5. Back To The Riverbank (Edited)

Dokter Jayden semakin tertekan karena terus diburu oleh pertanyaan Julia tentang kapan ia boleh kembali ke bolonnya karena ia ingin bergabung dengan Herman dan Marta yang telah mulai menjadi tenaga pengajar. Amang Pangulu memberi ijin mereka menggunakan ruangan kelas di sekolah sederhana pada siang harinya. Herman menjadwalkan hari Senin dan Rabu untuk anak-anak yang berusia tujuh sampai sepuluh tahu sedangkan Selasa dan Kamis untuk anak yang lebih besar. Khusus hari Jumat, Herman menjadwalkan kelas membaca jadi ia akan menceritakan sebuah cerita sederhana dalam bahasa Inggris dan menjelaskan artinya. Anak-anak segala usia boleh hadir di hari itu bahkan ada beberapa remaja juga datang di hari Jumat untuk mengikuti kelas membaca dalam bahasa Inggris.

Beberapa kali Marta dengan antusia menceritakan bagaimana anak-anak bersemangat mengikuti kelas itu membuat Julia makin penasaran dan ingin cepat-cepat ikut bergabung dengan Marta dan Herman.

Jayden tidak ingin gadis itu meninggalkan kliniknya. Seminggu bersama Julia sudah membuat ia terbiasa dengan kehadiran gadis itu. Ia hapal kebiasan Julia seperti ia terbiasa bangun pagi sebeum matahari terbit, ia gemar menghentakkan kakinya bila sedang kesal meskipun itu selalu berakhir dengan jentikan Jayden di dahinya karena menyakiti kakinya sendiri.

Kakinya yang terluka karena gigitan ular itu sudah pulih, ia sudah bisa berjalan meskipun masih harus tertatih-tatih. Hanya Jayden yang sengaja menahannya untuk keuntungannya sendiri. Para penduduk dan Amang Pangulu tidak menaruh curiga karena hubungan mereka tidak lebih dari dokter dan pasien. Mereka yakin Jayden akan melakukan hal yang sama jika ada penduduk yang digigit ular. Beberapa kali Amang Pangulu menjenguk Julia dan beliau mengatakan kalau ia merasa menyesal kalau Julia harus mengalami hal seperti ini. Dan Julia dengan sambil bergurau menjawab kalau ia mungkin pantas mendapat gigitan ini karena ia memang pengacau seperti yang dikatakan oleh Herman. Jayden hanya bisa menahan senyum mendengar kata-katanya itu.

Pagi itu, Jayden tahu kalau Julia sudah bangun. Ia mendengar langkah kaki diseret melewati kamarnya. Meskipun Julia sudah sudah terbiasa masuk ke ruangan manapun di rumah merangkap klinik milik Jayden tapi tetap saja kamar Jayden adalah teritori yang dihindarinya.

"Dokter Jayden," panggil Julia sambil mengetuk pintu.

"Aku masih tidur."

Julia meringis.

"Dokter Jayden, aku mau jalan-jalan. Terserah kau mau mengijinkan atau tidak. Aku tetap aku akan pergi," teriak gadis itu dengan nada keras.

Sial! Gadis keras kepala!

Tanpa berpikir dua kali, Jayden melangkah ke arah pintu dan membuka kenop pintu kamarnya. Julia hanya bisa bengong menatap pria itu tidak memakai atasan, memamerkan tubuhnya yang berotot.

"Kau sangat ribut!" ucap Jayden seperti terdengar marah.

"A-aku mau jalan-jalan. Aku bosan," ucap Julia berusaha tetap fokus pada wajah Jayden. Betapa ingin matanya melirik dada penuh itu. Ia mulai merasa kakinya lemas tak mampu menopang tubuhnya. Mungkin ia salah, ular sawah itu tidak menggigit salah satu kakinya tetapi telah menggigit keduanya.

Jayden menghembuskan nafasnya. Hembusan nafas wangi mint itu sampai di wajah Julia.

"Aku pergi, Dok," tukasnya sambil membalikkan badannya tapi Jayden menarik lengannya dan berkata, "Kita pergi bersama."

"Boleh aku kembali ke Bolon, Dok? Aku sudah cukup kuat. Kukira aku sudah bisa menjadi guru bagi anak-anak itu. Dan jangan kuatir, Dok. Aku akan menjaga diriku dan tak akan digigit oleh ular kedua kalinya."

Jayden tidak menjawab pertanyaan dari gadis itu tapi ia maju selangkah dan selangkah lagi dengan langkah mantap, mendesak gadis di depannya sampai ke dinding yang memisahkan bagian dalam rumah dengan ruangan klinik. Julia menyeringai lemah ketika Jayden mengangkat tangannya menghalangi Julia bergerak ke manapun. Ia terjebak dalam arti harfiah. Ia terjebak dalam mata Jayden yang teduh dan biru. Ah, ia terperangkap.

"Gadis cerewet, keras kepala, pengganggu!"

