14. Reunited : River, Forest, Wind and Mountain
Marta duduk di taksi blue bird yang membawanya dan Herman dari bandara Soetta ke rumahnya. Ia memutuskan kembali bersama Herman karena mereka telah menemukan tenaga pengajar yang bisa menggantikan mereka. Tenaga pengganti ini bekerja di penginapan dan ia setuju menjadi guru bagi anak-anak di desa itu.
Marta mendesah dan melirik Herman yang sedang memejamkan mata karena lelah sepanjang perjalanan.
Herman tersenyum dalam hati karena ia tahu gadis di sebelahnya itu meliriknya. Ia membujuk Marta untuk kembali ke Jakarta bersama karena ia kuatir jika Marta tinggal sendiri. Dan Marta menyetujuinya.
Herman telah siap menghadapi semua momok masa lalunya dan akan kembali mengejar cita-citanya.
Agnes, terima kasih karena kau telah menyelamatkan nyawaku.
Marta bilang kau tidak membenciku dan aku percaya padanya.
***
Ttrrttt.
Pesan masuk.
Marta : Julia, aku sudah kembali :)
Me : Mengapa kau tidak bilang akan kembali?
Marta : Tidak ada signal telepon
Me : :D Ayo kita ketemuan
Marta : Sekarang, di tempat favorit kita
Me : Tidak bisa. Aku sedang bekerja. Nanti malam saja, di club biasa.
Marta : Aku lupa ini bukan weekend :D
***
Ttrrtt...
Pesan masuk.
Hermansyah Putera : Bang Jay, aku mau menemuimu.
Me : Kau di Jakarta?
Hermansyah Putera : Ya, aku perlu saranmu sebagai dokter. Bisa kita bertemu?
Me : Kapan? Di mana?
Hermansyah Putera : Malam ini jam 8 di bar Hyatt Hotel.
Me : Ok.
***
Marta duduk di tempat favoritnya di depan meja bartender Burgundy Bar and Lounge sambil menunggu kedatangan Julia. Gadis itu sudah memesan koktail kepada bartender. Sang bartender yang sudah mengenal akrab dirinya dan Julia bertanya ke mana Julia. Marta menjawab kalau ia sedang menunggu sahabatnya itu.
Gadis itu mengeluarkan ponsel dari tote bag berwarna hitamnya dan mengetik pesan kepada sahabatnya untuk menyampaikan kalau ia sudah tiba. Julia tidak membalas pesan itu tapi tak lama kemudian ia muncul di pintu masuk bar yang didominasi olee warna merah burgundy yang sesuai dengan nama barnya.
Marta melambaikan tangannya pada Julia. Gadis yang memakai kemeja pas badan berwarna krem dipadu dengan rok model konservatif berwarna hitam itu tersenyum pada Marta. Ia berjalan ke arah Marta dan Marta langsung memeluknya ketika Julia tiba di hadapannya.
"Miss ya, J!"
"Miss ya, too!"
Kedua gadis itu cekikikan lalu melepaskan pelukan dan duduk di kursi masing-masing. Sang Bartender menghampiri Julia dan bertanya apakah Julia ingin memesan koktail yang biasa dipesannya dan Julia menjawab ya.
"Jadi, bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Marta. Julia mendesah, ia ingat kalau ia berdusta pada sahabatnya kalau ia kembali ke Jakarta dan meninggalkan Marta di pulau karena masalah pekerjaan.
"Aku didamprat Laupan Niang," gumam Julia. Julia menjuluki atasannya di tempatnya bekerja dengan panggilan bos perempuan dalam bahasa Mandarin. Marta menghela nafas panjang.
"Seharusnya kita tak perlu berlibur selama itu," gumamnya dengan rasa penyesalan. Koktail yang dipesan Julia datang dan Julia mengucapkan terima kasih pada bartender bule itu. Melihat pria bule malah mengingatkan gadis itu pada Jayden van der Lijk. Gadis itu berpikir apakah Jayden sudah kembali ke pulau atau masih di Jakarta.
