayden lembut.

"Yang kutahu dulu aku menyayanginya."

"Sekarang?"

Jayden seakan sedang menunggu nasibnya dipertaruhkan untuk mendengar jawaban dari bibir Julia. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa takut. Takut akan balasan dari Julia tak sesuai dengan harapannya.

"Sekarang aku tidak tahu."

Jayden tersenyum lega bersamaan dengan nafasnya yang kembali normal.

"Seharusnya aku tidak menciummu," sahut Julia. Jayden cemberut dan melepaskan pelukannya agar ia bisa menatap ke dalam mata gadis itu. Julia menunduk, menyembunyikan wajahnya dari Jayden.

"Mengapa?" tanya Jayden. Tangannya lebih kuat mencengkram bahu gadis itu. Kalau ia tidak ingat kalau itu dapat menyakiti Julia, ia sudah mengguncang tubuh gadis itu supaya ia sadar kalau semua itu sudah terjadi dan ia tidak boleh menyesalinya

"Ini seperti aku memperalatmu."

"Julia," desah Jayden. Pria itu mengecup kening Julia dengan lembut dan ringan. Julia hanya bisa memejamkan matanya.

"Ini tidak salah, Mijn Lieve," bisik Jayden di telinga Julia. Kumis pria itu menggelitik kulit wajah Julia.

"Jay..."

Jayden tersenyum lebar. Ia suka Julia memanggil namanya.

"Di posisiku, aku seperti memperalatmu. Itu terjadi begitu saja. Aku tidak berniat membalas ciumanmu tapi ketika itu terjadi, aku hanya memikirkanmu," tukas Julia.

Dan lagi-lagi Jayden tersenyum.

"Begitulah seharusnya, Mijn Lieve. Menurutmu apa aku memikirkan hal lain?"

"Jay, kau harus mendengarkan alasanku berada di desa ini," pinta Julia. Ia merasa sudah saatnya ia harus menceritakan tentang Colin pada pria itu.

"Ya."

Julia mengatur nafasnya sebelum ia mulai menceritakan hal yang melatarbelakangi ia dan Marta datang ke desa ini bukanlah untuk liburan semata. Ia memulai ceritanya ketika ia mulai mengenal Colin sebagai anak dari teman bisnis dari paman dan bibinya yang telah mengasuhnya sejak orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Ia juga menceritakan kalau hubungan mereka yang sudah disetujui oleh orang tua Colin. Mereka bertunangan tiga tahun lalu, tepat ketika Julia berusia 25 tahun.

"Aku berada di sini karena aku menemukan bukti ia berselingkuh dengan asistennya," akunya membuat Jayden menggeram.

"Keluargaku belum tahu karena aku belum menemukan cara untuk mengatakan kepada Paman dan Bibiku tanpa menyakiti hati mereka. Ya, kau tahu Jay, mereka mengenal baik orang tua Colin. Daripada terjadi perang dingin jadi kuputuskan untuk menghindari keruwetan sementara waktu. Colin juga tidak tahu aku berada di sini," tukasnya lagi.

Jayden mengusap-usap dagunya dengan kasar. Ia benci harus mengakui kalau Colin memiliki posisi yang lebih menguntungkan karena kenal dengan keluarga Julia. Tapi ia tidak menganggap itu masalah yang cukup penting karena baginya yang terpenting adalah bagaimana perasaan Julia terhadapnya. Colin akan menjadi bagian dari masa lalu dan gadis itu akan memilih Jayden.

"Julia," panggil Jayden serak.

Suara itu mengandung mantera sihir bagi Julia. Ia menoleh menatap ke dalam mata teduh berwarna biru dikelilingi oleh warna cokelat. Jayden tersenyum dari lubuk hatinya, senyum yang sayu dan melelehkan gunung-gunung es di hati Julia.

"Biarkan dia menjadi masa lalumu. Untuk selanjutnya, ijinkan aku yang menjadi masa depanmu dan mencoba membahagiakanmu," desah Jayden.

Untuk seorang pria flamboyan yang telah memiliki banyak skandal dalam hidupnya, ia cukup terkejut ia bisa mengucapkan janji seperti itu. Namun ia yakin ia bisa memenuhi janjinya jika Julia mengijinkannya.

Julia mengerjapkan matanya beberapa kali mendengar Jayden berjanji mengisi masa depannya. Ia baru saja merasakan sakitnya dicampakkan oleh sang tunangan. Sekarang, Jayden ada di hadapannya. Waktunya memang terlalu cepat, hubungannya dengan Colin bahkan masih belum ada putusan tetapi hatinya tak bisa berdusta. Ia tak bisa menolak kehadiran pria ini di hatinya.

"Jay," panggil Julia lirih. Jayden tidak menyahut hanya tetap menatap gadis itu. Julia harus menelan ludah sebelum menyampaikan kata-kata lanjutannya. Jayden berusaha membuatnya nyaman dengan mengusap punggung tangannya.

"Meskipun aku belum siap berhubungan tapi kenyataannya hatiku merespons kehadiranmu," bisiknya lirih. Jayden tersenyum. Bisikan dan jawaban dari Julia itu semakin menggoda Jayden untuk mendaratkan ciuman lagi. Julia tahu pria itu akan menciumnya. Ia memejamkan matanya.

Jay menyapukan bibirnya dengan lembut di bibir Julia. Julia tidak terburu-buru menerima ujung lidah Jay tetapi ia membiarkan ujung lidah pria bermain di bibirnya. Ketika ia mengerang pelan, lidah Jay menerobos masuk. Jay mengambil seluruh udara dalam ruangan itu. Jay mengambil nafasnya. Jay adalah detak jantungnya dan sekarang Jay adalah hidupnya.

"Mau mencoba pengalaman orgasme, Sayang," bisik Jayden dengan suara rendah ketika ia menghentikan ciumannya. Julia mendelik, suaranya tercekat di kerongkongannya.

Jayden tergelak.

"Lupakan, Mijn Lieve. Aku tak akan mengambil sesuatu yang tidak diberikan secara sukarela."

"Sialan!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top