13. The City
Julia melemparkan tasnya secara sembarangan ke lantai di rumah sewanya di Jakarta. Ia baru saja tiba setelah menempuh perjalanan udara selama 2 jam dari Medan. Sewaktu meninggalkan bolon, ia sendiri tidak yakin akan bisa mendapatkan kapal ferry untuk menyeberangi danau di jam seperti itu tapi keberuntungan berpihak padanya karena begitu ia tiba di pelabuhan penyeberangan, ia naik ferry terakhir sore itu menuju Parapat. Lalu dari Parapat ia naik angkot yang langsung membawanya ke aiport. Ia mendapatkan penerbangan terakhir di malam itu ke Jakarta meskipun bukan penerbangan dari armada terbaik tapi Julia bersyukur ia bisa tiba di Jakarta pada dini hari.
Selama perjalanan, Julia membiarkan dirinya menangis. Tak ia pedulikan penumpang yang duduk di sisinya, seorang wanita baik yang berusia antara lima puluhan itu beberapa kali menyodorkan tisu kepadanya, begitu juga pramugari yang menanyakan apakah dirinya baik-baik saja. Julia meminta obat anti mabuk perjalanan padanya dan berpesan agar pramugari membangunkannya jika telah sampai di tujuan.
Julia membuka pintu kamarnya yang sudah berdebu karena tidakdibersihkan selama beberapa waktu namun ia tidak lagi peduli lagi dengan semua debu itu. Yang ia butuhkan sekarang hanya mandi, mengguyur kepalanya dengan air dingin supaya ia bisa melupakan Jayden.
Julia mengambil handuk bersih dari dalam lemarinya lalu menuju kamar mandi yang desain minimalis hanya menggunakan shower tanpa bak. Gadis itu membuka kran air dingin dan tidak repot-repot melepaskan pakaiannya. Air shower mengucur deras dan ia berdiri di bawahnya. Ia menggigil dengan dinginnya air yang keluar. Hal ini makin mengingatkannya pada air dingin di tepi danau it, mengingatkannya akan Jayden.
Gadis itu mengibaskan rambutnya dan mengantukkan kepalanya ke dinding kamar mandi berharap jika itu akan membuatnya lupa akan pria bermata biru itu. Air matanya jatuh bercampur dengan air kran namun ia masih belum puas dengan semua itu. Ia mengambil sabun cair dan menuangkannya banyak-banyak di telapak tangannya. Lalu ia menggosok tubuhnya dengan kasar. Ia melakukan itu dan berharap agar ia bisa menghapus semua bekas sentuhan Jayden di tubuhnya.
Julia terisak sekarang.
Laki-laki bangsat!
Colin dan Jayden van ider Lijk sama brengseknya! Terkutuklah kalian!
Julia mengepalkan tangannya dan memukul tembok sampai air kran terciprat kemana-mana.
"Aku membencimu, Jay! Aku benci kau!"
Julia memaki-maki Jayden dengan suara yang kuat. Ia tidak peduli betapa cengengnya ia saat ini. Yang ia butuhkan sekarang adalah melampiaskan semuanya. Ia masih mencoba meyakinkan ini semua hanya mimpi, sebentar lagi ia akan tertidur dan ketika pagi menjelang ia terbangun dari mimpi buruk lalu ia bisa tertawa karena semua ini hanya mimpi buruk. Ia bahkan tidak kenal siapa itu Jayden van der Lijk.
Julia meringkuk di kamar mandi sambil memeluk kedua kakinya dan menggigil. Saat itu ia baru sadar kalau ia masih mengenakan jaket milik Jayden. Gadis itu membuka jaket itu dan melemparkannya ke sudut.
"Pergilah ke neraka, Jay!"
Julia menelan ludahnya, kerongkongannya terasa sakit karena menangis terus. Dan ia tahu betapa kacaunya ia saat itu.
Aku tidak akan menangis ketika esok tiba.
***
Aku kembali, desah Jayden ketika ia duduk di mobil milik Clara yang menjemput mereka di bandara Soeta, Jakarta. Tiga tahun lalu ia meninggalkan Jakarta dan sekarang ia memutuskan kembali untuk seorang gadis bernama Julia. Pria itu masih tidak menemukan alasan mengapa gadis itu meninggalkannya tanpa pamit padanya padahal Jayden sudah berjanji akan kembali bersamanya.
