4. Heartbeat (Edited)
Jayden duduk di sisi ranjang di mana gadis ini berbaring. Ia masih saja menggigil. Pria bermata biru dan sayu mennarik tangan Julia dan menggenggamnya dengan erat.
"Halo, perkenalkan, namaku Jayden. Dr. Jayden van der Lijn," bisik Jayden rendah. Ia sadar ia telah melewatkan salam perkenalan ini ketika keduanya pertama kali bertemu di danau itu. Jayden mengusap kening gadis itu. Ia masih saja sangat manis meski wajahnya pucat.
Bibir kering itu merintih. Jayden mendekat.
"Apa yang kau rasakan?" bisiknya lembut. Ia menggigil.
"Kau kedinginan?"
Jayden memerika selimutnya lagi dan menggosok-gosokkan tangan gadis itu seakan ia bisa memindahkan panas di tubuhnya melalui tangannya.
"Kau akan baik-baik saja, Julia," bisiknya lagi. Jayden sadar inilah pertama kali ia mengucapkan nama Julia. Bibir Julia bergerak. Jayden mendekatkan telinganya.
"..Col...in," bisiknya. Jayden mengerutkan keningnya tanda tidak suka.
Colin? Colin!
Jayden melihat air mata mengalir di sudut mata Julia. Tanpa dapat dicegah ia mengulurkan tangannya menghapus genangan air itu di wajah Julia.
"Apa yang mengganggumu? Apa yang sedang kau pikirkan, Mooie Vrouw?" bisiknya pelan. Jayden mengambil handuk mengeringkan keringat di dahi gadis itu. Ia mendengar gadis itu terisak dalam tidurnya.
"Sstt.... stop crying," bisik Jayden sambil menggenggam tangannya yang dingin. Ia mengusap wajah gadis itu dengan lembut.
Bibir gadis itu bergerak lagi. Jayden sadar kalau bibir itu terlalu kering. Ia meninggalkan Julia untuk pergi ke dapur sebentar dan kembali dengan madu di cangkirnya. Lalu dengan lembut ia mengoles bibir itu dengan madu.
Jantung Jayden berpacu cepat, udara pulau yang biasanya dingin malah membuatnya kepanasan, darahnya berdesir. Sebagai dokter yang semula merencanakan akan mendalami spesialis jantung, ia agak kurang paham mengapa jantungnya bisa berdetak lebih kencang saat ia bersama gadis ini.
***
Julia tidak tahu berapa lama ia sudah tertidur atau pingsan. Ia tidak jelas. Yang ia tahu adalah ia bermimpi sedang bermain di danau dan bertemu dengan seseorang ksatria berbaju zirah. Ia kira itu Colin. Namun ketika ksatria berpakaian mengkilap ala prajurit Romawi itu membalikkan badannya, Julia tidak yakin lagi. Wajahnya tampak begitu familiar. Bisa dibilang, ia lebih cocok menjadi bajak laut daripada memakai baju zirah.
Pria itu memanggil namanya.
"Julia."
Gadis itu terkejut. Nada suara ini berbeda dari biasanya. Biasanya suara itu tajam dan dingin menusuk tapi kini suara lembut dan dalam.
"Uhuk!" Julia terbatuk.
Ia memaksa membuka matanya perlahan-lahan.
Dan yang pertama dilihatnya walau tampak samar adalah mata biru yang agak suram itu sedang menatapnya. Julia mengerjap beberapa kali. Ia pasti bermimpi.
"Kau sudah bangun?" tanyanya setengah berbisik.
Julia berusaha menjawab tapi suaranya tidak mau keluar.
Ia menuangkan minuman ke dalam gelas dan membantu Julia duduk dan minum.
Mengapa seakan bisa membaca pikiranku?
Mulut Julia bergerak lagi, ingin mengucapkan terima kasih namun tetap ia terlalu lemah untuk berbicara. Pria itu hanya tersenyum menatap Julia pertanda mengerti.
"Toi...letttt," bisik Julia pelan hampir tak terdengar. Jayden mendekat.
"Oke," jawabnya.
Ia meletakkan tangannya di punggung Julia. Lalu ia mengangkat tubuh Julia. Wajah gadis itu memanas. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Jayden akan membawanya dengan cara seperti ini. Tapi Julia terlalu lemah untuk protes. Ia juga tidak bisa menggumamkan terima kasih ketika Jayden mendudukkannya di atas dudukan toilet dan berkata, "Aku tunggu di luar. Kalau kau selesai, buat saja suara jika kau terlalu lemah untuk memanggilku. Dan ingat, jangan kunci pintunya. Aku tidak mau kau pingsan di dalam dan aku harus mendobrak pintunya. Mengerti?"
Julia hanya mengangguk supaya pria itu segera meninggalkannya.
"Jangan terlalu banyak bergerak," pesannya lagi. Julia mengernyit.
Mengapa dia jadi cerewet?
Tapi karena kondisinya tak memungkinkan ia bersuara, jadi lagi-lagi ia mengangguk.
Pria itu akhirnya meninggalkan Julia di toilet. Dan gadis itu mulai mengingat sedikit demi sedikit apa yang terjadi dengannya kemarin. Ia sedang bersandar di pohon sambil mengumpati Colin brengsek ketika ular sialan itu menggigit kaki kirinya.
Colin dan ular itu sama saja! Sama-sama bedebah sialan!
Julia masih saja mengumpat terus meskipun dalam hati. Menyumpahi Colin supaya hari ini ia mengalami patah tulang kaki dalam perjalanannya menuju kantor, menyumpahi perempuan siluman yang menjelma dalam bentuk asistennya. Ah, jika saja saat bertemu si ular itu ia bisa berbahasa basilisk, ia akan merayu ular itu agar menggigit Colin.
Khayalan yang kekanak-kanakan.
Tapi ia berjanji dalam hati, ia akan membuat Colin menerima konsekwensinya jika nanti bertemu dengannya. Karena Colin telah membuatnya seperti ini.
Apapun itu, tunggu saja!
Ia tersenyum kecut dan berpikir bagaimana caranya ia membalas dendam jika menggerakkan kakinya saja ia tidak bisa. Apa ia akan pincang selamanya dan merangkak menemui Colin dalam keadaan seperti ini?
Oh tidak!
Ia akan menemui Colin dengan kepala tegak. Pasti!
Julia segera mengenyahkan pikirannya yang melayang soal mantan tunangannya itu. Ia bersyukur kalau ia tidak perlu sampai melangkah ke pernikahan bersama si penghianat. Ia tak berani membayangkan kehidupannya jika menikah dengan pria itu.
Julia mencoba tersenyum mengingat hal baik itu. Lalu ia membuka kran air di sampingnya dan membasahi wajahnya. Air hangat dari kran itu membuatnya sedikit terkejut. Ia telah bersiap memperoleh air dingin tetapi yang keluar malah air hangat. Ia mengedarkan pandangan di sekelilingnya. Ia baru menyadari kalau sekarang ia berada di dalam kamar mandi yang sangat modern. Warna biru dan putih mendominasi kamar mandi yang berukuran 2 x 2 meter. Tidak ada bak penampung air hanya menggunakan shower lengkap dengan pemanas listrik di atasnya. Dan Julia menyadari kalau ia sedang duduk di atas dudukan toilet. Kamar mandinya tidak menggunakan toilet jongkok. Sungguh desain yang terlalu modern untuk ukuran desa kecil.
Tiba-tiba Julia teringat akan Marta. Apa Marta tahu kalau ia berada di tempat ini? Marta pasti sangat menguatirkan keadaannya.
"Julia, kau sudah terlalu lama. Boleh aku masuk?"
Julia menelan ludah. Suara di depan kamar mandi itu terdengar begitu menguatirkan keadaannya. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong suaranya yang berada di ujung kerongkongannya.
"Y-ya," jawabnya parau.
Pintu langsung terbuka.
"Kau oke?" tanyanya berdiri menjulang di pintu tapi ragu untuk melangkah masuk. Julia mengangguk.
"Aku akan membawamu ke luar," tukasnya seolah ia menunggu Julia memberinya ijin untuk masuk. Julia lagi-lagi mengangguk lemah.
