16. The Wind Blows


Julia tidak menyukai bangun terlambat di pagi hari karena mabuk. Itu membuat moodnya langsung rusak dan menyebabkan sakit kepala berkepanjangan. Itulah yang terjadi pagi ini dan ia terlambat sampai di kantor, disambut dengan sebuket bunga mawar merah yang tanpa ia lihat nama pengirimnya langsung ia campakkan ke dalam tong sampah, lalu menerima omelan dari bosnya selama tiga puluh menit karena keterlambatannya, dilanjutkan dengan meeting mendadak membahas issue majalah untuk edisi mendatang.

Julia duduk di ruangan meeting sambil menahan kantuk yang teramat sangat. Yang ia inginkan saat ini adalah secangkir kopi panas, espresso. Andai saja ia bisa pergi ke mall di seberang gedung ini, pikirnya ketika Susan menyodorkan sebuah kertas memo kecil ke tangannya. Julia menerima memo itu dan menyembunyikannya di bawah meja.

Orang-orang di lantai dasar sedang menggosipkan dirimu.

Gosip apa?

Julia menyerahkan memo itu pada Susan. Tak lama kemudian balasannya datang lagi.

Kau dengan dua pria tampan. Kalau kau punya dua, mengapa tidak kau berikan satu untukku?

Julia menyeringai lalu menulis balasannya.

You wish! Sekarang tidak ada satu pun lagi. Aku jomblo! Kalau kau punya, kenalkan satu padaku :(

Julia melihat wajah Susan berubah membaca memonya. Susan melipat kertas itu dan memasukkan memo itu ke dalam saku jasnya. Dan rasa kantuk Julia menyerang lagi.

Oh, espresso!

***

Jayden tiba di gedung itu lagi. Ia baru saja sarapan secangkir kopi panas. Untunglah cafe di seberang gedung kantor Julia itu sudah buka sepagi itu kalau tidak ia pasti tidak sanggup membuka matanya lagi. Jayden mengantar Herman dan Marta dari rumah sakit kembali ke rumah Marta, Jayden sebenarnya berkeras ingin menemui Julia tapi Marta menyarankan dirinya untuk beristirahat dan baru kembali menemui Julia di kantornya. Marta bilang Jayden tampak menyedihkan karena kurang tidur dan disetujui oleh Herman. Herman bahkan menambahkan kalau saja Jayden bercermin maka ia akan melihat monster di cerminnya. Jayden menyumpah-nyumpah. Tetapi akhirnya ia menuruti saran Marta, ia kembali ke apartemannya, tidur sejam karena matanya sama sekali tak bisa terpejam sebelumnya.

Pagi itu barulah ia mengendarai mobil pinjamannya menuju gedung perkantoran itu untuk menemui Julia. Sang resepsionis sepertinya masih mengingat Jayden karena Jayden memang sosok yang sulit dilupakan dan ditambah dengan kehebohan yang terjadi ketika ia menonjok tunangan Julia kemarin.

Jayden memasang senyum yang paling manis untuk resepsionis itu. Bukan tak mungkin setelah kejadian kemarin ia dilarang untuk masuk ke dalam gedung ini. Jayden baru saja berpikir bagaimana cara masuk ke kantor Julia tanpa ketahuan gadis itu sehingga gadis itu tak bisa kabur ketika matanya menangkap seorang pria tua beserta beberapa pengawalnya juga memasuki gedung itu. Jayden memalingkan wajahnya, berharap pria itu tak melihat dirinya.

"Masih belum bosan dengan skandal, Nak?" sindir pria itu. Jayden tahu tidak ada gunanya bersembunyi.

"Sebenarnya bukan skandal," jawab Jayden tenang.

Pria itu melewatinya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Para pengawal mempersilahkan pria itu masuk ke lift. Ketika ia masuk diikuti oleh pengawal, pria itu masih sempat bertanya, " Tidak ikut?"

Jayden mengedik dingin. Lalu pintu lift tertutup.