Sementara di samping Jayden, Clara duduk dengan anggun sambil memberi perintah pada supirnya kalau mereka akan menemui ayahnya. Wanita itu tidak menceritakan pristiwa kalau ia sengaja memakai cincin pertunangannya dulu yang dikembalikannya kepada Jayden sewaktu mereka putus untuk diperlihatkan kepada Julia. Ia tak sengaja menemukan cincin itu masih tersimpan di lemari Jayden katika ia sedang iseng dan bosan menunggu Jayden kembali. Sebelum menemukan cincin itu, Clara menemukan jaket perempuan di kamar Jayden. Clara adalah wanita yang cerdas, ia menduga kalau penolakan Jayden terhadap dirinya pastilah karena ada perempuan lain dan ia menduga perempuan itu sekarang pasti ada di desa itu. Cincin itu ia pakai hanya karena iseng tapi kemudian Julia muncul sendiri dan ia sendiri hanya menebak kalau gadis itulah yang menjadi kekasih Jayden karena ia memakai jaket milik Jayden. Ia benar-benar senang karena tiba-tiba Jayden mengajaknya kembali ke Jakarta tanpa harus ia mengeluarkan jurus-jurus lain.
Jayden dan Clara tidak melewati jalur penyeberangan dengan ferry karena Clara membawa mobil sewaan dengan driver dan pengawal. Mereka baru tiba di Pematang Siantar pada malamnya dan perempuan itu merengek kalau ia tak bisa melanjutkan perjalanan dan harus menginap di kota kecil itu. Jayden juga sadar kalau mereka tak mungkin memaksa ke Medan saat itu juga dan kalaupun mereka bisa tiba di Medan dini hari tetap saja tidak ada penerbangan menuju Jakarta lagi untuk dini hari. Akhirnya ia memutuskan mengikuti keinginan Clara tinggal di hotel sederhana yang ada di kota itu dan harus mendengar rengekan Clara karena kondisi hotelnya tidak sesuai dengan harapan gadis itu.
Jayden hanya mendengus dan meninggalkan Clara. Ia benci dengan rengekan jadi ia masuk ke kamarnya sendiri dan mengunci pintu tanpa repot-repot membujuk gadis manja itu. Jayden bisa membayangkan jika Julia yang berada di hotel itu, ia yakin gadis itu tak akan merengek dan pastinya mereka terlalu sibuk melakukan sesuatu yang panas di dalam kamar. Jayden bisa tertidur malam itu karena memimpikan hal itu.
Sekarang pun tubuh Jayden masih membara membayangkan Julia dalam pelukannya sampai ia tidak menyadari kalau mobil milik Clara berhenti di depan rumah sakit di kawasan bisnis.
"Temuilah Papa. Ia senang sekali waktu aku bilang kau akan kembali," tukasnya. Matanya menatap Jayden penuh harapan. Jayden tidak mengatakan apa-apa tapi ia tetap turun ketika pengawal Clara membuka pintu mobilnya.
Ia berpikir kalau seharusnya ia menemui Julia dulu baru menemui Direktur Tan tapi ia sudah berada di sini dan tak ada salahnya menemui Direktur Tan yang sangat dihormatinya. Dan semua ini tidak akan makan waktu lama.
Jayden melangkahkan kakinya dengan mantap menuju gedung rumah sakit itu, menuju kantor milik Direktur Tan yang berada di lantai dua gedung itu. Banyak yang berubah dari bangunan tempat ia bertugas dulu tetapi ia masih mengenali beberapa wajah yang pernah sama-sama bertugas dengannya dulu. Beberapa dokter dan staf rumah sakit agak terkejut melihat kedatangannya bersama putri pemilik rumah sakit dan bisa saja mereka beranggapan kalau hubungannya dengan Clara telah berlanjut kembali. Tapi itu tidak menjadi beban pikiran Jayden sekarang. Ia tidak peduli dengan anggapan orang-orang lain tentang dirinya.
"Clara, Dokter Jay," sapa asisten Direktur Tan, Adrian yang sudah bekerja selama dua puluh tahun pada sang direktur dengan sopan. Jayden mengangguk padanya.
"Papa ada?" tanya Clara.
"Sudah menunggu sejak tadi. Direktur senang sekali mendengar kau kembali Dokter Jay," kata Adrian sambil tersenyum dengan mata berbinar. Jayden tampak acuh saja dengan perkataan dari asisten yang sudah berusia pertengahan empat puluhan itu. Rambut pria itu masih hitam dan tebal dan Jayden merasa kalau ia kalah muda dengan asisten Adrian.
