1. The Island (Edited-Repost)

Julia menjejakkan sepatu sneaker pinknya di tanah yang basah diikuti sahabatnya Marta.

"Gelap sekali!" gerutu Julia sambil bergerak maju dengan perasaannya.

"Ponselmu?" tanya Marta. Julia menggeleng.

"Kau mau telepon siapa? Mulai menyesal dengan idemu sendiri he-eh?" tanya Julia kesal. Ia sudah cukup lelah menempuh perjalanan udara selama dua jam, perjalanan darat selama 4 jam ditambah perjalanan naik ferry selama dua puluh menit terakhir harus ikut menumpang mobil bak terbuka milik penduduk barulah mereka tiba di desa ini. Dan sekarang otaknya menolak jika harus mendengar rengekan penyesalan dari pencetus ide yang merupakan temannya sendiri.

Marta yang merasa letih juga mendengar jengkel. Biasanya Julia adalah teman yang menyenangkan tapi tidak untuk malam ini.

"Aku hanya ingin menggunakan ponsel menjadi senter," tukas Marta lemah terlalu letih untuk bertengkar dengan Julia. Paling sedikit sudah 5 kali ia merasa menyesal mengajak Julia ikut bertualang bersamanya. Sekarang ia sedang berusaha menahan diri untuk tidak menjambak rambut sebahu Julia.

Julia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Lalu menghela nafas panjang. Andai saja sepanjang jalan ia tidak sibuk memotret, ponselnya pasti masih bisa digunakan sebagai senter.

"Baterai lemah! Bagaimana dengan ponselmu?" tanya Julia.

Marta sedang berpikir untuk mencekik Julia ketika Julia menunduk dan berkata penuh penyesalan, "Aku minta maaf, aku yang membuat ponselmu kehabisan baterai."

Marta menarik nafas panjang mencoba mengatur pernafasannya yang mungkin sudah rusak saking kesalnya pada Julia.

"Lalu bagaimana kita sekarang?" tanya Marta ketika ia sudah merasa lebih baik. Julia melirik jalan setapak yang gelap di depan mereka.

"Kita jalan terus saja. Bukankah tadi Pak Tua yang memberi tumpangan pada kita mengatakan kalau rumah bolon yang dulu ditinggali sepupumu sudah tak jauh lagi dari sini. Ayo!" ajak Julia sambil menarik tangan Marta. Marta mengikutinya. Meski sempat kesal pada Julia tapi tetap ia dapat mengandalkan Julia dalam setiap keadaan.

***

Kedua gadis yang berasal dari Jakarta itu akhirnya bisa menemukan rumah sepupu Marta yang dipinjamkan kepada keduanya selama berada di desa ini. Tanpa senter dan hanya mengandalkan keremangan cahaya bulan dan mata, keduanya tiba di rumah sederhana milik Gary, sepupu jauh Marta.

Sepupu jauh Marta ini sebenarnya adalah anak adopsi, namun ia masih berhubungan dengan keluarga aslinya. Ketika neneknya dari keluarga aslinya meninggal, ia memperoleh warisan rumah di desa ini. Dan rumah ini kadang-kadang dipakai oleh Gary yang seorang fotographer ketika ia sedang punya tugas memotret keindahan Danau Toba.

Ketika Marta menceritakan kalau ia ingin pergi jauh dari kota Jakarta untuk beberapa lama, Gary langsung meminjamkan rumah ini. Ia bilang Marta pasti akan menyukai tempat itu. Marta sendiri memohon kepada sepupunya agar tidak mengatakan apapun tentang kepergiannya pada keluarganya. Gary menjanjikan hal itu.

Entah karena terlalu lelah dan gembira telah menemukan rumah berteduh, baik Marta maupun Julia langsung tertidur tanpa makan malam. Rumah Gary adalah meskipun rumah bolon tapi terawat dan bersih. Mungkin karena Gary baru saja seminggu yang lalu pergi dari rumahnya atau memang desa ini bebas dari polusi, tidak ada asap pabrik atau asap kendaraan seperti di Jakarta.

Namun rasanya Julia baru tidur beberapa lama ketika Marta mengguncang-guncang tubuhnya yang kaku karena saking lelahnya.

"Bangun, J!"

"Tidak mau. Aku mau tidur 12 jam lagi," tolaknya enggan membuka kelopak matanya.

"Temani aku ke toilet."

"Pergi sendiri, aku ngantuk."

"Aku takut," aku Marta. Dengan masih menahan kantuk dan langkah diseret Marta, Julia menemani Marta ke toilet. Yang disebut toilet itu, letaknya di belakang rumah, terpisah dari bolon, meski toiletnya bersih tapi tidak ada air di bak air atau shower.

"Kau tahu bagaimana menggunakan benda ini?" tanya Marta sambil menunjuk ember yang diikat tali pada Julia yang masih terus menguap. Gadis itu mengangkat kepalanya yang berat sambil menatap Marta dengan malas.

"M, harusnya kau lebih tahu dari padaku. Ini rumah Gary dan Gary adalah sepupumu," protesnya. Tiba-tiba mata Marta menangkap sesuatu yang bergerak di antara rumput dan pepohonan.

"J, kau lihat apa itu?" teriak Marta sambil menunjuk sesuatu di antara pepohonan. Julia masih menguap tapi mengangkat senternya menerangi tempat yang ditunjuk oleh Marta.

"Apa itu?" Marta terkejut sambil menjatuhkan ember dan menimbulkan bunyi.

KRONTENG!

"Ada sesuatu yang bergerak di sebelah sana. Apa Gary pernah bilang ada binatang buas di sini?" tanyaku bergidik.

"Jangan menakutiku Julia, kau tahu aku paling tidak suka kucing hitam."

"Masalahnya, yang ini lebih besar daripada kucing. Hei! Siapa di sana?" teriak Julia memberanikan diri walau ia agak gentar sebenarnya karena tidak tahu apa yang akan dihadapinya.