Jayden mendekati Julia. Untuk kedua kalinya ia meletakkan tangan Julia di bahunya dan dengan enteng mengangkat tubuh yang lemah itu kembali ke tempat tidur pasien. Julia menyalahkan dirinya sendiri karena merasa nyaman dalam gendongan Jayden. Dan ia menyalahkan gigitan ular atas suhu tubuhnya yang tiba-tiba tinggi.
"Kau lapar? Aku telah membuatkan susu hangat untukmu."
Wajah Jayden hanya beberapa sentimeter dari wajah Julia. Julia tidak berani menoleh ke arahnya karena jika ia bergerak sedikit saja, ia akan tersedot dalam daya magis yang ada di dalam mata biru itu.
Jayden bergerak mundur sehingga Julia akhirnya bisa bernafas dengan normal. Ia mundur untuk mengambil segelas susu yang ada di meja di samping tempat tidur Julia. Jayden menyodorkan bibir gelas ke bibir gadis itu tetapi Julia tidak mau tampak tak berdaya, berusaha menerima gelas dari tangan Jayden dan kulit tangan keduanya bersentuhan. Julia tersentak karena sentuhan yang tidak disengaja itu lalu menoleh kepada Jayden sementara Jayden tersenyum hangat padanya sehangat tangannya yang baru menyentuh tangan Julia. Julia buru-buru menunduk dan menegak susu di gelasnya.
"Hati-hati panas!"
"Uhuk!"
Jayden meringis karena terlambat mengingatkan Julia. Susu yang baru saja diminum Julia dimuntahkan sehingga membasahi wajah Julia. Tanpa ragu Jayden menggunakan ujung lengan jaketnya mengeringkan tumpahan itu.
"Terlalu panas? Maafkan aku," gumamnya. Julia memalingkan wajahnya, menolak perlakuan Jayden yang makin membuat darahnya berdesir.
"Kena tanganmu?" tanya Jayden. Ada nada kuatir dalam suaranya yang khas itu. Julia menggeleng. Jayden menarik tangan Julia dan memeriksa kulit tangannya yang agak memerah. Sentuhannya membuat Julia merasa pusing tapi bukanlah rasa yang menyakitkan, hanya rasanya ia ingin terbang seperti burung dan merasa bebas.
"Dokter Jay!" panggil seseorang di luar. Tangan Julia terlepas dari tangan Jayden.
Dia dokter?
Julia mencuri pandang ke arah Jayden.
"Tunggu sebentar!" pesannya lalu meninggalkan Julia dalam keadaan penasaran mengapa pria itu dipanggil dokter oleh seseorang di luar sana.
Benarkah pria itu adalah dokter? Jadi ia pasti dibawa oleh seseorang ke tempat ini. Dan pria inilah yang merawatnya kemarin malam.
Julia masih memiliki puluhan pertanyaan berkecamuk di dalam otaknya ketika Jayden kembali tapi kali ini bersama Marta dan Herman.
Dilihat dari wajah Marta, gadis itu pastilah tidak nyenyak tidur karena memikirkan keadaan Julia. Julia senang sekali melihat Marta tapi ia sama sekali tidak bisa mengucapkan apapun. Hanya pandangan matanya yang menunjukkan betapa bahagianya dia.
"J, kau sudah sadar? Syukurlah!" tukas Marta sambil memeluk Julia dengan erat. Dipeluk demikian erat oleh Marta membuat Julia terbatuk dan meringis.
"Ah, maafkan aku. Masih sakit?"
Julia berusaha memaksakan seulas senyum hanya untuk menegaskan dirinya baik-baik saja pada Marta. Marta melirik Jayden meminta penjelasan tentang keadaan sahabatnya.
"Ia masih lemas. Baru saja hendak minum susu sebelum kalian datang," tukas Jayden. Marta menggenggam tangan sahabatnya.
"Kau membuatku kuatir. Bagaimana bisa ular itu menggigitmu?" tanya Marta sambil menatap Julia.
"Ular itu mungkin berpikiran sama denganku kalau gadis ini adalah pengacau," tukas Herman dan karena ucapannya yang tidak pikir panjang, Marta menghadiahkan tatapan membunuh padanya yang membuatnya langsung terdiam. Jayden menelan senyumnya kembali.
"Tadi pagi aku masak bubur untukmu. Apa ia boleh makan bubur, Dok?" tanya Marta sambil beralih pada Jayden. Jayden mengangguk. Gadis itu lalu meminta ijin pada Jayden untuk menggunakan dapurnya supaya ia bisa memanaskan bubur untuk sahabatnya.
"Apa kita perlu membawanya ke rumah sakit terdekat?" tanya Herman pada Jayden ketika Marta sudah kembali sambil membawa bubur yang dihangatkannya. Marta duduk di sisi Julia sambil menyuapinya. Tapi kelihatannya gadis keras kepala itu menolak untuk disuap, ia berkeras ingin makan sendiri.
"Aku rasa tidak perlu. Ia sudah tidak apa-apa. Tapi ia masih bisa merasa sakit di bagian yang digigit itu," jawab Jayden.
"Benarkah? Itu tidak akan menimbulkan cacat permanen kan?" tanya Herman lagi. Marta bergidik.
"Jangan menakut-nakutinya," bentaknya pada Herman.
"Hei, aku hanya bertanya," balas Herman sengit.
"Kau bukannya menanyakan pertanyaan berbobot tapi malah membuat orang semakin kuatir," tukas Marta kesal. Jayden benar-benar ingin sekali mengusir kedua orang ini yang bertengkar layaknya pasangan suami istri karena suara berisik mereka menambah rasa pusing di kepalanya akibat tidak tidur semalaman. Ia pikir kalau saja Marta bukan sahabat Julia, kalau saja Herman bukan orang yang membawa Julia ke klinik maka tak ragu lagi ia akan mengusir mereka berdua dan mengatakan waktu berkunjung sudah habis lalu membanting pintu di depan wajah mereka.
"K-kapan p-pertengkarannya akan berakhir?" tanya Julia berupa gumaman. Jayden menoleh pada gadis itu karena ini merupakan pertama kali sejak pingsan ia mengucapkan sebuah kalimat panjang meski dengan suara yang masih lemah. Marta juga menoleh padanya.
"Kau ingin menambah buburnya?" tanyanya. Julia menggeleng.
"A-aku k-kenyang dengan suara ribut," jawabnya. Herman menyeringai tajam. Marta mengambil mangkuk bubur dari tangan Julia kemudian Jayden memeriksa suhu tubuh Julia dengan memegang dahinya.
"Kau masih demam," tukasnya.
"Aku bawa baju ganti," ucap Marta tanpa ditanya. Jayden mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"B-boleh a-aku p-pulang sekarang?" tanya suara keras kepala itu mengejutkan semua orang. Meskipun Jayden sedikit lega mendengar suara kuat itu yang artinya ia sudah pulih tapi tetap saja pertanyaan itu sangat membuatnya tidak nyaman.
"Hei, Nona Pengacau!"
"Kau tak boleh ke mana pun," suara Jayden dan suara Herman bertabrakan. Sekarang Julia menatap Jayden sengit sedangkan Jayden dan Herman saling berdiri berhadapan. Jayden menatap Herman dengan tatapan menyelidiki sedangkan Herman menantangnya dengan seringai tajam. Saat itu, Jayden rela membayar mahal dengan apapun hanya untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh Herman.
Suara batukan Marta menyadarkan keduanya meskipun Jayden masih saja merasa penasaran dengan Herman.
"K-kau b-bilang a-aku tak boleh ke mana pun?"
Jayden menatap gadis yang masih pucat itu.
"Pasien syok karena gigitan dari binatang berbisa tidak boleh bergerak. Aku tidak mau mengambil resiko memindahkan kau ke mana pun," jelasnya. Lalu ia melirik Herman dengan ekor matanya yang tajam. Tapi sungguh di luar dugaan kalau Herman juga mengangguk dan menyetujui pendapat sang dokter.
"Aku tidak mengerti ilmu kedokteran tapi rasanya terlalu beresiko memindahkan gadis pengacau ini. Sebaiknya kau memang tidak ke mana-mana sampai lukamu sembuh," tukas Herman.
