6. Heartbeat
Marta sangat senang karena Julia sudah kembali tinggal bersamanya. Kaki sahabatnya itu sudah sembuh dan ia juga sudah bergantian dengan Marta membantu Herman mengajari anak-anak desa. Julia sendiri sangat menyukai kegiatan barunya. Pada waktu senggang ia kembali menulis dengan laptopnya. Ia mengaku pada Marta akan kembali menerbitkan novelnya. Marta senang mendengarnya. Semakin Julia bersemangat maka semakin tidak punya waktu memikirkan Colin.
Tetapi Marta merasa kalau ada yang berbeda dari hubungan sahabatnya dengan dokter muda itu sejak Julia kembali dari klinik. Julia sebisa mungkin menghindari perbincangan yang membahas tentang Dokter Jayden. Beberapa kali ia masih memeriksakan kakinya atas desakan Marta ke klinik tetapi Julia mendesak agar Marta ikut menemaninya atau ia pergi dengan Herman sepulang dari mengajar.
Marta penasaran tentang hubungan mereka. Ia ingin sekali bertanya pada Julia tapi karena Julia memberikan kesan kalau ia tak ingin membicarakan masalah ini, Marta hanya bisa menerimanya itu tanpa bertanya lebih lanjut. Ia sahabat Julia dan harus mendukungnya. Julia akan bicara kalau sudah waktunya bicara. Itu sudah cukup baginya.
Julia juga melakukan hal yang sama ketika ia menemukan luka lebam di wajah Marta. Julia bertanya namun Marta mengaku kalau ia jatuh dari tangga dan wajahnya menghantam pegangan tangga. Julia tahu sahabatnya berbohong. Julia tahu kalau suaminya yang memukulnya. Julia sempat menasehatinya kalau ada baiknya ia melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib tetapi Marta tetap bersikeras kalau ia jatuh dari tangga. Julia hanya bisa menghentakkan kaki di belakangnya dan bersumpah jika hal ini terjadi lagi, dia akan menendang tulang selangkang suami Marta. Marta meyakinkannya kalau ia baik-baik saja.
Tapi tidak demikian. Kejadian itu berulang. Dan Marta tahu ia kapan ia harus menghindar bertemu dengan Julia jika wajahnya atau tubuhnya lebam karena dipukul suaminya. Marta selalu yakin kalau suaminya akan berubah. Setiap ia sadar dari minuman beralkohol, ia selalu berlutut meminta maaf pada istrinya.
Michael, putra Marta semata wayang yang membuat pernikahannya bertahan lebih dari seharusnya. Karena Michael, Marta yakin suaminya akan berubah. Ia yakin suaminya akan sungguh-sungguh mencari pekerjaan dan membesarkan anak mereka bersama.
Tetapi hal itu tak pernah terjadi. Pria bajingan itu tak pernah berubah. Ia malah menyimpan cinta yang lain. Marta menemukan kalau ia memiliki wanita lain. Itulah yang akhirnya membuatnya mengambil langkah meninggalkan pria itu. Tapi pria brengsek itu tidak mengijinkan Marta mengambil anaknya. Dengan surat nikah di depan matanya pria itu mengatakan kalau Michael berada di bawah pengawasannya sampai usia tujuh belas. Hal itu dikuatkan oleh sang pengacara yang juga sepupu dari suaminya. Marta hanya bisa menemui anaknya jika diberi ijin oleh suaminya dan ini benar-benar membuatnya stres dan frustasi. Lelaki bajingan itu sengaja mempersulit Marta jika ingin bertemu Michael. Tak peduli betapa Michael merengek menangis meminta bertemu dengan ibunya. Pria keji itu tak peduli.
Dalam keputusasaan itu, tepat di saat Julia kehilangan kepercayaan pada tunangannya, Colin, secara spontan sahabatnya itu mengusulkan liburan ke tempat yang sepi yang langsung diiyakan oleh Marta. Dan kebetulan Gary, sepupu Marta baru kembali dari Pulau Samosir. Ia menawarkan rumahnya kepada kedua gadis itu dan langsung diterima kedua gadis itu tanpa pikir panjang.
Michael, anakku. Mom merindukanmu.
Marta duduk di tangga depan rumah panggung itu sambil melamunkan wajah anaknya. Michael sekarang berusia lima tahun. Sudah sekolah. Marta yang mengirimkan uang agar anak itu bisa sekolah. Marta menyisihkan setiap rupiah yang dihasilkannya dari pekerjaannya sebagai asisten juru masak di restoran di Jakarta sebab tidaklah mungkin mengharapkan suaminya menyekolahkan Michael. Uang sekolah Michael ia kirimkan langsung kepada pihak sekolah karena Marta sama sekali tidak bisa mempercayai mantan suaminya dalam hal mengurus keuangan.
"Marta."
Marta kaget. Ia baru sadar kalau airmatanya berderai membasahi pipinya. Segera ia menghapus cairan bening itu dengan ujung lengan bajunyanya sebelum Herman melihatnya.
"Herman, aku tidak tahu kapan kau datang," tukasnya. Suaranya masih berbunyi serak dan sengau. Ah, anak kecil juga pasti tahu kalau Marta habis menangis dari suaranya.
"Aku memanggilmu sejak tadi," tukas Herman. Ia ikut duduk di tangga rumah tetapi di tangga yang paling bawah. Sekarang Marta hanya bisa melihat sosok Herman dari belakang. Rambut Herman hitam dan sudah agak panjang melewati telinganya. Bahunya sejajar dan rasanya enak dijadikan sandaran.