"Kau tidak dipecat kan? Kukira Bosmu itu sangat menghargaimu," tukas Marta. Julia segera kembali ke realita, ia tidak mau terus memikirkan mata biru Jayden.
"Ya, berita baiknya aku tidak dipecat. Ia hanya memotong gaji bulananku," gerutu Julia sambil menggeram. Marta terkikik.
"And FYI, M. Laupan Niang tak pernah menghargai siapapun selain dirinya sendiri," tukas Julia dan lagi-lagi Marta terkikik. Tapi meski mendengar Julia mengelak kalau bosnya itu menghargai bakatnya, Marta tetap yakin kalau perkataannya memang benar.
"Kau kembali sendirian? Bagaimana dengan Herman?" tanya Julia. Marta menelan ludah mendengar nama Herman disebut. Ia mencoba menormalkan perutnya yang tiba-tiba bergolak.
"Aku dan Herman sama-sama kembali."
"Herman bilang ia akan melanjutkan kuliah."
Marta mengangguk.
"Kau sudah bertemu dengan Dokter Jayden?" tanya Marta mengalihkan pembicaraan. Wajah Julia tampak dingin mendengar nama Jayden disebut Marta sampai Marta menaruh curiga padanya. Julia tidak bisa menyembunyikan maslah ini lagi dari Marta, sewaktu di pulau ia berhasil membohongi Marta tapi sekarang Marta dapat membaca kalau Julia menyembunyikan sesuatu. Ia sudah curiga ketika Jayden muncul di bolon dan mengatakan kalau Julia pergi tanpa pamit padanya.
"J, kau ada masalah dengan Dokter Jay?"
"Kemarin Colin datang menemuiku," tukas Julia. Marta tahu membicarakan Colin hanya usaha Julia untuk mengalihkan perhatiannya tetapi ia membiarkannya saja karena ia juga ingin tahu bagaimana kelanjutan hubungan antara Colin dan sahabatnya itu. Pada akhirnya ia tetap akan bertanya soal Jayden.
"Apa yang dia lakukan?" tanya Marta. Julia tersenyum pahit lalu menyesap koktailnya. Rasa koktail di tenggorokannya pun tak terasa bersahabat.
"Aku bilang we are over. Terserah dia mau bilang apa pada keluarganya," tukas Julia.
"Bagus, apa ia tahu kalau kau menemukan barang Sella di kopernya?" tanya Marta. Julia mengangguk.
"Lalu kau tonjok wajahnya?"
Julia tertawa terbahak-bahak. Benar-benar tertawa dan bukanlah tawa yang dipaksakan.
"Ada yang melakukannya untukku," tukasnya puas.
"Siapa?" tanya Marta. Julia terdiam. Lagi-lagi ia teringat pria bermata teduh itu.
"Jayden," jawabnya lemah. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan tapi pengalihannya kembali lagi ke Jayden.
Julia menarik nafas sebelum menceritakan bagaimana kejadian Colin sampai ditinju oleh Jayden. Insiden itu bermula karena Susan, rekannya yang memberitahukan kepadanya kalau tunangannya itu berada di lantai dasar kantor itu dan ingin menemuinya. Gadis itu menceritakan Susan mengatakan kalau ia tidak turun maka akan banyak sekali pegawai perempuan yang akan mengerubungi Colin. Jadi mau tak mau Julia turun. Sampai di sini Marta tertawa mendengar penuturan sahabatnya.
"Susan tidak memberitahuku kalau Jayden juga sedang menungguku," tukas Julia. Marta mendesah. Pemilihan waktunya benar-benar pas, Colin apes bertemu dengan Jayden.
Julia menyesap minumannya lagi.
"Waktu aku tiba di sana, Jayden sudah meninju wajahnya."
"Susah dibayangkan, Colin ditinju. Tapi itu membuatku agak senang. Kau yang tahu pasti betapa berotonya Dokter Jay," goda Marta membuat wajah Julia memerah. Tentu saja ia tahu bagaimana berototnya Jayden karena ia sering dipeluk oleh lengan itu. Walaupun sekarang setiap mengingat pria itu rasanya ia ingin muntah.