"A-aku tidak b-butuh pendapatmu!" seru Julia ketus. Herman terkekeh.
"Paling tidak, ia sudah cukup kuat untuk bertengkar. Hei, kau bahkan belum mengucapkan terima kasih pada kami berdua!" seru Herman. Julia masih memberinya tatapan horor. Herman pura-pura bergidik ketakutan lalu terkekeh geli lagi.
"Herman yang membawamu kemari dan Dokter Jayden yang menyelamatkanmu, Julia. Jadi jangan bersikap seperti itu pada dua penolongmu," Marta mengingatkan. Julia menarik nafas panjang. Ia pikir Marta benar, kalau saja tidak ada Herman yang menemukannya pada saat yang tepat dan membawanya ke klinik, maka ia sendiri tak bisa membayangkan hal buruk apa lagi yang akan menimpanya.
Sambil menunduk ia berkata dengan lemah, "M-maaf.... dan t-terima kasih..."
Lirih dan tak berdaya dan itu membuat Herman tersenyum penuh kemenangan.
"Apa kita perlu menghubungi keluarganya?" tanya Jayden pada Marta. Julia menatap Marta dengan tatapan memohon, Marta juga seakan terperanjat dengan pertanyaan Jayden.
Paman dan bibi Julia tidak tahu kalau Julia berada di sini dan mereka juga tak perlu dikabari kalau keponakannya digigit ular dan sedang terbaring di ranjang, pikir Marta.
"T-tidak p-perlu."
"Ehm... Bukankah tadi Dokter bilang Julia akan pulih? Kita tak perlu membuat keluarga Julia kuatir," tambah Marta agak gugup. Jayden menyipitkan matanya menatap Julia. Ia merasa aneh dengan gelagat kedua gadis ini yang agak mencurigakan. Ia yakin kalau semua itu berkaitan dengan alasan kedua gadis ini berada di desa ini. Jayden bertekad kalau ia akan mengorek lebih banyak lagi informasi dari Julia bila mereka ditinggal oleh Herman dan Marta nantinya.
"Berapa lama aku di sini?" tanyanya menatap lurus pada Jayden.
Selamanya.
"Tergantung bagaimana kondisimu nantinya," jawab Jayden.
"Ya, aku yakin aku akan pulih secepatnya."
Jayden mengangkat bahunya.
Well, jangan terlalu yakin.
"Tentu saja, aku Dokter yang hebat," jawabnya.
"K-kau s-sama sekali tidak mirip Dokter."
Apa?
Jayden berusaha tetap tenang.
"Kenyataannya begitu," jawabnya kalem. Herman mendehem.
"Awalnya memang kukira kau bukan dokter, Bang . Malah kukira kau preman soalnya begini, tattomu menyeramkan," tukasnya.
"TUTUP MULUTMU!!!"
Herman terkekeh geli.
***
"Kau akan terus berada di sini?" tanya Julia ketika dirinya sudah ditinggal pulang oleh Marta dan Herman. Jayden masih berada di ruangan itu, ruangan kecil tempat prakteknya di mana Julia akan tidur di sana.
Pria itu sedang menekuni buku dan ia mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan dari Julia.
"Apa kau akan terus berada di sini?" Julia mengulangi pertanyaannya. Pria itu tersenyum.
"Kenapa?" tanyanya sambil mencibir.
Kenapa mulutnya harus mencibir terus seperti itu? geram Julia dalam hati.
"Maaf, kalau boleh kuingatkan ini adalah ruang praktekku, ruang kerjaku," jawabnya. Dan Julia makin kesal dengan jawabannya. Bagaimana ia bisa tidur dengan nyenyak jika pria dengan mata biru ini berada di ruangan yang sama dengannya.
Pria itu kembali membaca bukunya. Julia berpikir mungkin ia akan bisa tidur jika ia membaca buku juga sampai kantuk menyerangnya dan ia akan tertidur sendirinya jadi ia tak perlu merasa jengah berada satu ruangan dengan pria ini. Ia merasa ini ide yang sangat bagus.
"Boleh kupinjam salah satu bukumu? Aku tidak bisa tidur. Mungkin setelah membaca, aku bisa tidur."
Jayden mengangkat kepalanya, menatap tajam pada Julia. Julia mengerjap hanya untuk memutuskan kontak mata dengan pemilik mata biru itu. Entah mengapa rasanya ia bisa berenang dalam keteduhan mata itu meskipun mata itu juga gelap.
Argh!
Julia merasa kesal. Mengapa rasanya ia kehilangan akal hanya dengan menatap mata itu? Ia yakin dirinya sekarang mengalami shock mental karena digigit binatang melata. Kalau saja ia bisa menyerudukkan kepalanya ke tembok saat ini untuk mengembalikan akal sehatnya pasti ia akan melakukannya.
"Aku tidak punya novel untuk kau baca. Kalau kau berniat membaca buku kedokteran, aku bisa mengambilkannya untukmu," tukas Jayden. Julia menyeringai.
Bagus, aku akan mengantuk setelah membaca dua lembar.
"Itu boleh juga," jawab Julia. Jayden meletakkan bukunya lalu berdiri dan mendekati rak buku di sisi kanan mejanya. Ia mencari-cari buku yang paling ringan agar orang biasa yang tidak mendalami kedokteran seperti Julia bisa mengerti membaca buku itu.
"Lihat apa yang kupunya untukmu," gumam Jayden masih sambil membaca judul-judul bukunya. Matanya berhenti pada salah satu judul buku yang diletakkan paling atas dan paling ujung di antara buku-bukunya. Ia berpikir bagaimana buku itu bisa berada di sini. Tangannya menjangkau buku itu.
"Kau beruntung sekali. Ternyata ada ini dalam rak bukuku," tukas Jayden sambil menyerahkan buku yang ada di tangannya kepada Julia. Mata Julia bersinar ketika melihat sampul buku itu. Tepatnya novel.
Novel dengan nama pengarang Julie Winata. Nama yang dipakainya sebagai penulis dan novel itu adalah novel pertamanya yang diterbitkan beberapa tahun lalu sebelum ia menjadi editor di majalah kesehatan wanita itu. Bibir Julia langsung menyunggingkan senyum menerima novel itu.
"Pria juga gemar membaca novel?" tanyanya sambil melongok novel cover putih dan biru itu. Jayden mengedik sambil melirik buku itu seolah buku itu bukan barang yang penting.
"Bukan milikku. Hanya terbawa saat aku pindah ke sini."
Senyum Julia langsung menghilang dari wajahnya. Disembunyikan rasa kecewanya dan menghibur diri kalau jarang ada pria yang membaca novel.
"Aku tak pernah tertarik membaca buku lain selain buku kedokteran," tambahnya menambah rasa kecewa di hati Julia.
"Aku tahu!" seru Julia galak berharap Jayden segera meninggalkannya tapi pria itu bukannya pergi menjauh malah membantu Julia menumpuk bantalnya agar ia bisa bersandar dengan nyaman sewaktu membaca. Perhatian seperti ini membuat gadis itu jengah.
"Nyamankah sandarannya untukmu?" tanya Jayden. Suaranya rendah dan tertahan.
Mengapa ia harus bertanya dengan nada seperti itu?
Julia mencoba bersandar hanya untuk menghindari kedekatan mereka. Tubuh Jayden yang tinggi memancarkan aroma maskulin dan membuatnya kepanasan. Julia heran bagaimana seorang pria yang masih asing baginya bisa membuat hatinya berguncang seperti itu. Akhirnya terus menjadikan gigitan ular sebagai alasannya. Tidak mungkin ia menyukai pria yang tidak dikenalnya. Apalagi wajahnya membuat orang yang melihatnya merasa takut. Wajahnya seram.
"Begini, oke?" tanya Jayden sambil menepuk-nepuk bantal di belakang Julia.
Pergilah!
"Oke, Dok. Sekarang kalau tidak keberatan, aku ingin membaca novel ini."
Pergilah, kumohon!
"Panggil saja jika kau butuh sesuatu," gumamnya.
"T-terima kasih," balas Julia. Ia sadar ada nada gugup dalam suaranya dan ia berharap kalau Jayden sama sekali tidak menyadarinya.