Marta yang penakut malah bersembunyi di belakangnya dan mendorong-dorong tubuhnya agar maju menghadapi apapun yang akan muncul dari balik pohon itu. Sahabatnya itu memang selalu mengandalkannya sejak dulu karena Julia lebih pemberani daripadnya.

"Kau manusia atau binatang buas?" tanya Julia lagi. Kali ini dengan suara lantang sambil mengarahkan senter yang baru kami temukan ketika kami sampai di rumah ini beberapa jam yang lalu.

"Kalau itu tante K, gimana?" tanya Marta masih dalam nada ketakutan. Julia mendengus jengkel.

"Kau terlalu banyak nonton film Kuntilanak."

Marta berjengit ketika Julia menyebutkan kata itu dengan lantang.

"Perlukah kau menyebut Tante K selantang itu?" teriak Marta sebal. Julia sama sekali tak peduli.

"Kau yang berada di sana, bisa tunjukkan dirimu? Apa pun itu!" teriak Julia mulai tak sabaran. Julia maju lagi mendekati bayangan di balik pohon sedangkan Marta tetap berlindung di belakangnya. Bayangan itu bergerak dan menunjukkan bentuk aslinya yaitu manusia, pria tepatnya. Ia mendekat. Julia sengaja mengarahkan senter tepat ke wajahnya supaya ia bisa merekam wajahnya iti di memori otaknya jika ia berani macam-macam kepada mereka berdua. Pria itu mendekat dan langsung menepis senter itu.

"Silau."

"Maaf. Eh, tapi buat apa aku minta maaf? Kau telah menakuti kami," tukas Julia dengan nada kesal. Pria itu memungut ember yang sebelumnya dijatuhkan Marta.

"Hanya kebetulan lewat dan kalian sangat berisik sekali," katanya santai.

"Lalu buat apa kau pagi buta berkeliaran di sekitar sini?" tanya Julia sambil memandangnya dengan curiga. Ia mendengus jengkel.

"Penduduk di sini memulai harinya pagi buta berbeda dengan pemalas kota seperti kalian," jawabnya santai sambil melirik Marta yang masih betah bersembunyi di belakang Julia.

"Darimana kau tahu kami pendatang dari kota?" tanya Julia lagi. Pria itu mencibir.

"Tentu saja aku tahu," jawabnya dengan nada angkuh.

"Ah ya, karena kau tiba-tiba muncul, bisakah kau membantu kami menggunakan ember yang kau pegang itu?" tanya Marta hampir membuat Julia mencekik lehernya. Pria muda itu terbahak-bahak.

"Yang satu jutek dan yang lainnya tidak punya malu. Ckckck, kalian memang manusia tak tahu diri," omelnya.

Julia baru saja hendak balas mengomentarinya ketika Marta mencegahnya dan berbisik, "Sudahlah Julia, aku kebelet. Jangan ribut lagi."

Meskipun awalnya pria itu mengejek mereka sebagai pendatang kota yang malas tapi tetap saja ia membantu mengambil air dengan ember bertali itu. Julia memperhatikan caranya mengambil air dari sumur karena ia tentunya tidak sudi meminta bantuannya untuk kedua kali. Pria yang kira-kira berusia pertengahan dua puluhan tahun itu cekatan menimba air dari dalam sumur di belakang bolon. Ia mengenakan jaket olah raga merk adidas berwarna putih dipadu dengan celana jeans yang robek di lututnya.

"T-terima kasih," tukas Julia setengah hati. Sedangkan pria muda itu Ia tampaknya menyadari ketidaktulusan dalam ucapan Julia.

"Tidak buruk, kau bisa mengucapkannya terima kasih."

"Hei!"

"Sampai jumpa, Nona-nona. Pastikan kalian tidak menjatuhkan timbanya ke dalam sumur," ejeknya sambil berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

"Terima kasih," ucap Marta. Pria itu tetap tidak menoleh lagi.

***

Julia meninggalkan Marta yang masih melanjutkan kemalasannya bergelung di tempat tidur sederhana di bolon. Udara dingin khas Danau Toba membuatnya malas untuk bangun. Bukannya Julia tidak mencoba membangunkannya. Ia mencoba beberapa kali membangunkan sahabatnya karena ia kelaparan. Ia tidak bisa menghidupkan kompor yang ada di dapur dan ia butuh sarapan. Julia tidak bisa memasak sarapan di kompor sederhana seperti itu. Ia mengomel mengapa Gary tidak memakai kompor gas dan mengguncang tubuh Marta tapi kemudian ia mengasihani Marta, ia tahu kalau sahabatnya baru bisa tidur pas subuh tadi. Akhirnya ia harus puas dengan roti kering sisa dari makanan yang dibagikan di atas pesawat dari Jakarta menuju Medan yang mereka dapatkan saat menuju ke Medan.

Julia menggigit pelan rotinya sambil duduk di kaki tangga bolon dan memperhatikan sekitarnya. Ia menggigil karena dingin udara yang berhembus ketika menggigit roti keduanya. Lalu ia buru-buru naik ke atas dan menyambar jaket merahnya yang ia lemparkan begitu saja kemarin malam ketika ia sampai di tempat ini. Segera dipakainya jaket itu lalu menuruni tangga lagi dan memakai sepatu olah raganya. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar tempat ini. Paling tidak itu lebih baik daripada mati bosan menunggu Marta bangun.

Sambil berlari-lari kecil ia menyusuri jalan setapak yang basah oleh embun pagi. Dalam rutinitasnya baik di Bandung, kota kelahirannya maupun di Jakarta tempat ia bekerja sebagai seorang editor majalah, Julia tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa olah raga. Biasanya ia berolah raga di fitness centre di gedung kantornya. Tetapi joging di pulau di tengah Danau Toba memang merupakan hal yang baru sekaligus mengasikkan buatnya.

