15. The Phantom, The Hero and The Lovers


Herman sebenarnya menguatirkan keadaan Jayden. Dia mabuk dan masih harus menyetir. Itu menjadi alasan yang dikemukakan pria itu ketika Herman menanyakan mengapa ia bisa mencium gadis yang baru dikenalnya padahal ia sudah menolak gadis itu sebelumnya dan sialnya lagi semua itu kepergok oleh Julia. Ia terlalu mabuk.

Herman berbaik hati menawarkan diri menyetir mobil Jayden dan sadar keadaannya tidak memungkinkan, Jayden menerimanya tapi ia mendesak agar Herman mengantarkan ia ke rumah Julia setelah mereka mengantarkan Marta. Herman menolak dengan mengatakan Julia tak akan mau menemui pria itu dan bicara dengannya dalam keadaan mabuk. Jayden menyumpah-nyumpah ketika ia masuk ke dalam mobil sementara Marta duduk di depan bersama Herman. Mobil lalu melaju ke rumah Marta di wilayah Jakarta Barat.

Mobil Pajero pinjaman dari teman Jayden yang disetir oleh Herman menembus jalanan tanpa banyak kendala karena malam sudah sangat larut dan lalu lintas tidak padat. Dua puluh menit mengemudi, mobil itu tiba di depan rumah mungil milik Marta yang ditempatinya seorang diri.

"Di sini?" tanya Herman pada Marta yang duduk di sampingnya. Marta mengangguk.

"Trims Her," tukas Marta lalu menoleh ke belakang kepada Jayden yang menutup matanya sambil memijat keningnya.

"Terima kasih sudah memberi tumpangan, Dok. Good luck!"

Jayden hanya menggumam tak jelas ketika Marta membuka pintu mobil. Herman ikut membuka pintu mobil dan turut turun bersamanya. Ia ingin mengantar Marta sampai masuk ke dalam rumahnya dan memastikan gadis itu aman.

"Mengapa kau dan Julia tidak tinggal bersama?" tanya Herman ketika Marta mencari kunci pagar rumahnya di dalam tas.

"Dulunya Julia tinggal di sini tapi ia pindah ketika ia mendapat pekerjaan di majalah. Terlalu jauh dari kantornya."

"Kau tinggal sendiri?"

Marta mengangguk dan tersenyum ketika ia menemukan kuncinya.

"Tapi tidak lama lagi. Aku akan berjuang mengambil hak asuh anakku."

"Anak?" Herman tampak terkejut.

Marta punya anak?

"Aku punya anak laki-laki, namanya Michael," tukas Marta. Tatapan mata Marta melembut menyebutkan nama Michael. Ia berhasil membuka pintu pagar lalu mendorong pagar itu sampai terbuka lebar.

"Lalu di mana dia?" tanya Herman belum mau membiarkan Marta meninggalkannya dengan rasa penasaran. Marta mendesah.

"Suamiku mengambilnya dan ia selalu mempersulit aku untuk bertemu dengan anakku," tukasnya. Marta sebenarnya tidak ingin menceritakan suaminya lagi tapi entah mengapa ketika Herman bertanya cerita itu mengalir begitu saja dari mulutnya.

"Pergilah, Dokter Jay sedang menunggumu. Di sini aman, aku akan baik-baik saja."

Herman menoleh pada Jayden yang sudah berpindah dari jok belakang ke depan. Dokter itu menyandarkan kepalanya dengan santai di sandaran kepala sambil melambaikan tangannya pada Marta. Herman yakin Jayden tak akan keberatan jika menunggu sebentar lagi. Marta sudah melangkah ke halaman rumahnya. Halaman yang tergolong mungil dan pas untuk rumah sederhana.

"Kau berpisah dengan suamimu?" tanya Herman. Ia agak ragu kalau pertanyaannya itu akan dijawab Marta tapi ia tetap mencoba. Marta menggangguk.

Mengapa?

Herman membuka bibirnya ingin menanyakan alasan Marta berpisah dengan suaminya tetapi urung begitu menatap wajah Marta yang langsung tegang. Jadi inilah alasan Marta sedih. Luka di dalam mata Marta adalah karena berpisah dengan anaknya. Tetapi bagaimana dengan suaminya? Mengapa suaminya melarang ia menemui anaknya?

Herman mengacak-acak rambutnya. Ia tak bisa bertanya sekarang pada Marta, perlu waktu yang tepat, bukannya saat keduanya berdiri di pagar halaman rumah gadis itu dengan Jayden menunggunya di mobil meskipun kelihatannya dokter itu tak keberatan.