Herman membalikkan badannya, menatap langsung ke dalam mata Marta yang masih tampak merah. Pria itu yakin kalau Marta pasti sedang punya masalah.
"Kau bertengkar dengan Julia?" tanyanya. Marta mengerutkan keningnya dan menggeleng.
"Tidak. Kami tidak bertengkar," tukas Marta cepat. Herman menatapku lekat. Marta tidak suka ditatap sedemikan rupa oleh pria ini karena mereka tidak memiliki hubungan yang dekat. Tapi ia tidak bisa menyuarakannya jadi ia hanya pura-pura menoleh ke arah lain.
"Bukan karena gadis pengacau bermulut tajam itu?" tanyanya. Pria ini usil menurrut pandangan Marta.
"Julia adalah orang terakhir yang akan kuajak bertengkar," jawab Marta ketus. Ia membiarkan Herman menyadari keketusannya. Ia tidak membutuhkan orang sok tahu yang bertanya-tanya tentang mengapa ia menangis.
Apa dia tidak bisa membiarkan ini dan bersikap seolah-oleh ia tak pernah melihatku menangis?
"Kau ingin bicara padaku? Mungkin aku bisa membantumu."
"Tidak," tolak Marta tanpa ragu. Berkeluh kesal tentang masalah rumah tangganya pada pria lain tidak akan membantunya malah membuatnya perasaannya makin kacau. Ia tidak suka membicarakan ini kepada pihak lain.
Herman menghela nafas, bahunya tampak tertarik ke atas ketika ia menarik nafas dan ia berusaha tersenyum hanya sekedar untuk memberi semangat pada Marta. Tidak ada salahnya memberi semangat pada seorang teman, begitulah anggapannya.
"Maaf, tempat curhat adalah hal terakhir yang kupikir kubutuhkan saat ini. Terima kasih karena kau peduli," tukas Marta. Kali ini kata-kata terdengar lebih ramah. Herman mengangguk mengerti.
"Oke, baiklah kalau begitu! Tapi jika kau ingin bercerita," ia meletakkan tangannya di dadanya.
".....aku bisa menjadi pendengar...." janjinya sungguh-sungguh.
Terima kasih dan tetap tidak.
"Julia pergi ke mana?"
"Entahlah. Kurasa ia sedang jalan-jalan ke tepi danau."
"Aku hanya ingin bertanya apa Julia tahu masalahmu? Ada baiknya kau berbagi dengan teman. Itulah gunanya teman kan?"
Marta terdiam. Ia hanya tak mengangka kalau Herman benar-benar menguatirkannya padahal mereka baru saling mengenal selama beberapa minggu. Gadis bermata lebar itu menatap Herman. Herman tersenyum tulus padanya.
Marta berkedip menatap senyum tulus yang tak dibuat-buat itu. Entah mengapa walaupun tanpa kata-kata penghiburan, ia merasa terhibur.
"Ehm, ya. Julia adalah teman yang terbaik," jawabnya lirih.
Herman mengangguk. Ah, ia mengenali luka di mata milik Marta. Bukan mata polos dan kosong tetapi mata yang mengungkapkan betapa ia pernah mengalami kesedihan meskipun ia berusaha menutupi kerapuhannya. Mata yang memancarkan keputusasaan. Ia mengenalinya karena ia pernah dekat dengan orang yang pernah berusaha menutupi kedukaannya sekalipun ia berusaha menutupinya dengan senyum khas aku-baik-baik saja.
Herman merasa ia juga sama. Menyimpan kedukaan dalam senyumannya yang jenaka meskipun masa lalu masih terus menghantuinya. Dari luar, orang melihat dirinya adalah pribadi yang usil dan jenaka namun sebenarnya ia menyimpan rasa sakit di hatinya untuk dirinya sendiri. Ia tidak pernah bisa membuka dirinya kepada siapapun kalau ia kabur dari rumah. Menyingkir dari kota kelahirannya dan hidup berpindah-pindah di desa terpencil karena menghindar dari masa lalunya. Ia merasa bersalah pada seorang gadis bernama Agnez Tanujaya, tunangan kakak tirinya sehingga gadis itu meninggal di depan matanya. Herman begitu berduka karena ia mencintai calon istri kakaknya itu sejak dulu dan ia juga yang menjadi penyebab Agnez meninggal. Jadi ia kabur dan meninggalkan kuliahnya yang sudah sampai pada tahap akhir. Bahkan keluarganya juga tidak tahu di mana ia sekarang. Ia pergi dengan meninggalkan surat untuk ibunya agar mereka semua tak perlu kuatir. Ia hanya pergi untuk berjalan-jalan dan akan kembali.
Tetapi sudah dua tahun berlalu dan ia belum kembali. Ia tidak bisa kembali karena setiap ia memejamkan matanya wajah Agnez saat meninggal terus terbayang di pelupuk matanya. Awalnya ia menegak obat tidur tetapi kemudian ia sadar kalau obat itu tidak memberikan efek yang baik untuk hidupnya, ia pun bertahan untuk tidak menegaknya lagi. Ia membiarkan Agnez terus menghantuinya karena itu memang dosa yang harus ditanggungnya seumur hidup. Dan ia tidak berhak untuk menghindar jika Agnez ingin menghantuinya terus.
"Herman!"
Pria itu melonjak dari lamunannya. Suara Julia menyadarkannya kalau ia dan Marta sudah saling membisu cukup lama tenggelam dengan pikiran masing-masing.
"Mengapa kalian berdua tampak canggung begitu?" tanya Julia sambil menyipitkan matanya.
"Tidak kok!" elak Marta.
"Kau tidak sedang mengganggu Marta kan?" tanya Julia menyelidik. Herman meringis.