Udara dingin memang menembus jaket yang dipakainya namun dengan berlari-lari kecil setidaknya itu sedikit menolong mengatasi rasa dinginnya. Ditariknya resleting jaket olah raga sampai hampir menutupi wajahnya. Ia mulai menyesal karena meninggalkan syalnya di bolon.

Ia mulai bersemangat ketika mendengar suara air. Julia yakin itu suara air.

Pasti itu danau, pikirnya.

Kemarin sesampainya di Pulau Samosir dengan menggunakan ferry, Julia dan Marta harus menempuh perjalanan dengan berkendaraan lagi selama 20 menit. Ia pikir kalau lokasi danau akan sangat jauh dari bolon. Tapi ia yakin sekarang kalau danau itu tak jauh lagi.

Ia berjalan terus hanya dipandu oleh suara air. Dan tak lama kemudian ia menemukan danaunya. Danau indah yang tersembunyi di antara pohon-pohon rindang. Airnya jernih, riaknya tenang, dan ketika ia menyentuh airnya, ia memekik. Airnya terlalu dingin. Tapi tetap saja ia merasa kegirangan seperti anak kecil yang menemukan sekotak permen dalam tasnya.

Julia membuka sepatunya. Melipat ujung celana jeansnya dan meskipun ia tahu air danaunya dingin bagai air es, ia masih saja mencipratkan air danau. Ia membiarkan ujung lengan jaketnya basah terkena cipratan air.

Biar saja, pikirnya.

Aku bisa mengeringkannya nanti.

Ketika mencipratkan air untuk kedua kalinya, ia terkejut sampai hampir jatuh ke danau karena ia menangkap bayangan wajah lain selain wajahnya. Wajah yang sangar dan gelap. Segera dibalikkan badannya menghadap orang itu, waspada, siapa tahu orang itu bermaksud jahat seperti berusaha mendorongnya agar tenggelam ke danau.

"Apa maksud Anda tiba-tiba muncul di belakangku?" tanya Julia tanpa basa-basi. Pria yang sekarang berdiri di depannya adalah seorang pria yang memiliki tubuh tinggi yang berada di atas rata-rata. Penampilannya sedikit berantakan, matanya bersinar dingin dipayungi oleh alis yang hitam dan lebat, bibirnya tidak tersenyum melengkung sinis dan ia membiarkan kumis di atas bibir dan dagunya tumbuh berantakan.

"Mengapa penduduk desa ini gemar sekali muncul tiba-tiba dan membuat orang terkejut?"

Pria tinggi itu melirik Julia dengan jengkel. Julia tidak tahu apa yang membuat pria itu jengkel padanya.

"Kau hampir membuatku tenggelam ke dalam danau. Tidak bisakah bersuara sebelum muncul?" omelnya. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket hitamnya. Matanya menatap Julia, menilai gadis itu dari ujung rambutnya sampai ke kakinya.

"Kau mengerti bahasa Indonesia kan?" sindir Julia sambil mengerutkan kening. Ia merasa seperti bicara dengan tembok. Ia sudah melontarkan tiga pertanyaan tapi belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut pria itu. Dirinya mulai berpikir apakah pria itu memang tak bisa berbahasa Indonesia? Dilihat dari wajahnya kalau ia memiliki wajah indo, hidungnya terlalu mancung untuk ukuran orang Indonesia dan matanya tidak seperti mata orang Indonesia pada umumnya. Julia mulai merasa yakin kalau matanya berwarna biru meskipun ia belum menatap langsung ke dalam mata itu.

"Kalau kau tak ingin kehilangan momen ini, maka diamlah, matahari akan segera terbit," tukas pria itu akhirnya. Julia bergidik mendengar nada bass sedingin air danau yang keluar dari mulut pria itu.

Pria itu menunjuk ke arah danau. Cahaya matahari mulai bergerak naik dari balik danau itu. Julia takjub akan pemandangan itu. Ia sering pergi ke pantai Pangandaran dan tempat wisata lainnya di di tanah Jawa. Ia sering sengaja bangun pagi untuk melihat penglihatan pagi seperti ini dan harus ia akui kalau danau ini memiliki daya tarik tersendiri. Ia tidak mau kehilangan momen ini. Dikeluarkannya ponsel dari dalam saku jaketnya lalu dibukanya aplikasi video.

M, kau harus melihat ini, pikirnya.

"Tidak pernah melihat yang seperti ini di kota?" tanya pria itu sinis. Ada nada menghina dalam kalimatnya itu. Julia tak memperdulikannya dan terus menyibukkan diri dengan kamera videonya.

"Pertama kali melihat matahari terbit? Kasihan sekali," cemoohnya tajam lalu membalikkan badannya untuk meninggalkan tempat itu. Julia mengerjap-ngerjapkan matanya menatap punggung pria itu.

Setelah memprovokasi orang, sekarang ia mau pergi begitu saja? Dasar!

"Sebelum kau pergi, bisakah kau menunjukkan ke arah mana aku harus berjalan kembali ke bolonku?"

Pria itu berhenti melangkah, membeku untuk beberapa detik seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Pria itu berbalik setelah berhasil menelan senyumnya kembali.

"Ke bolonmu?"

Julia mengangguk.

"Ya, aku lupa arah menuju bolonku sendiri. Bisakah kau tunjukkan padaku? Bolon milik seorang fotographer yang sebulan lalu ditinggalinya, milik ..."

"Kau maksud fotographer yang bernama Gary. Ya, berjalanlah terus mengikuti jalan setapak. Lalu belok kanan ketika kau menemukan pohon besar. Ikuti jalannya dan kau akan menemukan bolonmu," tukas pria itu. Julia mengangguk.

"Kau kenal Gary?" tanyanya. Pria itu mengangguk kemudian berbalik lagi.

"Terima kasih dan... lain kali jika aku sedang menikmati pemandangan seperti ini, kuharap kau bisa diam tanpa melontarkan ejekan kepadaku. Itu sangat mengganggu!"

Pria itu terhenyak menatap Julia. Setelah ucapan terima kasih yang manis, gadis di depannya ini menohoknya dengan kritikan yang tajam.

