11. Hard Rain

Marta menyadari kalau siang itu Herman banyak pikiran. Ketika sedang membacakan novel Harry Potter dalam bahasa aslinya lalu Marta menerjemahkannya untuk anak-anak, Herman sering lupa sampai di mana ia membaca. Berkali-kali Marta mengingatkannya karena kesalahannya. Pada saat seorang anak perempuan bernama Nella menanyakan mengapa Harry Potter bisa mendapatkan luka itu di dahinya, Herman juga tidak bisa menjawab padahal itu pertanyaan yang mudah dijawab.

Marta akhirnya menanyakan hal ini pada Herman dalam perjalanan pulang mereka setelah kelas selesai.

"Ada yang salah denganmu hari ini?" tanya Marta hati-hati. Herman yang berjalan di sisi Marta menghentikan langkah dan menoleh pada gadis yang berada di sampingnya.

Herman mendesah lalu memaksakan seulas senyum.

"Kelihatan ya?"

Marta mengangguk. Herman meringis.

"Maafkan aku. Aku hanya sedang memikirkan diriku sendiri," tukasnya sambil melangkah lagi. Marta menyusulnya.

"Ada masalah?" tanyanya lagi. Herman memasukkan salah satu tangannya ke saku dan memandang jauh ke jalanan di depannya.

"Kurasa aku akan meninggalkan desa ini," tukasnya. Kepala Marta seperti dihantam oleh palu. Ia tidak mengerti mengapa ia tidak suka dengan pernyataan Herman kalau ia akan pergi meninggalkan desa itu. Tapi ia tetap menjaga raut wajahnya tetap datar.

"Mengapa? Bukankah kau bilang kau suka mengajar anak-anak?" tanya Marta. Ia menelan ludah dan rasanya kerongkongannya sakit.

"Ya, aku suka tapi aku harus memikirkan masa depanku. Aku harus melanjutkan kuliahku. Aku tidak bisa hidup begini terus. Aku harus menghadapi kakak tiriku dan masa laluku," tukas Herman lemah. Ia sendiri tidak yakin benar dengan keputusannya namun ia setiap ia teringat kata-kata Marta kalau ia harus hidup untuk bagian Agnes, ia berusaha meyakinkan dirinya kalau melanjutkan kuliah yang tinggal setahap lagi adalah keputusan yang paling benar.

"Jadi kau akan kembali ke... Di mana kota asalmu? Maaf aku tak pernah bertanya," tukas Marta.

"Jakarta. Aku berasal dari Jakarta," jawab Herman.

"Kapan kau akan pergi?" tanya Marta.

"Secepatnya. Aku akan mengatakannya kepada Amang Pangulu. Kau bisa tetap menjadi guru les anak-anak jika aku pergi kan?" tanya Herman.

"Kurasa begitu. Julia juga belum mengatakan kapan ia akan kembali ke Jakarta," jawab Marta. Herman mendesah.

"Sayang sekali padahal aku suka menjadi guru bagi anak-anak itu," tukasnya dengan nada menyesal. Marta menghela nafas. Di tepuknya bahu Herman dengan lembut.

"Kurasa kau memang harus melanjutkan hidupmu. Kau bilang kuliahmu sudah tahap akhir. Kau mengambil jurusan apa?" tanya Marta mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Manajemen Informatika," jawabnya.

Herman masih menceritakan rencananya melanjutkan kuliah pada Marta sepanjang perjalanan pulang tetapi Marta sudah tak bersemangat. Kalau bisa dikatakan sekarang perasaannya seperti kehilangan benda kesayangan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia bisa memiliki perasaan kehilangan seperti ini. Ia berusaha meyakinkan dirinya kalau perasaannya itu hanyalah perasaan kehilangan seorang sahabat.

Meskipun telah menghibur dirinya dengan menanamkan pemikiran kalau Herman memang harus melakukan itu untuk melanjutkan hidupnya, tetap saja hatinya bersedih.

***

Sore itu Julia berjingkat-jingkat menaiki tangga bolon agar tidak menimbulkan suara. Ia berharap Marta tidak menyadari kepulangannya dari klinik. Ia sudah menghilang selama sehari semalam dari bolon dan ia merasa tak enak dengan Marta.

Julia menjinjing sepatu sneakernya yang sudah dilepaskannya sejak di tangga paling bawah. Tadinya Jayden ingin mengantarnya tapi ia menolaknya karena kehadiran Jayden hanya akan membuat Marta semakin curiga dan bertanya-tanya terus. Jayden sempat jengkel padanya. Dan pria itu masih saja berusaha menahan gadis itu lebih lama lagi di kliniknya tapi Julia menguraikan seribu satu alasan mengapa ia harus kembali sehingga Jayden tidak berkutik dan memaksanya berjanji mereka berdua akan bertemu lagi keesokan harinya. Julia baru bisa pergi setelah berjanji padanya.

"Hai, Beib."

Julia membeku di tempat mendengar sapaan dari Herman. Pria itu pasti ada di belakangnya sekarang yaitu di tangga bolon.

Julia membalikkan badannya.

