BAB 9
“Kamu belum tidur?”
Steel nyaris mengumpat mendengar pertanyaan yang diajukan dengan begitu ringan oleh wanita yang kini berstatus sebagai istri tapi belum bersedia disentuh sebagaimana mestinya. Lelucon lain dalam pernikahan ini yang sungguh ... sama sekali tidak lucu.
Jadilah lelaki itu hanya berbalik badan dan berbaring miring menghadap jendela di sisi lain, memunggungi Rena yang menatapnya dengan kening berkerut heran.
Namun sekali tak mendapatkan jawaban, Rena tidak bertanya lagi dan memilih melanjutkan langkahnya yang setengah ragu ke arah ranjang. Ugh, memikirkan harus satu ranjang dengan orang lain, terlebih laki-laki, Rena sudah merasa merinding. Tetapi mau tidak mau, memang ini harus ia hadapi. Karena memang begitulah siklus kehidupan. Bahkan ia juga harus sanggup melewati yang lebih dari pada ini.
Menarik napas panjang, Rena secara perlahan mulai menurunkan tubuhnya, berusaha untuk rileks walau jantung seperti dipacu dengan kecepatan yang tak bisa dirinya imbangi.
Tepat saat Rena menarik pelan selimut di bawah kakinya sebagai perlindungan, teman seranjang yang kini menyandang status sebagai suaminya bersuara, “Aku menikah untuk memulai rumah tangga sungguhan, Ren, bukan main rumah-rumahan.”
Tangan kanan Rena kembali menjatuhkan kain selimut yang berhasil diraih demi menoleh ke samping kanan, pada punggung Steel yang lebar dan mengarah padanya seolah menantang untuk dibantah. Dan ya, Rena sangat ingin membantah. Sayang, dirinya memiliki pemikiran yang sama, hanya saja belum tahu ke mana obrolan ini mengarah.
Steel terlalu sulit ditebak.
“Apa maksud kamu?”
“Kita sudah sama-sama dewasa. Telah sampai usia tiga puluh tahun. Bukan remaja lagi, tapi kenapa aku seperti menikah paksa dengan gadis sembilan belas tahun.”
Mulut Rena mendadak kering. Ia menurunkan kembali tangannya dan meletakkan ke atas pangkuan dalam keadaan tergenggam. Entah mengapa, ia tersinggung disamakan dengan gadis 19 tahun yang dinikahi paksa. Rena sudah sangat jauh melewati usia itu. Usia saat ia masih begitu labil dan belum mengenal diri sendiri. Masa di mana ia merasa paling benar. Yang kalau diingat sekarang terasa begitu menggelikan.
“Bisa bicara lebih jelas?” tanya Rena setengah geram. Perasaannya sedang berantakan hari ini. Ia mulai berusaha berdamai dengan keadaan dan pilihannya sendiri, tapi kenapa Steel justru memancing emosinya sekarang?
Demi apa pun, ini baru hari pertama dari pernikahan mereka yang kemungkinan akan berlangsung seumur hidup! Haruskah dimulai dengan perdebatan konyol semacam ini? Perdebatan yang hanya membuat Rena semakin menyesali keputusan gila yang diambil spontan dua bulan lalu.
“Sikap kamu dingin hari ini. Kita tidak seperti dua orang yang menikah, melainkan dua musuh yang terpaksa melakukan gencatan senjata. Padahal pernikahan ini keputusan bersama. Kamu butuh suami, dan aku butuh istri.”
“Bukankah kita sudah sama-sama mendapatkannya hari ini? Aku mendapat suami, begitupun sebaliknya.”
“Hanya dalam status.”
Angin berdesau pelan melewati celah jendela yang tak tertutup sempurna, menerbangkan kelambu putih tipis sebelum kemudian menyapa kulit kaki Rena telanjang, tetapi gagal membuatnya menggigil kedinginan. Ia justru merasa mulai panas dan ingin mencekik seseorang.
“Bukankah memang itu yang kita mau? Terbebas dari pertanyaan orang-orang yang mengganggu?”
Ranjang di sisi Steel melesak saat lelaki itu mengubah posisi menjadi telentang, tapi sama sekali tak melirik Rena, melainkan menfokuskan pandangan pada lampu di langit-langit kamar tidur. Raut wajah lelaki itu tampak datar, membuat Rena kesulitan menebak isi kepalanya. Bukan berarti Rena bisa membaca isi kepala seseorang, tapi seringkali ekspresi memiliki beberapa arti yang bisa dengan mudah ditebak. Sayang Steel tidak begitu. Dia sering kali menunjukkan wajah ramah yang ceria dalam keadaan apa pun, hingga orang lain akan mengira dirinya sama sekali tak memiliki masalah hidup. Padahal, apa yang orang-orang tahu di balik permukaan?