Adrian membuka pintu ruangan yang pintunya bertuliskan nama Direktur Tandy untuk Jayden dan Clara. Jayden membiarkan Clara masuk duluan dan ia mengikutinya dari belakang. Adrian kembali menutup pintunya dari luar.
"Selamat siang, Papa."
"Direktur Tan, lama tak berjumpa."
Begitu mendengar suara Jayden, Direktur Tan langsung bangkit dari kursinya dan menyambut Jayden dengan pelukan.
"Jayden!"
"Direktur Tan, bagaimana kabarmu?"
Direktur Tan melepaskan pelukannya lal menggoncang lengan Jayden. Tangan pria yang sudah berusia enam puluhan itu masih kuat.
"Kau memang berandalan," katanya. Jayden tersenyum.
"Kau!" Direktur Tan mengangkat tangannya menunjuk wajah putri tunggalnya.
"Ini semua gara-gara kau!"
"Papa," protesnya.
"Direktur Tan," Jayden berusaha menengahi Direktur Tan untuk mengomeli putrinya lagi. Hari ini ia terlalu lelah untuk mendengar pertengkaran lagi setelah menempuh perjalanan darat dan udara.
"Kau tak berguna! Jika tidak karena kau, Jayden sudah jadi menantuku hari ini," katanya dengan nada emosi. Nafasnya terengah-engah karena menahan emosinya.
"Pak Direktur, sudahlah. Ingat kondisi kesehatanmu," tukas Jayden sambil berusaha mengingatkan Direktur Tan tentang penyakit jantungnya. Ia lalu membantu Direktur Tan duduk di sofa di ruangan itu dan ia sendiri duduk di depannya. Sementara Clara baru saja ingin duduk di sampingnya, Direktur Tan langsung mengusirnya.
"Pergi! Aku mau bicara dengan Jayden," perintahnya pada Clara. Gadis yang biasanya keras kepala itu menurutinya tanpa banyak protes. Kekeraskepalaan Clara memang menurun dari ayahnya dan ia sekarang mungkin menyadari kalau ayahnya memiliki penyakit jantung jadi ia bisa lebih mengalah.
"Kau mau minum apa, Jayden? Kusuruh sekretarisku menyiapkan," tanya Direktur Tan begitu Clara keluar dari ruangan itu.
Jayden benar-benar butuh kopi karena kekurangan waktu tidur.
"Kopi saja, Pak Direktur."
Direktur Tan menekan intercom di meja di sebelahnya dan meminta sekretarisnya menyiapkan kopi untuk keduanya. Tak lama kemudian sekretarisnya masuk dengan dua cangkir kopi. Masih sekretaris yang sama dengan yang dulu sewaktu Jayden masih bertugas di rumah sakit ini. Hanya Jayden sudah lupa namanya. Seorang wanita cantik berusia tiga puluh tahun, berkulit kulit langsat, dan masih single tiga tahun lalu.
"Kau tidak banyak menambahkan gula pada kopimu, Pak Direktur?" tanya Jayden berusaha berpura-pura tidak sadar kalau sekretaris Direktur Tan sedang main mata dengannya.
Direktur Tan terkekeh.
Si sekretaris tersenyum penuh arti pada Jayden. Dan Jayden kembali terbayang pada kehidupannya dulu, beberapa tahun lalu sebelum bertemu Julia, sebelum Clara Tandy meninggalkannya di depan altar. Jayden terkenal flamboyan di kalangan para dokter dan staf wanita karena berwajah tampan dan memiliki karir bagus. Jayden memiliki beberapa skandal dengan mereka meski tidak pernah sampai ketahuan oleh Direktur Tan. Sang Direktur tentu tak akan menjodohkan putrinya semata wayang jika ia tahu bagaimana kehidupan Jayden yang sebenarnya. Untunglah tidak ada yang mebocorkan skandal Jayden karena biar bagaimana pun ia masih menghormati pria tua itu. Tapi berbeda dengan Clara, wanita itu tahu dan tak mau ambil pusing sebab Jayden juga tahu Clara juga memiliki skandal dengan seorang model pria yang memiliki wajah tampan tapi Direktur tak pernah menyetujui hubungan mereka. Jadi Clara hanya bisa mengikuti kemauan ayahnya dengan menerima perjodohan itu dan seakan di antara mereka telah ada kesepakatan tak tertulis kalau keduanya tidak akan mencampuri urusan masing-masing. Jayden tetap bersama dengan skandalnya dan menutup mata tentang hubungan Clara dengan model itu.
