PROLOG


Semua orang tampak bahagia saat itu, menyaksikan bersatunya kembali sepasang kekasih yang sempat terpisah sekian waktu dalam ikatan pernikahan sederhana yang dihadiri tak lebih dari seratus tamu undangan sebagai saksi. Termasuk pemuda 31 tahun yang kini hanya bisa mengamati dari jauh, bingung dengan perasaannya sendiri. Entah harus merasa ikut berbahagia atau justru meratap mengingat wanita idamannya lebih memilih mengarungi kisah dengan lelaki masa lalu yang pernah menyakitinya atau ikut bahagia karena wanita itu kini sudah menemukan kembali kebahagiaannya yang hilang?

Mendesah, Ia sedikit mendongak menatap kandelar yang menggantung cantik di langit-langit ruangan. Cantik sekali. Secantik pengantin yang kini tersenyum ke arah suaminya dengan mata berbinar seolah terdapat bintang-bintang di sana. Membuat Steel bertanya-tanya, kapan akan ada perempuan yang menatapnya dengan pandangan penuh cinta semacam itu untuknya?

Ah, barangkali ini efek melajang bertahun-tahun, membuat ia mulai kesepian dan sudah benar-benar membutuhkan teman hidup. Terlebih kedua orangtuanya sudah kembali merongrong dengan pertanyaan yang sama lagi sejak beberapa minggu terakhir begitu mendengar Steel gagal mendapatkan Cinta.

Iya, namanya Cinta. Wanita yang Steel usahakan selama tiga tahun ini. Janda anak dua yang memiliki terlalu banyak pesona.

Namun, dia bisa apa kalau bukan jodoh namanya?

merasa mulai sesak dan butuh udara segar, Steel memutuskan untuk keluar mencari angin. Tetapi belum juga tubuhnya berbalik sempurna, sudut mata lelaki itu menemukan sosok perempuan dalam balutan hijab sederhana yang tengah bersandar pada dinding di sudut lain. Tatapannya kosong mengarah ke pelaminan.

Bukan, dia sama sekali tak tampak patah hati. Hanya ... tatapan kosong. Mana mungkin dia patah hati melihat kakaknya sudah kembali menemukan kebahagiaan. Konyol namanya. Dan jarak mereka terlalu jauh untuk bisa memastikan bahwa perempuan itu sedang muram.

Membatalkan niatnya keluar, Steel memilih untuk menyeberangi ruangan, melewati kumpulan-kumpulan tamu undangan yang sebagian membentuk kelompok dan membicarakan berbagai hal yang tak ingin Steel tahu demi menghampirinya. Rena. Rena Tandria. Adik sang mempelai pria yang malam ini berbahagia.

Dalam balutan gamis sederhana dan kerudung yang menutup dada, dia terlihat cukup anggun meski kenyataan tidak berkata demikian. Feminim dan anggun sama sekali tak ada dalam kamus hidup seorang Renata. Dia terlalu nekat dan blak-blakan. Tak jarang juga bertingkah gila dan seringkali membuat orang lain tertawa. Berbeda sekali dengan dia yang kini terlihat muram. Sinar matanya yang berwarna cokelat gelap itu tampak redup dan tak hidup.

“Kenapa lo nggak ngumpul bareng yang lain?” Steel berhenti satu langkah di sampingnya dan ikut bersandar sambil melipat tangan di depan dada. Jauh dari pendingin ruangan, membuat tempat mereka terasa agak panas. Tapi entah mengapa juga nyaman karena kondisi penerangan yang agak remang-remang di pojok itu. Luar biasa Steel bisa menemukan Rena di situ.

Yang ditanya sedikit terlonjak kaget. Ia menoleh dengan kening berkerut sebelum kemudian memutar bola mata jengah begitu mengetahui Steel yang mengajukan tanya tak bermutu tersebut. “Males.” Ia menjawab setengah enggan. Atau terlalu enggan. “Terlalu banyak manusia yang ingin tahu kehidupan orang lain di ruangan ini dan menuntut ini itu padahal mereka bukan siapa-siapa.”