"Marta," panggil Herman lembut sambil mengangkat tangannya menyentyh wajah gadis itu. Marta tidak mengelak, ia membiarkan tangan Herman menyentuhnya. Hatinya berdenyut karena sentuhan ringan itu.

Herman tersenyum dan Marta membalas senyumannya. Tapi senyum Marta hanya bertahan selama tiga detik. Ia sangat terkejut melihat mantan suaminya mendekat.

"Dasar wanita jalang!"

Ia mengambil kayu yang kebetulan berada di dekat tong sampah di halaman rumah dan menghantamkan kayu itu ke arah Marta. Marta membeku. Saking terkejutnya ia tidak tahu harus melakukan apa.

Herman mengambil langkah pasif, ia memeluk tubuh Marta dan menggunakan punggungnya menahan pukulan dari orang itu.

BRAKKK!!!

"Argh!!!"

"Herman!"

Suara teriakan Marta membuat Jayden terkejut dan langsung keluar dari mobilnya. Sementara penyerang itu masih menghantam punggung Herman beberapa kali. Marta mencoba melepaskan diri dari pelukan Herman. Ia tidak ingin Herman terluka karena dirinya.

"Wanita jalang! Kau menghilang untuk bertemu dengan pria lain! Rasakan ini!"

BRAKKK!!!

Jayden berlari mendekat. Dan menendang penyerang itu dengan kaki kirinya. Si penyerang sempoyongan. Jayden maju dan berhasil merebut kayu yang dipakainya untuk memukul Herman lalu dengan satu tendangan lagi ia membuat penyerang itu tersungkur. Herman masih terus memeluk Marta sedangkan Marta berteriak memohon agar Herman melepaskannya.

"Lepaskan aku, jangan melindungiku. Aku tidak mau kau celaka. Herman kumohon," Marta terisak dalam pelukan Herman.

"K-kau b-baik kan?" tanya Herman lemah dan masih menguatirkan Marta.

"K-kau pelacur tidak tahu malu!"

"Tutup mulutmu!" hardik Jayden sambil menarik krah baju penyerang itu. Wajah si penyerang sudah lebam dihajar Jayden.

"Kau kenal dia?" tanya Jayden pada Marta. Marta masih terisak, mengangguk.

"Dia Hindra, mantan suamiku," tukas Marta. Jayden terkejut karena baru menyadari kalau Marta sudah menikah.

Penyerang itu terkekeh meskipun kondisinya sudah payah.

"Aku masih suami sahmu."

Jayden menendang perutnya.

"Lepaskan dia, Dok," pinta Marta lemah. Jayden mematuhi keinginan Marta dan melepaskan penyerang itu.

"Herman, kau baik-baik saja?" tanyanya. Herman terbatuk dan mulutnya memuntahkan darah.

"Oh, tidak!" teriak Marta histeris.

"Kau akan menerima tuntutan dari pengacaraku atas penyerangan terhadap kedua temanku. Kita akan bertemu di pengadilan!" tukas Jayden tanpa basa-basi lagi. Hindra meringis. Herman berpikir kalau Jayden tidak melakukan ancamannya, dialah yang akan menyeret pria brengsek itu ke pengadilan.

"Pergi!" usir Jayden geram. Ia masih ingin menghajar pria itu, tapi ia menahan dirinya karena jika sampai ia memukul lagi, ia kuatir pria itu akan mati di tangannya. Ia dididik oleh Arabella untuk tidak pernah memukul wanita dan ia benci pria yang yang melakukan kekerasan terhadap wanita.

"Tunggu sebentar," tukas Marta sebelum Hindra meninggalkan halaman rumah Marta. Gadis itu menoleh pada Herman lalu pada Jayden. Ia ingin bicara panjang lebar pada Hindra tapi ia tak bisa melakukannya, kehebohan seperti ini di tengah malam bisa menyebabkan semua tetangga terbangun dan mereka pasti akan penasaran tentang apa yang terjadi. Jadi Marta memilik kata-kata yang tepat dan langsung pada sasaran.

"Aku mau mengambil anakku."

"Kau sedang mimpi," tukas Hindra sombong. Jayden memelintir tangan Hindra sekedar untuk mengingatkannya agar ia berkata dengan sopan pada Marta sehingga pria itu berteriak kesakitan.

