10. Drizzle
Sore itu, Julia sedang duduk di atas sebuah batu menghadap ke arah Danau Toba. Pikirannya melayang antara Paman dan Bibinya, pekerjaannya di Jakarta serta tunangannya Colin. Ia tahu kalau ia harus segera kembali. Ia mengajukan cuti dua minggu dan ia sudah berada di desa ini lebih dari dua bulan. Kalau ia masih menginginkan pekerjaannya, ia harus segera kembali. Dan ia juga harus menghadapi Colin. Jika ia terus saja menunda membicarakan hal ini pada keluarganya, ia merasa ini tidak adil bagi Jayden.
Julia mendesah.
Dan bukankah ini seperti menginjak dua perahu? pikirnya.
Kalau aku pergi, bagaimana dengan anak-anak yang baru saja belajar bahasa Inggris.
Julia masih terus berpikir sehingga tak menyadari kalau sang dokter muda diam-diam mendekatinya dan memeluk pinggangnya dari belakang.
"Sudah lama, Mooie Vrouw?" bisik Jayden di telinga Julia.
"Lumayan," jawab Julia.
"Apa yang kau pikirkan sampai kau tak menyadari kedatanganku?" tanya pria itu sambil duduk di sebelah Julia. Julia masih memandang danau yang tampak tenang itu.
"Apa kau tahu legenda Danau Toba?" tanya Julia tanpa menjawab pertanyaan Jayden. Jayden mendengus.
"Kau percaya pada dongeng itu?"
Julia tersenyum lalu menoleh kepada Jayden. Pria seperti Jayden tentu saja akan menertawai segala jenis dongeng pengantar tidur seperti ia juga menertawai novel yang ditulis Julia.
"Kalau sang putri ikan memang mencintai petani, mengapa ia harus meninggalkan suaminya hanya karena suaminya memarahi anaknya anak ikan?" tanya Jayden. Julia meliriknya sebal.
"Ternyata kau tahu kisah lengkapnya. Aku kira kau akan menolak mendengar kisahnya bahkan sebelum orang bercerita," sindir Julia pedas. Jayden terkekeh dan membuat Julia makin kesal padanya. Gadis itu bangkit menepuk celana jeansnya dan berniat meninggalkan Jayden di danau itu.
"Hei, mau ke mana?"
"Pulang," jawab Julia pendek tanpa menoleh.
"Tunggu!"
Jayden juga bangkit dan segera menyusul dan menjejeri langkah Julia. Tidak sulit bagi pria itu karena ia berkaki panjang.
"Mengapa kau jadi gampang tersinggung?" tanya Jayden sambil menggandeng tangan Julia. Julia melengos.
"Siapa yang gampang tersinggung? Aku memang seperti ini. Kau menyebutku judes, ingat?"
Jayden menyembunyikan tawanya tapi tidak berhasil. Tawanya meledak.
"Ya, ya, kau gadis judes yang manis. Puas?"
Jayden menghalangi langkah Julia sehingga ia harus berdiri dan menatap pria itu.
"Pergi, Jay. Aku mau pulang," usirnya. Jayden menghela nafas. Tangannya terulur menyentuh kehalusan kulit wajah Julia.
"Kau pasti sedang memikirkan sesuatu sebelum aku tiba tadi," duganya. Julia menunduk namun ia tidak mengiyakan. Tapi sentuhan Jayden sedikit membuatnya tenang.
"Katakan apa yang membuatmu menjadi seperti ini?" tanya Jayden dengan suara khasnya yang dalam. Julia menghela nafas panjang.
"Aku mau pulang ke Bandung, Jay," tukas Julia lirih. Satu sentakan Jayden menarik Julia ke dalam pelukannya. Ia mengecup rambut halus sebahu Julia.
"Itu yang mengganggumu?" tanyanya lembut.
"Melarikan diri seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah, aku harus pulang ke Bandung untuk menjelaskan pada Paman dan Bibiku," tukas Julia lagi. Jayden tersenyum dan meskipun Julia tidak dapat melihat senyumannya, ia tahu kalau Jayden tersenyum.
"Kita pergi bersama," tukas pria itu. Julia terkejut. Ia mendorong Jayden dan menatapnya.
"Kita?"
"Ya. Bukankah aku bilang akan menemanimu?" tanya Jayden sambil tersenyum.