Jayden mendesah dan tidak menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh Direktur. Dalam hati ia bersyukur lagi kalau Clara meninggalkannya di detik-detik terakhir pernikahan mereka kalau tidak, ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi sekarang. Bukan tak mungkin ia masih berada di rumah sakit ini dengan berbagai skandal dalam kehidupan rumah tangganya. Tinggal di rumah yang sama dengan Clara lalu melanjutkan hubungan dengan wanita seperti sekretaris Direktur dan Clara tetap bersama model itu atau bepindah pada pria lain.
Hidup macam apa itu?
Jayden bergidik. Bukan itu yang ia inginkan sekarang. Ia menginginkan sebuah rumah, rumah sederhana yang hangat, di mana Julia ada di sana bersamanya. Pada pagi hari, Julia akan membangunkannya dengan ciuman setelah tidur berpelukan semalaman, mereka akan menyiapkan sarapan bersama. Julia bisa terus berkarir jika ia ingin, mereka akan membagi kehidupan bersama. Dan beberapa tahun ke depan, ia melihat anak-anak yang mewarisi wajahnya dan Julia hadir di antara mereka. Anak perempuan yang memiliki wajah dengan senyum tenang seperti Julia namun mewarisi mata biru seperti dirinya, seorang anak laki-laki yang agak nakal seperti dirinya. Ia menyukai banyak anak, kalau bisa lebih dari dua.
Apa aku baru saja berpikir tentang anak-anak?
Jayden tampak bingung dengan dirinya sendiri. Belum pernah ia memikirkan sejauh itu mengenai seorang wanita. Keningnya berkerut.
"Kau dengar apa yang kukatakan, Jayden?"
"Ya, Pak Direktur?"
Direktur Tan mengerutkan keningnya. Ia heran karena tidak biasanya Jayden tidak menyimak apa yang sedang ia katakan.
"Kubilang kau harus kembali ke rumah sakit ini."
"Tapi kepulanganku kali ini bukan karena aku ingin kembali, Pak," tukas Jayden cepat. Direktur Tan menaikkan alisnya pertanda ia tak ingin dibantah. Jayden mendehem.
"Mengapa? Apa ada rumah sakit yang menawarkan posisi yang lebih baik?" tanya Direktur dengan nada meninggi. Ia tak suka dibantah. Bagaimana pun ia harus membujuk Jayden untuk kembali. Jika Jayden berada di rumah sakit ini maka ia masih bisa memiliki kesempatan untuk menjodohkan putrinya dengan Jayden. Ia tidak sudi memiliki menantu yang berprofesi sebagai model, walaupun Clara mengatakan mereka telah putus hubungan tapi Direktur Tan masih kuatir kalau Claramasih tetap akan jatuh di lubang yang sama. Jadi ia tak mau melepaskan Jayden sebagai calon menantunya.
"Pak Direktur, aku tidak bilang aku akan menetap di Jakarta. Aku kembali karena aku memiliki urusan penting yang harus kuurus," tukas Jayden.
"Jayden!"
"Maafkan aku sekali lagi, Direktur Tan," tukas Jayden sambil bangkit dari duduknya lalu mengangguk pada Direktur Tan.
"Aku harus pergi," pamitnya dengan wajah menyesal.
Ia tidak menyesal menolak tawaran itu. Ia hanya menyesal harus bersikap tegas pada pria tua yang dulu sangat dihormatinya.
"Pikirkanlah dulu Jayden. Tawaranku masih berlaku. Tidak perlu buru-buru."
"Terma kasih, Pak Direktur," tukas Jayden tapi tidak menjanjikan apa pun.
***
Julia duduk di meja kerjanya sambil menikmati makan siangnya pada jam 3 sore setelah menerima omelan dari pimpinan karena ia tidak membuka ponsel selama liburannya. Julia tidak pernah cuti selama tiga tahun belakangan ini, jadi ditotal cutinya ada tiga puluh enam hari dan ia mangkir selama dua minggu. Sang pimpinan meneleponnya berkaitan tentang rubrik dalam issue bulan depan tapi Julia tidak bisa dihubungi. Pimpinan marah besar dan mengomel dua jam di ruangannya. Tetapi untungnya ia hanya menerima sanksi pemotongan gaji bulanan dan tidak sampai dipecat.