Sekarang, meskipun mereka berjarak sepuluh meter, Julia yakin kalau mata pria itu berwarna biru dan ia memiliki memiliki darah bangsa Barat. Tapi ia tidak yakin juga karena pria itu seperti tidak asli bule.

"Apa kau orang asing?" tanya Julia untuk memuaskan rasa penasarannya. Pria itu tersenyum sinis.

"Bukan urusanmu!" dengusnya.

"Apa yang orang asing lakukan di sini? Melihat-lihat pemandangan yang tidak ada di Barat sana?" sindir Julia.

"Ada yang pernah bilang kalau kau terlalu banyak bicara?" tanya pria itu dengan nada mencemooh yang kental. Mata birunya tajam menusuk jantung Julia.

Gawat! Dengan wajah sadis seperti itu, aku masih berani mengejeknya. Bagaimana kalau ia pembunuh berantai? Aku bisa dibunuhnya di sini.

Julia membayangkan dirinya sendiri dianiaya kemudian dibunuh dan mayatnya dilemparkan ke danau yang dingin tanpa seorang pun mengetahuinya.

"Pak Jay!"

Suara dari kejauhan membuat lamunan Julia terpotong. Pria asing itu membalikkan badannya dan melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya.

"Ada apa Amang Pangulu?" tanya pria itu ramah ketika pria yang usianya sudah mencapai hampir enam puluh itu sampai di depannya.

"Aku mencarimu sejak tadi, Pak Jay," tukasnya. Julia menebak kalau pria yang memanggil pria asing ini adalah penduduk setempat karena ia memiliki logat khas meskipun ia sedang berbahasa Indonesia.

"Pangulu, bukankah sudah kukatakan kalau Anda boleh memanggilku Jay saja," tukas pria asing itu. Pria yang lebih tua itu terkekeh.

"Tidak terbiasa Pak Jay."

Pria itu ikut tertawa. Suaranya rendah dan dalam.

"Istriku perlu bertemu denganmu. Bisakah kau bertemu dengannya sekarang? Kami sudah ke rumah Anda tadi tapi rumah Anda kosong jadi aku meninggalkan istriku di sana," tukas pria itu. Julia sedikit penasaran, siapa sih Jay ini sampai istri pria itu perlu menemuinya. Apa ia orang penting di desa ini?

Pria yang lebih tua itu menyadari kalau bukan hanya ia dan pria yang dipanggil Jay itu yang berada di tepi danau itu. Ia menyapa Julia.

"Oh, Anda sedang bersama pendatang ya? Gultom bilang semalam ada dua pendatang ke desa ini. Rupanya Anda salah satunya. Selamat datang di desa kami," tukasnya dengan ramah. Julia tidak bisa mengabaikan nada bersahabat pria tua itu.

"Ya, saya pendatang, Pak. Tadinya ingin melapor pada kepala desa setempat tapi saya tidak tahu di mana rumah kepala desanya," jawab Julia ramah. Pria itu tersenyum lebar.

"Tidak perlu lagi karena kau baru saja bertemu dengannya. Sayalah kepala desanya di sini."

"Maafkan kelancangan saya, Pak. Kemarin malam tidak sempat melaporkan kedatangan kami. Perkenalkan nama saya, Julia. Saya datang berdua dengan teman," tukas Julia dengan sopan. Pria mengangguk-angguk mengerti.

"Tidak apa-apa, Nak. Kalian pasti masih sangat lelah sehabis perjalanan. Kalau boleh tahu kalian berdua berasal darimana?"

"Ah, kami berdua dari Jakarta, Pak Kepala Desa," jawab Julia tidak berusaha berbohong.

"Wah, ternyata sama seperti Anda, Pak Jay."

Pria itu mendehem.

"Mari, Amang Pangulu, kita segera menemui inang," potongnya. Julia menangkap kalau pria asing itu kuatir Kepala Desa membicarakan dirinya.

"Ah iya, mari Pak Jay," tukas Pak Kepala Desa sambil berjalan duluan mendahului pria asing yang sangar itu. Julia menoleh pada pria itu.

"Jangan lupa ikuti jalan setapak. Kami tak bertanggung-jawab jika kau ditangkap makhluk aneh di sini," ujar pria itu mengingatkan Julia. Kepala Desa mendehem dan pria itu terkekeh geli. Sang Kepala Desa kembali menoleh pada Julia yang agak syok dengan perkataan pria itu tentang makhluk aneh.

"Jangan percaya kata-katanya, Nak. Dia hanya menggertakmu. Tidak ada makhluk aneh di sini," tukas Sang Kepala Desa. Entah mengapa Julia langsung menyukai Kepala Desa yang rambutnya sudah memutih itu. Gadis itu tersenyum dan mengangguk pada Sang Kepala Desa.

"Kalau kalian butuh sesuatu, datanglah ke tempatku. Rumahku merangkap warung yang menjual sedikit bahan makanan. Letaknya dekat dengan bolon yang kalian tempati. Kalian hanya perlu berjalan sekitar 100 meter ke arah Utara," pesannya sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Si pria asing berwajah gelap itu menyusul di belakangnya tanpa mengatakan apa-apa ataupun menoleh lagi pada Julia.

***

Kalau saja Jayden tidak sedang berjalan bersama dengan Amang Pangulu, ia akan menepuk kepalanya sendiri saat ini. Ia menganggap dirinya sudah tua dan matanya pasti sudah rabun ketika melihat sosok dewi di tepi Danau Toba. Ia sempat berpikir untuk mencuri selendang sang dewi kalau saja akal sehatnya tidak kembali dan mengingatkannya kalau tidak ada dewi dengan rambut sebahu yang mengenakan jaket olahraga berwarna merah di danau itu.

Jayden gusar karena kehadiran gadis itu mengganggu ketenangannya. Biasanya ia bisa duduk di tepi danau itu beberapa lama tanpa teman menikmati indahnya matahari yang terbit di sana. Tanpa suara manusia hanya ada suara air dan beberapa binatang dan serangga di tepian danau. Dan tadi, ia harus berbagi momen pribadinya itu dengan orang asing.