"Kau kira aku seusil dirimu, Pengacau?" sindirnya. Julia mendelik. Kata 'pengacau' memang dilekatkan Herman pada Julia sejak pertama bertemu dengan kedua gadis itu.
"Berani menyebutku pengacau, aku akan mogok masuk kelas!" ancam Julia.
"Omong-omong soal itu, J. Kukira kalian akan telat mengajar kalau tidak berangkat sekarang," beritahu Marta.
"Oh ya?" Julia melirik arloji berbentuk segiempat warna cokelat dengan rantai kulit di pergelangan tangannya.
"Wah, aku benar-benar telat. Tunggu sebentar, ya. Aku mau jaketku," tukas Julia sambil bergegas naik ke tangga dan mengusir Herman dan Marta yang duduk di sana.
"Dasar pengacau!" desis Herman. Marta tersenyum. Ia merasa beruntung memiliki Julia yang bersamanya saat ini. Herman benar, itulah gunanya sahabat. Marta bisa tersenyum karena Julia.
"Begini Herman."
"Ya."
Marta agak ragu untuk meneruskan kata-katanya namun tetap ia harus mengatakannya pada pria ini. Ia tidak ingin Julia terlalu kuatir dengannya.
"Jangan katakan apa pun pada Julia apa pun yang kau lihat tadi," pintanya dengan nada memohon.
Herman tidak menjawab hanya menatap Marta dalam kebingungan. Bukankah mereka berteman tapi mengapa Marta tidak mau Julia sampai tahu kalau ia melihat Marta sedang bersedih? Pertanyaan ini bergantungan di kepala pria itu.
"Aku hanya tidak ingin ia terlalu menguatirkan diriku. Semua orang punya masalahnya sendiri," tukas Marta.
Julia juga punya masalah? Pengacau itu?
Mata Herman menembus ke dalam jantung Marta. Pertanyaan itu sama sekali tidak diucapkan olehnya namun Marta tahu kalau ia sudah keceplosan bicara tentang Julia.
Marta menutup mulutnya namun ekspresi Herman tampak begitu menenangkan.
"Bisakah aku mempercayaimu?"
Herman mengangguk tepat di saat Julia muncul dari atas tangga dan terburu-buru memakai jaket merahnya.
"Ok, I'm ready!"
Gadis itu mengibaskan rambut sebahunya dan tergesa-gesa menuruni tangga. Di tangga terakhir, ia langsung meloncat dan lupa dengan kakinya yang terluka. Ia meringis karena merasa kesakitan.
"Hati-hati!"
Herman mencibir.
"Aku merasa ia sengaja melakukan itu agar ia bisa memiliki alasan bertemu dengan Bang Jay," sindirnya pedas.
Masih meringis, gadis itu mengumpat, "Brengsek kau!"
Marta berjongkok memeriksa luka yang sudah mengering.
"Kurasa kau memang harus ke klinik, J. Dokter pesan kau masih harus memeriksa kakimu. Bisakah waktu kalian kembali, kau mengantarnya ke klinik? Aku meragukannya kalau tidak ada yang memaksanya ke sana, ia tidak akan pergi," Marta menanyakan kesediaan Herman. Herman mengiyakan.
"Kau bicara seolah aku ini anak kecil, M!" protes Julia yang sudah berdiri tegak. Dengan sebal menoleh pada Herman yang dianggapnya berkomplot dengan Marta.
"Ayo pergi!"
Herman melambaikan tangannya pada Marta dan menjejeri langkah Julia.
'Ehm, Herman. Kau boleh bergabung dengan kami saat makan malam, kalau kau mau."
Herman yang baru beberapa langkah berjalan menoleh pada Marta dan memberikan senyum terbaiknya.
Makan malam, tentu saja.
Ia mengangguk.
***
Hari masih sore ketika Julia dan Herman kembali dari memberikan pelajaran bahasa Inggris kepada anak-anak. Herman berkeras mematuhi janjinya kepada Marta untuk menemani Julia ke klinik Dokter Jayden meskipun beberapa kali Julia menolaknya dengan berkelit kalau kakinya sudah sembuh. Tapi Herman melirik sinis padanya karena ketika mereka melewati jalan yang agak berbatu, Julia kelihatan sedang menahan rasa sakit di kakinya.
"Masih berkeras untuk menghindar?" tanya Herman terdengar kejam. Julia hampir terpeleset ketika melompati jalanan yang agak licin dan basah. Herman sengaja tidak membantunya. Malah dengan tenang memperhatikannya.
"Bisakah kau bersikap gentle sedikit?" sindir Julia sebal. Kalau saja ia tidak sedang kesusahan melewati jalan itu, ia tidak sudi meminta bantuan Herman. Tetapi Herman tetap bersikap tidak peduli. Ia malah dengan santainya berjongkok sambil memperhatikan Julia membiarkan gadis itu tetap dalam kesulitannya naik ke tanah yang lebih tinggi dari tempatnya berpijak.
"Lebih suka begitu daripada menemui Bang Jay?"
"Hei!"
"Ingin jadi cacat selamanya?"
"Kalau tak sudi membantu, setidaknya tutup mulutmu," balasnya pedas.
"Dasar pengacau!"
Walau mengumpat Herman akhirnya iba juga dengan gadis keras kepala itu. Ia berdiri dan mendekat, mengulurkan tangannya. Tetapi ketika dilihatnya tangan Julia sudah kotor dengan tanah, ia mendecit. Hanya ia tidak tega menarik uluran tangannya kembali.
Tanpa berpikir dua kali, Julia menyambut tangan kekar itu. Begitu selangkah ia melangkah, tangan Herman yang lain memeluk pinggangnya agar posisi Julia lebih mantap lagi.