Julia menggigit burger yang dibelikan rekan kerjanya Susan dengan satu gigitan besar. Sebenarnya ia juga tidak berselera makan. Namun perutnya tetap protes minta diisi jadi dengan sangat terpaksa ia melahap burger yang dibelikan Susan juga.
Ia bahkan tak dapat merasakan rasa burgernya dengan nyaman karena setiap ia menelan, kerongkongannya terasa sakit. Seharian ini ia mencoba untuk tidak memikirkan Jayden. Ia juga sengaja mematikan ponselnya karena malas menerima telepon dari Colin. Colin tidak pernah mau menghubungi nomor telepon kantor karena mereka bekerja di perusahaan sejenis yang bersaing.
Julia sudah menghubungi Paman dan Bibinya sewaktu ia belum berangkat ke kantor dan belum mengatakan apapun tentang Colin tapi Pamannya mengatakan kalau Colin kuatir karena ia mencoba menghubungi ponsel Julia tapi Julia tidak bisa dihubungi selama liburan. Paman Julia merasa heran mengapa Julia tidak memberitahukan kepada Colin kalau Julia hendak berlibur namun ia tak bertanya lebih jauh. Julia berjanji kalau weekend ini ia akan pulang menjenguk Paman dan Bibinya ke Bandung. Keduanya tampak sangat senang dan berpesan kepada Julia agar pulang bersama Colin. Julia menutup teleponnya tanpat menjanjikan apa-apa.
"Julia, Colin line 1," beritahu Susan ketika Julia baru saja menelan paksa gigitan terakhir Burger Kingnya. Julia mendesah. Ia sedang tak ingin berbicara dengan Colin.
"Ehm, Susan, bisakah kau katakan kalau aku sedang ada di ruangan bos?"
Susan menyipitkan matanya, sebagai rekan sekerja Julia, Susan tahu Colin adalah tunangan Julia dan ia juga bekerja di majalah saingan.
Kalian bertengkar? tanya Susan hanya dengan gerakan mulut. Julia meringis lalu mengiyakan.
Masalahnya lebih kacau dari bertengkar biasa.
Susan mengangkat telepon dan Julia menarik nafas lega ketika ia mendengar temannya itu berbohong kalau Julia sedang berada di ruangan bos. Julia mengucapkan terima kasih dalam gumaman.
***
Julia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaannya yang sudah ditinggalkan selama ini. Berusaha untuk melupakan Colin dan Jayden sekaligus. Ia menyesali dirinya mengapa ia tidak menyibukkan dirinya dalam pekerjaan ketika Colin mengkhianatinya. Ia tak perlu sampai harus berlibur dan bertemu dengan Jayden van der Lijk.
Julia menggertakkan giginya mengingat nama itu. Rasanya ia ingin meninju wajah pria itu andai pria itu ada di hadapannya sekarang. Memiliki tunangan tetapi masih saja menjalin hubungan dengannya.
Sial! Aku tak mau lagi menangis!
Julia meraih gelas minumannya dan meneguk banyak-banyak air putih supaya ia bisa menelan kembali kesedihannya, agar ia tidak lagi menangis. Sungguh sangat memalkan ketahuan menangis di kubikel.
"Julia!"
Kepala Susan muncul dari kubikel sebelah. Julia tersedah air putih sampai terbatuk-batuk. Susan menatapnya dengan tatapan menyesal karena telah mengejutkan gadis itu.
"Tunanganmu di bawah. Kau mau turun sekarang atau akan semakin banyak pegawai berjenis kelamin perempuan yang berkeliaran di sekelilingnya," beritahu Susan. Julia meletakkan gelas minumannya dan menarik nafas panjang. Colin sudah berada di sini dan ia tak bisa menghindar lagi. Lagipula sampai kapan ia harus terus menghindari pria ini.
Sekarang yang harus dilakukannya adalah menemui pria itu dan mengatakan we are over lalu ia akan melanjutkan hidupnya. Paman dan Bibinya adalah urusan nanti.
