3. Welcome To My Home, My Heart (Edited)

"Em," panggil Julia sekembalinya dari danau. Marta sama sekali tidak menyahut.

Julia mencari ke kamar tidur tapi ia hanya bisa menemukan kalau tempat tidur itu sudah rapi dan Marta meninggalkan sebuah catatan tulisan tangan Marta di atas meja di samping tempat tidur sederhana itu.

Julia, aku pergi ke rumah Amang Pangulu. Aku ingin belajar memasak masakan khas Samosir dari menantu Amang Pangulu. Kalau kau ingin menyusul, ingat, arah Utara. UTARA. Marta.

Julia menghentakkan kakinya kuat-kuat karena merasa sebal harus diingatkan oleh sahabatnya soal kebodohannya tentang arah. Ia memutuskan untuk menyusulnya ke rumah Amang Pangulu. Ia ingin melihat bagaimana Marta menjadi murid menantu Amang Pangulu dan berniat mengoloknya setiap ia melakukan kesalahan. Meskipun kecil kemungkinan Marta akan melakukan kesalahan dalam hal masak-memasak.

Julia melangkah pelan-pelan menyusuri jalan menuju Utara. Ia tidak ingin tersesat lagi dan menjadi bahan tertawaan Marta. Apalagi Utara kan hanya tinggal berjalan lurus.

Julia mendengar kicauan burung di dahan pohon dan menghentikan langkahnya untuk mendengar kicauan itu. Ia bersandar di atas pohon dan menatap ke ranting di mana burung yang ia tidak tahu jenisnya itu sedang berkicau.

"Hai! Selamat pagi Burung!" sapanya. Si burung terbang meninggalkan sarangnya. Julia cemberut merasa sia-sia kalau ia bersikap ramah pada makhluk kecil itu dan ia merasa tidak diperdulikan.

Ia tidak diperdulikan.

Ia dicampakkan! Seperti Colin mencampakkannya.

Sial! Pikirnya.

Ia mencoba untuk tidak mengingat-ingat tentang Colin sejak tiba di pulau ini dan mengapa hanya karena burung kecil ini kembali mengingatkannya pada Colin. Julia menggigiti bibirnya sendiri hanya untuk membuat bibirnya berdarah sehingga ia bisa menahan rasa pilu yang tiba-tiba menyerang ulu hatinya.

Jika saja ia sanggup menghadapi semua rasa sakitnya, ia tak perlu meninggalkan Jakarta dengan segala permasalahannya. Ia tak perlu mengajukan cuti mendadak kepada bosnya bahkan paman dan bibinya juga tidak tahu kalau ia berada di desa ini. Jika saja ia sedikit lebih berani, ia akan menemui Colin dan menampar wajah tampannya dengan keras lalu berkata, ini untuk hatiku yang kau patahkan.

Tapi lihatlah, apa yang dilakukannya sekarang? Bersembunyi seperti tikus got. Meninggalkan masalah yang masih menumpuk dan lebih bodohnya meninggalkan pekerjaan yang seharusnya bisa membuatnya sibuk dan tidak memikirkan Colin. Dan lebih parahnya paman dan bibinya juga tidak tahu kalau ia berada di desa ini, sedang melarikan diri dari tunangannya.

Brengsek Colin! Ini gara-gara dirimu!

Rasanya ia ingin mencakar wajah Colin sekarang.

Mengapa tidak kau lakukan sewaktu kau menemukan baju perempuan itu di kopernya?

Aku terlalu pengecut!

Adalah seorang wanita bernama Sella yang menjadi asisten editor Colin. Sementara Julia bekerja di perusahaan yang berbeda sebagai editor juga. Colin dalam rangka tugas luar kota. Julia sama sekali tidak diberitahu kalau tunangannya itu akan membawa asistennya sampai Colin kembali seminggu kemudian dan Julia yang hanya sedang iseng mampir ke apartemennya dan berbaik hati ingin membantu Colin yang kebetulan tidak berada di tempat membongkar kopernya dan menemukan pakaian Sella ada di sana.

Julia tahu pasti kalau pakaian itu pakaian Sella karena Julia pernah melihat Sella memakai pakaian itu di sebuah pesta yang diselenggarakan oleh perusahaan Collin. Pakaian yang sama yang dihadiahkan Colin pada hari ia diangkat menjadi editor majalah di tempatnya bekerja.

Brengsek, Colin! Aku akan mencekikmu!