Jayden brengsek!
"Lalu apa yang terjadi dengan Jayden?" tanya Marta penasaran. Sepertinya topik Jayden memang selalu dihindari Julia.
"Selesai. Aku dan Jayden selesai," jawabnya datar. Marta menatap Julia tak percaya.
"Bagaimana bisa selesai? Aku tahu Dokter Jayden menyukaimu."
Julia menggeleng lemah. Ia merebahkan kepalanya di atas meja sambil mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja.
"Pria itu sudah bertunangan," jawab Julia pelan. Marta sampai harus mendekatkan telinganya untuk mendengar perkataan Julia.
"Dia bertunangan! Aku bertemu tunangannya pada hari aku memutuskan kembali ke Jakarta. Gadis itu memamerkan cincin berlian yang diberikan di depan hidungku. Cincin yang pernah kulihat tersimpan di lemari Jayden," suara Julia terdengar bergetar. Marta tahu gadis itu sedang menahan dirinya agar tidak menangis. Dirangkulnya bahu sahabatnya.
"Tapi Dokter Jay sangat menguatirkanmu, J. Ia langsung mengambil keputusan untuk mengejarmu begitu tahu kau meninggalkannya," bisik Marta. Julia menggeleng lalu memalingkan wajahnya.
"Tidak apa-apa. Aku bahkan tidak menganggap ini serius. Aku tidak jatuh cinta padanya. Bagiku ia hanya selingan setelah Colin. Iya kan M? Kau tahu sejak dulu aku mencintai Colin dan berharap menikah dengannya tapi sekarang aku tidak yakin lagi ingin menikah dengan siapapun," tukas Julia sambil tertawa getir. Marta menepuk bahunya dengan lembut. Hanya ia yang tahu betapa menyedihkannya tawa Julia.
***
Sial! Jayden mengumpat dalam hati. Ia sudah menunggu Herman selama tiga puluh menit di bar yang ada di hotel Hyatt. Ia memang datang terlalu cepat sepuluh menit. Seorang temannya berbaik hati meminjamkan mobilnya kepadanya sehingga ia tidak perlu menunggu taksi di luar gedung apartemennya.
Jayden menunggu Herman dengan perasaan bosan. Ia bahkan sudah menghabisnya beberapa gelas minuman namun orang yang berjanji akan menemuinya belum juga muncul. Selama tiga puluh menit itu entah sudah berapa gadis yang mencoba main mata dengannya atau sekedar ingin berkenalan dengannya tetapi Jayden sama sekali tidak memberikan respon. Ia merasa sangat terganggu. Ia baru saja dicampakkan seorang perempuan dan itu baru terjadi satu kali sepanjang hidupnya. Jadi sekarang, ia sama sekali tak membutuhkan gadis manapun untuk menghiburnya.
"Bang Jay!"
Jayden mengangkat kepalanya menoleh ke pemilik suara yang telah dikenalnya.
"Kau telat!" suara Jayden terkesan terdengar kesal.
"Maaf Bang, aku tidak mendapatkan taksi. Ketika aku mendapat taksi, seorang wanita hamil juga menunggu taksi, aku tidak tega jadi aku mengalah padanya. Lalu..."
Jayden mengibaskan tangannya karena malas mendengarkan alasan keterlambatan Herman.
"Sudah. Duduklah," suaranya melunak. Herman terkekeh kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi berwarna merah itu. Herman melirik gelas-gelas kosong di atas meja.
"Kau sendirian minum semuanya?" tanyanya. Jayden mengangguk. Herman menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjentikkan jarinya memanggil pelayan dan memesan minuman yang sama dengan yang dipesan Jay.
"Kau kembali bersama Marta?" tanya Jayden. Herman mengangguk.
"Aku tidak tega meninggalkannya sendiri."
"Alasan," cemoohnya.
"Hei!"
"Kau hanya mencari alasan pembenaran atas tindakanmu," tuding Jayden langsung. Wajah Herman berubah menjadi tegang.