Jayden mengangguk kemudian membenarkan letak selimut Julia sebelum berbalik kembali ke kursi yang semula didudukinya.
Julia membuka lembar pertama novel hasil tulisannya sendiri. Ia tersenyum membaca prolognya. Dulunya waktu ia kecil, ia gemar menulis puisi lalu dikirim ke majalah sekolah, guru-guru dan teman-temannya menyukai hasil karyanya. Setelah remaja, ia beberapa kali mengirim hasil tulisannya di beberapa majalah. Lebih sering ditolak daripada diterima sampai ia bertemu dengan seorang guru yang bernama Pak Masrin. Guru Bahasa Indonesianya ini yang selalu menyemangatinya untuk terus berusaha memperbaiki tulisannya bahkan tak jarang Pak Masrin menjadi editor pribadinya. Ketika akhirnya di usianya yang keduapuluh empat, sebuah penerbit menerima tulisannya dan mencetaknya dalam bentuk novel. Julia menuliskan nama Pak Masrin sebagai orang yang berjasa baginya di lembar ucapan terima kasih.
Julia bahkan sempat bertemu dengan Pak Masrin dalam reuni sekolahnya dua tahun lalu. Pak Masrin mengucapkan terima kasih telah dihadiahkan novel olehnya. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang membagikan kartu nama dalam reuni, Julia membagi-bagikan novel dengan tanda-tangannya di reuni kali itu.
Julia tersenyum mengingat semua itu. Tangannya masih belum membalikkan lembar novel itu di halaman ucapan terima kasih.
"Kelihatannya bukunya memang menarik sampai kau tersenyum-senyum sendiri," kilah Jayden. Ia tidak mengangkat kepalanya. Matanya masih menekuni buku kedokterannya yang setebal dua buah batu bata.
"Ah ini..."
Jayden tersenyum tapi tetap menekuni bukunya.
"Kau belum membalikkan satu lembar pun sejak tadi. Kau yakin sedang membaca?" tanyanya datar.
"Membaca atau tidak, kurasa itu bukan urusanmu," sembur Julia galak. Mulut Jayden tertarik ke atas dan menyebabkan kumis tipisnya juga melengkung ke atas. Entah mengapa Julia merasa kalau pria ini sangat tahu di mana daya tariknya. Ia sengaja tidak mencukur rapi kumis tipis dan jenggot di dagunya karena ia tahu kalau semua itu menambah daya tariknya. Ia sangar tapi ia juga mempesona. Julia kesal harus mengakui ini.
Diam-diam ia melirik Jayden yang sedang duduk di meja kerjanya. Ia berusaha menemukan titik lemah yang bisa mengurangi daya tarik pria ini. Jayden memang memiliki tubuh yang menjulang tinggi di atas rata-rata. Julia yakin pria ini berdarah campuran karena bermata biru, kulitnya juga tidak cokelat seperti orang Indonesia pada umumnya walau rambutnya hitam bukannya pirang.
Julia memiliki beberapa teman dekat setelah Marta berkeluarga. Salah satunya adalah Bianca. Bianca adalah type wanita modern. Smart, sexy and single. Bersama dengannya Julia dan teman-teman yang lain mereka sering ke klub malam. Bianca sering berkencan dengan pria-pria asing karena ia sendiri juga masih keturunan bule. Ia selalu berkata kalau tidak ada yang lebih berbahaya daripada pria yang menyadari daya tariknya sendiri.
Nah, Jayden ini persis seperti yang dikatakan Bianca. Sadar di mana kelebihannya. Julia kesal harus mengakui kalau Jayden memang pria yang menarik dan tampan. Ia yakin kalau Bianca akan setuju dengannya jika ia melihat Jayden sekarang.
Jayden membalikkan lembar buku kedokterannya. Lalu ia mengangkat kedua kakinya ke atas meja untuk mendapatkan posisi duduk yang lebih santai dan tentu saja tidak sopan. Di saat itulah Julia melihat sebuah tatto yang lain selain di lengan kirinya. Di atas mata kaki kirinya melingkar tatto berbentuk seperti matahari.
"Dan sekarang kau menemukan kalau aku adalah objek yang lebih menarik perhatian daripada novel di tanganmu," ucap Jayden dengan suara dalam.
Julia berjengit.
Itu sama sekali bukan pertanyaan buat Julia tapi sebuah pernyataan.
Dan sekarang kau menemukan kalau aku adalah objek yang lebih menarik perhatian daripada novel di tanganmu.
Julia menggertakkan giginya. Jengkel.
"Kau benar-benar menyebalkan!" sembur Julia.
"Thanks, pujianmu berlawanan dengan tatapanmu," tukasnya cuek. Julia menahan diri sebisa mungkin untuk tidak melemparkan novelnya ke wajah pria menyebalkan itu. Tapi ia terlalu menyayangi novel itu meskipun novel itu tampaknya tak pernah disentuh oleh Jayden.
Jayden menurunkan buku tebalnya dan menatap Julia langsung menusuk ke jantungnya. Julia tak sanggup membalas tatapan mata teduh itu, menunduk pura-pura membalikkan halaman dalam novelnya. Jayden tersenyum.
"Ada yang ingin kau tanyakan padaku?" tanyanya.
"Tidak!"
"Yakin? Sepertinya kau cukup penasaran padaku," tukasnya penuh percaya diri. Julia memejamkan matanya, menghela nafas dan menggertakkan giginya. Pria yang sedang bersamanya ini makin lama makin membuatnya darah tinggi.
"Kalau kau tidak punya pertanyaan untukku, maka aku yang akan bertanya padamu," tukasnya sambil melipat tangannya di depan dada dan memperbaiki posisi duduknya. Matanya yang teduh masih menatap tajam kepada Julia. Untuk kali ini Julia memberanikan diri membalas tatapannya. Mata teduh itu memang menghanyutkan karena terbukti Julia hanya mampu bertahan tak sampai tiga detik lalu buru-buru menunduk lagi.
"Apa yang membuat gadis sepertimu berada di desa ini?"
"Gadis sepertiku? Seperti apa maksudmu?" balas Julia cepat. Jayden menggerakkan kepalanya memperhatikan Julia dan ia tersenyum. Benar-benar tersenyum, bukan senyuman mengejek yang biasa ia pamerkan.
"Seperti yang kita ketahui bersama kalau kau dan Marta, kalian berdua tidak cocok hidup di sini," kilahnya dengan santai.
"Tidak adil menilai kami begitu!" tukas Julia sengit.
"Kabur dari rumah?"
"Hei!!! Apa aku tampak seperti remaja yang kabur dari rumah? Aku sudah 28 tahun, Dok!"
"Aku 34 dan berhenti memanggil Dok."
Julia dan Jayden saling bertatapan.
"Ah, 28 tahun dan kabur dari rumah. Kau yakin umurmu 28?" sindir Jayden . Julia mendelik.
"Aku tidak kabur dari rumah!" sembur Julia galak. Rasanya ia bisa mati muda jika terus-menerus berurusan dengan dokter yang tak tahu sopan santun ini.
"Tidak kabur dari rumah atau ditinggal kekasih?" pancing Jayden sambil melirik gadis itu. Julia menatapnya dengan mata berapi-api.
"Bukan urusanmu!" semburnya. Jayden tertawa lebar. Gelagat Julia telah menunjukkan kalau dugaannya tepat. Mata gadis itu telah membenarkan pertanyaan Jayden meskipun bibirnya berkata yang sebaliknya. Kelak Jayden yakin ia akan bisa melongok ke dalam hati Julia dengan hanya menatap kejujuran di matanya.
Kelak?
"Kau sok tahu!"
Julia menurunkan bantalnya dan menendang selimutnya dengan kesal. Ia lupa kalau kakinya masih dibalut karena gigitan ular.
"Hati-hati!" Jayden telat mengingatkannya. Gadis itu meringis.
"Ouch!!!"
Jayden segera berdiri dan mendekati gadis itu untuk memeriksa kakinya.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya.
Sama sekali tidak!
Jayden menjentik kening gadis itu.
"Aduh!" ringisnya.
"Dasar bodoh!" umpat Jayden. Julia mengusap keningnya yang baru saja dijentik oleh Jayden.