"Bisa kau katakan di lantai berapa kantor majalah Lady?" tanya Jayden sambil memamerkan senyum mautnya

***

Julia masih menguap di dalam ruangan meeting ketika Susan mempresentasikan issue majalah. Pikirannya masih berkutat antara tidur, espresso, dan Jayden.

Ia akan mencari laki-laki yang paling berpotensi untuk dijadikan pacar. Lebih dari Colin, pasti bisa. Lebih dari Jayden, nah itu agak sulit. Tapi ia akan menghubungi Bianca segera setelah meeting ini berakhir. Ia akan mengajak Bianca ke klub malam, party and find a guy. Pokoknya ia harus melupakan Jayden.

Susan baru saja menyelesaikan presentasinya ketika Julia menguap lagi dan seseorang membuat kehebohan dengan menendang pintu ruangan meeting dan menyebabkan semua kepala di ruangan itu menoleh ke arah pintu, termasuk Julia yang masih setengah sadar.

BRAK!

Julia menganga dengan mata masih mengantuk. Susan yang berdiri paling dekat dengan pintu ruangan meeting menelan ludah sebelum bertanya, "Selamat siang, Anda ada keperluan apa?"

"Jay?"

"Maafkan kelancanganku menginterupsi meeting, tapi..."

Jayden melangkah masuk dengan sosoknya yang mengintimidasi, Susan yang menghalangi akses masuk pun menghindar. Pria itu menatap Julia intens sehingga rasa kantuk gadis itu langsung menghilang dalam sekejap. Julia kelabakan, ia tak bisa kabur dan tak bisa melakukan langkah apapun untuk mencegah Jayden mendekatinya.

"Aku perlu bicara dengan kekasihku."

Lalu Jayden menarik tangan Julia sehingga gadis itu terpaksa berdiri dan mengikutinya keluar dari ruangan meeting. Rekan-rekan Julia dan bosnya menatap gadis itu keluar dari ruangan sambil menganga apalagi pria yang menariknya keluar adalah seorang pria yang sangat mempesona.

Julia ingin menghilang. Saat itu juga.

Gadis itu berusaha melepaskan tangannya dari Jayden tapi Jayden tak ingin membiarkan gadis itu lolos lagi. Ia menyeret gadis itu sampai di tempat parkiran dan memaksanya duduk di belakang stir.

"Geser, Mijn Lieve."

Julia menatap Jayden dengan geram tapi ia bergeser juga. Jayden sengaja mendudukkannya di belakang stir supaya ia tidak kabur ketika Jayden masuk ke mobil.

Jayden tancap gas meninggalkan gedung perkantoran. Sengaja ia mengeraskan musik di mobilnya agar Julia tidak bicara selama perjalanan. Jayden tidak ingin bicara sekarang, di saat mereka sedang berada di mobil.

"Mau ke mana kau membawaku?" teriaknya geram.

"Diamlah Mooie Vrouw. Kita akan bicara tapi nanti," jawab Jayden datar.

"Aku harus kembali ke office. kau terlalu lancang menerobos rapat seperti itu!"

"Nanti. Aku sedang nyetir," tukas jayden tenang tanpa menoleh kepada Julia. Julia menghembuskan nafasnya, kelihatannya ia sangat jengkel.

"Dan tenangkan dirimu dulu. Kau tidak akan mendengarkanku jika kau sedang emosi," desah Jayden lembut. Jayden melajukan mobilnya ke apartemennya di daerah Casablanca. Ia langsung mencari tempat parkir. Lalu ia turun dari mobil, Julia ikut turun. Gadis itu berkacak pinggang dengan angkuh di depan Jayden, menantangnya sementara Jayden tampak santai bersandar di pintu mobil.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Jayden santai. Julia tampak seperti ingin mencekik Jayden tapi Jayden tidak ingin terpancing dengan emosi gadis itu. Mereka harus bicara, Julia harus mendengarkan dia sekarang.

"Kau menanyakan keadaanku. Oh, Dokter, hidupku baik-baik saja, jangan kuatir. Tak perlu menguatirkanku," tukas Julia sinis. Jayden mendengus.