***
Jayden berdiri di depan gedung tinggi tempat Julia bekerja yang letaknya berhadapan dengan mal. Ia mengeluarkan catatan kecil dari saku kemejanya untuk memastikan kalau alamat yang ditulis oleh Marta sudah benar. Setelah yakin, ia memasukkan catatan kecil itu kembali ke dalam sakunya. Jayden sebenarnya tidak ingin menemui gadis itu di tempatnya bekerja, ia berniat menemui Julia di rumahnya tapi ia tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Jayden mengeluarkan ponsel lamanya N90 dari saku celananya, sudah lama ia tidak menggunakannya sejak ia tinggal menetap di desa di Pulau Samosir. Kemarin malam sewaktu ia menginap di penginapan, ia sempat mengisi baterainya sampai penuh dan memastikan kalau ponselnya itu masih dapat digunakan. Ia menghubungi nomor ponsel Julia yang juga diberikan Marta padanya. Tapi ponsel Julia sedang dialihkan. Jayden menyimpan kembali ponselnya dan melangkah masuk ke gedung menuju meja resepsionis. Wajah manis resepsionis berlipstik pink menyambut Jayden dan kalau ia tidak salah memastikan, resepsionis itu menatapnya dengan penuh minat.
"Aku ingin bertemu dengan Julie Winata dari majalah Lady," tukas Jayden. Resepsionis itu mengangguk agak sedikit gugup mendengar suara bass Jayden.
"Boleh tahu nama Anda?"
"Jayden van der Lijk," jawab Jayden.
Resepsionis mempersilahkan Jayden menunggu. Ia akan memanggil Julia. Jayden menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia benar-benar merasa lelah dan kurang tidur karena perjalanan ini. Ia bahkan tidak sempat kembali ke apartemen lamanya setelah bertemu dengan Direktur Tandy. Jayden menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan kepenatannya. Ia berencana akan memberi Julia pelajaran karena telah membuatnya seperti ini. Beraninya gadis itu meninggalkannya tanpa pesan padanya dan membuatnya kelabakan seperti ini.
Jayden masih tersenyum membayangkan pelajaran apa yang akan diberikan kepada Julia ketika seorang pria berjalan mondar-mandir di depannya. Jayden menegakkan kepalanya meskipun masih merasa lelah untuk memperhatikan pria itu. Ia tampak seperti pria metroseksual lainnya, terlihat rapi dengan kemeja bermerk yang dikenakannya. Jayden menebak kalau usianya mungkin sekitar 30 tahun.
Pria itu tampak resah, melirik arloji lalu mengeluarkan ponsel dan mencoba menelepon. Tapi sepertinya telepon yang dihubunginya sedang tidak aktif dan ia mengumpat lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa di depan Jayden. Ia sadar Jayden memperhatikannya dan ia mencoba ramah dengan tersenyum canggung.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ia buru-buru mengusap layar ponsel ketika membaca nama yang tertera.
"Julia? Turunlah. Aku ada di bawah."
Lalu telepon diputus dan tampak dari ekspresi pria itu cukup kecewa.
Jayden menyeringai. Ia mulai merasa tak enak dan curiga kalau ponsel yang baru menghubungi pria di depannya adalah Julia. Julianya. Ia pun mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi nomor Julia lagi. Kali ini ada nada sambung tetapi tak diangkat.
"Colin?" Jayden sebenarnya ragu tapi ia ingin memastikan kalau pria di depannya ini adalah tunangan Julia.
Pria yang baru saja memasukkan ponselnya ke dalam saku itu menoleh dan memandang Jayden dengan tatapan mata heran.
"Kau kenal aku?" tanyanya. Jayden menyeringai tajam. Bau parfum milik Colin menusuk hidungnya sampai membuatnya ingin muntah.
Jayden bangkit dari duduknya.
"Kita tak saling mengenal tapi itu tak membuatku surut ingin mengenalmu," tukas Jayden. Colin juga bangkit dari duduknya karena ia mengira Jayden akan menyalaminya padahal Jayden sedang mengepalkan tangannya dengan emosi mendidih dan langsung mendaratkan tinju ke wajahnya. Colin tersungkur jatuh ke belakang. Beberapa orang yang sedang lewat di tempat itu langsung heboh.
"Apaa yang s-sedang kau lakukannn?!" teriak Colin sambil berusaha bangkit. Jayden berjongkok di depan Colin. Telunjuknya menunjuk wajah Colin.
"Jangan pernah mendekati Julia lagi!"