Akhirnya Julia bisa melewati jalanan itu tanpa terjatuh atau melukai kakinya. Tapi anehnya, ketika tangannya menyentuh tangan Herman, ia tidak merasakan rasa panas yang menjalar di tangannya. Dan malah mengingatkannya akan sebentuk wajah sangar yang matanya teduh berwarna biru dinaungi oleh alis lebat. Wajah Jayden.
"Sekarang, kau tahu mengapa Marta memaksamu pergi kan?" tanya Herman menyindir.
"Cerewet! Aku bahkan sudah bisa berenang."
"Keras kepala, kalau dokter itu tahu kau berenang, ia pasti akan sangat marah," ujar Herman berusaha memperingatkan Julia. Julia hanya menyeringai. Sejak tiba di desa ini, ia belum pernah sekalipun berenang dalam danau yang airnya dingin itu. Sekarang agaknya agak sulit dilakukan karena keterbatasan karena kakinya.
"Masih belum, tetapi danau itu memanggilku terus," tukas Julia sambil cekikikan.
"Danau itu tidak memanggilmu. Bang Jay yang memanggilmu. Hei, Gadis Kota kau harus memeriksakan kakimu," tukas Herman sambil menirukan ekspresi Jayden yang dingin dan juga menekan rendah suaranya seperti suara khas milik Jayden. Tetapi itu sama sekali tidak mirip. Herman memiliki raut wajah yang nakal sedang Jayden memiliki wajah yang dingin jadi bagaimana mungkin Herman bisa meniru dirinya. Julia cekikikan dan mencubit lengan Herman. Herman meringis kesakitan.
"Eh, itu Bang Jay datang," dustanya agar Julia melepaskan lengannya. Gadis itu kontan melepaskan Herman dan langsung berbalik arah. Herman tertawa karena berhasil menipu gadis itu. Ketika Julia sadar kalau itu hanya tipu daya Herman, ia kembali berbalik ke arah Herman dan memukul lengannya dengan kuat.
"Hei! Dasar penyiksa kaum lelaki! " umpat pria itu sambil berusaha mengelak dari pukulan Julia.
"Dasar pembohong!" umpat Julia sambil memberikan pukulan terakhir lalu dengan wajah cemberut ia meninggalkan Herman namun Herman segera menyusulnya dan menjejeri langkahnya.
"Hei! Tetap harus ke klinik," tukasnya sambil menusukkan jari telunjuknya ke bahu Julia. Gadis itu tidak memperdulikannya.
"Jangan marah, Beib. Wajahmu jelek kalau cemberut. Eh, maksudku, kau memang sudah jelek bila tidak cemberut sekarang makin... auw!!!"
Lagi-lagi Julia memukul lengan Herman.
"Kau menyebalkan, tahu?"
Herman terkekeh. Gadis itu masih cemberut tetapi Herman tahu kalau ia tidak benar-benar marah.
"Tidak marah lagi? Kalau kau baik, aku akan mengajakmu memancing ikan, setidaknya dokter berwajah kejam itu tidak akan melarangmu dibanding kau nekad berenang. Kau pasti suka memancing ikan," tukas Herman sambil mengacak-acak rambut Julia memperlakukan gadis itu seperti anak-anak. Julia memasang tampang sebal.
"Kau kira aku anak usia lima tahun?"
"Oh, kau lebih dari lima tahun?"
"Sialan kau!"
"Bang Jay?"
Julia mengira Herman memperdayanya lagi. Dengan sebal dicubitnya lengan Herman dengan keras sampai Herman mengaduh kesakitan tapi wajah Herman tetap meyakinkan.
Dokter muda itu berwajah kejam yang baru mereka bicarakan sedang melangkah mendekati mereka berdua. Julia segera menoleh begitu merasakan ada aura dingin memancar dari arah depan. Tatapannya bertemu dengan tatapan Jayden tapi mata Jayden tidaklah teduh seperti biasanya malah tampak dingin dan Julia sulit mengira apa yang sedang dipikirkan oleh pria itu dalam otaknya.
Namun ketika Dokter itu tiba di tempat mereka, ia hanya melewati Julia dan Herman begitu saja. Kontak mata mereka terputus karena Julia sama sekali tidak berani menyapanya.
"Halo Bang! Mau ke mana?" sapa Herman berusaha ramah. Namun yang didapatnya hanya berupa suara yang lebih mirip geraman.
Herman sadar kalau wajah Julia seputih kertas. Gadis itu canggung dan serba salah.
Pria kejam!
Bagaimana ia bisa mengabaikanku begitu saja? Bukankah ia dokterku? Tak bisakah ia bertanya tentang bagaimana keadaanku?
Julia merasa dadanya sesak. Perutnya seperti baru habis ditinju.
Sementara Jayden mengangkat kepalanya dan menegakkan bahunya berusaha untuk tidak menoleh ke belakang meskipun godaan itu tetap ada.
Rasanya ingin kurontokkan wajah pria itu sekarang juga! Sial! Mengapa Julia harus memilihnya?
Ia menyesal mengapa sore itu tiba-tiba ia memutuskan untuk berjalan melewati jalan itu dan harus menyaksikan Herman dengan santainya mengacak rambut Julia. Digertakkannya giginya dengan marah.
Apa mereka sedang pacaran?
***
Pagi itu, ketika Marta sedang sibuk menyiapkan makan siang, ia mendengar suara Jayden memanggil dari luar rumah panggung itu. Ia segera meninggalkan kesibukannya di dapur dan membalas panggilan dokter itu.