"Kau pendusta yang buruk, Mooie Vrouw," ucap Jayden lembut. Ia menarik Julia bercermin di kaca spion mobilnya dan kaca itu menunjukkan betapa berantakannya Julia saat itu, kurang tidur, bahkan krim matanya tidak bisa menyembunyikan lingkaran hitam di bawah matanya yang membuatnya sama seperti panda.

Julia menepis tangan Jayden yang menyentuh wajahnya. Ia tidak suka disentuh pria itu lagi meskipun begitu ia masih merasa hangat menjalari tubuhnya saat pria menyentuhnya.

"Kau benar-benar tidak peduli padaku, Mooie Vrouw, lalu mengapa kau kabur ketika kau bertemu dengan Clara?"

Wajah Julia pucat. Ia membalikkan badannya dan tak mau menatap Jayden.

"Kalau kau tidak peduli padaku Mooie Vrouw, mengapa kau kesal aku mencium wanita lain?" tanya Jayden sambil membalikkan tubuh Julia agar ia dapat menatapnya. Gadis itu menatap Jayden dengan emosi.

"Bukankah lebih baik kau bertanya padaku siapa Clara? Mengapa ia bisa berada di klinik daripada kau kabur begitu saja?"

"Kau tidak pernah mengatakan apa-apa tentang masa lalumu. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Kau terlalu misterius!" raung Julia putus asa. Jayden menghembuskan nafasnya dengan kesal, ia kesal pada dirinya sendiri mengapa tidak sejak awal ia menceritakan apa pun yang ingin diketahui Julia hingga tidak perlu menyebabkan kesalahpahaman seperti ini.

"Dengar, Julia! Masa laluku tidak penting karena itu aku merasa tak perlu menceritakan apapun padamu. Itu salahku. Aku tahu itu memang salahku. Hidupku dimulai sejak kau muncul. Sekarang kau ingin tahu segalanya, baik. Akan kuceritakan semuanya padamu Tapi sebelumnya kau harus tahu bahwa hidupku dulu tidak sebaik anggapanmu. Aku bukanlah pangeran berkuda putih atau ksatria berbaju mengkilat dalam mimpi seorang gadis," tukas Jayden. Julia diam. Jayden mengatakan semua yang ingin iakatakan dengan nada emosi.

"Kau sudah tahu ibuku adalah seorang ibu tunggal, tidak memiliki sanak saudara, ia lahir di Indonesia dan tidak berniat kembali ke Belanda. Karena ibuku, aku sama sekali tidak percaya pada cinta. Dengar Julia, bagian ini mungkin akan membuatmu membenciku. Kau masih ingin mendengarnya?"

"Jay," panggil Julia melembut.

"Aku tidak munafik, ada banyak wanita dalam hidupku dan aku tak pernah berencana untuk jatuh cinta. Clara memang tunanganku karena ayahnya direktur rumah sakit. Aku menyetujui perjodohan ini, pertama karena pernikahan ini bisa mendongrak karirku. Kedua, ayah kandungku. Damn! I hate him!"

Julia tidak tahu mengapa ia mengambil inisiatif memeluk Jayden. Jayden yang sekarang berdiri di depannya tampak rapuh dan terluka. Pria itu menelan ludahnya. Julia bahkan bisa mendengar jantung pria itu berpacu dengan cepat.

"Ayah biologisku tidak menikahi ibuku tapi ingin aku menjadi pewarisnya karena ia tidak memiliki anak laki-laki dari istri sahnya," tukas Jayden.

"Sudahlah Jay, jangan ceritakan lagi jika itu hanya membuatmu terluka," bisik Julia sambil menepuk punggung Jayden.

"Kau harus mendengar semuanya. Aku tidak ingin menyembunyikan apapun darimu lagi," balas Jayden. Julia mendongak, Jayden sedang menunduk menatapnya. Jayden benar-benar terluka, itu sebabnya matanya selalu tampak sendu.