Gadis yang bernama Sella itu beberapa tahun lebih muda dari Julia, memiliki semangat muda dan pemberani tapi Julia sama sekali tak menyangka kalau Colin akan tergerak oleh gadis itu karena hubungan Colin dan dirinya sudah terlalu kuat dan mengakar seperti pohon tua di belakang rumah pamannya di Bandung. Ia sudah mengenal Colin sepanjang ia diasuh oleh sang paman. Ayah Colin dan pamannya adalah teman baik semasa kuliah. Dan Julia sudah menyukai Colin sejak kecil. Ia sudah tahu akan menikah dengan Colin waktu umurnya sepuluh tahun.

Julia tahu harusnya ia segera berterus terang pada sang Paman dan meminta Pamannya membatalkan pertunangan mereka lalu ia akan melanjutkan hidupnya. Tapi ia terlanjur malu. Pamannya tidak pernah memaksakan pertunangan itu. Julia yang menginginkannya. Jadi haruskah ia melibatkan Paman dan Bibinya yang sudah susah payah merawatnya sejak ia menjadi yatim piatu dua puluh tahun yang lalu.

Julia menghela nafas panjang sambil memejamkan mata dan ia merasa lelah dengan semua ini. Ia belum menemukan jalan keluar untuk segala masalah ini. Tetap melanjutkan pertunangan adalah yang mustahil. Menjijikkan membayangkan tangan penghianat seperti Colin yang akan menggenggam tangannya dalam konsep selamanya. Tapi ia juga belum menemukan keberanian untuk berjalan keluar dari masalah ini. Jadi ia hanya bisa menghindari wajah Colin untuk sementara waktu sambil membayangkan konsekwensi yang akan ia terima selanjutnya.

Colin, aku berjanji akan membuat dirimu jungkir balik!

Julia masih menggertakkan giginya ketika ancaman mengerikan dari balik pohon mengintainya. Ancaman dalam bentuk binatang melata bersisik yang sedang mengintainya sejak tadi.

"Ouch!"

Binatang melata itu mematuk kemudian meninggalkan Julia sebelum Julia menyadari apapun. Ia panik. Ini pertama kalinya ia melihat ular dan ini juga pertama kalinya ia dipatuk oleh binatang melata menjijikkan itu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya selain mencoba berdiri tegak dan pergi dari tempat itu. Ia sadari kalau binatang itu pastilah menebarkan bisa dan ia harus menemukan seseorang sebelum ia kehilangan kesadaran dan tidak bisa menolong dirinya sendiri.

"Sial! T-tolong!"

Julia mulai merasa panas dan dingin dalam waktu bersamaan. Ia pikir ia akan mati di sini. Bekas gigitan ular di kaki kirinya mulai membengkak dan menghitam. Ia menyeret kakinya terus berusaha bergerak. Ia tak ingin ular itu kembali dan memperoleh kesempatan untuk menggigit sebelah kakinya lagi. Membayangkan saja membuatnya bergidik.

"Oh Tuhan!"

Matanya mulai gelap. Ia sekarat. Ia mati sebelum menjelaskan apapun juga kepada Paman dan Bibinya. Ia tidak sempat menampar wajah Colin, ia tidak sempat membela Marta dengan memukul balik suaminya yang tak tahu diri dan merebut anaknya kembali. Ia sekarat sebelum mengenal pria asing itu atau sekedar bertanya namanya.

"Nona Galak, bangun!" teriak seseorang.

Julia mencoba membuka matanya. Ia merasa telah dijemput malaikat. Kini malaikat itu memeriksa kakinya.

Tapi anehnya mengapa malaikat ini mirip dengan pria yang membantunya menimba air pada waktu ia baru tiba di desa ini.

"Gawat, ini bekas gigitan ular!" pekiknya.

"To-long," bisiknya lemah dengan sisa kekuatannya. Ia tersenyum kecut.

"Kau harus menolong dirimu sendiri dengan tetap sadar, Beib," tukasnya sambil menarik syal yang melilit di lehernya.

Kini aku harus merelakan syal hadiah dari Agnes ini untuk membebat lukamu!

"Kau lihat jenis ularnya?" tanya pria muda itu. Dia menggeleng lemah

"Hi...jau..."

"Hmmm, cobalah untuk tetap sadar. Aku akan membawamu keluar dari hutan dengan dengan memanggulnya di punggungku. Maaf. Kuharap kau tidak terlalu berat," guraunya. Pria muda itu tahu ini bukan saat yang tepat untuk bercanda tapi ia benar-benar berharap, kalau gadis galak ini tetap sadar sampai ia mengantarkannya ke klinik. Ia mengangkat tubuh gadis itu dengan punggungnya. Kepala gadis itu langsung terkulai lemah di bahu pria muda itu.