"Begini Bang... aku..."
"Mengelak?" tanya Jay sambil menyipitkan matanya. Herman tampak kehilangan kata-kata menghadapi Jayden. Pria yang lebih muda itu mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Anak Muda, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan," tukas Jayden sambil terkekeh. Herman meringis.
"Kau juga belum terlalu tua," balasnya dengan nada menyebalkan. Jayden baru saja membuka mulut hendak membalas tapi urung karena pelayan mengantarkan minuman yang dipesan oleh Herman. Pria itu mengucapkan terima kasih lalu menyesap minumannya sedikit.
"Aku perlu saranmu, Bang," tukas Herman sambil meletakkan gelasnya ke meja. Jayden hanya mengedik.
"Aku pernah mengalami suatu hal yang membuatku selalu mengalami mimpi buruk, Bang."
Kemudian Herman menceritakan semua masa lalunya dengan kakak tiri dan tunangan kakaknya. Sampai pada kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa Agnes. Sejak saat itu ia tak bisa mendengar suara yang terlalu berisik karena itu ia memilih tempat minum di tempat ini yang tidak teralu berisik karena suara yang ribut mengingatkan dirinya akan pertengkaran kakak tirinya dengannya. Bayangan Agnes yang tertabrak selalu menghantuinya. Ia juga menceritakan waktu tas Marta dijambret. Herman bisa memukul para pencuri itu.
"Sebenarnya aku bukan ahlinya, tapi kurasa kasusmu itu bisa disebut phonophobia. Ketakutan akan suara berisik. Aku bisa merekomendasikan nama seorang kenalanku jika kau mau," tukas Jayden. Herman tak ragu-ragu mengangguk.
Jayden pun mengambil pulpen dalam sakunya dan mencari secarik kertas yang bisa ditulisi namun ia tidak membawa kertas apapun di sakunya. Sampai seseorang menyodorkan kertas tisu padanya.
"Terima kasih," tukas Jayden sambil menerimanya dan menuliskan nama serta alamat koleganya di atas kertas tisu itu. Gadis yang menyodorkan tisu itu langsung menghempaskan tubuhnya di samping Jayden.
"Kukira kau butuh itu untuk menuliskan nomor teleponmu padaku," desah gadis itu. Herman menyembunyikan tawanya. Jayden hanya mengusap-usap dagunya setelah ia menyerahkan tisu itu pada Herman.
"Namaku Katryn."
"Uhm, terima kasih Katryn. Aku terlalu tua untukmu, kau ngobrolah dengan dia. Aku mau ke toilet dulu," tukas Jayden sambil bangkit dan melangkah meninggalkan mejanya menuju toilet. Gadis yang mengaku bernama Katryn itu tampak kecewa ditolak langsung oleh Jayden. Ia memandangi punggung Jayden yang berjalan sempoyongan dan menghilang di toilet.
***
"Aku mau ke toilet," pamit Julia pada Marta ketika ia memesan minuman yang kedua pada bartender. Marta hanya mengangguk sebelum menyesap minumannya.
Julia berjalan ke toilet. Di depan toilet, ia tertegun karena melihat sepasang kekasih sedang berciuman. Ini membuatnya sangat malu.
Ia mengumpat mengapa kedua orang ini tidak menyewa hotel saja. Apa mereka begitu miskin sehingga harus melakukannya di depan toilet, pikirnya. Sekarang ia benar-benar merasa sesak dan ke toilet menjadi prioritas pertamanya. Jadi ia mengambil keputusan kalau ia akan pura-pura tidak melihat saja. Dengan salah satu tangannya ia lalu menutup wajahnya melewati pasangan kekasih itu.
Ia berhasil melewati pasangan itu dan masuk ke toilet. Ia berharap kalau pasangan itu sudah pergi saat itu keluar dari toilet jadi ia sengaja berlama-lama mencuci tangannya dan memoles lipstik dan menyisir rambutnya. Namun sial baginya, harapannya hanyalah sekedar harapan yang tidak menjadi kenyataan. Pasangan itu masih berada di sana dan si pria sekarang sedang mencium leher si wanita. Julia menhela nafas berat.