"Tapi Jay ini..."
Jay menggeleng. Tatapan matanya begitu menggoda.
"Aku ingin memastikan kau memutuskan hubungan dengan mantanmu," bisiknya.
"Jay," desah Julia. Jayden mengacak rambut Julia dengan lembut.
"Aku akan mengurus beberapa hal dulu. Beberapa hari lagi kita kembali ke Jakarta. Bagaimana?" bisik Jayden. Julia menatap mata teduh milik Jay lalu mengangguk. Ia mulai membayangkan apa yang akan dipikirkan Paman dan Bibinya jika bertemu dengan Jayden. Ia memutuskan Colin dan sekarang berhubungan dengan Jay.
"Ayo, mulai gerimis," ajak Jay ketika titik-titik hujan kecil mulai membasahi tempat itu. Pria itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Julia. Tangan yang kokoh yang menawarkan kehangatan. Jay tersenyum padanya kemudian mereka berdua meninggalkan danau itu sambil bergandengan tangan.
Jayden menanggalkan jaketnya dan memakaikan jaket itu di kepala Julia ketika hujan mulai deras.
"Aku punya jaket kok," tolak Julia.
"Pakai saja. Aku lebih tenang jika kau memakainya," tukas Jayden sambil tersenyum lembut pada gadis itu.
Keduanya berlari menembus hujan menuju ke klinik Jayden. Seperti anak kecil yang sedang bermain hujan keduanya tertawa meski pakaian dan rambut mereka telah basah oleh air hujan. Meskipun jaket Jayden dipakai oleh Julia tetap saja gadis itu basah kuyup dan Jayden menggodanya dengan mengatakan kalau tubuh Julia tercetak jelas dalam pakaian basah itu. Julia mengumpat dan mengatainya bule pervert.
"Aku bukan asli Belanda," balas Jayden.
"Ibumu keturunan Belanda. Bagaimana dengan ayahmu?"
Jayden menghentikan langkahnya. Julia hampir menabraknya. Jayden berbalik dan menoleh pada gadis itu. Tetes-tetes air hujan membasahi rambut pria itu bagai kristal yang pecah menjadi serpihan kecil. Julia mendongak menatap pria tampan dengan wajah sangar itu. Ia menemukan mata pria itu tampak berbeda dari biasanya.
"Kelak jangan bicara soal orang itu lagi. Dia tak pernah ada," desah Jayden parau. Julia terkejut. Dari kata-kata Jayden, ia menangkap kalau Jayden menaruh rasa dendam pada sang ayah sampai ia tak mau membicarakan ayahnya sendiri. Gadis itu menyentuh lengan Jayden. Jayden seperti membatu.
"Jay..."
Jayden meraih tangan Julia dan menggenggamnya dengan erat.
"Ada apa, Jay?" tanya Julia. Jayden berusaha tersenyum, senyum yang terlalu dipaksakan.
"Ayo," bisiknya sambil menarik lengan Julia tanpa menjawab pertanyaan gadis itu. Julia bukanlah gadis bodoh yang tidak tahu kalau Jayden sedang menyembunyikan sesuatu darinya tapi ia tidak ingin mendesak pria itu terlalu jauh. Kalau pria itu tidak ingin membicarakannya sekarang, Julia akan menunggu sampai saatnya tepat untuk mengorek rahasia itu.
"Ya, aku kedinginan dan kakiku hampir membeku," sahut Julia begitu keduanya tiba di klinik. Jayden segera membuka pintu dan membiarkan Julia masuk.
"Tunggu sebentar. Kuambil baju ganti," tukas Jayden. Julia mengangguk. Pria itu menghilang ke kamarnya. Tak berapa lama kemudian Jayden kembali membawa pakaian ganti tapi tetap saja pakaian yang kebesaran ukurannya untuk Julia.
"Cepat ganti bajumu," perintah Jayden ketika mendengar Julia mulai bersin. Gadis itu segera mengambil pakaian yang disodorkan Jayden dan masuk ke kamar mandi. Ia menyiram beberapa air dingin ke tubuhnya dan air dingin itu membuatnya menggigil. Lalu buru-buru ia keluar dari kamar mandi. Jayden sudah menunggunya di ruang duduk. Pria itu juga sudah berganti pakaian. Tapi wajahnya kelihatan sedikit pucat dan ia menggigil.