"Karena itu aku bersumpah pada diriku sendiri. Aku akan memperoleh kedudukan bahkan lebih tinggi dari ayahku. Clara meninggalkan beberapa saat sebelum pernikahan. Kau harus tahu betapa leganya aku karena tidak jadi menikah. Tidak ada cinta dalam hubungan kami. Ia tahu aku banyak skandal dan ia juga memiliki pacar yang tak pernah disetujui oleh direktur. Aku pergi dari rumah sakit, meninggalkan Jakarta dan menyepi ke pulau, di tempat ibuku dikuburkan," lanjut Jayden. Julia masih menatap Jayden sambil memeluk Jayden. Jayden tergoda untuk menunduk dan meraup bibir Julia yang seolah sudah menunggunya.

"Sampai kau datang di pulau itu," tukas Jayden, ia mendesah kemudian tersenyum mengingat bagaimana awal pertemuan mereka. Julia muncul begitu saja dan membuat semua rencana untuk tidak jatuh cinta berantakan.

"Kau hadir dalam hidupku bagai angin, Mijn Lieve. Aku bahkan tidak ingin mengenal, tidak ingin menatapmu, tidak ingin menyukaimu. Tapi angin berhembus begitu saja dan tiba-tiba saja aku tidak bisa berpaling darimu. Kau membuatku kehilangan kendali atas diriku sampai aku tidak bisa mengontrol kemauanku lagi," desah Jayden rendah. Matanya menatap Julia intens.

"Cincin yang kau lihat itu, itu cincin tunangan kami dulu. Seharusnya kubuang cincin itu sejak dulu. Aku bahkan sudah lupa aku masih memilikinya," tukasnya dengan nada menyesal.

Jayden menarik tangan Julia mengenggamnya kemudian mengecupnya dengan ringan. Julia menggigit bibirnya. Jayden mendesah. Ia sudah menceritakan semua tentang dirinya. Hanya ada dua kemungkinan, Julia akan menerimanya atau malah Julia akan makin membencinya.

"Mijn Lieve, berjanjilah untuk tidak meninggalkanku. Aku tidak ingin ditinggalkan lagi," bisik Jayden parau. Julia menatap mata sendu dan teduh milik pria itu. Biru berbingkai hazel seperti yang diingat Julia. Lalu ia tersenyum. Jayden lega melihat gadis itu tersenyum. Tapi...

"Ouch!" Jayden meringis karena Julia baru saja menendang lututnya.

"Sakit?"

Jayden meringis dan tidak menjawab. Julia menatapnya dengan sebal.

"Untuk insiden yang harus kulihat di bar," ucap Julia dengan nada angkuh.

"Ah, aku minta maaf soal itu. Kau boleh memukulku dan menendangku lagi sebagai hukumannya," ujar Jay pasrah. Apapun juga asal Julia memaafkannya dan kembali ke sisinya. Julia memukul dada Jay kuat-kuat beberapa kali tapi seperti sedang memukul tembok malah akhirnya Jayden menangkap tangannya dan memeluknya.

"Aku benci padamu!"

"Aku tahu," bisik Jayden.

"Tapi aku juga mencintaimu," tambah Julia.

"Jangan pernah katakan kau muak denganku, Mijn Lieve. Hidupku tak pernah sama lagi sejak kau ada dan kau harus bertanggung jawab karena telah menyebabkan aku menjadi begini," desah Jayden lembut. Lalu ia menangkup wajah Julia dan mencium bibirnya. Julia hanya memejamkan matanya menyambut bibir Jayden.

***

"Aku pasti dipecat!" tukas Julia putus asa ketika mereka sedang menunggu lift yang akan membawa mereka ke lantai atas.

"Jangan kuatir, Mijn Lieve, aku akan menjagamu," bisik Jayden dengan suara rendah yang menggoda.

"Ini gara-gara kau!" raung Julia. Jayden menyeringai.

