2. Secret Place (Edited)
Julia terbangun pukul lima pagi di pagi kedua karena kebiasaannya. Ia terbiasa bangun pagi, lalu joging di pagi hari. Jadi pagi ini walau tanpa sarapan terlebih dahulu, ia merencanakan untuk melakukan joging ke danau lalu menemui Amang Pangulu hanya untuk menanyakan kabar istrinya.
Dipakainya jaket olah raga dan sepatu sneaker tanpa membangunkan Marta. Marta sudah berpesan padanya agar tidak membangunkannya meskipun Julia menjanjikannya membawanya melihat matahari terbit tetap saja Marta menolak dan mengatakan kalau tidur lebih penting dari semua itu dan membuat Julia sebal padanya. Marta adalah type orang bisa tidur malam dan bangun telat sedangkan Julia termasuk yang tidur cepat dan bangun cepat. Kadang-kadang ia ingin sekali tidur dini hari lalu bangun jam 10 atau 11 ketika matahari sudah tinggi tapi alarm di kepalanya selalu membangunkannya jam 5 pagi dan ia tidak berdaya menghapus alarm itu dari otaknya.
Julia mulai berjalan santai dan menikmati udara pagi yang dingin di desa ini. Memang udara di Bandung juga dingin tapi rasanya di sini udaranya lebih bersih karena jarang ada mobil atau kendaraan di sini.
Gadis itu tersenyum gembira, sekarang ia mulai berlari-lari kecil sambil menyanyikan lagu K-pop kesukaannya, lagunya Ailee.
I was out of my mind, by your kindness
By your sweetness, by your lies
My dreams has changed, rather than a famous singer
I had to be a good wife, really
I was really fool, really fool
Eh, kenapa aku harus menyanyikan lagu ini.
Julia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lupakan dia, lupakan dia.
Tiba-tiba seseorang menyalip jalannya, langsung berlari di depannya. Barulah disadarinya kalau tubuh berotot dan berkaki panjang yang kini berlari di depannya adalah raksasa aneh itu. Dipercepatnya langkahnya menuju tepi danau. Gadis ingin lebih dulu mencapai danau dibanding pria asing bermata gelap itu. Tapi rasanya sia-sia, raksasa sangar itu memiliki stamina yang lebih baik darinya. Saat Julia sampai di tepi danau, pria itu sudah berdiri di atas batu di pinggir danau sambil melipat tangan dan membelakanginya. Julia mencoba mengabaikan kehadiran pria itu. Ia bersikap tidak peduli.
Danau ini toh bukan miliknya.
"Kelihatannya... ini bukan tempat rahasiaku lagi," gumamnya tanpa melihat ke arah gadis itu. Suaranya yang tak bersahabat masih saja membuat Julai bergidik.
"Kau mengklaim tempat ini milikmu?" cibir Julia. Pria itu tidak menjawab tapi Julia dapat mendengar geramannya. Selanjutnya gadis itu hanya ingin mengabaikannya. Pria itu hanya perlu dianggap seperti salah satu batu di tepi danau. Julia malas meladeni suaranya yang membuatnya tidak nyaman.
Dengan santai seolah pria itu memang tidak ada, Julia melepaskan sneakernya dan mencelupkan kakinya ke dalam dinginnya air danau.
"Berapa lama kau akan berada di sini?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya.
Julia mengangkat wajahnya, mendongak dan matanya bertemu dengan sepasang mata biru milik pria itu.
Ah, tidak biru semua. Ada lingkaran cokelat yang membayangi biru matanya itu.
"Apa desa ini milikmu?" tanya Julia ketus.
"Dengar Nona Kota..."
"Aku akan pergi kalau sudah melihat matahari terbit," potong Julia cepat. Pria itu menghela nafas panjang lalu membuka jaketnya dan mengingatnya di bahunya.
"Kau sangat tidak cocok berada di tempat ini," tukasnya.