"Jay, kau sakit?" tanya Julia kuatir.
"Kepalaku sakit," jawabnya pendek.
"Sudah minum obat?" tanya Julia lagi. Jayden hanya membalas dengan anggukan.
"Kau harus istirahat."
Jayden memijit kepalanya sendiri.
"Ya, aku mau tidur sebentar," tukasnya. Julia mengangguk.
"Tapi bagaimana denganmu?"
"Aku? Kenapa denganku?"
Meski dalam keadaan menahan rasa sakit, Jayden masih bisa tersenyum menggoda.
Julia mengerjap-ngerjapkan matanya sambil berpikir apa yang sedang dipikirkan pria itu dalam kepalanya.
"Apa kau sedang berpikir aku menawarkan tempat tidurku padamu?" tanya Jayden dengan nada prokokatif. Julia merasa suhu panas tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhnya dan ia yakin pipinya pasti memerah karena pertanyaan Jayden.
"Dasar!"
Jayden masih memaksakan senyum jail. Ia menunduk dan berbisik pelan,"Kalau saja kepalaku tidak sakit dan aku tidak sedang kedinginan."
Hanya Julia yang tahu betapa mesum matanya ketika bibirnya mengucapkan itu. Gadis itu hanya bisa bengong sementara Jayden berjalan meninggalkannya dan menghilang ke kamarnya.
"Tunggulah sampai hujannya reda. Kalau aku belum bangun, bangunkan aku. Aku akan mengantarmu pulang," pesannya. Suaranya menembus dinding kamar. Julia mengerjap. Ia menunggu seolah ia tahu kalau Jayden belum menyelesaikan kalimatnya.
"Atau kau boleh bergabung denganku."
Julia mengatup gerahamnya dengan jengkel.
***
Hujan yang mengguyur desa itu berlangsung selama satu jam. Dalam waktu sejam itu Julia hanya duduk di ruang duduk sambil membaca buku-buku Jayden yang diambil dari rak bukunya yang isinya luar biasa membosankan. Beberapa kali Julia tergoda untuk masuk ke dalam kamar tidur Jayden untuk memastikan kalau pria itu baik-baik saja. Tapi Julia terlalu takut untuk memasuki daerah teritori Jayden, ia takut tergoda dengan oleh apapun yang ditawarkan pria itu.
Ketika ia mengembalikan buku yang dibacanya ke rak, ia mendengar suara Herman memanggil di pintu depan. Julia segera membuka pintu untuk Herman.
"Hai, aku mencari Bang Jay!" tukas Herman ketika melihat Julia yang muncul.
"Jay sedang tidur di kamarnya. Ia bilang sakit kepala. Kau mau menunggunya?" tanya Julia. Ia memberi jalan bagi Herman agar bisa masuk ke dalam.
"Wah, padahal aku ingin ngobrol dengannya dan berharap ia menawarkan secangkir teh jahe untukku," tukas Herman sambil tersenyum jail. Ia tak juga masuk ke dalam rumah.
"Masuklah. Akan kusiapkan teh jahe untukmu," tukas Julia. Herman mengedik ngeri.
"Tidak sudi. Marta bilang kau bahkan tidak bisa memasak mie instan!" tolak Herman dengan nada menghina yang berlebihan.
"Hei! Kurang ajar!"
Herman terbahak melihat ekspresi Julia yang siap mengamuk. Ia tidak sudi disuguhi minuman gagal yang disediakan oleh gadis itu. Ia percaya pada ucapan Marta kalau Julia tidak bisa memasak makanan yang paling gampang jadi ia pasti tidak tahu bagaimana cara menyeduh teh jahe.
"Aku pergi, Julia. Lebih baik aku menemui Marta. Daripada disuguhi teh rasa lumpur," pamit Herman seenaknya sambil melambaikan tangannya. Julia masih mencoba mengeja kata-katanya.
"Dasar kau!!!" teriaknya.
Sambil terkekeh Herman buru-buru meninggalkan klinik Jayden, ia kuatir jika bertahan lima menit lagi, Julia akan benar-benar melempar lumpur ke wajahnya.
"Hei, karena kau akan ke Bolon, bisakah kau memberitahu Marta kalau aku berada di sini dan kemungkinan tidak akan bisa kembali sampai besok?"