"Aku sudah bilang aku kehilangan kendali atas diriku sendiri," desahnya. Julia menyipitkan matanya menatap pria itu dengan jengkel. Tapi ia tak pernah bisa jengkel lagi pada Jayden setelah semuanya ini.

"Apa kau kira aku akan mengejar-ngejar seorang wanita sampai ke ruangan meeting di masa laluku?"

Julia memejamkan matanya sambil menarik nafas panjang. Pemikirannya tentang ia tak bisa jengkel pada Jayden tidak berlaku lagi sekarang.

"Jangan pernah meninggalkanku jika kau tak ingin melihat insiden yang seperti tadi," bisik Jayden mengancam di balik suaranya yang lembut. Julia menoleh padanya. Kalau saja tidak berada di tempat umum, Jayden akan senang menciumnya.

Ting tong!

Pintu lift terbuka.

Jayden dan Julia masih saling bertatapan dan tersenyum ketika seorang mendehem dari dalam lift. Jayden menoleh dan ia tertegun. Wajahnya langsung berubah tegang dan senyumnya membeku. Matanya juga berubah dingin. Bahkan lengannya yang digandeng Julia berubah kaku.

Julia sadar kalau yang menjadi penyebab Jayden berubah adalah orang di dalam lift itu yang juga sedang mengawasi mereka berdua. Julia begitu terkejut melihat pria yang berusia setengah baya itu gesturenya agak mirip dengan Jayden meskipun Jayden mewarisi wajah barat seperti ibunya.

Pria itu menatap tajam ke arah Jayden jadi sekarang mereka saling bertatapan. Para pengawalnya mempersilahkan pria iu keluar dari lift. Pria itu melangkah penuh wibawa dan kelihatan kalau ia memang orang yang berpengaruh.

Ia melewati Jayden. Jayden masih membisu.

"Kau benar-benar mirip denganku pada saat aku muda, Nak."

Jayden tertegun begitu juga Julia. Gadis itu baru sadar kalau insiden kemarin yang melibatkan Jayden dan Colin pasti diketahui orang ini. Dan ia baru ingat kalau Jayden berpapasan dengan pria ini ketika ia berjalan keluar.

Pria itu kembali melangkah diikuti pengawal dan para asistennya. Kening Jayden berdenyut, rahangnya mengeras pertanda ia sedang menahan emosinya. Julia menggoyang lengan Jayden, ketika Jayden menoleh, gadis itu tersenyum padanya. Jayden membalas senyuman itu.

"Tunggu."

Pria itu menghentikan langkahnya begitu juga para pengawalnya. Jayden mengusap tangan Julia yang berada di lengannya kemudian merangkul pinggang gadis itu untuk berhadapan dengan ayah biologisnya.

Pria itu menyipitkan matanya menatap Jayden dan menunggu apa yang hendak dikatakan Jayden.

"Aku sama sekali tidak mirip kau, Old Man. Kau akan terus sendirian di masa tuamu karena kau tak pernah mencintai siapapun dalam hidupmu. Sepanjang hidup Ibuku mencintaimu tapi kau menyia-nyiakannya. Tapi aku berbeda denganmu karena aku memiliki orang yang kucintai dan mencintaiku."

Sehabis berkata demikian, Jayden menarik tangan Julia meninggalkan pria itu dan masuk ke dalam lift. Julia sampai lupa bagaimana cara berjalan, bagaiman cara bernafas karena ia sibuk menguatirkan Jayden yang nafasnya seperti sedang diburu, matanya masih memancarkan emosi. Gadis itu kuatir Jayden akan meledak sebentar lagi.

"Jay," panggilnya sambil mengoyang tangan Jay yang masih menggenggam jemarinya. Pria itu menatap Julia. Satu-satunya yang bisa mendinginkan emosinya saat itu hanya senyuman Julia. Pandangan matanya melembut.

"Hm...."

Julia berjinjit mencium bibirnya, ia melupakan kamera cctv yang ada di dalam lift. Ia tidak peduli petugas keamanan akan bergosip soal ini nantinya. Ia ingin mencium kekasihnya. Dan Jayden membalas ciumannya dengan lembut.