"Selamat pagi, Dok!" sapa Marta sambil tersenyum lalu menuruni tangga rumah itu. Jayden tampak sedikit kaku meskipun wajahnya masih saja datar dan berusaha tak menunjukkan ekspresi apapun.
"Pagi. Aku lewat untuk menanyakan keadaan Gadis Bandel itu."
Julia.
Marta tersenyum.
"Tapi Julia sedang ke luar. Mungkin pergi ke tepi danau," jawab Marta.
Dokter itu menaikkan sebelah alisnya.
"Aku baru dari sana dan dia tidak ada di sana. Ke mana kira-kira ia pergi? Aku hanya ingin memastikan ia baik-baik saja," alasan Jayden tetapi itu membuat Marta menyembunyikan senyumannya. Dokter muda itu jelas-jelas ingin bertemu Julia tetapi ia mencari-cari alasan ingin memastikan kalau gadis itu baik-baik saja.
Kalau boleh ia memilih pasangan yang tepat untuk sahabatnya antara Colin dan Jayden, maka tak ragu Marta akan memilih Jayden. Marta tidak memiliki alasan khusus mengapa ia lebih menyukai Jayden hanya merasa kalau pria itu lebih matang meskipun dia tampak berbahaya dan kehadirannya membuat semua orang yang bersamanya terintimidasi tapi Marta merasa Julia akan aman bersamanya.
Itu hanya berdasarkan penilaian pribadi karena ia sadar kalau penilaiannya sendiri tak pernah tepat dilihat dari kehidupannya sendiri. Ia mendesah.
"Gadis keras kepala itu memang menyusahkan, Dok. Akan kuberitahu dia kalau Dokter datang. Kemarin ia beradu mulut denganku karena aku mengomelinya agar ia pergi ke klinik. Ia malah mengatakan kalau ia sudah bisa berenang di danau," omel Marta.
Malam sebelumnya Marta memang mengingatkan Julia tetapi seperti biasanya sahabatnya itu hanya mengatakan kalau ia sudah tidak memerlukan pengobatan apapun juga dari dokter dan merasa tidak perlu ke klinik lagi. Julia tampak sangat menyebalkan kalau sedang mempertahankan kemauannya.
Dokter Jayden seolah sedang menelan paku mendengar perkataan Marta tentang keinginan Julia berenang di danau. Marta melihat kekuatiran dalam mata Jayden dan berusaha menenangkannya dengan berkata,"Dia hanya bercanda, Dok. Aku yang pertama akan menggantungnya jika ia melakukan hal itu."
"Entah mengapa aku merasa ia pasti bisa melakukannya," tukas pria bermata biru itu.
Marta tertawa.
"Aku akan membuatnya jauh-jauh dari danau," sahut Marta.
Oh tidak! Jangan jauhkan dia dari danau.
Tetapi Jayden tidak mengatakannya. Ia menelan kembali kata-katanya yang hampir saja meluncur ke luar dari bibirnya.
"Dok."
"Ya?"
"Kau mau menunggu Julia kembali? Ia sudah lama pergi, mungkin sebentar juga kembali," tukas Marta.
Dokter itu berpikir sejenak. Ia berpikir kalau dengan adanya Marta di antara mereka mungkin gadis itu tidak akan menghindarinya lagi karena kecanggungan yang terjadi akibat peristiwa kemarin ketika Jayden mengabaikannya. Ia perlu meminta maaf karena sikapnya yang sama sekali tidak ramah kepada gadis itu hanya karena ia melihat Herman mengacak rambut itu bukan berarti mereka berdua memiliki hubungan yang romantis. Dan ia sadar kalau sikapnya ini sangatlah kekanak-kanakan.
"Aku akan menunggu bila tak mengganggu," jawabnya. Marta tersenyum.
"Tentu saja tidak. Akan kuseduh kopi untukmu."
"Terima kasih."
Marta kembali menaiki tangga rumah panggung tapi tiba-tiba pandangannya kabur, kepalanya terasa berat. Pijakan kakinya pada salah anak tangga tidak kuat. Ia roboh.
Beruntunglah Jayden sigap menangkap tubuh gadis itu sehingga tubuhnya tidak menghantam tanah. Tangannya yang kokoh memeluk pinggang gadis itu. Kepala Marta terkulai di bahunya.
"Marta," panggilnya. Jayden mengguncang tubuh lemas Marta. Marta belum bereaksi. Jayden berusaha mendudukannya di salah satu anak tangga. Kepala Marta sekarang bersandar di dada Jayden. Dokter itu menyentuh kening Marta untuk memeriksa suhu tubuhnya. Beruntungnya Jayden membawa steteskop kali ini karena ia memang berniat memeriksa Julia. Ia mengeluarkan alat itu dari tasnya dan mulai memeriksa gadis itu.
"Marta, kau tidak apa-apa?"
Mata gadis itu mulai terbuka perlahan-lahan. Jayden menggenggam tangannya
"Dok..."
Jayden meletakkan telunjuknya di depan bibirnya.
"A-aku pingsan?" tanyanya lemah. Wajahnya seputih kertas. Tangannya dingin.
"Darah rendah, kurang tidur, stres. Berapa berat badanmu yang sebenarnya?"
Marta tersenyum lemah ingin menjawab kalau sangat tak sopan menanyakan berat badan pada seorang perempuan tetapi ia terlalu lemah untuk menjawab.
"Kau mengalami insomnia? Lingkaran hitam di matamu menjelaskan segalanya."
"Aku akan memberikan obat untuk tekanan darah rendah tapi semua obat-obatannya ada di klinik."
"Bisakah Dokter memberiku obat tidur?" tanya Marta lemah. Jayden menghela nafas.