Begitukah pandangan Jayden terhadap dirinya? Cerewet, keras kepala, juga pengganggu. Julia mulai berpikir apa yang membuat Jayden merasa terganggu. Apa kehadirannya di klinik membuat Jayden merasa terganggu? Lalu mengapa dokter itu masih saja menahannya di sini?

"A-aku pengganggu?"

Jayden menatap gadis itu dengan muram.

"Kalau aku pengganggu, kenapa tidak kau ijinkan saja aku kembali ke tempatku?"

Masih dengan muram, pria itu mencibir. Julia tahu benar ia sedang mencibir karena bibirnya melengkung, kumis tipisnya ikut tertarik ke atas. Kumis tipis yang sengaja tidak pernah dicukur rapi itu seperti bingkai yang menghiasi bibirnya.

"Sudah terlambat," bisiknya parau. Julia merasa gugup mendengar nada suaranya yang begitu padahal ia tahu pasti kalau ia bukanlah type wanita penggugup. Ia merasa pertahanannya makin lama makin lemah dan dalam kebingungan ia masih berusaha untuk tetap bersikap sengit.

"M-mengapa kau berbisik padaku?"

"Naif. Masa kau tidak sadar kalau aku sedang merayumu?"

Jayden tersenyum. Ah, dia benar-benar tahu kapan harus tersenyum dan gadis di depannya ini akan meleleh seperti es krim yang berada di tangannya. Oh, tidak! Lebih seperti lelehan magma panas dari gunung berapi.

Julia bergidik. Diakui atau tidak, Jayden telah membuat sistem syaraf yang selama ia hidup ini tidak berfungsi menjadi bekerja sebagaimana mestinya. Lalu di mana bagian Colin?

Sekarang ia hanya bisa menyalahkan Colin karena dirinya ia harus bertemu dengan pria dengan daya tarik kuat seperti Jayden.

Pria Bodoh!

Perut Julia merasa kejang.

Sial!

Kalau Jayden terus-menerus menebarkan daya tariknya, Julia yakin tidak lama lagi ia akan mati karena serangan jantung. Lebih baik ia segera menyingkir. Ia masih ingin hidup dengan jantung yang sehat dan kuat.

"Jadi, mau tidak kau terus kurayu?"

Pertanyaan itu malah makin membuat Julia syok. Siapa yang bisa bertahan dengan rayuan pria dengan mata teduh yang memiliki suara khas didukung oleh tubuh tanpa gumpalan lemak? Dam sekarang sedang setengah telanjang dan memerangkapnya dengan kedua lengannya yang berotot.

"Apa kau mengalami benturan di kepalamu tadi?" tanya Julia kaku. Jayden mendesah.

"Aku mengalami banyak benturan sejak kau berada di sini," jawabnya. Tangannya terulur mengusap rambut di kening Julia dengan sapuan lembut. Tangannya kapalan, Julia merasakannya, mungkin karena ia bekerja memegang cangkul, ia juga mencuci pakaiannya sendiri, ia juga membersihkan rumahnya sendiri tapi Julia menyukai tangan pria itu. Kasar dan kuat. Tidak seperti tangan-tangan pria kota yang tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Jayden mendekatkan kepalanya. Semula gadis itu mengira Jayden akan menciumnya. Bau khas pria itu begitu dekat dengan hidungnya. Ia tidak memakai parfum. Lagipula di mana ia bisa membeli parfum di pulau ini tapi ia memiliki bau pria sejati, bau keringat bercampur dengan sabun mandi dalam bentuk batangan yang ada di kamar mandinya.

Pria itu tidak mencoba menciumnya lagi sejak kejadian di pondok itu dan sekarang ia berbisik, begitu dekat di telinga Julia bahkan nyaris bibirnya menyentuh telinga gadis itu.

"Kau tahu sebenarnya sejak awal sudah tertarik padamu."

Mata Julia mendelik.

Tidak mungkin.

Jayden sudah menarik diri tapi tetap menahan Julia dengan tangannya berada di dinding. Gadis itu tidak bisa pergi menghindar selain diam di tempatnya dan membalas tatapan Jayden. Kalau ia bergerak sedikit saja, kulitnya akan bersentuhan dengan kulit Jayden. Dan itu adalah hal terakhir yang diharapkannya.

Jantungnya benar-benar serasa akan meloncat keluar. Jayden baru saja mengakui kalau ia menyukai Julia sejak mereka bertemu di tepi danau. Itu membuat Julia sulit mempercayainya. Sikap Jayden saat itu jauh dari kesan tertarik pada gadis itu. Jayden cenderung bersikap memusuhinya dan menganggapnya pengganggu.

"Baru pertama kali aku bertemu dengan pria yang mengaku tertarik tapi bersikap bermusuhan," bantah Julia. Sikap malu-malu sama sekali bukan dirinya jadi sekalian saja ia mengatakan apa yang ada di pikirannya. Dagunya terangkat menantang dokter itu sambil terus meyakinkan dirinya kalau ia tidak perlu terlibat lagi dalam hubungan romantis seperti ini. Jayden hanya kebetulan dokter yang menolongnya dan ia tidak akan tergantung padanya. Begitu kakinya sembuh ia akan pergi dari kehidupannya.