"Jika kau tidak berhenti, aku yakin, kita akan bercinta di sini," bisik Jayden parau. Julia meringis.

"Kau baru saja mengatakan pada ayahmu kalau kau mencintaiku, tadinya aku sudah pesimis dengan pengalamanmu kau tidak akan mengatakannya," ujar Julia. Jayden tersenyum lembut dan ia tampak sangat mempesona.

"Kalau aku tahu sambutannya akan begini, aku akan mengatakannya berkali-kali," godanya membuat wajah Julia memerah. Ia menangkup wajah Julia agar Julia menatapnya.

"I love you, Julia."

"I love you too, Jay."

How I could be such a fool

To let go of love and break all the rules.

Julia mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket mungilnya ketika lagu Boyzone itu mengalun dan tersenyum membaca nama Marta terpampang di layar.

"Halo Marta!"

Jayden tampak cemberut karena kesenangannya diinterupsi oleh telepon.

"Halo Julia. Apa dokter itu sudah menemuimu?"

"Hm hm. Sekarang ia di sini bersamaku," jawab Julia sambil melirik Jayden.

"Jadi sekarang kau sudah memaafkannya? Syukurlah."

Lagi-lagi Julia melirik Jayden dan tersenyum padanya.

"Uhm, aku ingin menyampaikan suatu kabar baik untukmu, J. Bisakah kita bertemu di Burgundy?"

"Kabar baik apa?"

Jayden tidak sabar, ia segera merebut telepon dari tangan Julia dan mengusap layar soundspeaker.

"Marta, begini, bagaimana kalau aku saja yang mengatakan kepada Julia kabar baiknya dan kau jangan mengganggu kami dulu."

"Dokter Jay! Teganya kau!" teriak Marta di telepon. Julia benar-benar tak menyangka kalau sahabatnya bisa berteriak pada Jayden.

"Kami sedang sibuk. Pokoknya jangan ganggu kami."

"Bang! Beraninya kau berkata seperti pada pacarku!"

Kini suara Herman terdengar.

"Kita bertemu jam 8 di tempat kemarin malam," tukas Julia cepat. Ia ingin segera menutup telepon dan meminta penjelasan pada Jayden mengapa Herman menyebut Marta pacarnya.

"Ah, entahlah Bang. Aku sedikit trauma dengan tempat itu setelah kejadian kemarin. Kau yakin tidak akan mengalami insiden yang sama jika kau bersama Julia?"

"Brengsek kau, Her!!!" teriak Julia. Terdengar suara Herman terkekeh geli.

Jayden tidak berminat meneruskan percakapan itu dan langsung berkata, "Kututup teleponnya. Jam 8."

Klik!

Julia menatap Jayden menuntut penjelasan dari pria itu.

"Kau sangat tidak peka, Mooie Vrouw," tukas Jayden sambil mengembalikan ponsel Julia. Julia menerima ponsel itu dengan bibir cemberut dan kening berkerut sampai pria itu mengusap keningnya.

"Kau tidak tahu ada sesuatu antara sahabatmu dan Herman?" tanya Jayden.

"Marta dan Herman? Bagaimana kau bisa tahu?"

Jayden mendesah sebelum menceritakan kejadian kemarin setelah Julia meninggalkan klub, Jayden mengantarkan Marta dan Herman lalu bertemu dengan Hindra, suami Marta yang memukul Herman kemudian dilanjutkan dengan kejadian di rumah sakit saat Herman menyatakan cintanya pada Marta.

Julia terpana mendengarnya.

"Mengapa kau tidak menceritakannya dari tadi? Aku menjadi orang tolol yang tidak tahu sahabatku mengalami hal seperti itu," tukas Julia sambil memukul dada Jayden.

"Apa kau memberiku kesempatan untuk bicara? Bicara soal kita saja, aku sampai harus menerobos acara meeting," gerutu Jayden membuat gadis di sisinya menyeringai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top