"Orang tua sepertimu tidak pantas menjadi ayah. Kepribadian kasar, gemar memukul. Marta, aku memberi saran agar kau segera ke rumah sakit untuk keperluan pengadilan. Bajingan ini pasti sering menyiksamu. Kau akan mendapatkan bukti-bukti untuk mendapatkan anakmu kembali," saran Jayden dengan nada kejam.

Hindra menatap Jayden gentar. Siapa yang tidak gentar menatap mata tajam dan dingin milik Jayden. Pria itu menyebarkan aura yang menakutkan setiap kali ia marah dan emosi.

"Bang Jay benar. Dia dokter, pasti ia lebih tahu soal ini. Ikuti sarannya agar kau bisa mengambil anakmu," tukas Herman sambil meringis. Lalu ia terbatuk lagi.

Sial! rutuk Herman dalam hati sambil menyesalkan betapa lemahnya ia dibandingkan dengan Jayden. Harusnya yang bisa ia lakukan untuk Marta bisa lebih dari ini.

"Kau masih ingat kalau aku memiliki pengacara hebat. Aku akan balas menuntutmu, Marta!" tukas Hindra sebelum ia pergi meninggalkan tempat itu namun Marta tahu kalau suaminya itu ketakutan dengan gertakan Jayden. Sepulang dari tenpat ini, Hindra pasti akan menemui saudara sepupunya yang pengacara itu.

Jayden mendekati Marta yang sedang memapah Herman.

"Kita ke rumah sakit," ajak Jayden.

"Aku baik-baik saja. Uhuk!"

"Bukan hanya kau yang butuh dokter tapi juga Marta. Kau punya pengacara, Marta?" tanya Jayden lembut. Herman bergidik, ia sama sekali tidak suka kalau Jayden berbicara dengan Marta dengan nada suara seperti ini. Nada suara yang pasti membuat para wanita panas dingin. Itu suara merayu wanita.

Merayu?

Herman meringis. Jayden tidak merayu siapa pun karena dirinya bagaikan magnet yang dapat menarik perhatian lawan jenis. Itu pembawaannya. Ia terlahir sebagai penakhluk. Tapi Jayden sekarang hanya menyukai Julia. Dan itu membuatnya lega.

"Aku merekomendasikan pengacaraku padamu. Dia temanku, ia pasti sanggup membantumu," tukas Jayden.

"A-apa k-kau pernah bercerai?"sindir Herman meskipun dengan kalimat yang terputus-putus membuat Jayden melotot.

Masih saja bercanda di saat seperti ini!

"Kau ingin tambahan pukulan atau tendangan?" tanyanya mengancam.

".... m-mau m-masuk p-penjara sebelum menemui J-julia?"

"Cari mati?" Suara Jayden menggelegar. Herman terkekeh, merasa senang memancing dokter itu naik darah. Tapi ia baru sadar ternyata dadanya sakit.

"Ouch!"

"Ke rumah sakit. Marta buka pintu belakang," perintah Jayden.

***

Marta benar-benar berterima kasih atas apa yang tlah dilakukan oleh Jayden untuknya. Pria itu mengurus keperluan di rumah sakit. Sebelum luka Herman dirawat, mereka mengambil beberapa foto sebagai bahan bukti. Jayden juga memaksa Marta untuk diperiksa.

"Maafkan kelancanganku. Aku merasa suamimu itu sering melakukan kekerasan kepadamu. Kau harus diperiksa. Mungkin masih ada bekas yang masih tertinggal. Ini sangat penting sebagai bahan bukti di pengadilan," kata Jayden ketika ia dan Marta duduk di selasar rumah sakit menunggu Herman.

"Terima kasih, Dok. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika tidak ada kau dan Herman," gumam Marta. Dokter Jay hanya mengangguk.

"Bagaimana Herman? Apakah lukanya parah?" tanya Marta kuatir.

"Jangan kuatir, dokter sudah menanganinya. Ia akan bisa pulang malam ini juga."

"Harusnya ia tidak perlu menahan pukulan itu," desah Marta benar-benar menyesal menjadi penyebab Herman terluka. Jayden menghembuskan nafasnya lalu tersenyum pada Marta.

"Aku sangat mengerti mengapa ia menghalangi pukulan itu."

Marta mengangkat kepalanya menatap mata Jayden. Mata dokter muda itu begitu sejuk dan pantas saja kalau Julia menyukainya.

"Bang , bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk tidak tebar pesona pada Marta? Kau hanya boleh melakukan itu pada wanita lain," tukas Herman yang duduk di kursi roda didorong oleh dokter yang menanganinya.