"Aku tidak punya. Sepertinya kau memiliki masalah yang cukup berat sehingga kau merasa membutuhkan obat tidur," tebak sang dokter. Marta memijat-mijat pelipisnya yang masih nyeri. Setiap malam menyelimuti, ketika telah waktunya setiap orang beristirahat, mata Marta seolah tidak bisa lelap meskipun rasa kantuk menyerang. Yang ia lakukan setiap ia mendengar dengkuran Julia adalah menangis karena teringat putranya yang diambil paksa oleh mantan suaminya. Jauh di lubuk hatinya ia ingin sekali bertemu dengan anak itu, mengambil kembali pengasuhan Michael dari suaminya karena ia tahu kalau pria bejat itu tak pernah menyayangi siapapun terkecuali dirinya sendiri. Tapi ia tidak punya kekuasaan untuk merebut anak itu. Ia lemah secara hukum jadi kesempatannya bertemu dengan Michael hanya bergantung pada belas kasihan suaminya.
"Dok, jangan biarkan Julia tahu aku pingsan," pintanya lirih. Jayden menatap gadis berambut panjang dan berikal itu dengan heran. Tapi mulutnya sama sekali tak bergerak untuk menanyakan alasannya.
"A-aku tak ingin dia tahu," ujar gadis itu. Jayden mendesah sambil menggeleng.
"Marta, Julia mungkin sudah tahu apa yang kau rasakan. Ia hanya tidak bertanya semata-mata karena kau menginginkannya begitu," tukas Jayden. Marta mengerjapkan matanya berkali-kali. Mungkin Jayden benar. Julia tahu, ya Julia pasti tahu tapi sama seperti dirinya yang tidak bertanya-tanya soal Colin, Julia merasakan kedukaannya hanya tak mampu bertanya.
Jayden tersenyum ketika Marta menatapnya seakan membenarkan pendapatnya.
Saat itu, sosok Julia muncul dari jalan belakang. Ia melihat Jayden dan sahabatnya duduk di tangga rumah panggung. Cukup dekat. Ia hanya bisa berdiri tanpa bisa mengetahui apa yang mereka bicarakan. Ia hanya bisa melihat sahabatnya tersenyum pada Jayden. Otaknya memerintahkan agar ia pergi saja namun kakinya tak mau bergerak. Ia mulai curiga kalau ular menggigit kakinya lagi. Lalu ada suara lain yang meungkin berasal dari hatinya memerintahkan agar ia menyapa mereka berdua tapi suaranya tersangkut di kerongkongan. Jadi sekarang ia hanya bisa diam dan memperhatikan kedua orang itu dan tetap penasaran apa yang mereka bicarakan.
Hatinya sakit melihat Jayden tersenyum pada Marta. Ia begitu sering tersenyum pada sahabatnya tapi tidak kepadanya. Ia mulai menduga kalau ada hubungan romantis antara keduanya.
Julia benar-benar jengkel memikirkannya. Jayden mengaku kalau ia menyukai Julia dan sekarang ia mengalihkan obsesinya pada Marta.
Dasar mata keranjang!
Ia tidak salah, kau sudah menolaknya.
Tapi tetap saja ia menyebalkan. Haruskah ia bersama dengan sahabatku? Orang yang pernah mengalami rasa sakit karena pria?
Julia sedikit lega mengingat kondisi Marta dan ia merasa bersalah karena itu. Marta yang trauma dengan pria pastilah tidak akan semudah itu jatuh cinta lagi. Tapi benarkah? Jayden adalah pria yang mempesona. Jika saja dibandingkan antara mantan suami Marta dengan Jayden, maka akan sangat mudah bagi siapapun untuk menyukai Jayden apalagi mantan suami Marta itu memang brengsek.
Ah, sialan kau Jayden!
Huft!
Julia terkejut ketika tangan kekar menutup mulutnya dari belakang. Ia hampir menjerit dan ketika ia menoleh ke arah siapa yang sedang melakukan hal itu padanya, matanya mendelik. Herman meletakkan telunjuk di depan bibirnya memerintahkannya agar tetap diam. Ia mengangguk.
Herman menggandeng tangannya dan mengajaknya pergi meninggalkan rumah panggung itu diam-diam tanpa sepengetahuan Jayden dan Marta. Pria itu mengajak Julia ke tepi danau, sisi danau yang berbeda dengan sisi danau yang biasa dikunjungi oleh Julia.
"Mengapa kau mengajakku kabur?" tanya Julia ketika ia duduk di salah satu di tepi danau sambil membuka sepatunya. Herman menyeringai.
"Dasar bodoh! Bila kau berdiri terus di sana, kau akan ketahuan," desisnya. Julia mencelupkan kakinya ke danau dan memainkan air dengan kakinya.
"Aku tidak melihat alasan mengapa aku harus melarikan diri," sahutnya. Herman mengangguk, bibirnya mengerucut seolah mengejek.
"Apa kau kira mereka punya hubungan?" tanyanya. Julia memaksakan senyum hambar. Ia merasa seperti baru habis dicampakkan.
"Tanya saja pada dokter itu!" sahutnya ketus. Herman terkekeh. Keketusan dalam nada suara Julia makin menjelaskan isi hati gadis itu.
"Kau menyukai pada Bang Jay," tembak Herman langsung. Tidak ada nada bertanya dalam suaranya. Ia memvonis bukan bertanya.
"Kau gila!"
Herman menelengkan kepalanya ke kiri dan kanan sambil menatap gadis yang makin tampak kikuk itu. Kakinya menendang-nendang air danau seolah air danau itu yang membuatnya kesal.