"Ya, aku mengerti. Aku tidak akan berisik dan tidak akan menciptakan kekacauan apapun. Sekarang, bisakah kau hanya diam saja dan menganggap aku tidak ada?" tanya Julia keras kepala. Lalu ia mengalihkan perhatiannya pada danau itu. Ia sadar kalau pria itu masih menatapnya tapi ia menegakkan punggungnya dengan angkuh dan tak mau menoleh pada mata biru itu lagi.
Perlahan sang mentari pagi muncul dari ufuk Timur, berani dan tanpa malu. Pagi mulai merangkak jelas. Kali ini Julia tak mau repot-repot lagi merekam video karena ia merekam semuanya lewat ingatannya, di mana tak seorang pun bisa menghapusnya. Ia mengangkat tangannya seolah ia bisa menyentuh matahari dengan kedua tangannya. Ia tersenyum sendiri ketika ia membalikkan tangannya karena ia sama sekali tak berhasil menyentuh apapun.
Julia tidak tahu berapa lama ia melihat pemandangan indah itu. Ia masih berpura-pura mengabaikan kehadiran pria asing itu walaupun sebenarnya ia tetap tidak bisa menganggap pria itu tidak ada. Ketika matahari sudah agak tinggi, ia memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Ia bangkit dan berniat mengambil sneakernya.
"Kadang-kadang kau bisa melihat pelangi di sana."
"Ya?"
Julia terkejut ketika pria itu berbicara tentang pelangi, pijakan kakinya di atas batu tidak mantap sehingga ia terpeleset. Namun pria itu dengan sigap berdiri dan meloncat dua kali untuk sampai di tempat Julia dan menahannya agar tidak jatuh.
"Hati-hati!"
"Oh!"
"Batunya licin, Nona Kota."
Julia menjauhkan diri dari pelukan pria itu. Pegangan tangannya seperti meninggalkan panas di kulitnya.
"Terima kasih."
Pria itu tersenyum dan entah mengapa Julia harus mengakui kalau senyumannya kali ini bukanlah senyuman mengejek atau senyum sinis seperti biasanya.
"Ya? Kau mengucapkan terima kasih?" tanyanya sedikit geli.
Justru ketika pria sangar itu berkata dengan normal, Julia jadi tidak terbiasa dengan kelakuannya. Sekali lagi karena agak terpana dengan senyumannya, Julia kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh untuk kedua kalinya. Namun lagi-lagi pria sangar itu dengan sigap menjangkaunya, kali ini memeluk pinggang Julia.
"Hei! Apa yang sedang kau pikirkan, Gadis Kota?" omelnya. Julia terburu-buru berdiri dengan baik. Tapi tangan kuat pria itu masih memeluk pinggangnya.
"Tunggu di sini!" pesannya. Lalu ia duluan turun dari batu dan berbalik sambil mengulurkan tangannya.
"Ayo!"
Julia masih ragu-ragu menyambut uluran tangan pria itu. Pertama ia takut kalau tangan itu akan meninggalkan rasa panas di kulitnya. Kedua, ia tak terbiasa dengan perubahan sikap yang tiba-tiba ini. Dari pria yang dingin menjadi ramah.
"Bisakah kau menyambut uluran tanganku sekarang sebelum tanganku mati rasa?" tanya pria itu dengan senyuman di bibirnya. Julia benar-benar ingin menampik tangan itu tapi itu sebelum pria itu memamerkan senyumnya yang hangat itu.
Sekarang yang bisa dilakukannya hanya menyambut uluran tangan pria itu. Ia benar-benar tersihir oleh pria asing itu. Dan gadis itu baru menyadari kalau lengan pria itu bertatto. Ia tak tahu persis tatto gambar apa itu karena tatto itu hanya mengintip dari ujung lengan bajunya. Yang pasti lengannya berotot.
Pria itu membantunya turun dari batu dan baru melepaskan tangannya ketika Julia sudah berada di jalan setapak.