Herman yang sudah beberapa langkah menjauh berbalik dan mengedipkan sebelah matanya.
"Oke! Jaga saja pasienmu!"
Lalu ia berbalik dan meninggalkan Julia yang masih belum yakin dengan keputusannya untuk tinggal adalah keputusan yang bijaksana. Ia masih berdiri menatap punggung Herman yang meninggalkannya dan sekeping hatinya tergoda untuk kembali ke bolon bersama pria itu. Sementara kepingan yang lain memintanya untuk tinggal.
Sampai punggung Herman menghilang di ujung jalan setapak, ia menghela nafas dan meyakinkan dirinya kalau ia memang harus menemai Jayden yang sedang sakit. Lalu ia menutup pintu rumah sebelum berjalan menuju kamar Jayden. Ia berhenti di depan kamar untuk menenangkan jantungnya yang tiba-tiba mau meloncat keluar karena teringat ajakan Jayden yang cukup menggoda.
Atau kau boleh bergabung denganku.
Julia membayangkan dirinya dipeluk lengan berotot itu. Tidur dalam pelukan Jayden yang hangat. Ia akan bisa melihat wajah itu sebelum tidur dan wajah itu juga yang akan dilihatnya ketika ia bangun keeseokan harinya.
Tidak, tidak!
Julia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Konsentrasi, Julia.
Julia mengangkat tangannya, mengetuk pintu kamar Jayden. Pintu kamar itu terdorong karena ketukannya, Jayden tidak mengunci kamarnya tapi ia juga tidak memberi jawaban kalau Julia boleh masuk. Bibir Julia cemberut. Jayden membiarkan pintu kamarnya terbuka supaya Julia bisa masuk kapanpun ia mau.
"Jay, kau sudah bangun?"
Julia menunggu. Tapi masih belum ada jawaban. Lalu ia berdehem.
"Jay, aku masuk ya?"
Dengan jantung yang berdetak kencang, Julia mendorong pintu kamar Jayden dengan hati-hati. Kamar Jayden merupakan satu-satunya ruangan dalam rumah merangkap klinik Jayden yang belum pernah dimasuki oleh Julia. Sebelumnya ia hanya pernah melihat sekilah kamar itu sewaktu Jayden membuka pintu kamarnya.
Pintu kamar itu sengaja dibuka lebar-lebar oleh Julia supaya ia bisa langsung melihat Jayden. Julia menyapukan pandangannya ke seisi ruang tidur. Ruangan yang tampak mungil dan sederhana. Hanya ada lemari pakaian dua pintu dan ranjang sederhana ukuran 2 kaki. Jayden sedang berbaring menyamping di sana. Jayden merintih dalam tidurnya ketika Julia mendekatinya. Tangan Julia terulur menyentuh kening Jayden yang berkeringat. Jayden demam.
Segera disambarnya selimut di sisi ranjang dan menyelimuti Jayden. Lalu ia segera ke dapur untuk mengambil air dan handuk untuk mengompres kening Jayden.
"Mom..."
Julia menggenggam tangan Jayden erat.
"Jay," bisiknya.
Jayden tidak menjawab tapi keringat terus-menerus membasahi tubuhnya. Julia menyeka keringat dengan handuk kering. Baju yang dikenakan pria itu sudah basah.
"Jay, kau bisa duduk? Kau harus ganti baju," ujar Julia. Jayden membuka matanya pelan lalu menggumamkan sesuatu yang diartikan Julia sebagai kata iya.
"Aku ambil pakaian ganti dulu ya," tukas Julia tanpa menunggu jawaban dari pria itu. Lalu gadis itu berjalan menuju lemari sederhana yang berada tak jauh dari tempat tidur. Ia membuka pintu lemari dan menarik salah satu baju dan celana yang paling dekat dengan jangkauannya. Tetapi disadarinya kalau baju yang diambilnya itu terlalu tipis, tangannya segera menjangkau baju di rak atas yang bahannya terbuat dari wol. Ia berhasil menarik baju itu tetapi menyebabkan baju-baju yang posisinya berada di atas baju itu terjatuh. Gadis itu mendesah sambil memungut pakaian-pakaian yang berserakan itu dan melemparkannya secara asal ke rak paling atas. Ia berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan merapikan semuanya setelah Jayden berganti pakaian. Ketika ia melemparkan pakaian terakhir ke rak, sebuah kotak mungil terjatuh ke lantai. Julia memungut kotak mungil berwarna merah berlapis beludru itu dari lantai. Ia yakin kalau itu adalah sebuah kotak cincin. Ia memandangi kotak yang sekarang ada di tangannya. Ragu dan penasaran.