"Tidak ada dokter yang menyakiti pasiennya," protesnya sambil menatap Jayden dengan galak.
"Kau tinggal panggil saja, aku akan membantu memperbaiki posisimu," tukas Jayden. Tangannya mengancam akan menjentik kening gadis itu lagi. Julia mencoba mengelak jadi Jayden hanya mengacak rambutnya.
"Aku tidak perlu bantuanmu untuk melakukan hal sepele."
"Wah, kau memang pasien yang tidak mau sembuh. Kau suka kan terus-menerus jadi pasienku? Dekat-dekat denganku," goda Jayden setengah berbisik. Gadis ini terbatuk-batuk.
"Siapa yang sudi dekat-dekat denganmu? A-aku hanya ingin berbaring saja."
Jayden menyeringai tajam. Meskipun begitu ia membantu Julia meletakkan bantalnya lalu memperbaiki posisi gadis itu agar gadis itu bisa berbaring dengan nyaman.
"Begini nyaman bagimu? Selimutnya cukup hangat?" tanyanya dengan suara yang lembut. Ia mengangguk kemudian memalingkan wajahnya ke samping, memutuskan kontak mata dengan Jayden.
"Terima kasih," ucapnya.
"Panggil saja jika kau butuh sesuatu," pesan Jayden.
"Aku bisa melakukan hal-hal sepele seperti ini. Kondisiku tidak separah itu."
"Kau sok tahu."
"Hmrgh... Aku mau tidur."
"Selamat malam. Mimpi yang indah. Kau ingin lampunya dinyalakan atau dipadamkan?" tanya Jayden sambil memamerkan senyumnya yang bisa melelehkan es itu.
"Kau akan di sini sepanjang malam?" tanya gadis itu.
"Hmm... Mungkin," jawabku menggantung.
Tentu saja aku akan berada di sini.
"Aku akan baik-baik saja, mengapa kau tidak istirahat di kamarmu saja?"
"Cerewet! Kau ingin lampunya padam atau menyala?"
"Kalau begini, aku ingin lampunya dipadamkan saja," jawabnya judes. Jayden masih bisa menangkap nada kesal dari suara gadis itu. Jayden hanya bisa menyembunyikan senyumnya kemudian memadamkan lampu ruangan di ruangan itu.
"Bolehkah aku bertanya padamu, Dok?" tanya Julia dalam kegelapan. Jayden hanya mengguman tak jelas.
"Apakah dokter boleh bertatto? Pasienmu pasti ketakutan bila kau memperlihatkannya."
Jayden tersenyum geli tapi Julia tidak dapat melihat senyumnya dalam gelap. Ia hanya bisa melihat siluet Jayden duduk kembali ke meja kerjanya.
"Aku jarang memperlihatkan bagian tubuhku kepada orang lain kecuali orang itu memperhatikan bagian tubuhku."
Julia menggertakkan giginya kesal dan menarik selimutnya sampai menutupi kepalanya.
***
Julia benar-benar merasa bosan berada di tempat tidur terus menerus di klinik milik Jayden. Bermalas-malasan seperti itu sama sekali bukanlah kebiasaannya. Ia bahkan meminta Marta mengambilkan laptopnya dan mengetik beberapa halaman untuk proyek novelnya tapi ia terserang writer block apabila pria bertatto itu tiba-tiba masuk ke ruangan itu dan kadang-kadang ia lupa berpakaian lengkap. Julia menemukan bahwa selain di lengan dan di kaki, ia masih memiliki tatto lain di punggungnya.
Tidak ada yang lebih berbahaya daripada seorang pria yang sadar akan daya tariknya.
Julia mengacak-acak rambutnya. Jayden entah sengaja atau tidak sering keluar masuk tanpa memakai t-shirt. Sebenarnya menurutnya itu normal, adik sepupu Julia, anak lelaki pamannya juga sering bertelanjang dada kalau di rumah.
Julia juga bukan gadis polos yang wajahnya akan memerah melihat pria bertelanjang dada. Ia juga pernah melihat Colin seperti itu. Tapi anehnya melihat Dr. Jayden menimbulkan getaran yang asing di dadanya. Perutnya panas melihat dada Jayden yang berotot, perutnya yang rata, sama sekali tidak ada kelebihan lemak di bagian atas tubuhnya.
Oh tidak! pikir Julia sengit.
Ia tidak mau memikirkan bagian tubuh yang lain. Tak dapat dicegah wajahnya memerah karena berani membayangkan hal-hal yang ekstrim.
Untuk salah satu alasan itu, Julia sama sekali tidak nyaman tinggal di klinik. Ia memutuskan akan menanyakan kepada Jayden kapan ia boleh kembali ke bolonnya.
Kesempatan itu datang pagi itu ketika Jayden memeriksa kakinya. Kali ini ia tidak memamerkan tubuhnya. Ia cukup sopan memakai t-shirt putih polos yang agak terlalu ketat di tubuhnya. Tapi tetap saja mengekpos ototnya.
"Kapan aku boleh berjalan?" tanyanya ketika Jayden sudah selesai memberi obat di kakinya.
"Sampai aku mengatakan kau sudah boleh berjalan," jawabnya datar.
"Kalau aku tidak bergerak, bagaimana aku tahu aku sudah sembuh," tukas Julia ngotot. Jayden menatap Julia dengan sabar. Julia mendongak membalas tatapannya.
"A-aku hanya merasa bosan. Andai saja aku bisa berjalan-jalan ke luar," Julia memeri alasan. Ia hanya asal memberi alasan. Ia melakukan itu untuk menutupi rasa gugupnya menatap mata teduh itu.
"Kalau saja aku bisa berjalan-jalan, aku ingin ke danau itu."
Bibir Jayden mengkerut dan ia mengangguk.
"Kurasa danau itu terus memanggilmu mendekat ya," tukasnya.
"Apa kau masih menganggap tempat itu milikmu?" tanya Julia sambil melirik pria berambut legam itu. Pria itu tertawa keras. Suaranya khas menggelegar tapi seperti alunan melodi indah yang terdengar dalam indera pendengaran Julia.
"Tempat itu bukan milikku lagi setelah kau datang."
"Oh jangan kuatir, Dok! Tempat itu yang akan kukunjungi begitu aku bisa berjalan," janji Julia berusaha mengejek Jayden. Ia berharap dokter itu marah mendengar pernyataannya. Entah kenapa ia lebih suka kalau Jayden bersikap tidak ramah padanya.
"Jayden, namaku Jayden. Dan pasti, aku yakin kau akan melaksanakan janjimu."
Julia menyeringai tajam.
"Aku punya ide bagus jika kau ingin keluar. Kebetulan aku juga berencana mengurus tanaman herbal di belakang klinik. Apa kau duduk di bawah matahari sambil menungguku bekerja?" tanyanya sambil tersenyum. Julia merasa ajakan Jayden memang lebih menggiurkan daripada duduk terus di ruangan ini. Tapi gambaran ia duduk sambil melihat pria itu bekerja di bawah terik matahari sambil memerkan otot tubuhnya itu malah membuatnya tidak nyaman. Apa yang akan dilakukan sambil menunggu pria itu? Mengagumi perut six packnya? Atau mencoba menebak ada berapa tatto di tubuhnya?
Julia bergidik. Ia heran mengapa sekarang ia jadi sering bergidik jika mengingat dokter ini.
"Bagaimana?"
Julia terlalu bosan berada di dalam ruangan sehingga ia hanya bisa setuju. Paling tidak ia akan melihat pemandangan di tanah belakang klinik. Jika ia bisa membujuk dokter muda itu agar ia mengijinkan Julia membawa laptopnya maka ia tidak perlu hanya diam menunggu pria itu bekerja.
Jayden tidak membiarkan Julia untuk berjalan sendiri. Ia cukup sopan membopong gadis itu ke belakang klinik. Di sana ada tempat istirahat yang sepertinya memang sengaja didirikan agar dokter itu bisa beristirahat sambil menikmati pemandangan Bukit Barisan jika ia sedang mengurus tanamannya. Tempat itu menyerupai panggung mungil dengan penutup di atasnya jadi cahaya matahari tidak akan langsung mengenai kepala. Dokter itu menyediakan beberapa buku dan kopi panas yang ditempatkan di sebuah teko aluminium dengan dua cangkir.