Hm, orang asing yang cukup manis sebenarnya.

Jayden tak menyalahkan dirinya sendiri ketika melihat bayangan seorang perempuan dan mengira dirinya dewi. Gadis itu berwajah oval, matanya agak sipit, hidungnya mancung, bibirnya tipis dan Jayden sama sekali tak menyangka dengan bibir seperti itu ia bisa mengeluarkan kata-kata tajam.

Dan... lain kali jika aku sedang menikmati pemandangan seperti ini, kuharap kau bisa diam tanpa melontarkan ejekan kepadaku. Itu sangat mengganggu!

Jayden menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha menyembunyikan senyumnya dari Amang Pangulu.

Apa kau orang asing?

Bukan urusanmu!

Apa yang orang asing lakukan di sini? Melihat-lihat pemandangan yang tidak ada di Barat sana?

Ada yang pernah bilang kalau kau terlalu banyak bicara?

Jayden mengakui kalau ia tidak ramah pada gadis itu tapi gadis itu memang terlalu banyak bicara hingga membuat Jayden lupa bagaimana cara bersikap ramah dan lupa tata krama. Ia tersihir masuk ketika ia menatap ke dalam mata gadis itu.

Apa aku begitu menyedihkan terlalu lama tinggal di pulau sampai merasa begitu ketika melihat seorang gadis asing di tempat ini?

Lagi-lagi Jayden menggeleng-gelengkan kepalanya dan membuat Amang Pangulu bertanya, "Mengapa kau tampak aneh, Pak Jay?"

"Heeh?"

Amang Pangulu terkekeh.

"Pak Jay aneh sejak meninggalkan danau," tukas pria berambut putih itu.

"Ah, Pangulu, hanya... kurasa kalau aku ke kota, aku perlu memeriksakan mataku. Mungkin aku rabun jauh," tukas Jayden memberi alasan yang sama sekali tidak ada hubungannya.

***

Marta terbangun dan tidak mendapati Julia di bolon. Ia sudah memanggil-manggil Julia namun teman baiknya itu tidak muncul juga. Marta meraih ponsel bermaksud menghubungi Julia tapi yang terpampang di layar smartphonenya adalah tanda sos.

Marta menghela nafas panjang. Ia sadar kalau matahari sudah tinggi, perutnya sudah keroncongan minta diisi. Ia bangkit dari tempat tidur sederhana dan mencari tasnya karena teringat masih ada roti kering sisa kemarin malam. Namun ketika ia mengbongkar tasnya, sadarlah ia kalau Julia telah menghabiskan seluruh sisa rotinya. Dan ia mulai menyesal tidak bangun lebih pagi. Sekarang ia harus memasak. Segera ia menuju kamar mandi yang terletak terpisah dari bolon.

Di kamar mandi ia melihat Julia telah menyediakan seember air penuh untuknya. Ia mengambil gayung dan mencuci wajahnya. Marta memekik kecil karena airnya sangat dingin.

Ya, ini baru permulaan, pikirnya.

Airnya dingin, tidak ada sinyal telepon, tidak ada kompor gas dan tidak ada makanan. Sekilas ketika melewati dapur, ia melihat kalau Gary tidak memiliki kompor gas, yang ada hanya kompor dengan sumbu. Marta sendiri tidak yakin bisa menyalakan kompor itu meskipun ia bekerja sebagai juru masak di restoran di Jakarta dan tentu saja ia tidak bisa mengandalkan Julia yang seumur hidupnya tidak pernah memasak.

Marta memencet odol yang juga sudah disediakan Julia dan mulai menyikat giginya. Pikirannya melayang pada putra semata wayangnya yang direbut paksa oleh mantan suaminya.

Entah bagaimana keadaan Michael sekarang, apa ayahnya bersikap baik padanya? Apa ia merindukan ibunya? Apa mereka bersikap baik pada anak itu?

Pria brengsek itu, Marta benci sekali mengingat wajah pria itu. Wajah orang yang pernah dicintainya. Marta telah berusaha menjadi istri yang baik meski perekonomian keluarga mereka pas-pasan, Marta rela menjadi tulang punggung keluarga itu juga ia sanggup bekerja menjadi pelayan restoran untuk membantu suaminya. Namun pria jahat itu bukan hanya pemabuk dan penjudi, ia juga melakukan kekerasan rumah tangga terhadap Marta.

Berkali-kali ia meminta maaf, memohon Marta tidak meninggalkannya. Kalau kekerasan itu ia lakukan dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh alkohol namun tetap saja itu berulang terus. Ia terus berjanji kalau itu yang terakhir kalinya ia menyentuh minuman keras tapi kenyataannya alkohol tidak pernah lepas dari hidupnya. Sampai Marta menemukan kalau ia bersama perempuan lain, Marta memutuskan membawa pergi Michael dan meninggalkan pria itu. Ia mengajukan gugatan cerai karena ia yakin kalau dengan penghasilannya bekerja di restoran yang sekarang ia sudah berhasil menjadi juru masak, ia akan bisa menghidupi anaknya. Tapi pria itu tidak mau bercerai, ia berhasil mendapatkan pengacara yang masih saudara sepupunya, dan meyakinkan hakim kalau mereka akan rujuk. Marta tidak mau lagi kembali pada pria itu, terlebih lagi kalau ia tahu wanita yang bersama mantan suaminya itu tengah hamil muda. Pria itu mengambil Michael. Ia merasa berhak atas Michael karena pengadilan tidak memutuskan perceraian mereka. Ia mengambil Michael untuk membuat hidup Marta menderita.

Marta menyikat giginya sekuat tenaga seolah dengan begitu ia bisa membalas perlakuan suaminya. Namun ketika ia berkumur, ia mendengar Julia berteriak dari dalam bolon memanggil namanya. Marta secepatnya menghapus airmatanya dan menjawab panggilan Julia.