Berkedip sekali, Steel balik bertanya. “Tidak. Bukan hanya itu.”
Memang bukan hanya itu. Rena mengerti, hanya saja ia menolak mengakui. Ia masih terlalu ... bingung. Semua ini baru baginya.
“Lalu apa mau kamu?”
Steel menoleh padanya, menatap Rena lurus-lurus dan memerangkap pandangan mereka dalam tatapan penuh arti yang berhasil membuat Rena seketika sesak napas. “Pernikahan normal seperti pasangan lain.”
Menelan ludah demi membasahi kerongkongannya yang kerontang, Rena memutuskan pandangan mereka dan berpaling muka. Tangannya yang mengepal mulai terasa dingin. “Sejak awal, hubungan kita memang sudah tidak normal.”
“Bagian mananya yang tidak normal?”
“Kamu tahu maksudku, Steel.”
“Karena menikah tanpa cinta?” Steel mencoba menebak. “Atau karena kepepet umur?” tambahnya disertai dengusan. “Nyatanya, banyak di luar sana yang seperti itu juga, Ren.”
Benar, kisah semacam ini bukan hanya milik mereka. Banyak juga yang mengambil keputusan karena hal serupa. Hanya saja, bukan pernikahan semacam ini yang Rena impikan. Bukan.
“Lalu kamu mau apa?”
“Mulai membangun keluarga yang sempurna.”
Perasaan Rena mulai waswas. “Bagaimana caranya?” Rena menoleh kembali ke arah sang suami, hanya untuk nyaris terjengkang kemudian saat menemukan Steel sudah tidak lagi berbaring, melainkan duduk dan berada sangat dekat dengannya.
Terlalu dekat hingga berhasil mencuri napas wanita itu. Terlalu dekat hingga pakaian mereka bersentuhan. Terlalu dekat hingga Rena bisa membaui aroma cendana dari tubuh tinggi sang suami. Terlalu dekat. Terlalu. Dekat.
Rena sudah akan mengambil jarak di antara mereka, tapi Steel menahan dengan meraih pinggangnya. Hal baru lain yang sukses membangunkan bulu kuduk Rena. Sialnya, ia tidak bisa melakukan apa pun selain hanya diam menahan napas dan mencengkeram bagian bawah atasan baju tidur yang dikenakannya hingga jarinya terasa sakit.
Puluhan suara dalam kepala berteriak; tendang! Tampar! Dorong! Akan tetapi tubuhnya tak bisa mengikuti dan malah mematung. Terpesona oleh sepasang telaga bening Steel yang begitu bening. Bola matanya berwarna cokelat terang yang begitu memukau.
Menelan ludah sekali lagi, napas Rena menjadi gemetar saat tangan Steel yang lain terangkat merangkum sebagian wajahnya, mengangkat sedikit dan makin mendekatkan jarak mereka. “Kita bisa memulai dengan ini,” kata Steel setengah berbisik, lalu tanpa aba-aba ... dia mulai mencium.
Mencium. Di bibir. Hanya kecupan ringan. Sangat ringan. Sebatas sentuhan kecil.
Ah, bahkan mungkin ini tidak bisa disebut ciuman.
Rena mungkin saja tidak pernah disentuh seintens ini, tapi sedikit banyak dia tahu ciuman itu seperti apa dari beberapa drama dan film yang sesekali ia tonton.
Yang Steel lakukan saat ini lebih tepat disebut ... apa? Bahkan kecupan seharusnya dilakukan dengan sedikit tekanan, bukan hanya sentuhan bibir ke bibir yang seringan bulu anak ayam. Malah remasan tangan lelaki itu di pinggang Rena jauh lebih terasa.
Sial. Sial. Sial.
Kenapa justru Rena yang merasa frustrasi dan seperti tidak cukup puas.
Apakah ini jenis pancingan lain?
Dan kenapa Steel menciumnya kalau hanya sebatas itu?
Eh! Apa yang dirinya pikirkan?
Sadar. Sadar. Sadar. Harusnya ia memaki, bukan malah merasa kurang dan kebingungan.
Sialan Steel, dia malah menjauhkan diri dan tersenyum jail seperti biasa.
“Kamu tidak marah kan kalau aku melakukan seperti ini?”