"Siapa kau? Julia itu tunanganku. Mengapa aku dilarang mendekatinya?" raung Colin. Jayden menyeringai sambil menarik krah kemeja Colin. Ia masih ingin meninju wajah Colin lagi, menambah beberapa lebam di wajah pria itu akan membuatnya kelihatan lebih jantan dan itu juga memuaskan hati Jayden. Tapi Colin memang payah. Hanya satu tinju saja sudah membuatnya jatuh apalagi sekarang ia seperti tercekik padahal Jayiden hanya menarik krahnya.
Jayden menarik Colin sampai pria itu ikut bangkit berdiri. Sekarang mereka berdua berhadapan.
"Sekarang, aku kekasihnya," bisik Jayden membuat Colin melotot.
"Apa ada yang ingin menjelaskan kepadaku apa yang sedang terjadi?"
Suara Julia membuat baik Jayden maupun Colin sama-sama menoleh. Julia berdiri menatap kedua pria yang sedang bersitegang itu dengan tatapan dingin menusuk. Jayden tersenyum cerah melihat gadis itu. Segera ia melepaskan cengkeramannya atas kemeja Colin untuk segera menyongsong gadis itu. Namun Jayden kalah cepat, Colin sudah terlebih dahulu mendekati Julia.
"Julia!"
Jayden hanya bisa meringis ketika pria itu meraih tangan Julia. Ia mulai menyesal mengapa tidak memukul pingsan Colin saja tadi sehingga ia tak perlu jijik melihat Colin yang berniat memeluk Julia walaupun Julia dengan cepat mengelak dan mendorong Colin menjauh sampai Colin hampir terjungkal ke belakang.
That's my girl!
Jayden berusaha menyembunyikan senyumnya melihat adegan dramatis ini.
"Kau pikir aku tidak tahu siapa asistenmu itu? Aku terlalu bodoh untuk kau tipu?" Julia masih menekan suaranya tetap datar tanpa emosi. Ia sebenarnya tidak mau memciptakan drama apapun di gedung kantor ini tapi ia sudah tak bisa menghindari semua ini. Jadi ia hanya bisa menekan suaranya serendah mungkin untuk menghindari tatapan orang-orang yang mau tahu.
"Asisten? Sella maksudmu?" tanya Colin pura-pura tidak mengerti. Julia menyeringai tajam.
"Kau punya asisten lain?"
"Kenapa dengan Sella?" tanya Colin. Julia menarik nafas panjang, ia benar-benar butuh super kesabaran menghadapi Colin.
"Baik Colin. Aku akan menjelaskan secara gamblang kepadamu. Well Colin, kau masih ingat ketika kau tugas luar kota bersama asistenmu kan? Ah kebetulan saat kau pulang, aku berbaik hati membereskan apartemenmu, dan maafkan diriku yang membongkar kopermu. Eh, sialnya Colin, ternyata aku menemukan pakaian Sella di sana, sama persis dengan pakaian yang kau hadiahkan padaku. Colin aku tahu pasti itu milik Sella karena aku pernah melihat ia memakai pakaian yang sama. Ayo, katakan padaku kalau itu bukan hadiah darimu," tukas Julia panjang lebar membuat Colin menganga tak menyangka Julia tahu perselingkuhannya dengan cara begitu.
"Julia, ini.. Ini salah paham. Itu mungkin terselip saat aku...."
"Ah, dia menitipkan pakaiannya di kopermu? Atau ia memang sengaja menyelipkannya ke kopermu dengan harapan aku menemukannya. Well, sampaikan kepada Sella kalau aku telah menerima pesannya itu," tukas Julia tajam. Colin membeku sedangkan Jayden melipat tangannya menetap gadis yang makin dikaguminya itu sambil tersenyum-senyum.
"I'm done with you, Colin!" bisik Julia tegas tapi ia memastikan kalau Colin mendengarnya.
"T-tapi b-bagaimana mengatakannya pada keluarga kita?" tanya Colin lemah. Julia menyeringai.
"Terserah padamu, Sayang. Aku tidak peduli apa yang akan kau katakan. Aku tak ingin melihat wajahmu lagi. Cincinmu sudah kukembalikan sebelum aku pergi. Kau pasti belum memeriksa laci nakasmu," tukas Julia dengan manis.
"Julia!"
Julia meninggalkan Colin dan berjalan ke arah Jayden tanpa menoleh lagi pada mantan tunangannya itu. Colin merasa kalau pembicaraan antara dirinya dan Julia tidak bisa dilanjutkan sekarang karena ia sudah kalah telak. Ia pun memutuskan meninggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi meninggalkan Julia dengan Jayden.