Ia menoleh pada Jayden yang masih tergolek lemah di tempat tidurnya. Gadis itu mendesah pelan lalu memejamkan matanya. Tangannya membuka kotak itu dengan pelan barulah ia membuka matanya.
Cincin!
Sebuah cincin berlian yang sangat mewah dengan sepuhan emas putih, dikelilingi oleh mata-mata kecil yang bersinar. Bila dibandingkan dengan cincin pertunangannya dengan Colin, maka cincinnya tidak layak disebut cincin. Pertanyaannya yang mengganggunya sekarang adalah milik siapa cincin ini. Jayden tidak mungkin menyimpan cincin ini jika ini tidak berharga baginya. Apakah Jayden pernah bertunangan atau menikah? Apa ia pernah melamar seseorang? Atau....
Pipi Julia memanas memikirkan kemungkinan kalau cincin itu diperuntukkan Jayden untuknya. Tetapi kapan dan di mana Jayden membeli cincin ini?
Julia bingung. Menanyakannya langsung kepada Jayden tidak munkin dilakukan sekarang, ia harus menunggu Jayden lebih sehat. Dan ia juga tidak berani menanyakannya sekalipun cincin itu memang diperuntukkan baginya.
Ah, Jay, aku menemukan cincin di lemarimu, apakah kau pernah melamar seseorang?
Well, itu memalukan!
Itu cincin untukku?
Itu lebih memalukan.
Julia menutup kotak itu kembali dan mengembalikannya ke tempatnya semula di rak paling atas di lemari. Lalu ia menutup pintu lemari dan kembali menghampiri Jayden. Ia menatap pria yang sedang tertidur itu sambil menghela nafas panjang. Ia sadar satu hal bahwa ia tidak begitu mengenal kehidupan Jayden. Begitu banyak yang pria itu sembunyikan darinya dimulai dari keanehan pria Indo sepertinya bisa ada di desa ini, lalu keengganannya menceritakan tentang ayahnya dan sekarang cincin di lemari itu.
Julia mendesah lagi. Rasanya ia hanya bisa bersikap seolah-olah ia tak pernah melihat cincin itu sebelumnya namun ia akan berusaha untuk memancing Jayden menceritakan masa lalunya meskipun ia belum tahu bagaimana caranya.
Julia duduk di sisi ranjang.
"Jay, ayo bangun. Ganti baju dulu," bisiknya pelan. Jayden bergeser.
Ini akan jadi pekerjaan yang berat.
***
Jayden terbangun dan melihat Julia tertidur dalam posisi duduk di sampingnya dan kepalanya bersandar di kepala ranjang. Pria itu mengulurkan tangannya menyentuh seuntai rambut yang menutupi wajah gadis itu. Julia hanya begerak memindahkan posisi kepalanya tanpa terbangun.
Jayden tersenyum sambil memandang wajah itu. Wajah polos Julia dengan mata terpejam dan bibir yang setengah terbuka. Nafasnya teratur menyebabkan mata Jayden turun ke dadanya yang naik turun mengikuti irama nafasnya.
Jayden berusaha bangkit. Ia merasa kalau kesehatannya mulai membaik. Handuk bekas kompres terjatuh dari kepalanya. Disentuhnya kepalanya. Suhu badannya juga sudah turun. Lagi-lagi ia tersenyum menatap Julia.
Gadis ini.
Jayden duduk di samping Julia bersandar di kepala ranjang lalu menggeser kepala Julia agar bisa bersandar di bahunya. Gadis itu sama sekali tak terusik. Nyaman bersandar di bahu kokoh milik Jayden. Tangan Jayden menggenggam jemari Julia, ia menyukai keadaan itu dan berharap andai saja waktu bisa membeku. Dan untuk selanjutnya Julia bisa bersandar padanya.