"Mengapa kau berjingkat di belakangku? Aku terkejut tahu!" protesnya. Herman meletakkan satu telunjuknya di depan bibirnya.

"Kukira kau mau mengejutkan Marta. Jadi aku hanya mengikutimu," tukasnya berbisik tanpa merasa bersalah.

"Aku tidak berniat mengejutkan siapa pun," elaknya. Herman menyipitkan matanya menatap gadis berambut sebahu itu.

"Benarkah?" tanyanya seperti polisi yang menanyai pencuri. Julia hanya mengangguk.

"Bagaimana keadaan Bang Jay? Ia sudah sembuh?" tanyanya. Mendengar nama Jayden disebut mengingatkan Julia lagi tentang ciuman panas mereka dan menyebabkan wajahnya bersemburat merah. Ia yakin kalau setiap seseorang menyebut nama Jayden, ia pasti akan mengingat kejadian itu. Apalagi sekarang ia masih memakai jaket milik Jayden, jaket itu menguarkan bau tubuh jayden yang memancarkan aroma maskulin.

"Ehem!" Herman berdehem membuat Julia tersadar.

"Jayden sudah baikan. Aku hanya memintanya untuk istirahat saja," jawabnya sambil menatap ke arah lain.

Ia sudah sangat sehat.

"Ada apa denganmu? Wajahmu merah. Kau ketularan sakit?" tanya Herman.

"Tidak!" jawab Julia terkesan terlalu buru-buru. Ia menyentuh keningnya sendiri. Benarkah ia demam?

"Kau yakin kau tidak apa-apa kan? Tidak perlu mengantarmu ke klinik untuk diperiksa?" tanya Herman. Julia mengangguk dan menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Herman.

"Begini, aku harus bicara denganmu," tukas Herman. Ia duduk di anak tangga yang paling bawah dan meminta Julia mengikutinya duduk di anak tangga. Julia menurutinya dan duduk di anak tangga ketiga sambil melemparkan sneakernya secara sembarangan.

"Eh, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Julia setelah beberapa detik duduk namun Herman belum juga bicara.

Pria itu menghembuskan nafas dengan berat. Julia mulai sadar, ini mungkin pembicaraan yang lebih serius dari biasanya karena Herman tidak pernah seperti ini sebelumnya.

"Aku akan meninggalkan desa ini."

Julia tampak terkejut. Mulutnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu tapi ia mengurungkan niatnya dan menunggu Herman melanjutkan kalimatnya.

"Aku berencana melanjutkan kuliahku yang dulu terbengkalai karena hobiku berjalan-jalan," tukas Herman. Ia tidak tahu mengapa ia tidak mengatakan masalah yang sesungguhnya pada Julia padahal ia mengatakan hal itu sejelas-jelasnya pada Marta.

"Jadi Beib, aku terpaksa meninggalkanmu dan sekolah. Aku memang menyukai desa ini, aku menyukai anak-anak. Tapi kuliahku harus kuselesaikan," tukas Herman dengan nada penyesalan yang mendalam. Julia menghela nafas.

"Aku juga mau minta maaf, aku juga harus kembali. Tentang anak-anak, nanti kita bicarakan dengan Amang Pangulu. Kita berharap semoga ada yang bisa menggantikan kita," tukas Julia dengan nada yang tidak kalah sedih dari Herman. Herman mendesah lalu menopangkan wajahnya dengan salah satu tangannya.

"Marta sudah kau beritahu?" tanya Julia.

Dan itu adalah salah satu sebab aku berat meninggalkan desa ini.

Herman mendesah lalu mengangguk.

"Dia bilang aku memang harus menyelesaikan kuliahku."

Tanpa sepengetahuan Herman maupun Julia, Marta berdiri di balik pintu sambil mendengarkan pembicaraan antara Herman dan sahabatnya dengan hati bercampur aduk.

Marta mendesah panjang. Ia juga ingin kembali ke Bandung, untuk bertemu dengan anaknya Michael. Betapa ia ingin memeluk anaknya itu.

Kau sedang membohongi dirimu. Kau ingin pergi karena Herman juga meninggalkan desa ini.

Marta menggeleng. Ia harus sadar kalau Herman bukan untukmu. Herman masih muda. Ia akan mengejar impiannya yang dulu pernah dilepaskannya sekali. Kini ia siap untuk terbang lagi. Sedangkan Marta, ia bahkan tidak memiliki keberanian untuk bercerai dari suaminya dan mengambil anaknya kembali. Jadi mereka jelas-jelas berbeda.

Marta tersenyum miris menyadari keadaannya sendiri.

***

Tok tok tok.

Jayden tersentak dan bangkit dari kursinya mendengar pintu kliniknya diketuk dari luar. Ia memang sedang menunggu Julia. Gadis itu berjanji akan datang untuk mengembalikan jaket yang dipinjamnya kemarin.

Tok tok tok.

Pintu diketuk kedua kalinya, Jayden langsung bergegas menuju pintu dan memutar kenopnya sambil tersenyum.

Ketika pintu terbuka, Jayden hampir terkena serangan jantung dan senyumnya langsung hilang melihat sosok yang muncul.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top