"Siapa namamu? Apa yang kau lakukan di desa ini?" tanya pria itu. Ia tetap menaruh harapan kalau gadis galak ini masih memiliki sedikit kekuatan untuk mendengarkan ocehannya yang tidak penting.

"J-ju...lia," bisiknya lemah. Pria muda itu tampak sedikit lega karena Julia masih sadar.

"Aku Hermansyah Putera."

Pria itu sama sekali tidak tahu apa ada gunanya ia memberitahu Julia tentang namanya. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah Julia masih tetap saja mendengarnya jadi ia hanya asal mengoceh terus.

"Mengapa kau dan temanmu bisa ke desa ini? Kalian berdua punya hutang dengan rentenir hingga harus bersembunyi?" racau Herman.

Dalam keadaan normal, orang yang mendengar pertanyaan Herman pasti tertawa dan mengatakan kalau pemuda ini sudah gila. Tapi di saat seperti ini, Herman benar-benar berharap kalau Julia tertawa.

Herman berlari terus dan terus. Jika ia memiliki sayap, ia akan mengepakkannya dan terbang menuju klinik agar dapat segera mengobati gadis ini. Ini memang belum mengenal Julia dan ia menolong Julia atas dasar kemanusiaan. Ia tidak ingin ada yang meninggal karena gigitan ular di pulau di tengah danau yang indah ini.

"Bertahanlah Julia," gumamnya terus dan terus dibarengi langkahnya yang berpacu dengan waktu.

Ketika hampir tiba di klinik, Herman malah bertemu dengan teman Julia yang langsung panik melihat Julia digendong oleh Herman di punggungnya. Sebelum ia bertanya lebih jauh atau berpikir yang tidak-tidak, Herman langsung berkata, "Ia digigit ular. Tolong jangan bertanya apapun karena aku tidak tahu apa-apa. Yang kutahu, aku harus segera mengantarkannya ke klinik."

Marta masih bingung dan panik tetapi ia segera bisa menguasai keadaan. Panik tidak akan banyak membantu.

"Katakan apa yang harus kulakukan," tukasnya cepat sambil terus menjejeri langkah Herman.

"Buat ia tetap sadar," tukas Herman. Marta mengangguk dan memegang dahi Julia. Keringat sebutir jagung turun membasahi wajahnya.

"Masih jauhkah kliniknya?" tanyanya.

"Di ujung jalan. Bagaimana keadaannya?"

"Bibirnya menghitam."

Herman mempercepat langkah karena sudah bisa melihat klinik di depan matanya. Marta harus berlari mengikutinya. Bahkan sebelum tiba di depan klinik, Herman sudah berteriak memanggil dokter.

"Dokter! Dokter! Keluarlah! Gadis ini butuh penangananmu!

Jayden keluar dari klinik dan terkejut melihat Herman sedang menggendong Julia sementara Marta masih terengah-engah berhenti di depan klinik.

"Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menghampiri Julia dan mengambil alih Julia dari Herman.

"Ular," jawab Herman sementara Marta tidak bisa lagi mengucapkan apa-apa.

Jayden membopong tubuh Julia masuk ke klinik diikuti Marta yang wajahnya dihiasi ketakutan sementara Herman berusaha meluruskan punggungnya.

Wajah Julia tampak pucat dan tubuhnya tampak lemah ketika Jayden meletakkannya di ranjang pasien. Ia segera memeriksa kaki kiri Julia yang menghitam akibat gigitan ular. Julia mengenakan celana selutut dan Jayden bersyukur kalau ia tidak perlu merobek celananya hanya untuk memeriksa lukanya itu.

"Kau bersamanya ketika ia digigit?" tanyanya pada Marta yang ada di sisinya. Marta hanya diam. Mungkin karena syok ia tidak menjawab pertanyaan Jayden.

"Hei, jawab pertanyaanku!" hardik Jayden. Aku bertanya padamu, apa kau bersamanya tadi?" teriakku. Herman masuk dan langsung menjawab, "Dia tidak tahu apa-apa, Dok. Kami bertemu di ujung jalan menuju klinik. Kalau kau ingin tahu, ketika aku melihatnya di hutan, aku sempat bertanya padanya, ia bilang ularnya berwarna hijau. Aku menduga itu ular hutan. Jadi tolong, Anda tak perlu berteriak pada gadis ini."

"Aku mengerti. Maafkan aku," tukasnya kembali tenang. Herman menyadari satu hal kalau dokter ini cukup emosional.

"Aku akan memberinya obat untuk menghilangkan rasa sakit. Untunglah kau segera mengikat lukanya," tukas Jayden. Herman mengangguk.

"Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan tadi. Sungguh, ini pertama kali aku melihat orang digigit ular, jadi aku hanya melakukan apa yang terlintas di benakku," ujarnya sambil meluruskan punggungnya.

"Itu benar-benar pertolongan yang efektif," balas Jayden. Lalu ia kembali memeriksa suhu tubuh Julia.

"J-julia gemetar, Dok. Bagaimana ini?" tanya Marta. Ia tidak menyadari kalau ia sendiri juga gemetar karena terlalu menguatirkan keadaan sahabatnya.

"Siapa namamu?"

"M-marta," jawab Marta pendek.

"Marta, bisakah kau membawa selimut dari kamar sebelah. Aku rasa Julia membutuhkan itu," pinta Jayden pada gadis berambut panjang itu. Marta menggangguk patuh dan segera beranjak ke kamar sebelah.

"Adakah yang bisa kulakukan untuk membantu, Dok?" tanya Herman. Aku menggeleng.

"Tidak untuk sementara. Ia akan tidur selama beberapa jam," jawab Jayden.

Ia melirik Herman dan mencurigai sikap Herman yang menurutnya sedikit over perhatian pada gadis yang sedang pingsan di ranjang itu.

"Tapi ia kedinginan," tukas Herman. Jayden mengiyakan.

"Bisa ular. Apa jadinya kalau kau tidak muncul tepat pada waktunya," gumam Jayden lemah. Herman mendesah.

"Ya, aku sudah menduga kalau ia akan mengacaukan sesuatu ketika pertama kali melihatnya di desa ini. Aku tidak menyangka kalau kekacauan seperti ini yang akan terjadi," tukas Herman dengan nada mengasihani Julia.

Jayden menaikkan sebelah alisnya menoleh pada Herman. Tapi ia sama sekali tidak berkomentar karena Marta sudah muncul dengan selimut. Jayden menerima selimut itu dan Marta membantu menyelimuti Julia.

"Bagaimana keadaannya sekarang, Dok?"

"Demam, kedinginan tapi ia akan baik-baik saja," jawab Jayden sambil menyibakkan rambut di wajah Julia.

Herman memperhatikan gerak-gerik Jayden tapi Jayden sama sekali tidak peduli meskipun ia sadar Herman sedang mengawasinya.

"Apa kita perlu membawanya ke rumah sakit?" tanya Marta.

"Kita tidak akan mengambil resiko memindahkan dia. Biarkan dia di sini. Aku tidak ingin bisa ularnya ke mana-mana. Ia akan pulih. Percayalah padaku," tukas Jayden berusaha menenangkan Marta. Gadis itu sepertinya akan menangis.

"Pulanglah. Kembalilah besok, dan bawakan pakaian untuknya dan gantikan aku menjaga dia besok," tukas Jayden. Marta menatap sahabatnya yang masih tidak sadar.

"Bolehkah aku menemaninya, Dok?" tanyanya. Jayden menggeleng.

"Malam ini, biarkan aku menjaganya," jawab Jayden.

"Dia akan baik-baik saja, Dok?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Aku tidak akan bisa memaafkan diriku bila sampai terjadi sesuatu padanya," racau Marta.

Aku juga.

"Jangan kuatir dan percayalah padaku," tukas Jayden. Marta mengangguk. Satu-satunya yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah mempercayai ucapan sang dokter.

"Aku akan membawa pakaiannya besok pagi. Tolong jaga dia, Dok," pintanya. Jayden mengangguk tetapi ia sama sekali tak bisa tersenyum karena kakuatirannya pada gadis yang satunya lagi. Dokter itu sama sekali tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Julia. Mereka bahkan belum berkenalan secara resmi. Gadis itu mungkin belum tahu nama Jayden.

"Akan kuantar ia pulang, Dok. Kami akan kembali besok untuk melihat keadaan Julia," ujar Herman. Jayden menoleh pada pria yang usianya lebih muda darinya itu. Semula memang perhatian Herman terhadap Julia membuatnya jengkel tapi terbukti kalau kehadiran pria itu bisa diandalkan Jayden.

Herman pun akhirnya pamit pada Jayden untuk mengantarkan Marta kembali ke bolon. Kini yang tersisa di klinik hanya Jayden bersama dengan Julia yang masih belum sadarkan diri.

Jayden menarik nafas panjang. Ditatapnya wajah Julia yang pucat. Tangannya terulur menyibakkan sejumput rambut yang mengenai wajah gadis menawan itu.

Ini benar-benar akan menjadi malam yang panjang. Tapi jangan kuatir, aku akan menjagamu, Mooie Vrouw.

Jayden berharap ia memiliki banyak persediaan kopi di dapurnya.


Gadis Cantik (Bahasa Belanda)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top