"Tunggu sebentar," pesannya. Ia lalu kembali ke batu tempat Julia meninggalkan sepatunya di sana dan menjinjing sepatu itu kembali ke tempat Julia berdiri. Gadis itu sama sekali tak menyangka kalau pria itu akan berjongkok dan membantunya memakai kembali sepatunya. Wajah Julia langsung merah seketika.
"T-terima kasih," ucapnya tergagap. Pria itu hanya mengangguk sedikit.
"Kau tahu arah pulang kan?" tanyanya dengan datar. Sikapnya kembali dingin seperti semula dan Julia lebih bisa mengantisipasi sikap yang seperti ini.
"Y-ya, t-terima kasih dan sampai jumpa," ucapnya masih sedikit tergagap lalu berbalik dan meninggalkan pria itu tanpa menoleh lagi. Ia akan semakin bingung jika pria itu berubah sikap lagi, jadi sebaiknya ia secepatnya meninggalkan pria itu.
***
Jayden, dokter muda yang masih memiliki darah Belanda dari garis keturunan sang ibu itu sudah beberapa hari tidak bisa tidur nyenyak. Sejak ia bertemu dengan gadis yang menawan dari kota itu. Gadis yang ia tahu namanya Julia.
Jayden sadar ketika ia menatap ke dalam mata gadis itu, ia seolah tersihir dan mengikuti arus deras yang ada dalam mata gadis itu. Kehadiran gadis itu sangat mengganggunya. Ia cukup kesal menyadarinya. Ia setengah berhaap agar gadis itu segera pergi dari desa itu dan menghibur dirinya sendiri kalau semua itu hanya karena ia sudah terlalu lama tidak menjalin hubungan dengan wanita.
Tapi benarkah anggapannya itu?
Mengapa hanya gadis yang satu itu yang membuatnya merasa seperti itu sedangkan gadis yang lain tidak menimbulkan efek yang sama?
Dia Jayden van der Lijn, seorang dokter berusia 34 tahun. Bukan anak ingusan yang sama sekali tidak pernah menjalin hubungan dengan makhluk perempuan. Dia Dokter Jayden yang flamboyan.
Meskipun memiliki banyak skandal, Jayden selalu menghindari diri dari hubungan jangka panjang. Ia telah bertekad bila saja ia menikahi seorang perempuan maka itu akan menjadi hubungan simbiosis mutualisme bukan karena ia jatuh cinta pada istrinya. Semua itu karena pengalaman sang ibunda.
Arabella van der Lijn, ibunda Jayden, seorang gadis keturunan Belanda yang lahir di Indonesia. Ia sudah yatim piatu sejak menjadi mahasiswi fakultas sejarah ketika bertemu dengan ayah biologis Jayden, Hendrawan Wijaya, putra seorang pebisnis di negara ini. Arabella muda yang idealis jatuh cinta pada pemuda ini sehingga melupakan prinsip idealismenya. Gadis muda itu hamil sebelum menikah. Keluarga sang kekasih menolak penerus keluarga itu menikahi seorang gadis muda yang tak jelas asal-usulnya dan yatim piatu. Hendrawan juga tidak memiliki keberanian untuk mengajak kabur sang kekasih dan meninggalkannya begitu saja dalam kondisi hamil. Ketika Arabella sedang berjuang melahirkan anaknya seorang diri, Hendrawan sedang menyelenggarakan pesta pertunangannya dengan gadis lain.
Arabella tidak pernah menanamkan kebencian terhadap Hendrawan dalam diri Jayden kecil sampai kebencian itu muncul sendiri ketika Jayden cukup memahami semuanya.
Hukuman untuk seorang penghianat seperti Hendrawan Wijaya karena mencampakkan Arabella adalah tidak memiliki garis keturunan dari istri sahnya. Sang istri mandul. Sebagai seorang yang memiliki banyak harta, Hendrawan memiliki banyak istri simpanan tapi tetap saja ia tidak memiliki garis keturunan laki-laki.