"Panggil saja jika kau butuh sesuatu," pesan Jayden sebelum meninggalkan Julia untuk mengurus tanamannya.
"Boleh kuminta laptopku?" tanya gadis itu. Jayden menggeleng.
"Kau kurang tidur karena laptopmu. Tekanan darah rendah. Jadi sebagai dokter, aku melarangmu dekat-dekat benda itu selama beberapa hari ke depan," tukasnya membuat Julia cemberut.
"Apa aku harus terus duduk di sini sambil menunggumu?" tanyanya sebal. Tetapi membayangkan dirinya sendiri duduk menunggu Jayden mengurus tanamannya benar-benar menggelitik perasaannya. Mereka berdua bagaikan pasangan suami istri petani yang sedang mengerjakan tanah mereka. Julia bergidik.
Dan yang membuatnya makin jengah seakan dokter muda itu tahu apa yang dipikirkannya. Jayden tersenyum jail dan membuat wajahnya panas. Akhirnya karena terlalu malu sedang memikirkan hal-hal yang tak masuk akal, ia mengambil salah satu buku yang telah disediakan oleh Jayden dan pura-pura tertarik membacanya meskipun ia yakin ia akan menguap pada baris kelima atau keenam.
"Nikmati waktumu, aku akan mengurus tanamanku dulu," ujar Jayden. Julia pura-pura tak memperdulikannya. Jayden membuka jaket olah raga yang dipakainya. Lalu ia melipat celana trainingnya sampai di bawah lutut dan kemudian segera mengambil cangkul. Sementara Julia masih mencoba untuk tidak bosan dengan buku kedokteran milik Jayden.
Daftar obat-obat yang beredar di Indonesia.
Apa aku benar-benar perlu membaca ini semua?
Julia menguap. Lalu menutup bukunya dan mencoba membuka buku yang lain yang telah disediakan oleh sang dokter.
Anatomi Klinik.
Julia melempar buku itu ke samping lalu mengambil buku lain bercover putih.
Auskultasi Jantung.
Ia membuka lembar pertama, membaca satu paragraf. Dua paragraf, tiga, empat, satu halaman.
Dua halaman.
Enam halaman.
Sepuluh halaman. Matanya mulai berat.
Dua puluh halaman.
Hebat!
Ia bisa bertahan sampai dua puluh halaman hanya ia tidak tahu apa yang sudah dibacanya sejauh dua puluh halaman ini.
Menyebalkan!
Ia menyerah. Bagaimana dokter Jayden bisa bertahan membaca buku setebal dua batu bata yang semua isinya tentang jantung.
Diturunkannya buku itu. Lebih baik ia melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Jayden. Mungkin pria itu sudah mati kelelahan mengerjakan tanah belakangnya.
Namun nyatanya pria itu masih segar bugar. Tubuhnya disengat matahari, ototnya berkilauan karena keringat membanjiri t-shirt putihnya. Kulitnya tampak lebih kecokelatan dari biasanya. Tatto cupid mungil di lengan kirinya seolah mengintip malu-malu dari ujung lengan bajunya. Pinggangnya ramping dan kokoh. Tangannya berayun kuat mengangkat cangkulnya.
Bibir Julia menyungging seulas senyum. Ia berpikir agak aneh kalau dokter muda yang menarik seperti Jayden berada di desa seperti ini. Sebuah desa terpencil di pulau Samosir yng dikelilingi oleh Danau Toba. Untuk beberapa saat ia membayangkan olah raga apa yang dilakukan pria seperti Jayden sehingga bisa memiliki perut rata dan berkotak-kotak seperti itu.
Sampai Jayden menyadari kalau ada orang yang sedang memperhatikannya dengan penuh minat.
Pria atletis itu menghentikan ayunan cangkulnya. Ia menghapus keringat di dahinya dengan menarik t-shirtnya sehingga mempertontonkan perut kotak-kotak yang baru saja diperhatikan Julia. Dan gerakan seperti itu membuat Julia menelan ludahnya lalu buru-buru mengambil buku yang ada di pangkuannya dan pura-pura membacanya kembali.
Jayden tersenyum. Ia sadar Julia sedang pura-pura tidak memperhatikannya. Ia juga sadar kalau gerakan menarik bajunya itu membuat wajah gadis itu memerah dan gugup. Tanpa ragu Jayden segera mendekati gadis itu dengan langkah panjang.
"Bosan, Mijn Lieve,?" tanyanya sambil mencuci tangannya dengan seember air yang telah disediakan sebelumnya. Gadis itu menurunkan bukunya dan menuangkan kopi ke dalam dua buah cangkir.
"Terima kasih," ucap Jayden sambil duduk di sebelahnya. Julia merasa jarak mereka sangat dekat. Kaki panjang Jayden harus ditekuk supaya ia bisa duduk tanpa membenturkan kakinya ke kaki Julia yang berselonjor.
"Kau masih keturunan Belanda?" tanya Julia sambil memutar-mutar cangkirnya. Jayden tersenyum mengiyakan.
"Apa artinya Mijn Lieve?" tanya Julia iseng. Jayden tersenyum menggoda.
"Kau yakin ingin tahu?" ia balas bertanya dengan kilatan liar di matanya. Wajah Julia memerah. Ia yakin kalau artinya pastilah sangat provokatif karena ekspresi Jayden menyiratkan kenakalan di wajahnya.
"Sudahlah, Dok. Aku akan cari tahu sendiri dari Google Translate," tukasnya jengah. Wajah Jayden masih terlihat nakal dan provokatif meskipun ia mengedikkan bahunya.
"Jangan panggil aku Dok. Panggil Jay saja."
"Apakah kau dokter spesialis jantung?"
Pria bermata teduh itu tertawa.
"Mengapa kau berpikir begitu?" tanya Jay.
Julia mengambil salah satu buku yang ada di sampingnya berjudul Auskultasi Jantung.
"Ini dan semua buku-bukumu."
"Kau suka kalau pacarmu dokter spesialis?"
"Hei!"
Jayden menyeringai. Tapi Julia tahu Jayden sengaja menghindari percakapan ini karena itu ia memutarbalikkan pertanyaan Julia. Gadis itu tetap tidak mau menyerah begitu saja.
"Sepertinya topik ini tabu bagimu. Apa yang sedang kau sembunyikan, Dok?"
Sang dokter tertawa. Dari ekspresinya memang ia menyembunyikan sesuatu.
"Kalau aku hanya dokter umum, apa itu mengecewakanmu?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan kita," tukas Julia cepat. Ia sebal karena setiap pertanyaannya tetap dibalas dengan pertanyaan kembali oleh dokter ini.
"Kau benar-benar sangat tertarik dengan latar belakangku, Mijn Lieve?"
"Dok!"
"Panggil namaku!"
"Jay."
"Kau menyukaiku?" tanyanya langsung. Wajah Julia langsung merah padam.
"Aku bisa jawab satu-persatu pertanyaanmu, Mijn Lieve agar kau tidak penasaran lagi," tukas Jayden makin lama suaranya makin berbisik. Entah apa yang membuat Julia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari wajah Jayden.
"Aku sudah bertugas selama tiga tahun di sini. Seperti dugaanmu sebelumnya, aku berdarah Belanda. Namaku Jayden van der Lijn. Umurku 34 tahun dan aku masih single," bisik Jayden membuat Julia mendelik padanya.
Sial! Mengapa kata terakhir itu harus diucapkan secara provokatif?
"Mengapa tidak sekalian saja kau umumkan berapa jumlah mantanmu," sindir gadis berambut sebahu itu pedas. Saat itu Jayden sedang menghirup kopinya jadi tersedak. Tanpa sengaja kopi itu masuk ke hidungnya.
"Uhuk.... Uhuk...."
Jayden memukul-mukul dadanya sambil berdehem dan sambil menahan tawa juga. Ia melirik Julia yang menatapnya dengan jengkel.
"Huk! Huk! Kau yakin ingin tahu berapa jumlah mantanku?"
Julia menatap pria itu dengan sengit. Dengan mata berkilat nakal pria itu membalas tatapannya.
Lebih dari sepuluh jariku?