Menyebalkan!
Ia berkacak pinggang sambil mengeleng-gelengkan kepalanya memperhatikan kedua orang itu tanpa malu lagi. Buat apa ia malu kalau dua orang itu saja sudah tidak malu.
Julia memperhatikan sosok pria itu. Bertibuh tinggi dengan kaki panjang dan rambut sedikit panjang dan berwarna gelap. Sepertinya ia kenal siluet itu. Ia berjalan mendekat.
Siluet ini. Sialan!
Ia jijik mendengar suara-suara yang ditimbulkan, ia jijik mengenali siluet ini. Julia meninggalkan tempat itu segera. Ia kembali ke mejanya, mengambil minuman yang basru dipesannya dan belum diminumnya sekalipun sehingga membuat Marta heran lalu kembali ke depan toilet dan mendekati kedua orang yang masih sibuk berciuman.
Julia menyiram koktailnya ke atas kepala orang yang sudah sangat dikenalnya. Jayden van der Lijk.
"APAA YANG KAUU...."
Jayden belum selesai meraung ketika ia membalikkan badannya melihat siapa pelaku yang menyiram koktail ke kepalanya dan merasa syok seketika karena Julia berdiri menantangnya sambil menggoyang-goyangkan gelas yang sudah kosng di tangannya.
Gadis itu tampak emosi. Matanya berkilat-kilat seperti api yang membakar sekelilingnya.
"Julia?"
Jayden seperti sedang melihat hantu. Wajahnya langsung pucat.
"Siapa dia?" tanya wanita yang berciuman dengan Jayden yang tak lain adalah Katryn. Julia cukup syok mengetahui kalau gadis yang bersama Jayden bukanlah tunangannya Clara. Ia mendekatkan wajahnya dan melihat dengan jelas wajah gadis itu untuk benar-benar memastikan kalau dia bukanlah Clara. Lalu ia menarik nafas panjang dan menoleh pada Jayden.
"Ah, Mijn Lieve. Aku bisa menjelaskan diri," tukas Jayden sambil meringis. Tadinya ia mabuk namun sekarang setelah segelas koktail disiram ke atas kepalanya, ia sudah benar-benar sadar dari mabuknya. Julia mengangguk-angguk tanpa menoleh pada Jayden dan dengan sekuat tenaga ia menendang lutut Jayden.
"OUCHHH!" Jayden meringis kesakitan sambil memegangi lututnya. Katryn tampak kesal dengan Julia.
"Apa yang sedang kau lakukan?" teriaknya. Julia tersenyum sinis tanpa menjawab. Lalu ia berbalik dengan kepala tegak dan meninggalkan Jayden dan gadis itu begitu saja.
"Mooie Vrouw, tunggu! Aduh! Tunggu!"
Julia tidak lagi menoleh namun ia sempat melihat Herman dan Marta sedang mengawasi insiden itu.
***
Herman masih tertawa ketika ia, Jayden, dan Marta duduk bersama di meja tempat Jayden dan Herman duduk semula. Gadis bernama Katryn yang mencium Jayden sudah pergi meninggalkan bar itu tidak lama setelah Julia pergi.
"Diamlah atau kau akan kucekik!" ancam Jayden dengan emosi. Kelihatannya ia siap meledak kapan saja.
"Kau tahu, kau tidak membuatku ketakutan, Bang. Aku lebih takut pada Julia," sahut Herman dengan nada meremehkannya. Jayden memasang wajah masam. Ia memijit-mijit kepalanya sendiri. Rambut hitamnya masih basah karena disiram koktail oleh Julia. Saat ini kepalanya sakit karena Julia.
"Untung saja hanya koktail, Bang. Bisa saja Julia melakukan hal yang lebih ekstrim tadi," tukas Herman masih dengan nada mengejek. Jayden mendelik pada Herman.