Tanpa harus bertanya lebih jauh, Steel tahu maksud dari kalimat terakhir sang lawan bicara. Rena mungkin hanya terlalu dengan berbagai pertanyaan dari orang-orang. Tentang, kapan menikah? Kapan menikah? Dan kapan menikah?

Bagi orang lain yang tidak tahu betapa menyebalkan pertanyaan tersebut pasti akan berlindung di balik kata peduli, tanpa tahu betapa mengusik tanya sederhana itu terhadap sang lawan bicara. Atau hanya sekadar basa-basi busuk yang menyakitkan. Steel yang juga sering mendapat pertanyaan yang sama paham betul perasaan Rena.

Mereka sudah menginjak usia kepala tiga. Rena memasuki umur kepala tiga minggu lalu dengan tampang tak sedap dipandang.

“Sama. Gue juga males kumpul sama yang lain karena alasan persis kayak lo.”

“Kalau begitu kenapa lo datang ke sini?”

“Diundang.”

“Lo bisa mangkir.”

“Dan membenarkan asumsi orang-orang bahwa gue nggak bisa hadir karena patah hati?”

Rena tak langsung menyahut. Ia menoleh ke samping, pada Steel yang masih menatapnya dengan pandangan menilai selama sepersekian detik yang nyaris berhasil membuat lelaki itu salah tingkah. “Tapi lo beneran patah hati kan? Kenapa harus takut terhadap asumsi orang lain?”

Tidak. Sejujurnya tidak. Steel juga bingung. Bukan patah hati, yang benar ia hanya merasa ... entahlah. Tak dipungkiri, dirinya memang sempat mengejar Cinta selepas perempuan itu bercerai dengan suaminya. Mengejar tanpa berusaha. Hanya mengandalkan keberuntungan dan momen. Wajar kalau pada akhirnya ia tidak terpilih. Barangkali Cinta sadar kalau Steel tidak seserius itu.

Steel mengagumi Cinta. Benar. Cinta adalah perwujudan sempurna seorang istri dan ibu di matanya. Hanya itu. Sebatas itu. Dan Steel ingin menjadi lelaki beruntung yang bisa mendapatkan wanita tersebut.

“Nggak juga,” jawab Steel sembari membasahi bibir bawahnya yang terasa kering. Ia mengalihkan pandangan dari Rena dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

Dia sampingnya, sang lawan bicara mendengus tak percaya. Dan Steel tidak mau repot-repot memberi penjelasan lebih hanya untuk membuat Rena yakin akan jawabannya. Untuk apa?

Entah berapa lama, mereka memilih sama-sama diam kemudian, menikmati pengisi acara yang terus berceloteh, juga kebisingan para tamu undangan. Anehnya, Steel justru merasa nyaman dalam posisi itu.

Melirik ke samping pada detik kesekian ratus, Steel dapati Rena tersenyum kecil ke arah pelaminan. Lalu tanpa sadar, tanya tak terencana itu lolos begitu saja dari katup bibirnya, “Lo mau nikah sama gue?” yang sontak seolah berhasil membuat dunia mereka berhenti berputar.

Steel tersadar begitu senyum Rena menghilang, lalu menoleh padanya dengan mata membulat sempurna. “Lo ngomong apa tadi?”

Steel menelan ludah. Terlambat menarik kembali pertanyaannya. Pun, entah bagaimana ... Steel penasaran dengan jawaban sang lawan bicara. Maka, ia mengulang kembali kalimat tadi tanpa nada tanya dengan pikiran kosong. "Nikah sama gue, Ren."

***

Bener, ini kisah Steel dan Rena adiknya Bang Raki sama Babang Iron.
Cerita ini sudah otw bab 30 di di karyakarsa. Buat yang kepo bisa baca sekaligus di sana ^^

Nunggu di wp aja gapapa kok, tapi mungkin agak slow apdet yaa...

30 Okt 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top