Ekspresi pria itu masih saja memprovokasi.
Yakin ingin tahu?
Julia menyipitkan matanya sementara Jayden tersenyum saja.
"A-aku tidak ingin tahu," ucap Julia ketus sambil memalingkan wajahnya namun ia sendiri tidak yakin apa ia serius dengan ucapannya.
Sebelas? Dua belas? Sial!
"Tidak ingin tahu seperti apa tipeku?" tanyanya menggoda. Julia menyeringai.
"Buat apa?"
"Siapa tahu kau tertarik menjadi salah satunya."
Menjadi salah satu mantanmu yang tidak bisa dihitung dengan jari? Dalam mimpimu!
Lagi-lagi Julia menatap sengit pada pria bermata biru ini. Dan lagi-lagi pria ini merasa senang karena telah memprovokasi gadis di sisinya.
"Mengapa kau selalu menganggap dirimu sendiri menarik?" omelnya dengan nada sebal. Jayden mencondongkan badannya sampai bahunya menyentuh bahu Julia. Gadis itu tak bisa bergerak. Kalau saja ia bisa bergerak, ia pasti sudah kabur saking tegangnya. Aroma maskulin keringat pria itu menggoda indera penciumannya dan menyebabkan ia kehilangan banyak oksigen. Ia sesak nafas.
Dalam keadaan begitu, Jayden masih sempat berbisik lembut, "Menurutmu tidak?"
Julia panik. Ia bisa merasakan hembusan nafas Jayden membelai pipinya. Ia bahkan tidak berani bergerak karena setiap gerakan apapun akan membuat dirinya makin kehabisan nafas.
"Kau takut padaku?" bisik pria itu lagi.
Bibirnya hanya berjarak beberapa centi dari pipi Julia.
"Dokter Jayden, aku tidak takut padamu."
Julia merasa ucapannya lemah dan Jayden pasti tidak mempercayainya.
"Kalau begitu, mari kita buktikan saja."
Julia memejamkan matanya ketika Jayden mengucapkan kata-kata itu dalam suara yang parau.
Dia akan menciumku.
Julia tahu dari ekspresi Jayden, mata pria itu tertuju ke bibirnya. Ia tidak ingin tersihir dan ikut dalam pusaran magis yang dipancarkan mata pria itu, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah memejamkan matanya rapat-rapat. Berharap ia tidak ikut terlena jika Jayden benar-benar melaksanakan niatnya.
"Bang Jay, Julia, di sini kalian rupanya."
Jantung Julia hampir copot. Sedikit kecewa namun juga lega mendengar Herman memanggilnya dan menginterupsi apa yang akan dilakukan Jayden padanya. Jayden pun menarik dirinya. Julia tidak berani menatapnya.
"Selamat siang, Herman," sapa Jayden.
"Aku berteriak di depan klinik. Tentu saja kalian tak mendengarnya. Jadi aku langsung masuk. Maaf, Bang Jay, aku mengganggu."
Jayden menyeringai.
Brengsek!
"Kau datang bersama Marta?" tanya Julia. Herman menggeleng dan mengacak poninya yang sudah berantakan.
"Ia baru akan datang kalau sudah memasak untukmu. Aku mampir hanya untuk mengetahui keadaanmu," jawab pria itu. Julia mengisyaratkan agar Herman ikut duduk bersama mereka di pondok. Jayden tampak dingin saja. Herman mendekat namun tidak ada tempat yang bisa ia duduki di pondok mungil itu jadi ia berdiri saja dengan bersandar pada salah satu palang yang menopang pondok.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Herman.
Tepatnya apa yang kalian lakukan sebelum aku muncul tadi?
"Kau mau minum kopi?"
"Mengurus tanamanku."
Herman mengedik mendengar suara keduanya bertabrakan. Ia hampir saja tertawa. Kalau tidak salah sebelum ia menyapa Jayden dan Julia, Jayden hampir saja mencium gadis itu. Herman tahu pastilah pria berwajah tegas itu merasa frustasi karena merasa terganggu oleh kehadirannya.
Herman sudah mulai curiga ketika ia mengantarkan Julia ke klinik beberapa hari lalu. Di balik sikapnya yang acuh, dokter muda ini tak bisa menyembunyikan kalau dirinya cemas dengan keadaan Julia.
"Kau mau minum kopi?" tanya Jayden. Herman tersenyum.
"Kukira kau tak akan menawarkannya, Bang," guraunya. Jayden bahkan tak bisa tersenyum dengan gurauan itu. Pria berkaki panjang itu bergeser alu bangkit dari duduknya.
"Akan kuambilkan cangkir untukmu," tukasnya tak ramah. Lagi-lagi Herman tersenyum.
"Merepotkanmu, Bang," tukasnya.
Entah mengapa Jayden merasa kalau anak muda ini sedang mencoba mempermainkannya.
"J!"
Julia langsung berbinar mendengar suara lain yang memanggilnya karena hanya sahabatnya Marta yang memanggilnya dengan inisial namanya. Tanpa menoleh pun ia tahu kalau Marta datang.
"M."
Marta berlari-lari kecil menghampiri Julia di pondok. Kelihatannya ia membawa bekal makanan. Jayden memberi jalan agar Marta bisa duduk di samping Julia.
"Bagaimana kabarmu pagi ini? Wajahmu sudah lebih cerah. Dokter Jayden pasti sudah merawatmu dengan baik. Apa kau sudah bisa kembali ke bolon?"
Marta tak berhenti bertanya dan pertanyaan terakhirnya membuat Jayden berjengit seolah menelan paku di dalam tenggorokannya. Sementara Herman hanya menyembunyikan senyumannya sambil memperhatikan ekspresi Jayden.
"Aku akan mengambilkan cangkir untuk kalian berdua," pamit Jayden. Ia pergi semata-mata untuk menghindari pertanyaan Marta tentang kapan Julia bisa kembali ke tempat mereka.
Jayden baru berjalan beberapa langkah ketika Marta membuka bekal makanan yang dibuatnya. Harumnya sungguh menggoda indra penciuman.
"Wow! Rasanya pasti enak," puji Herman. Jayden yang hampir mencapai pintu belakang rumahnya, menoleh ke arah Julia kemudian ia mengingatkan dirinya sendiri untuk mengambil piring dan peralatan makan lainnya untuk mereka.
"Aku akan membantu Dokter Jay mengambil peralatan makan. Kalian tunggu di sini ya," pamit Marta sambil menyusul Jayden yang sudah menghilang di pintu dapur. Lalu ia pun pergi meninggalkan Julia bersama dengan Herman.
"Kau suka desa ini?" tanya Herman ketika mereka sudah ditinggal berdua oleh Marta.
"Mengapa kau bertanya seperti itu?" Julia balas bertanya. Herman menyeringai. Ia diminta oleh Amang Pangulu untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris pada anak-anak di desa ini. Amang Pangulu akan membayar honor kepada Herman tapi bukan itu yang membuat Herman tertarik dengan tawarannya. Ia akui ia menyukai desa ini sejak ia menjejakkan kakinya ke Pulau Samosir, ia sudah jatuh cinta pada pulau yang terletak di tengah Danau Toba. Jadi ia pikir tidak ada salahnya menjadi guru di sini. Baginya, ini hanyalah hal kecil yang bisa ia lakukan untuk desa yang membuatnya merasa nyaman.
"Aku ditawari oleh Amang Pangulu mengajari bahasa Inggris kepada anak-anak di sini," tukas Herman. Julia mengangguk. Ia sudah pernah mendengar dari hal ini dari Amang Pangulu kalau beliau ingin anak-anak bisa belajar bahasa Inggris agar mereka nantinya bisa berkomunikasi dengan orang-orang asing jika tempat ini benar-benar sudah menjadi tempat wisata di Sumatera Utara. Amang Pangulu memang adalah orang yang berpikiran maju ke depan.
"Wah, itu sangat bagus sekali. Kau terima?"
Mata Herman berbinar menatap gadis di sampingnya. Julia membandingkan mata Herman dengan mata biru yang teduh yang selalu membuatnya tersihir. Mata Herman lebih jenaka sedangkan mata Jayden lebih tenang dan dalam.
Wajar sih. Jayden lebih matang dari Herman.