"Sebenarnya aku juga ingin menambah sedikit pelajaran buatmu, Dokter Jay," ujar Marta dengan nada kesal. Herman menyodorkan sebotol bir kepada Marta diikuti pandangan membunuh dari Jayden kepadanya.
"Aku tidak mengerti mengapa ia membenciku," tukas Jayden berusaha membela diri. Herman mendesah.
"Bang, kau mencium gadis lain di depannya, jika aku jadi Julia, aku akan melakukan hal yang sama," tandasnya.
"Sebelumnya," gumam Jayden kacau.
"Maksudmu, Bang?"
Jayden bergeser tempat duduknya dan mendekati Marta. Pria itu meraih tangan Marta dan menggenggamnya dengan erat. Menyaksikan itu membuat Herman merasa sangat tidak nyaman.
"Katakan padaku, Marta. Kau pasti tahu. Beritahu aku mengapa ia membenciku. Mengapa ia meninggalku di desa tanpa mengatakan apa pun? Katakan padaku," desahnya dengan suara rendah kepada Marta. Perut Herman bergolak melihat Jayden merayu Marta. Melihat Jayden merayu Julia tidak mengakibatkan efek yang begini.
Reflek Herman menarik tangan Marta dari genggaman Jayden.
"Kurasa kau tidak perlu tebar pesona pada Marta. Tadi hampir saja terjadi pertumpahan darah karena kau tebar pesona, Bang."
"Aku tidak tebar pesona! Aku hanya mabuk. Dan tak perlu kuatir, Marta tidak pernah tertarik dengan pesonaku," raung Jayden.
"Apa kalian masih menganggap aku ada di sini?" teriak Marta jengkel. Jayden mengabaikan Herman dan kembali menarik tangan Marta.
"Marta, kau harus mengatakan padaku. Apa yang terjadi? Aku bertemu dengan tunangannya di kantornya, aku kira ia akan berjalan ke arahku tapi ia bilang ia muak padaku dan tak ingin menemuiku lagi," tukas Jayden putus asa. Marta meringis.
"Tidak mungkin!" Jayden kembali menyela kata-katanya sendiri. Herman beranggapan kalau Jayden benar-benar sudah mabuk berat.
"Kalian berdua itu memang orang paling bodoh. Apakah kalian berdua tidak bisa saling duduk dan membicarakan ini dengan tenang. Apa dengan saling emosi seperti ini kalian berdua bisa menyelesaikan masalah? Damn! I hate this!"
Bang Jay tampak terdiam. Jayden mengusap dagunya dan keningnya berkerut berusaha memikirkan perkataan dari Herman yang ada benarnya.
"Kadang-kadang yang terlihat belum tentu adalah hal yang terjadi sebenarnya," lanjut Herman.
Jayden mengangkat kepalanya lalu menatap Herman yang juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Pria yang usianya jauh lebih muda dari Jayden itu lebih dewasa pemikirannya daripada Jayden menghadapi masalah percintaannya.
Jayden menggumamkan sesuatu di bibirnya dan Herman mengartikan itu sebagai ucapan terima kasih Jayden padanya sehingga Herman mengangguk.
"Dok, aku ingin bertanya padamu tentang ini. Benarkah kau sudah bertunangan?" tanya Marta. Ia memasang ekspresi galak pada Jayden. Jayden tertegun menatap Marta. Ia bingung.
Tunangan?
"Julia bertemu dengan tunanganmu sebelum ia pergi dari pulau," tukas Marta masih dengan nada jutek. Jayden menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memejamkan matanya. Pikirannya mundur kembali pada waktu Julia pergi darinya. Lalu mundur lagi pada waktu sebelum itu, saat ia meninggalkan Clara di kliniknya setelah gadis itu memintanya untuk melanjutkan hubungan mereka yang pernah ada dulu.
"Ah!"
Wajah Jayden menunjukkan seperti ia sedang menelan paku di kerongkongannya. Marta tersenyum sinis.