"J, aku di sini!"

Marta segera masuk ke bolon dan mendapati Julia baru pulang dari jalan-jalan.

"M, aku menemukan tepi danau di sini. Sangat indah!" tukas Julia bersemangat sambil menggandeng tangan sahabatnya. Ia mengeluarkan ponsel putih dari sakunya dan membuka video yang sudah direkamnya tadi untuk diperlihatkan kepada Marta.

Marta mau tak mau ikut menonton video dalam ponsel itu. Harus ia akui kalau pemandangan itu memang menakjubkan. Matahari muncul dari danau itu, cahayanya indah dan menyilaukan.

"Siapa pria itu?" tanya Marta ketika menangkap sosok lain di dalam ponsel Julia.

"Pria mana?" tanya Julia langsung merebut ponselnya dan mematikan videonya.

"Aku melihat seorang pria bersamamu. Kau tidak kelihatan di sana tapi aku melihat pria itu. Tinggi berjaket hitam dan berdiri di belakangmu," tukas Marta. Ia yakin akan penglihatannya. Ada orang lain bersama dengan sahabatnya di danau itu.

"J, katakan padaku siapa pria itu?" selidik Marta. Julia tampak kikuk.

"K-kita baru tiba, mana kutahu siapa dia," elak Julia. Marta menyeringai. Tangannya terulur berusaha merebut smartphone putih milik Julia. Julia memasukkan ponselnya ke saku agar jauh dari jangkauan Marta. Marta semakin mencurigainya.

"Aku benar-benar yakin kalau ada pria bersamamu," tukas Marta.

"A-aku bertemu dengan Kepala Desa. Jadi kuperkenalkan diriku. Mengenai pria itu yang ada di videoku, aku tidak tahu siapa dia. Tak sengaja terekam," tukas Julia.

Marta menyipitkan matanya yang memang sudah sipit menatap sahabatnya.

"Menikmati mentari terbit dengan orang asing, hm...."

Julia meringis.

"M, itu hanya kebetulan."

Marta terkikik geli melihat kecanggungan Julia. Julia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ah M, aku ingin mengajakmu ke rumah Kepala Desa. Beliau tampaknya baik. Ia bilang ia membuka usaha warung di depan rumahnya. Mungkin kita bisa membeli bahan makanan. Ayo," ajak Julia bersemangat. Ia sengaja mengalihkan pembicaraan tentang pria asing itu.

"Bicara soal makanan, J. Mengapa kau habiskan semua roti sisa kemarin malam? Aku kelaparan!"

Julia terbahak. Tapi tanpa memperdulikan omelan Marta soal roti sisa itu ia menarik lengan Marta menuruni tangga bolon. Barulah di anak tangga yang terakhir ia mengingatkan Marta mengambil jaket karena dinginnya udara di pulau ini. Ia tak ingin sahabatnya menggigil selama berjalan ke rumah Kepala Desa nantinya.

***

"Kau tahu di mana Utara?" tanya Marta pada Julia ketika mereka sepertinya sudah tersesat dalam mencari rumah kepala desa. Julia menggeleng tanpa rasa bersalah.

"Kau kan tahu aku buta tentang arah."

"Jadi mengapa kau tadi sok tahu?"

"Aku tidak bilang, aku tahu kan?" balas Julia lagi. Marta menghentakkan kakinya dengan kesal. Seharusnya ia sadar dari awal kalau Julia memang cerdas tapi ia buta soal mata angin. Marta merasa terlalu bodoh mempercayai Julia bisa membawanya tanpa tersesat ke rumah Kepala Desa itu dan sekarang ia harus menerima segala konsekwensinya, tersesat. Rasanya entah sudah berapa kali berputar dan keduanya masih tetap berada di tepi danau yang itu-itu juga.

Marta mengeluarkan ponselnya, meski ia tahu tidak ada sinyal handphone tapi ia tetap saja berharap ada keajaiban di sini.

"Percuma! Tidak ada sinyal! Lagipula siapa yang akan kau telepon? Gary?" tanya Julia sambil mengernyitkan alisnya. Marta makin sebal, hampir saja ia bertindak impulsif dengan mencekik Julia. Namun kemudian ia sadar Julia juga sedang sama bingungnya dengan dirinya. Akhirnya ia hanya bisa melotot kesal pada Julia.

"Kau bisa membunuhku dengan tatapan seperti itu. Kita tidak sedang syuting film horor," gurau Julia sambil memasang tampang ngeri melihat tatapan sahabatnya.

Marta pura-pura marah sambil berkata dengan ketus,"Kau yang novelis bukan aku."

Julia tertawa sambil berkata,"Mungkin kau juga ingin menulis pada akhirnya berdasarkan pengalaman pribadi dengan korban yaitu aku."

Marta melepaskan sepatunya dan segera masuk ke danau, Julia segera mengikutinya.

"M, apa yang kau lakukan? Kau mau berenang di sana? Airnya dingin!" teriak Julia memperingatkan Marta. Tapi Marta bukannya ingin berenang, ia hanya ingin mendinginkan kepalanya yang panas akibat rasa sok tahu sahabatnya itu. Dan ia juga ingin membalas sahabatnya karena rasa sok tahunya itu.

Begitu Julia ikut masuk ke danau, Marta sudah siap mencipratkan air dingin itu ke wajah Julia. Julia memekik.

"Apa kau sudah gila?"

Marta mengikik. Puas rasanya sudah membalas Julia. Tapi bukan Julia namanya kalau tidak membalas. Marta siap kabur meninggalkan Julia hanya saja ia kurang cepat karena Julia balas mencipratkan air danau ke wajah Marta.

"Kau J!"

Byur!

Sekali lagi Marta kena cipratan air. Julia terbahak-bahak. Marta tidak mau mengaku kalah, ia juga mencipratkan air ketika Julia tertawa. Air dingin itu masuk ke mulut Julia sehingga Julia terbatuk-batuk.