Jayden tidak pernah merasa harus memiliki kewajiban terhadap kebahagiaan seorang wanita kecuali terhadap ibunya tapi kini senang mengetahui kalau ia memiliki kewajiban untuk membahagiakan gadis ini. Bahwa tawa dan tangis Julia adalah tanggung jawabnya.
Jayden mengangkat jemari Julia dan mengecupnya dengan lembut. Namun ia tetap berharap kalau gadis itu tetap terlelap. Jayden hampir saja membisikkan sesuatu di telinganya namun mengurungkannya ketika gadis itu sedikit demi mulai membuka matanya. Ia menguap lebar.
"Jay," desahnya. Mendengar suara seraknya, Jay ingin menerkamnya, ingin mencium bibirnya namun Jay masih mampu menahan hasratnya. Gadis itu masih saja nyaman bersandar di bahu Jay.
"Sudah baikan?" tanyanya masih menguap. Jay mulai kepanasan tapi ia mengangguk.
Julia menggerakkan kepalanya yang pegal karena ketiduran sambil bersandar di kepala ranjang, memberi kesempatan bagi Jayden untuk bergeser menjauh darinya. Jay kuatir satu-persatu pertahanan dirinya akan runtuh jika berada di dekat gadis itu. Rahangnya mengeras karena terlalu berusaha untuk tidak menerkam gadis itu saat itu juga.
Jay berdiri, ia harus ke luar dari kamar itu. Ia tidak ingin menatap ke dalam mata gadis itu.
"Istirahatlah," desah Jay parau. Lalu ia memalingkan wajahnya namun ketika ia mulai melangkah, gadis itu menarik lengannya. Jayden terperangah. Tapi ia tidak berbalik, ia hanya berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Julia.
"Jangan pergi, Jay," pintanya memelas. Jayden memejamkan matanya.
Jangan lakukan itu, Mooie Vrouw.
"Kau tidak tahu apa yang kau minta," gumam Jayden serak. Julia menatap Jayden dengan tatapan memohon.
Menyedihkan.
Ia baru saja meminta Jayden tidur dengannya. Julia menyadari wajahnya memerah dan pipinya memanas. Jayden benar kalau ia tidak tahu apa yang sedang dimintanya. Tetapi ia benar-benar tak ingin Jayden pergi meninggalkannya.
"Aku ingin kau tinggal," sahutnya. Tangannya menarik baju yang dikenakan Jayden.
"Kau tahu pasti apa yang akan terjadi jika aku tetap tinggal," desah Jayden. Suaranya rendah dan menggoda. Julia tersenyum.
"Itu yang kuinginkan," tegasnya. Tangannya masih gemetar tapi ia benar-benar yakin dengan keinginannya. Jayden berbalik. Ia hanya butuh penegasan dari Julia kalau ia benar-benar diinginkan sebab seperti yang pernah dikatakan sebelumnya kepada gadis itu kalau ia tidak akan mengambil sesuatu yang tidak diberikan secara sukarela.
Jayden merengkuh tubuh Julia hingga merapat kepadanya lalu ia mencium bibir gadis itu. Ia menggigit bibir gadis itu seperti binatang lapar. Julia mengerang dan bibirnya terbuka untuk Jayden. Lidahnya menerima bibir Jayden. Tangan Julia tanpa diperintah memeluk leher Jayden. Sentuhan itu membuat Jayden kehilangan kendali. Ah, ia sudah kehilangan kendali sejak awal, sejak Julia memintanya untuk tinggal.
Jayden terburu-buru menarik baju kebesaran yang melekat di tubuh Julia. Yang ia tahu jelas kalau gadis itu sama sekali tidak memakai bra.
"Mijn Lieve, kau sangat seksi," bisiknya ketika baju itu lolos dari kepala Julia. Julia gemetar menahan hasratnya. Ia mencium Jayden supaya Jayden tidak perlu melihat betapa kuatirnya dia. Ia kuatir bila Jayden tidak merasa puas dengannya, ia kuatir jika tidak bisa membuat pria itu bahagia.
Jayden melepaskan pakaiannya sendiri dengan tidak sabar lalu mendorong Julia rebah di atas tempat tidur. Kini ia telanjang. Julia menatap kagum tubuh maskulin itu, jika sebelumnya ia hanya pernah melihat tubuh bagian atas saja dan itu sudah membuatnya merasa kepanasan, kini Jayden telanjang dan membuat Julia terbakar.