Tidak marah katanya. Rena sangat marah. Seharusnya kalau memang ingin menyentuh, minimal jangan tanggung-tanggung. Biar Rena malu sekalian, bukan merasa bingung seperti ini.
Rena memundurkan tubuh hingga sentuhan Steel pada wajahnya terlepas, lalu mengempas rangkulan lelaki itu dari pinggangnya. Lantas menjatuhkan diri dan berbaring memunggungi sang suami sambil memeluk diri sendiri.
Benar, Rena marah. Bukan pada Steel, melainkan reaksinya yang berlebihan. Steel melakukan itu mungkin sebagai bentuk perkenalan, karena ini untuk kali pertama mereka bersentuhan lebih jauh. Pikiran Rena saja yang terlalu keruh dan mungkin mesum.
Ya ampun, atau jangan-jangan ia memiliki sisi liar yang tidak diketahui?
“Kamu marah.” Itu bukan jenis pertanyaan, melainkan pernyataan yang membuat perasaan Rena makin tidak nyaman.
“Maaf. Mungkin aku memang terlalu cepat. Kamu sendiri yang bilang malam ini tidak ingin disentuh.” Nada suara lelaki itu terdengar penuh sesal, yang malah membuat Rena makin kesal.
“Kamu memang terlalu cepat!” sungutnya.
“Maaf, aku kira saat memutuskan menikah, kamu sudah siap dengan segalanya.”
“Memang!”
“Lalu kenapa kamu marah? Itu hanya sentuhan kecil, Rena.”
Rena menarik napas panjang dan diembuskan sebagai dengusan sebelum berbalik badan dan bangkit duduk kembali. Tatapannya menyala-nyala, menghujam Steel tanpa ampun seakan ingin melahap bulat-bulat.
“Justru karena itu hanya sentuhan kecil. Aku bukan remaja sembilan belas tahun lagi yang dinikahi dengan paksa, Steel.”
“Maksud kamu?”
“Yang aku tahu, ciuman bukan seperti itu.”
“Hah?”
“Itu bahkan nggak pantas disebut kecupan.”
Steel memiringkan kepalanya tak paham. Jangankan lelaki itu, Rena saja tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ini seperti bukan Rena yang dirinya kenal. Ah, mungkin tubuhnya sedang dipinjam alien dari planet sebelah atau dedemit penunggu pohon mangga di halaman belakang. Atau ini sisi gelap Rena yang selama ini belum ia ketahui?
“Lalu sebenarnya yang jadi permasalahan di sini apa?”
Dan Steel masih saja bertanya! Belum mengerti juga! Bagaimana cara Rena menjelaskannya?
“Seperti ini!” Gemas, Rena merangkum kedua sisi wajah Steel dengan sedikit keras, lalu agak menarik ke bawah dan ... menciumnya tepat saat Steel setengah menganga.
Benar-benar ciuman seperti yang orang-orang lakukan di drama. Awalnya Steel diam, Rena makin terhanyut. Dan saat sang suami mulai memberi balasan, kesadaran Rena kembali dan menendang kewarasannya. Seperti kilat yang menyambar.
Rena mencium duluan. Di malam pengantin saat sore sebelumnya mengatakan malam pertama tak ingin disentuh.
Lantas, ini apa?
Dengan sedikit gemetar, ia langsung menjauh--lagi--hingga tautan bibir mereka terlepas. Lalu cepat-cepat meraih selimut untuk menutupi dirinya seraya berguling serampangan. Niatnya untuk menyembunyikan diri dan meringkuk demi menahan malu. Sayang semesta mendukung.
Barangkali karena terlalu semangat berguling, ia lupa kasurnya memiliki batas. Dan Rena melebihi batas itu.
Kelanjutannya jangan ditanya. Gravitasi memanggil. Rena jatuh dengan bunyi gedebug keras ke lantai.
Argh!
Dan yang lebih memalukan lagi, Steel melongok dari atas ranjang dengan wajah tanpa dosa lalu bertanya lugu, “Rena, kamu nggak apa-apa? Kalau memang nggak suka main di ranjang bilang saja. Kita bisa melakukannya di lantai, kok.”
Dan Rena tidak bisa menahan diri untuk tak melontarkan umpatan. “Dasar bocah edan!” Luar biasa lantang.
Ya ampun. Ini benar-benar malam pertama. Malam pertama petaka pernikahan yang sama sekali tak pernah ia duga.
***
Wkwkwk ... subuh banget ya saya updatenya XD
Soalnya kalau siang atau malem kadang suka lupa. Jadi mumpung inget langsung gas ajalah.
Semoga kalian masih betah bacanya yaaa ...
14 Jan 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top