Jayden mendehem dengan sebal.

" Dokter Jay tidak akan berani lagi, Herman. Atau Julia akan menyiram segelas koktail ke wajahnya," balas Marta. Herman terkekeh.

"Dan menendang kakinya," tambah Herman. Jayden tersenyum masam sambil mengacak-acak rambutnya. Marta bangkit dari duduknya dan mendekati Herman.

"Bagaimana lukamu?"

"Aku baik."

Dokter yang merawat luka Herman mengangguk pada Jayden. Herman sadar kalau Jayden memiliki pengaruh yang kuat di rumah sakit ini.

"Benarkah luka-lukanya tidak apa-apa Dok?" tanya Marta pada dokter yang berdiri di belakang kursi roda Herman karena ia tidak mempercayai kata-kata Herman.

"Anak muda ini memiliki tubuh yang kuat. Ia akan segera pulih," tukas Sang Dokter. Herman tersenyum-senyummendengar perkataan dokter itu. Lalu Herman bangkit dari kursi rodanya dan mearaih tangan Marta. Pria itu menatapnya dengan serius.

"Marta."

Marta tidak mengucapkan apa-apa hanya balas menatap Herman.

"Aku akan melanjutkan kuliahku," tukas Herman. Marta mengangguk.

"Kau sudah pernah mengatakan itu," balas Marta. Herman tersenyum, matanya berkilat-kilat jenaka.

"Maukah kau menungguku sampai kuliahku selesai dan berjanji tidak akan melirik pria lain?"

Marta mendelik, bingung. Ia menoleh kepada dokter yang merawatnya, meminta penjelasan apakah Herman mengalami gegar otak karena pemukulan tadi. Sang dokter hanya tersenyum penuh arti dan meninggalkan Herman bersama Marta. Sepeninggalan dokter itu, Marta menoleh pada Jayden yang masih duduk di kursi rumah sakit sambil menyilangkan kakinya dengan santai dan mengusap dagunya, berpura-pura sedang memandang ke arah lain.

"Marta, ayo berjanjilah padaku kalau kau akan menungguku," pinta Herman.

"Kau sinting! Aku bahkan masih berstatus istri orang lain."

"Karena itu kita melakukan ini. Kau harus bercerai. Aku tahu ia sering menyakitimu. Aku akan melindungimu, Marta. Kita akan merebut anakmu kembali. Aku berjanji akan menjaga kalian berdua," janji Herman sungguh-sungguh. Marta bahkan tak bisa tertawa. Herman pasti sedang berada di bawah pengaruh obat atau apa. Kalau tidak ia pasti sedang bercanda padanya.

"Dokter Jay, kau yakin Herman tidak mengalami gegar otak. Kau harus memeriksanya, Dok," tukas Marta sambil meninggalkan Herman berjalan menuju Jayden. Jayden tersenyum lalu bangkit dari duduknya. Pria itu membalikkan badan Marta sehingga ia kembali berhadapan dengan Herman yang sedang berjalan ke arahnya.

"Ia tidak gegar otak, Marta. Juga tidak di bawah pengarh obat. Menurutku ini saat ia paling sadar. Kau harus dengar baik-baik apa yang dikatakannya," bisik Jayden sambil menepuk pundak dan mendorong Marta ke arah Herman.

"Marta, aku harus mengatakan kepadamu bahwa kau sangat berarti bagiku. Sejak mengenalmu, aku berani menghadapi masa laluku. Sekarang ijinkan aku membahagiakanmu, Marta," tukas Herman. Marta seperti melayang di udara mendengar penuturan pria itu. Ia membuka mulutnya, mendesah tapi suaranya tidak keluar.

"I love u, Marta."

Marta masih merasa sedang melayang. Ada sayap di punggungnya ketika Herman tersenyum padanya. Penglihatannya mulai mengabur karena matanya dipenuhi genangan air. Herman meraih tubuh Marta dan membawa gadis itu dalam pelukannya.

"Terima kasih karena kau hadir dalam hidupku," bisik Marta sambil terisak di pelukan Herman.

"Hm, rasanya bukan itu jawaban yang ingin kudengar," tukasnya. Marta tertawa lalu menangis lagi. Satu hal yang ia yakini adalah ia akan aman bersama Herman. Pria itu akan menjaganya dan Michael anaknya. Ia yakin kalau Herman bukanlah pria seperti Hindra.

"Love u too."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top