Jayden menindih tubuh gadis itu dengan tubuh maskulinnya sambil mencium bibir Julia.
"Jay," bisik Julia serak. Ia masih takut. Ia gelisah.
"Jangan takut, Mijn Lieve. Aku tidak akan menyakitimu," bisik Jay seolah tahu apa yang dipikirkan gadis itu. Berbeda ketika ia melepaskan pakaiannya dengan terburu-buru, ia menyatukan tubuhnya dengan Julia dengan pelan dan menikmati setiap detiknya meski nafasnya memburu dan detak jantungnya berpacu dengan cepat. Julia bergerak mengikuti iramanya. Bergerak bersama. Sensasi itu datang bagai gelombang yang datang terus-menerus. Jari-jarinya mencengkram bahu dan lengan Jayden.
"Jay," desahnya sambil mengerang. Jay menyeringai nakal.
Dan ketika keduanya mencapai puncak Jay meneriakan namanya.
***
Yang pertama berlangsung lambat, yang kedua kali mereka melakukannya dengan menggebu. Lalu keduanya tertidur dengan posisi Jayden memeluk Julia. Jayden tersenyum dalam tidurnya dan Julia yakin kalau itu adalah senyuman.
Gadis itu bangun pada jam 5 keesokan paginya dengan posisi Jayden masih memeluk pinggangnya yang ramping. Ia masih mengira ini mimpi dan pria itu tidak nyata. Namun setelah untuk beberapa lama ia menatap pria itu dan mendengarkan dengkurannya, ia yakin kalau ini bukan mimpi. Mulut Jayden meninggalkan bekas nyata di seluruh tubuhnya.
Sekarang bagaimana?
Itu adalah pertanyaan yang harus dijawabnya. Ia belum pernah melakukan hal ini sebelumnya. Apakah ia harus membangunkan Jayden atau membiarkan Jayden tetap tidur dan ia harus diam-diam bangkit dan meninggalkan tempat tidur Jayden seakan tidak ada yang terjadi pada waktu malam sebelumnya?
Julia mendesah pelan. Ia tidak tahu bagaimana cara menghilangkan rasa canggung jika Jayden bangun dan mendapati ia dalam pelukan pria itu?
Pelan-pelan ia menggeser lengan Jayden. Jayden bergerak namun matanya tetap terpejam rapat. Ia hanya mengubah posisi tidurnya. Julia berdiri tanpa menimbulkan suara. Mencari-cari pakaiannya yang berserakan. Mengingat bagaimana liarnya ia meminta Jayden bersamanya kemarin malam membuatnya ingin segera menghilang. Selama bertahun-tahun menjadi pacar Colin ia bahkan tidak pernah mencium Colin dengan nafsu seperti ia mencium Jayden.
"Mau ke mana, Mijn Lieve?" tanya Jayden masih dengan mata terpejam. Julia tersentak, ia bahkan belum sempat memakai pakaiannya. Ditariknya selimut yang menutupi tubuh Jayden tapi itu merupakan gerakan yang salah karena sekarang Jayden terlihat sangat menggoda setelah selimut itu diambil Julia.
"A-aku m-mau kembali ke Bolon," sahut Julia kikuk. Jayden masih menguap ketika ia bangun lalu menumpukan kepalanya di atas tangan kanannya.
"Aku kedinginan," desahnya sambil menggigil. Julia memungut pakaian Jayden dan melemparkannya ke wajah pria itu. Jayden terkekeh lalu menarik tangan Julia sehingga Julia kembali ke tempat tidur.
"Yang kubutuhkan bukan itu tapi kau," bisiknya dengan suara rendah. Dengan satu gerakan cepat Jayden memerangkap Julia di bawah tubuhnya. Julia memejamkan matanya. Ia tahu Jayden hanya tinggal bergerak sedikit saja untuk menciumnya. Ia tidak kedinginan, ia kepanasan apalagi ia bisa merasakan hembusan nafas Jayden di wajahnya. Tetapi ketika ia menunggu, Jayden belum juga menciumnya, ia membuka matanya. Jayden tersenyum jail, barulah pria itu menunduk menciumnya dengan lembut.
"Sekarang kau percaya aku bisa membuatmu orgasme berkali-kali kan?"
"Jay..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top