Julia sendiri sebenarnya lebih suka kalau Jayden tidak ada di sini saat ia memutuskan pertunangan dengan Colin. Kalau ia memilih siapa yang lebih menyakiti hatinya maka ia tak ragu menunjuk Jayden. Jayden adalah satu masalah lagi yang harus ia bereskan dan ia belum sanggup untuk menghadapinya. Sekarang ia berjalan menuju pria itu dengan lutut gemetar nyaris seakan melayang di udara meskipun ia berusaha dengan sekuat tenaga menjaga badannya agar tetap tegak berdiri.
Jayden masih tersenyum padanya dan senyumnya itu masih membuat hati Julia ngilu. Bagaimana pria itu masih bisa tersenyum padanya seperti itu setelah ia mencampakkan Julia? Julia menggertakkan giginya dengan kesal.
"Mengapa kau ke sini?" tanya Julia dingin. Jayden mengerutkan keningnya. Bibirnya ikut cemberut. Awalnya ia ingin memeluk gadis itu namun ia mengurungkan niatnya karena Julia tampak sangat emosi.
"Mengapa kau meninggalkanku tanpa pesan?"
"Mengapa aku harus meninggalkan pesan?" tanya Julia sinis. Jayden mencengkram lengannya.
"Kau kenapa, Mijn Lieve?" tanya Jayden.
"Lepaskan aku, Dokter Jayden. Kau menyakitiku," pinta Julia sambil meringis.
Dokter Jayden? Aku tidak salah dengar? Julia memanggilku Dokter Jayden.
"Julia, kau harus menjelaskan ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi di hari kau meninggalkanku. Ayo, kita duduk dan bicara," pinta Jayden sambil meraih tangan Julia dlalu menggenggam jemarinya tapi Julia menepis tangannya denga kasar.
"Mijn Lieve?" Jayden benar-benar tidak menduga kalau tanggapan Julia akan dingin seperti itu. Julia tersenyum sinis.
"Kita tak perlu duduk untuk bicara, Dokter Jayden. Mungkin aku juga harus menjelaskan secara gamblang padamu kalau di hari aku meninggalkan desa itu adalah hari di mana aku memutuskan bahwa mengenalmu adalah hari tersial bagiku!"
Jayden tampak syok dengan kalimat Julia yang terakhir. Nafasnya tercekat, ia belum pernah merasa tersudut seperti ini selama hidupnya.
"Selesai, Dok. Aku muak denganmu!" bisik Julia. Jayden mundur beberapa langkah. Wajahnya berubah dingin seperti di hari pertama Julia bertemu dengannya di tepi danau.
Julia memaksakan senyum kemenangan di wajahnya. Ia ingin Jayden tahu kalau ia tidak hancur, Jayden tak akan bisa menghancurkannya. Yang harus ia lakukan sekarang adalah membuat seolah dialah yang tidak menginginkan Jayden bukan Jayden yang mencampakkannya.
"Sejak awal aku hanya iseng. Tak perlu memasang ekspresi kecewa, Dok."
Aku semakin pintar bermain drama.
"Aku yakin kau masih bisa menemukan gadis-gadis lain sebagai penggantiku," tukas Julia sinis. Ia sudah bertekad untuk mendapatkan harga dirinya kembali. Dan ia merasa puas ketika mendapatkan tatapan Jayden yang jijik padanya.
"Selamat tinggal, Julia. Semoga kita tidak bertemu lagi," gumam Jayden dengan suara rendah sebelum meninggalkan Julia tanpa menoleh lagi. Beberapa langkah sebelum pintu utama, langkah Jayden terhenti, Julia tercekat mengira pria itu akan berbalik tapi ternyata langkahnya bukan terhenti karena Julia, Jayden terhalang oleh seorang pria setengah tua beserta para pengawalnya. Pria tua itu menatap sekilas dan Jayden menatapnya dingin lalu dengan kepala tegak meninggalkan gedung itu.
Julia hanya bisa menatap punggung pria yang pernah dicintainya itu dengan mata berkaca-kaca sambil menahan rasa sakit di hatinya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat sampai ia merasa bibirnya itu berdarah.
Setelah belati yang telah ditancapkan, kini samurai juga tertancap di hatinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top