Ia terus menyuarakan itu dalam otaknya.

"Tidak mau pacaran denganku? Aku dokter, memiliki wajah yang tampan, aku pria dewasa yang bisa membahagiakanmu," ucapan Jayden membuat gadis itu terbahak. Masih ada orang yang mengajak wanita pacaran dengan gaya penuh percaya diri dan arogan sepertinya. Julia memukul-mukul bahu kokoh pria itu sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba mules.

"Kau benar-benar memiliki selera humor yang aneh!" omel Jayden jengkel. Tetapi gadis itu masih saja tertawa.

"Kalau kau tertawa lagi, kau akan kucium," ancamnya.

Ancamannya efektif. Julia segera menutup mulutnya dan menghentikan tawanya. Dicium Jayden mungkin adalah lebih mengarah ke hukuman yang menyenangkan daripada menyebalkan tetapi itu akan membuat dia semakin terjerat dalam pesona pria itu. Dan seperti yang sudah diingatkan otaknya, ia tidak ingin terjebak dalam hubungan romantis di mana hubungan yang sebelumnya saja belum beres.

"Dokter, kuaui kalau kau memang priayang memiliki potensi."

Bagi Jayden itu adalah sebuah awal penolakan.

Tetapi.

"Aku ya, masalah sebenarnya ada padaku. Aku sedang tak ingin memiliki hubungan romantis. Aku berlibur ke desa ini untuk berpikir tentang masa depanku. Apa aku akan tetap menjadi penulis atau aku akan tetap bekerja. Aku sama sekali tidak berniat berhubungan dengan pria," ucap Julia dan dia berbohong. Ia merasa bersalah karenanya. Tetapi juga merasa kalau Jayden tidak perlu tahu masalahnya dengan Colin.

Untuk alasan apa ia menyembunyikan masalah ini? Ia belum menemukan jawabannya. Ia juga kesal karena itu.

Aku pria dewasa yang bisa membahagiakanmu.

Kata-kata Jayden itu cukup menggoda perasaannya. Dia benar-benar terusik dengan pria ini.

Jayden menengadah sedikit kesal mendengar penolakan dari bibir Julia. Namun ia adalah pria yang memiliki harga diri yang tinggi, ia tak akan merengek pada wanita itu jika memang wanita itu tak menginginkannya.

Ah, sekarang pun Julia sudah mulai menyesal.

Jayden menunduk lagi. Kali ini agal mundur sehingga Julia bisa bergerak bebas lagi.

"Ayo, kita jalan-jalan ke danau sebelum kau kuantar pulang," bisiknya lembut. Jantung Julia mendadak seperti jatuh ke dasar. Ia tak mengangka kalau Jayden akan secepat ini menyerah. Paling tidak beberapa kata lagi.

"Pulang ke bolon?" tanya Julia memastikan. Ia benar-benar bingung sekarang. Ia juga bingung dengan perasaannya yang tiba-tiba serasa dihempaskan begitu saja. Dan rasanya begitu menyebalkan melihat pria itu malah tersenyum.

"Kau mau pulang ke Jakarta atau ke bolon?"

Julia tahu pria itu sebenarnya berniat bercanda tetapi baginya candaan seperti itu sama sekali tidak lucu dan tidak bisa membuatnya tertawa apalagi ia merasa baru saja dibuang.

Bukankah aku yang tadi menolaknya?

Sementara Julia masih bingung dengan perasaannya, Jayden masuk ke kamar mengambil t-shirt hitamnya lalu menyambar tangan gadis itu begitu saja. Ia menggandeng tangan Julia meninggalkan kliniknya, menyusuri jalan setapak dengan santai yang meskipun santai tetap saja langkahnya panjang. Langkah Jayden lebih panjang dari orang normal. Namun kemudian Jayden menyadarinya, ia mengatur langkahnya hingga Julia bisa tetap berjalan di sisinya sampai mereka tiba di tepi danau, tempat mereka bertemu pertama kali. Tangannya masih tetap menggenggam tangan Julia. Gadis itu curiga kalau apapun yang disentuhnya pasti akan terbakar seperti kulit tangannya yang sedang bersentuhan dengan kulit Jayden.

Lama-kelamaan aku bersamanya, aku akan berakhir menjadi abu.

"Lihat itu pelangi!" tukas Jayden sambil menunjuk ke arah danau. Julia menoleh ke arah danau yang ditunjuk Jayden. Jayden benar. Ada pelangi di tengah danau itu.

Benar-benar sangat indah. Danau berwarna hijau itu membiaskan warna-warna pelangi itu membuat warna itu memantul dalam air. Julia tersenyum melihat keindahan itu.

Jayden hanya menatapnya, ia tidak tertarik pada pelangi. Ia saat ini hanya tertarik menatap senyum itu.

Aku tidak berjanji untuk menyerah soal dirimu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top