"Sial kau M! Uhuk! Kemari kau!"

Marta tertawa dan buru-buru menjauh dari Julia.

"Bisakah kalian berdua tidak menciptakan suara berisik di danau ini?"

Marta dan Julia terkejut. Keduanya menoleh ke arah suara. Pria berkaki panjang itu berdiri di atas batu di tepi danau sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Marta mengenalinya sebagai pria yang berada dalam video di ponsel Julia.

"Aneh! Danau seindah ini, masa kami tak boleh bermain di sini," tukas Julia.

"Di sini bukan taman bermain," balas pria itu pedas. Marta merasa ada situasi permusuhan di sini. Ia lalu bergerak naik dari danau dan menghampiri pria itu.

"Halo, apa Anda penduduk desa ini? Bisakah kau membantu kami menunjukkan jalan ke arah rumah Kepala Desa?" tanya Marta sambil mengulurkan tangannya, mencoba bersikap ramah dan berharap kalau pria ini bisa membawa mereka ke arah yang benar. Pria itu jelas-jelas mengabaikan uluran tangan Marta.

"M, jangan bersikap ramah pada orang asing!"

Pria asing itu menaikkan sebelah alisnya mendengar kata-kata dari Julia.

"Bukankah tadi Amang Pangulu bilang arahnya Utara?" tanyanya sinis. Julia pura-pura tidak mendengar sindiran itu.

Eh, tenyata benar kalau mereka berdua pernah bertemu, pikir Marta.

"Julia memang agak kesulitan mengingat arah. Bisakah kau menolong kami?" tanyanya. Kalau Julia bersikap galak terus maka mereka berdua tidak akan menemukan arah ke rumah Kepala Desa jadi Marta harus bersikap kebalikan dari Julia.

Marta memberikan tatapan horor kepada sahabatnya.

Lebih baik kau diam saja, J.

Marta melirik pria asing itu sedangkan pria itu menatap lurus pada Julia. Lalu ia berkata sedingin air danau, "Ikuti aku!"

Marta segera menarik Julia keluar dari danau dan keduanya segera memakai sepatu. Pria itu tak repot-repot menunggu mereka berdua selesai memakai sepatunya sehingga keduanya harus berlari untuk mengikuti langkah panjang pria bermata gelap itu.

"Dia tampan bukan?" bisik Marta sambil mengamit lengan Julia. Julia memicingkan matanya menatap sahabatnya dengan sebal.

"Jangan macam-macam, M. Kita sedang tak ingin terlibat dengan pria manapun," tukas Julia judes. Marta tertawa.

"Mengapa Gary tak pernah mengatakan ada pria tampan di desa ini?" bisik Marta lagi. Julia mencubit lengan Marta dengan sebal.

"Tampan tapi mungkin saja ia pembunuh berantai," balas Julia cekikikan. Marta meliriknya sebal.

"Khayalan tak masuk akal!" protes Marta.

"Jangan salahkan aku jika aku curiga. Pria itu terlalu aneh untuk berada di tempat ini. Sering muncul tiba-tiba dan wajahnya menakutkan. Tidakkah kau merasa wajahnya menakutkan, M? Aku curiga memang pembunuh berantai," bisik Julia hati-hati di telinga sahabatnya. Marta cekikikan.

"Genre baru novelmu? Horor? Pembunuh berantai heeh?"

"Kau tak pernah menaruh curiga dengan orang-orang tak dikenal?"

"J, sebaiknya kau menulis soal Tante K saja. Itu lebih menjual daripada pembunuh berantai," tukas Marta sambil tertawa. Julia manatapnya sebal. Marta merasa kalau sahabatnya ini hampir menusuk matanya agar ia berhenti cekikikan.

Pria di depan mereka tiba-tiba berhenti dan berbalik lalu menatap Julia dengan tatapan dingin. Ia menunjuk ke arah kiri dan berkata,"Kalau kalian berjalan ke arah sini, itu rumah Amang Pangulu,"

Lalu ia menunjuk ke arah kanan.

"Arah sini rumah kalian. Kuharap kalian tidak tersesat lagi. Maaf, hanya mengantar sampai di sini. Kau tentu takut berjalan bersama pembunuh berantai," katanya langsung tertuju pada Julia. Julia malah berkacak pinggang dengan galak. Hampir saja ia berteriak namun Marta menepuk bahunya untuk menghentikannya mengajak pria asing itu bertengkar.

"Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepalanya.

"Setidaknya kau lebih bijaksana daripada Nona Kota galak itu," tukas pria itu. Marta menyembunyikan senyumnya ketika dilihatnya Julia hendak memprotes tapi lagi-lagi ia mencegahnya.

"J, sudahlah."

Marta memang paling mengerti sifat galak sahabatnya itu, Julia berusaha melindungi dirinya sendiri dengan sifat galaknya. Ia kehilangan orang tuanya sejak ia masih kecil dan ia diasuh oleh keluarga pamannya dari pihak ayahnya. Keluarga pamannya memiliki banyak anak dan bukannya mereka tidak menyayangi Julia. Paman dan bibinya menyayangi Julia seperti anak sendiri, hanya saja Julia tak pernah mau merepotkan mereka, jadi Julia berusaha menjaga dirinya sendiri.

"Sampai jumpa," pria itu melambaikan tangannya meninggalkan kami tanpa berbalik lagi.

"J, mengapa kau bersikap seperti itu padanya? Pria itu sudah berbaik hati pada kita," tukas Marta sambil mengamit lengan Julia berjalan ke arah rumah Kepala Desa. Ditanya demikian, Julia hanya meringis.

"Tidakkah kau lihat kalau ia sengaja mencari ribut denganku?"

Harus diakui Marta kalau pria itu menatap Julia dengan cara yang begitu berbeda.

"Apa ia warganegara asing?" tanya Marta. Julia angkat bahu.

"Who cares?"

"Ia mirip aktor Cha Seungwon, idolamu yang main drama City Hall itu!"