Mulailah di saat usianya sepuluh tahun, Hendrawan meminta hak asuh atas diri Jayden pada Arabella. Dengan iming-iming harta. Namun Arabella bukanlah seorang ibu yang gila harta, menolak permohonan Hendrawan. Pria itu tidak menyerah begitu saja. Ia membujuk Arabella dan mengatakan kalau masa depan Jayden akan lebih baik jika ia bersamanya karena ia memiliki banyak uang dibanding bersama ibunya yang akan kesulitan memberikan pendidikan terbaik untuk anak itu karena Arabella hanya seorang guru sekolah dasar. Meskipun begitu Arabella terus menolak. Hendrawan melanjutkan aksinya dengan teror, menculik Jayden namun Jayden berhasil lolos. Sampai akhirnya sang ibu memutuskan untuk membawa Jayden menghilang dari hadapan Hendrawan.
Pada dini hari itu, Jayden masih ingat, ia dibangunkan ibunya. Mereka hanya membawa beberapa baju dan meninggalkan kota Bandung. Sehingga akhirnya mereka tiba di desa di Pulau Samosir. Arabella mengatakan ini akan menjadi rumah Jayden sampai Jayden dewasa. Mereka akan aman dari kejaran orang-orang Hendrawan. Jayden percaya akan kata-kata ibunya.
Arabella bekerja menjadi tenaga pengajar di desa terpencil yang memang kekurangan tenaga guru. Dengan gaji yang pas-pasan, Arabella menyekolahkan Jayden sampai Jayden memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya ke Jogyakarta. Awalnya Jayden ragu meninggalkan sang ibu di desa itu sendirian namun sang ibu meyakinkannya bahwa sudah saatnya ia pergi, Jayden pun dengan berat hati meninggalkan Pulau Samosir.
Ketika menuntut ilmu di Jogyakarta, orang-orang Hendrawan berhasil menemukannya. Namun Jayden sudah terlampau dewasa saat itu untuk tunduk kepada perintah Hendrawan sampai Hendrawan merasa lelah mendekati Jayden dengan cara itu. Ia pun mulai menyerah karena Jayden sampai mati pun tidak akan tunduk padanya.
Setahun sebelum Jayden meraih gelar dokternya, Sang Ibu menghadap Sang Pencipta. Arabella van der Lijn, meninggal dalam usia 46 tahun, tidak ada penyakit apapun dalam tubuhnya. Hanya mungkin ia merasa tugasnya sebagai ibu telah selesai. Dan ia sudah terlalu lelah dengan pahitnya kehidupan ini.
Jayden terlalu mencintai ibunya. Karena itulah ia tidak bisa memaafkan Hendrawan Wijaya, bajingan yang juga adalah ayahnya. Dan ia juga tidak mau bernasib sama seperti Sang Ibu. Jatuh cinta dan menyebabkan dirinya hancur. Meskipun Arabella tidak pernah mengatakan seperti apa cintanya pada Hendrawan tapi Jayden tahu bahwa Sang Ibu sangat mencintai pria itu.
Hm, Jayden mendesah.
Baginya jatuh cinta dan menikah itu dua hal yang berbeda. Ia telah menerima suatu prinsip kalau ia bisa menikah tanpa harus ada cinta. Sejak awal ia telah merencanakan itu.
Simbiosis mutualisme.
Jayden memejamkan matanya sambil bersandar di kursinya yang sederhana di kliniknya.
Membayangkan tanggal dan tempat yang sudah tercetak di kartu undangan pernikahannya. Semuanya telah diatur oleh pemilik rumah sakit. Ia akan menikahi Clara Tandy, putri dari salah satu pemilik rumah sakit swasta di Jakarta dan mertuanya akan mengatur kalau Jayden akan menjadi kepala di rumah sakit itu.
Ia tak pernah mencintai Clara Tandy. Ia bahkan tidak pernah menatap wajah Clara lebih dari lima detik.
Clara bukannya wanita yang tidak cantik, ia rupawan dan cerdas. Sang ayah mengirimnya untuk kuliah ke Swiss. Dan mereka berdua akan menjadi pasangan yang cocok. Jayden sebagai kepala RS dan Clara mengurus manajemen RS.