Julia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bertanya dalam diri, mengapa ia membandingkan kedua pria ini.
"Mengapa kau menggeleng? Aku belum mengatakan apapun," protes Herman. Julia menyeringai.
"Aku sedikit pegal di leherku," alasannya.
"Begini, aku berniat mengajakmu. Kau bisa membantuku kan?" tanya Herman. Julia memijat-mijat dahinya. Ia tidak punya pengalaman menjadi guru dan seperti yang pernah ia ungkapkan pada Marta kalau bahasa Inggris Marta lebih baik darinya jadi mengapa Herman meminta bantuannya.
"Jujur aku bingung mau jawab apa," aku Julia.
"Ya, kupikir daripada kau tidak melakukan apa-apa, bukankah lebih baik kau ikut membantu?"
Julia merasa kata-kata Herman ada benarnya.
"Lebih baik kau ajak Marta saja, dia lebih sabar terhadap anak-anak," tukas Julia. Mengingat kalau Marta memiliki seorang anak, ia pasti lebih bisa menjadi guru.
"Ya, maksudku juga begitu. Kau dan Marta bergantian. Jika kau setuju, pasti Marta juga," tukas Herman cepat.
"Ah, entahlah. Aku tidak tahu kapan aku akan pergi dari sini. Ini hanya liburan bagiku," elak Julia lagi. Sebenarnya ia terlalu takut berjanji. Ia takut kalau ia sudah menyanggupi, tiba-tiba ia berpikir untuk kembali ke Jakarta dan menghadapi masalahnya maka akan mengecewakan bukan hanya Herman tapi juga Amang Pangulu dan juga anak-anak di desa ini.
"Ah, ayolah, Julia. Ini tidak akan memberatkan kok," bujuk Herman. Julia meringis. Ragu. Meski ia yakin kalau sahabatnya Marta akan menyetujuinya. Herman menyentuh lengan Julia demi untuk membuatnya menyetujui ajakannya.
"Ayo, terima saja," tukasnya merengek.
Julia meringis lagi.
Jayden yang muncul dari pintu belakang berdehem melihat tangan Herman menyentuh lengan Julia. Matanya menatap tajam ke arah pemuda itu. Refleks Julia menghentakkan tangannya.
Marta juga sudah muncul di belakang Jayden tetapi ia tidak sempat melihat pemandangan yang dilihat dokter itu.
"Ah, Bang Jay. Aku baru saja membujuk gadis pengacau ini untuk bergabung denganku menjadi tenaha pengajar bahasa Inggris kepada anak-anak di sini. Itu ide yang baik kan?"
Julia mencuri pandang ke arah Jayden yang tampak acuh.
Oh ayolah Bang, ini tak ada ruginya buatmu.
Jayden mendekat lalu meletakkan peralatan makan yang di dekat Julia tetapi ia sama sekali belum berekspresi.
"Meskipun kurasa dia terlalu galak, kurasa itu bukan ide yang buruk," tukas Jayden.
"Sialan!"
Herman terkekeh begitu juga dengan Marta.
"Sudahlah, Her. Kalau ia tidak bersedia, aku akan mogok masak biar saja dia mati kelaparan di sini. Eits! Ingat J! Kau bahkan tidak bisa memasak mie instan," potong Marta cepat sebelum Julia bersuara.
"Dasar pengkhianat!" umpatnya.
"Setuju atau tidak?" tanya Marta sambil membuka rantang yang dibawanya.
Julia meringis lemah. Penutup rantang yang dibuka oleh Marta itu membuat Herman mendekat.
"Apa aku punya pilihan?"
Marta bersorak dan memeluk sahabatnya tapi Julia malah mengelak dan pura-pura jengkel padanya.
"Aku tahu kau orang baik," tukas Marta. Ia menyodorkan sepiring nasi lemak kepada Julia. Gadis itu menerimanya tapi sambil mengomel.
"Ya, terima kasih buat sahabat yang berkomplot dengan pihak luar!"
Marta dan Herman terbahak sedang Jayden tetap pada ekspresi tak tertarik. Ia tak bisa membayangkan kalau gadis itu akan memiliki banyak waktu bersama Herman. Hal itu sangat mengganggunya.
"Lalu kapan aku bisa mulai? Kalian tahu kalau kakiku belum bisa berjalan."
Julia bertanya sambil menyendokkan nasi lemak hasil masakan Marta ke dalam mulutnya. Herman melirik sang dokter.
"Ah, Bang Jay, dia benar, kapan dia bisa berjalan lagi? Aku tidak sudi menggendongnya lagi. Ya, kecuali kau bersedia, Bang. Tapi kuingatkan kalau dia berat."
"Brengsek kau!"
Herman tergelak.
Dia sama sekali tidak berat.
Namun Jayden membiarkan saja Herman mengolok Julia meskipun ia kurang suka Herman dan Julia makin dekat tapi kejenakaan Herman juga merupakan hiburan baginya.
"Kalau sampai besok aku masih tidak diperbolehkan berjalan, aku mau mencari dokter lain saja. Apa ada dokter lain selain dia di sini?" tanya Julia sambil memandang sebal pada Jayden yang sekarang duduk di atas sandal jepitnya yang digunakan sebagai alas. Herman juga ikut melakukannya. Melepaskan sneakernya dan duduk bersama Jayden di atas tanah supaya Marta dapat duduk bersama Julia.
"Dokter Jay, kapan kau akan menjawab pertanyaanku?" cecar Julia karena disadarinya Jayden menghindar. Pria itu menerima sepiring nasi dari Marta dan melahapnya tanpa menjawab pertanyaan Julia.
"Hei! Dokter Jay!"
Jayden sedang menyuapkan sendok ke mulutnya tersedak dengan teriakan Julia. Herman membantu memukul-mukul punggungnya. Jayden terbatuk beberapa kali sebelum melotot pada Julia.
"K-kau ingin diberi suntikan mematikan? Uhuk!"
Julia mendelik tajam dan ingin protes lagi tetapi gadis itu menelan kembali kata-katanya setelah Jayden menatapnya dengan pandangan mengancam aku-akan-memberi-suntikan-mematikan-padamu.
***
Marta mulai mengerti kalau dokter muda tampan yang sekarang sedang bertengkar dengan sahabatnya Julia memang menaruh hati pada gadis itu. Ia merasa Jayden sedikit terganggu dengan Herman meskipun sahabatnya sendiri tidak menyadarinya.
Julia memang tidak pernah peka terhadap pria yang menyukainya. Sejak dulu, sejak ia mengenal yang namanya cinta monyet, puppy love, ia cuek-cuek saja jika ada cowok yang menyukainya. Seluruh hidupnya ia hanya menyukai Colin, anak dari teman bisnis pamannya yang sudah dikenalnya sejak kecil. Sejak Marta mengenal Julia di Sekolah Menengah Pertama, ia sudah sering mendengar kalau Julia akan menikah dengan Colin sesering ia mengatakan kalau ia akan menjadi penulis novel. Dan sekarang, Julia hanya bisa mewujudkan salah satunya yaitu menjadi penulis.
Sebagai sahabat Julia yang paling dekat dengannya, Marta tidak merasa Julia harus rujuk kembali dengan tunangannya. Marta kuatir kalau nasih sahabatnya itu akan sama dengan dirinya jika ia melanjutkan hubungan itu dengan tunangannya.
Belum menikah saja sudah begitu, apalagi kalau sudah menikah, Julia pasti akan menderita.
Marta melirik pria yang lebih muda yang sedang memanasi Jayden untuk memberikan suntikan mematikan kepada Julia.
"Apa kau akan diam saja melihatku dipermalukan oleh mereka?" sindir Julia membuyarkan lamunan Marta.
"Mencari sekutu?" sindir Herman. Julia mencibir.
"Dia sahabatku. Wajar kan?"
Herman tersenyum jenaka.
"Ah, bukankah lebih baik kalau kau bersekutu dengan Bang Jay. Jadi kekuatan kita lebih seimbang?"
Julia memberinya tatapan membunuh. Pria muda itu bukannya takut malah makin tertawa sementara Jayden tetap saja pura-pura acuh tak acuh menyantap hidangannya.
Sayangku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top