"Jangan samakan idolaku dengan orang itu!"

Marta terbahak dan tanpa terasa mereka sudah berada di depan sebuah warung yang di sampingnya ada bangunan bolon.

Sang Kepala Desa yang ditemui Julia di pinggir danau duduk di tangga bolon itu melambaikan tangannya ke arah mereka berdua. Kepala Desa itu mempersilahkan keduanya masuk ke dalam rumah panggungnya. Beberapa dekorasi tradisional Batak tetap dipertahankan namun sudah ada sentuhan modern di dalam rumah panggung itu. Dalam rumah itu terdapat komputer di sudut ruangan.

"Jadi Amang Pangulu lahir di sini ya? Tidak pernah pindah ke tempat lain?" tanya Julia ketika si menantu muncul sambil membawa kopi untuk mereka. Sang Kepala Desa meminta kami memanggilnya dengan sebutan Amang Pangulu.

"Ya, aku lahir di Samosir. Istriku juga lahir di Samosir tetapi dari desa tetangga."

"Samosir indah sekali Amang Pangulu. Dulu aku hanya tahu Danau Toba dari buku pelajaran Geografi saja. Tapi waktu aku melihat panorama begitu aku tiba di Parapat, aku takjub," tukas Julia. Marta hampir tertawa.

Geografi, arah mata angin saja ia tidak tahu kok.

"Aku pernah menetap di Medan selama beberapa waktu tapi aku kembali lagi. Karena aku merindukan desa ini."

Marta masih heran bagaimana caranya Julia kembali ke bolon tanpa tersesat setelah ia berjalan-jalan ke danau pagi tadi namun Amang Pangulu menjelaskan kalau dari bolon yang mereka tempati ke danau itu hanya menyusuri jalan setapak saja jadi Julia bisa kembali tanpa tersesat.

"Sewaktu di Parapat aku masih bisa menggunakan ponselku tapi begitu tiba di desa ini, sinyal telepon hilang. Kalau saja desa ini dieksplor, aku yakin bisa menarik wisatawan yang lebih banyak lagi. Tapi sayangnya, desa ini seperti terlupakan."

Amang Pangulu terkekeh.

"Memang agak kesulitan kalau tidak ada sinyal telepon ya. Tidak ada yang mau menetap di sini padahal perlu adanya pembangunan di sini. Aku sebagai kepala desa ingin sekali anak-anak ini belajar bahasa Inggris. Kalian tahu kalau Parapat itu tujuan wisata nomor satu di Sumatera Utara. Ada penginapan kecil di sini yang diusahakan seorang pebisnis dari Medan tapi kalau tidak sedang liburan tamunya sedikit. Hanya ada beberapa orang Eropa yang menginginkan ketenangan yang menginap di sana."

"Ada penginapan?" tanya Julia. Amang Pangulu mengangguk.

"Kuharap tempat ini bisa menjadi salah satu tujuan wisata. Karena itu aku ingin ada guru yang bisa mengajari anak-anak kami bahasa Inggris. Tapi tidak ada yang mau membuka kelas bahasa Inggris di desa terpencil."

Marta berdehem sambil menatap Julia dengan tatapan memohon. Julia merasa curiga dengan tatapanku. Marta tersenyum penuh arti. Julia menggeleng ketakutan.

"Jangan lakukan hal ini kepadaku, Marta. Kau tahu kalau bahasa Inggrismu lebih bagus daripadaku," bisik Julia pelan. Marta tersenyum jahat.

"Tapi kau lebih bisa jadi guru daripada aku. Kau bisa melakukannya kalau kau mau."

"Aku tidak tahu kalau berapa lama kita di sini. Jangan membuat Amang Pangulu terlalu menaruh harapan," elak Julia. Marta menyipitkan matanya menatap Julia.

"Aku tetap berharap kau mau melakukannya," bisik gadis berambut panjang itu tanpa diketahui Amang Pangulu.

"Horas Amang Pangulu!

"Horas!"

Amang Pangulu berdiri dan segera menuju depan rumah panggungnya melihat siapa yang datang. Julia dan Marta mengikutinya.

"Kudengar Inang sakit. Apakah ia baik-baik saja?"

Seorang pemuda berdiri di halaman sambil bercakap-cakap dengan Pangulu. Marta ingat kalau pemuda ini adalah orang yang membantu mereka menimba air tadi pagi. Pemuda itu sama sekali tak melirik Julia dan Marta seolah mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

"Hanya demam tapi sudah diberi obat. Tidak apa-apa, Nak. Kau butuh sesuatu?" tanya Amang Pangulu ramah.

"Tidak Amang Pangulu. Aku hanya kebetulan lewat. Dan kulihat kau bersama kedua pengacau dari kota," sindir pemuda itu.

"Hei!" protes Julia. Amang Pangulu terkekeh.

"Aku selalu menerima pendatang, Nak. Desa ini butuh pendatang seperti kau dan mereka," tukasnya. Ah, barulah Julia dan Marta sadar kalau pemuda ini juga pendatang.

"Terserah Amang Pangulu. Tapi baiknya mereka diperingatkan agar jangan mengacaukan apapun di desa ini hingga mengganggu ketenangan penduduk desa," tukas pemuda itu kemudian pamit dan meninggalkan mereka.

"Dia juga pendatang, Amang Pangulu?" tanya Marta ketika pemuda itu pergi. Amang Pangulu mengangguk.

"Sebulan lalu. Dan ia tinggal di penginapan yang kukatakan itu. Kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Amang Pangulu. Marta mengangguk.

"Tadi pagi," jawabnya pelan karena Julia memberinya kode agar aku tidak memberitahu Amang Pangulu kalau pemuda itulah yang menolong mereka menimba air.


Rumah adat Samosir berbentuk rumah panggung dengan konstruksi kayu tanpa kayu

Pak Kepala Desa

Panggilan ibu dalam bahasa Batak

Sapaan dalam bahasa Batak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top