"Kau ingat sekarang? Apa yang telah kau lakukan pada sahabatku?" tanyanya sambil bangkit berencana meninggalkan tempat itu. Gadis itu ingin sekali melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Julia kepada Jayden tetapi ia tidak melihat ada gelas yang berisi lagi. Jadi ia hanya bisa meninggalkan tempat itu dengan kepala terangkat tinggi.
"Tunggu!"
Jayden ikut bangkit dan menahan lengan Marta sebelum gadis itu pergi terlalu jauh. Herman menaikkan alisnya melihat Jayden menarik lengan Marta.
"Aku akan menjelaskan ini kepadamu. Semuanya. Tapi pertama-tama kita harus duduk dulu seperti yang dikatakan Herman," pinta Jayden dengan nada memelas. Marta mengibaskan rambutnya yang panjang lalu melirik kepada Herman seakan ia meminta pendapat pria itu apakah ia harus tinggal atau pergi. Herman mengangguk setuju lalu Marta pun kembali ke tempat duduknya semula, di antara Herman dan Jayden.
"Sebenarnya kau tak perlu menjelaskan apapun kepadaku, Dok. Karena aku tentu lebih mempercayai apa yang dikatakan sahabatku daripada dirimu," tukas Marta masih tidak bersahabat. Jayden mengangguk-angguk. Wajahnya menunjukkan betapa menyesalnya ia.
"Julia pasti bertemu dengannya setelah aku meninggalkannya di klinik, lalu mengira Clara adalah tunanganku."
"Bagaimana tidak Dok? Gadis itu memamerkan cincin darimu di depan wajah Julia. Cincin yang Julia yakin berasal darimu!"
"Cincin?"
Jayden tampak bingung. Herman sama tertegunnya.
Ups!
Marta tahu ia keceplosan. Ia menggigit bibir bawahnya. Dan sudah terlanjur ia mengatakan tentang cincin dan ia tak bisa memperbaikinya kembali.
"Cincin apa?"
"Cincin berlian yang penah dilihat Julia tersimpan di lemarimu. Jadi benar ia tunanganmu?" tanya Marta mendesak. Ia telah memutuskan kalau Jayden mengiyakan maka ia akan langsung angkat kaki dari tempat ini dan tak akan memperdulikan dokter ini lagi.
Ia cukup kecewa ketika Jayden mengangguk namun ketika ia berniat bangkit, Jayden berkata, "Tiga tahun yang lalu. Sekarang mantan tunangan. Dan aku harus bilang bahwa kami tidak pernah saling mencintai. Perjodohan kami terjadi karena kesepakatan dua pihak. Itu saja. Pernikahan batal di saat-saat akhir dan aku tidak menyesal sedikit pun."
Marta lega, benar-benar lega meskipun kata-kata Jayden itu belum membuktikan apa-apa namun ia senang dengan pernyataan Jayden yang mengatakan kalau hubungan pertunangannya telah putus.
"Lantas mengapa gadis itu bisa mengaku sebagai tunanganmu kalau kau bilang hubungan kalian sudah berakhir?" tanya Marta. Ia ingin tahu yang sejelas-jelasnya untuk masalah ini demi sahabatnya. Ia tidak mau Julia dsakiti lagi oleh makhluk berjenis kelamin pria.
"Aku tidak tahu. Clara memang ingin melanjutkan hubungan kami," tukas Jayden.
"Bang, kurasa yang harus kau lakukan sekarang adalah menemui Julia dan bicara dengan jelas padanya. Katakan bahwa gadis itu bukan siapa-siapa bagimu," saran Herman yang sedari tadi hanya duduk diam dan mendengarkan Jayden berbicara dengan Marta. Jayden mengangguk lalu bangkit dari duduknya.
"Aku ingin menemuinya sekarang juga."
Herman sampai meninggikan alisnya menatap Jayden.
"Kau masih mabuk, Bang. Kau nyetir?" tanya Herman agak kuatir. Jayden mengangguk.
"Aku tak akan bisa tidur jika belum menemui Julia. Ayo, kuantar kalian pulang."
bos perempuan dalam bahasa Mandarin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top