"Kalau tidak menyukai Bang Jay, mengapa wajahmu seperti sedang ditendang kuda?"
"Herman!"
Herman terkekeh geli.
"Marta tidak akan menyukai pria playboy," tukas Julia.
"Darimana kau tahu?"
"Dia sahabatku, tentu saja aku tahu," balas Julia. Herman menggeleng.
"Darimana kau tahu kalau Bang Jay termasuk pria playboy?"
Julia terdiam, merasa tersudut dengan pertanyaan Herman. Darimana ia tahu? Ia tahu karena Jayden pernah mengaku kalau ia tertarik padanya tapi bagaimana mungkin ia mengaku pada Herman tentang hal itu.
Gadis itu mengibaskan rambutnya mencoba menghilangkan rasa gundah di hatinya. Herman masih menunggu jawabannya dengan mata nakalnya.
"Kalau itu... ah, entahlah hanya perasaanku saja kalau pria seperti dia pastilah playboy dan gemar mempermainkan perasaan orang," jawab Julia asal tapi kurang meyakinkan sampai Herman harus menyipitkan matanya seperti seorang polisi yang sedang menyelidiki tersangka.
Benarkah?
Julia mengangguk beberapa kali.
Hm...
Julia mengangguk lagi. Herman mengangguk-angguk tapi tetap menatap curiga padanya.
"Mengapa aku berpikiran sebaliknya ya? Andai aku punya kakak perempuan, rasanya akan tenang menyerahkan kakak perempuanku pada pria seperti Bang Jay," tukas Herman sengaja memancing amarah gadis itu. Julia langsung menendang kakinya ke air. Ia jengkel dengan pandangan Herman.
"Aku tidak setuju! Sebaiknya jika kau memiliki kakak perempuan, kau harus menyembunyikannya dari pria seperti itu!"
"Tidak masuk akal," desis Herman dingin. Julia menjentik dahi pria itu sampai ia mengaduh kesakitan.
"Sakit!"
"Agar otakmu bekerja sabagaimana mestinya!"
"Aku hanya berandai-andai mengapa kau sewot?" protes Herman sambil mengusap dahinya yang merah karena dijentik oleh Julia.
"Tidak kok!"
"Tidak menyukai Bang Jay?" selidik Herman lagi. Julia menatapnya dengan pandangan jijik. Pria itu terkekeh geli.
"Kalau kau sebut namanya lagi, akan kujitak kepalamu!" ancam Julia sebal.
"Kalau kau lakukan, akan kuberitahu pada Bang Jay kalau kita pacaran," balas Herman tak mau kalah.
"Bilang saja sesukamu," tukasnya tak bersemangat.
"Benarkah? Aku boleh bilang ke Bang Jay kita pacaran, Beib?" goda Herman. Gadis itu menoleh kepada Herman dan sambil mengibaskan tangannya ia menjawab, "Katakan saja."
Dan sejak kapan Herman memanggilnya Beib?
"Dia tak akan peduli."
***
Jayden mulai tak tenang. Sudah satu jam lebih ia menunggu Julia kembali tapi gadis yang ditunggu sama sekali belum tampak batang hidungnya. Ia tak bisa meninggalkan tugas membantu Marta memasak sup karena dialah yang menawarkan bantuan kepada gadis itu. Ia merasa tak enak meninggalkan gadis itu karena keadaannya yang masih belum fit. Meskipun begitu, ia tetap berada di dapur dan melakukan pekerjaan yang ringan.
"Dokter berdarah Indo?" tanya Marta memecah kesunyian antara mereka. Ia mengiris daun sop sambil duduk di salah satu kursi di antara empat kursi yang mengelilingi meja makan.
"Ya, ibuku keturunan Belanda. Boleh aku membantumu mengiris itu? Rasanya supnya sudah matang," tanya Jayden. Marta mengangguk. Jayden kemudian duduk di kursi yang berada di depan Marta dan sekarang mereka berdua berhadapan. Jayden mengambil alih pekerjaan Marta dan mulai memotong daun sop. Potongan daun sop yang dipotongnya rapi sepertinya ia sudah terbiasa memasak sendiri.
"M, di mana kau? Aku kembali," suara teriakan Julia membuat Jayden menghentikan kegiatannya. Tapi kemudian ia lanjut memotong daun sop seakan tak peduli.
Marta segera berdiri dan menyambut Julia.
"Aku di sini," jawab gadis itu. Suara langkah kaki Julia menuju dapur dan ia kaget karena melihat Jayden ada di sana. Jayden sama sekali tak mengangkat wajahnya, ia juga tidak berusaha menyapa gadis itu walaupun sebenarnya gadis itulah alasan ia masih berada di bolon.
"Ah, kau ada di sini, Dokter Jay," tukas Julia berusaha sedatar mungkin, menyembunykan segala perasaannya.
"Ya, aku menawarkan bantuanku pada Marta," jawab Jayden tak kalah datar.
"Eh, Dokter Jay datang karena ingin tahu keadaanmu."
Jayden menyesal mengapa Marta harus memberitahukan hal itu pada Julia terutama setelah ia tahu kalau di belakang Julia muncul Herman dan sepertinya mereka memang bersama.
"Halo, Bang. Tak kusangka kau bisa memotong daun sop," sapa Herman. Jayden tidak menoleh tapi alisnya berkerut hingga keduanya menyambung.
"Aku tinggal sendiri tentu saja harus bisa melakukan hal-hal ini," jawabnya.
"Ah, Dok. Tinggalkan saja pekerjaan itu. Bukankah seharusnya kau memeriksa kaki Julia?"