Tapi rencana itu gagal.
Clara mencoreng wajah sang Ayah dengan ketidakhadirannya di pesta pernikahannya sendiri dan ini menjadi gosip paling panas yang terus-menerus dibicarakan oleh para dokter, staf, dan karyawan rumah sakit dari level yang tertinggi sampai ke level terendah. Tetapi anehnya Jayden merasa lega karena pembatalan pernikahan ini. Memang harus diakui kalau ia paling sedikit merasa malu karena ditinggalkan oleh mempelai tapi paling tidak, ia merasa bebas dari pernikahan yang akan menjeratnya. Ia masih seorang playboy dan konsep setia sampai mati pada sesorang itu membuatnya ingin muntah.
Jayden membuang semua tali kekangnya, meninggalkan karir cemerlangnya di rumah sakit itu dan meninggalkan Jakarta untuk mengabdikan dirinya di Pulau Samosir, tempat di mana ibunya Arabella dikuburkan.
Pada tahap ia jujur pada dirinya, ia mengakui kalau ini adalah hukuman baginya karena menggunakan pernikahan sebagai ajang pembuktian egonya. Ia hanya ingin menunjukkan kepada Hendrawan kalau inilah yang dulu dilakukan Sang Ayah. Dan untunglah semua ini gagal dan ia tak perlu mengikuti jejak Sang Ayah. Tidak ada yang dikorbankan seperti Hendrawan mengorbankan Arabella.
Di Pulau Samosir ini, Jayden merasakan ketenangan. Kadang-kadang ia bisa bercakap-cakap dengan danau seolah danau itu adalah ibunya. Mereka berbicara tentang apa saja, hidup, masa depan, kematian, apa saja yang terlintas dalam benak Jayden.
Sampai ketenangan itu terusik oleh makhluk rupawan di tepi danau bernama Julia. Jayden selalu merasa kalau gadis itu menyembunyikan sesuatu. Ada sesuatu yang sendu ketika Jayden menatap ke dalam matanya. Mata indah yang tidak bisa berbohong dengan apa yang dirasakan oleh hatinya. Terkadang ketika ia sedang memikirkan gadis itu, ia mengingatkan dirinya sendiri untuk menanyakan apa maksud gadis itu merusak ketenangannya di desa ini tetapi ketika berhadapan dengan makhluk rupawan itu ia selalu saja lupa. Ia lupa bagaimana cara bersopan santun, ia lupa bagaimana cara menundukkan gadis-gadis. Ia hanya bisa membiarkan dirinya berlaku di luar akal sehatnya.
Seperti membantunya memakai sepatu!
Jay ingin terjun dari tebing jika ia ingat ia melakukan hal itu.
Dia! Jayden van der Lijn membantu seorang gadis memakai sepatunya. Dan ia juga berusaha mati-matian ingin menyumpal bibir gadis itu ketika gadis itu terlalu banyak bicara dan mengoceh tak tentu arah. Jay ingin menyumbat bibirnya, dengan cara-cara yang tidak sopan tentunya.
Jayden menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pasti sudah tidak waras. Ia hancur berkeping-keping dan tak tertolong lagi. Entah apa yang membuat Jayden menjadi seperti itu. Tidak ada seorang wanita pun di masa lalunya yang bisa membuat darah Jay berdesir hanya dengan mengingatnya saja.
Ah Jay! Kau akan bisa melupakannya ketika kau sudah menundukkan. Masalahnya sekarang gadis itu masih belum kau tundukan.
Jay sendiri tidak yakin akan pemikirannya ini. Diacaknya rambutnya sendiri.
Satu-satunya yang bisa dilakukannya sekarang adalah berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan bersikap lebih ramah jika ia bertemu dengan Julia. Kalau Julia bisa ditundukkannya, mungkin saja perasaannya bisa menghilang dengan sendirinya. Ia masih menganggap kalau perasaan hanya muncul karena ia penasaran pada gadis itu.
Kuharap begitu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top