Jayden menoleh pada Marta.
Ia menoleh pada Marta tapi tidak padaku. Sejak aku tiba, ia sama sekali tak menatapku.
"Pergilah Dok. Urus pasienmu. Aku tidak ingin kakinya sampai meninggalkan bekas apapun," usir Marta. Jayden segera bangkit. Marta menyerahkan kain kering agar dapat dipakai oleh Jayden membersihkan tangannya. Lalu pria itu berjalan mendekati Julia.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya Herman pada Marta.
"Ah, bisakah kau membantuku mencuci piring?" tanya Marta.
"Oke! Dibayar dengan makan siang."
"Setuju."
Julia terpaksa mengikuti Jayden sampai ke ruang depan di mana Jayden meletakkan tas dokternya. Julia duduk di kursi kayu sederhana di ruangan itu.
"Ulurkan kakimu," perintah Jayden. Ia duduk di lantai kayu rumah panggung. Julia menurutinya. Tapi ia kaget ketika ia mengulurkan kakinya, Jayden menyambut kakinya. Sekarang kakinya berada di atas paha Jayden. Meskipun Jayden memeriksa luka di kakinya dengan gaya yang wajar tapi tetap saja wajah Julia memerah karena tangan Jayden menyentuh kakinya.
"Kau sedang menghindariku."
Dokter Jayden lebih banyak mengeluarkan pernyataan dari pertanyaan dari bibirnya. Dan semuanya itu menohok perasaan Julia. Gadis itu memberanikan diri menatap wajah Jayden dan sekarang pandangan mata mereka bertemu.
"Aku tidak sedang menghindarimu," balasnya.
"Kau mengabaikanku kemarin."
Julia menarik kakinya tapi Jayden menahannya.
"Kau yang mengabaikanku," sahut Julia.
"Apa hubunganmu dengan pria itu?"
Itu baru pertanyaan. Tetapi apa hubunganmu dengan Marta?
"Mengapa aku harus memberitahukanmu?"
Jayden tersenyum masam.
"Aku terganggu dengan kedekatanmu dengannya," akunya. Suaranya dingin sedingin air danau.
"Oh, tak perlu repot-repot, Dok. Aku dan Herman sama sekali tidak memiliki hubungan apa-apa selain berteman," sahut Julia.
Mengapa aku harus menjelaskannya padamu.
"Haruskah aku percaya?" tanya Jayden tak melepaskan tatapannya dari wajah gadis itu.
"Terserah padamu, Dok. Perlu kau tahu kalau aku sudah memiliki tunangan dan kami sudah berhubungan sejak lama. Keluarga kami sudah saling mengenal," kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Julia membuat Jayden terhenyak. Banyak kemungkinan mengapa Julia menolaknya tetapi ia tak pernah memikirkan alasan itu adalah karena gadis itu telah bertunangan.
Julia sudah bertunangan.
Gadis itu masih menatapnya. Menantang. Sementara ekspresi wajah Jayden menunjukkan seolah-olah ia telah tertelan paku di tenggorokannya. Julia berusaha menunjukkan mimik wajah tenang dan datar berbanding terbalik dengan hatinya yang serasa ditusuk oleh ribuan jarum.
"Pembohong!" desis pria itu.
"Kau boleh tanya pada Marta. Dia akan mengkorfimasikan kalau ini benar," jawab Julia.
Ah, bisakah pria ini berlalu saja dari kehidupannya supaya ia bisa dengan tenang melanjutkan hidupnya. Siapa yang butuh pria lagi setelah pria yang ia kenal hampir seumur hidupnya telah menusuknya dengan belati? Dan ia tak perlu memberitahu Jayden mengenai detil terperinci seperti itu.
Julia berharap Jayden tak pernah tahu kalau jantungnya saat ini berdentam begitu kuat hingga rasanya sakit. Ketika ia menemukan fakta kalau hatinya juga sakit ketika mengatakan kalau ia memiliki tunangan meski ia tidak jelas mengapa hal itu menyakitinya.
"Julia dengar..."
"Ayo kita akhiri..."
Jayden dan Julia sama-sama membuka mulut tetapi ketika mereka sadar suara mereka bertemu, keduanya saling menatap. Belum ada yang bicara dalam kurun waktu lima detik. Jayden mendesah.
"Maaf mengganggu."
Herman berdehem membuat Julia buru-buru menjauhkan diri dari Jayden. Ia menarik kakinya yang masih berada di pangkuan pria itu.
"Marta bilang makan siangnya sudah siap. Bang, Marta mengundangmu juga. Tidak baik tak menawarkan makan siang untuk orang yang sudah membantunya. Ayo!"
Julia menghembuskan nafas lega melihat Herman muncul di saat yang tepat meskipun Jayden tampak jengkel.
"Ah, oke," sahut Julia segera bangkit dan pura-pura tersenyum seceria mungkin. Ia tak ingin tampak patah hati. Ia juga tak ingin Herman mengejeknya lagi dengan mengatakan kalau ia menyukai Jayden.
Patah hati? Cih!
Bagaimana ia bisa patah hati kalau hatinya sudah dipatahkan Colin?
Ketika Julia hendak melangkah meninggalkan ruangan itu, Jayden menahan tangannya. Julia tersentak. Ia kuatir Jayden akan mengatakan hal-hal yang membuatnya menjadi ragu. Tapi di luar dugaan, Jayden tersenyum, matanya teduh menatap gadis itu.
"Temui aku besok di tepi danau," bisiknya. Kening Julia berkerut.
Aku tidak ingin menemuimu lagi.
Tapi ia tidak menyuarakan isi hatinya.
"Kita harus bicara."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top