BAB 3
BAB 3
“Siapa?” tanya suara berat di seberang saluran dengan nada yang lebih berat dari sebelumnya.
Raki, putra sulung keluarga ini sekaligus satu-satunya kakak yang Rena punya. Mantan suami Cinta yang kini kembali menjadi imam wanita itu. Keduanya sempat bercerai lantaran Raki kedapatan selingkuh dengan perempuan di masa lalu.
Raki selalu berkeras bukan perselingkuhan tersebut masalah utamanya, melainkan kisah masa lalu Raki yang menjadi penyebab utama kehancuran rumah tangga mereka. Tetapi bagi Rena, perselingkuhan tetap saja perselingkuhan. Ia berkali-kali menanyakan pada Cinta saat mendengar kabar keduanya hendak rujuk. Rena bahkan terang-terangan mengatakan Cinta terlalu bodoh bila menerima kakaknya kembali.
Bukan apa-apa, Rena sudah menganggap Cinta seperti saudara sendiri melebihi Raki yang merupakan abang kandung. Terlebih, kalau pernikahan tersebut gagal lagi di masa depan, bukan hanya Cinta yang akan terluka, melainkan dua ponakannya juga.
Namun apa mau dikata, saat perasaan mengambil segalanya, logika bukan lagi pertimbangan utama. Lagipula, Raki sepertinya memang sudah benar-benar bertaubat dan berubah. Tiga tahun hidup tanpa istri membuat lelaki itu lebih seperti mayat hidup yang menjalani hari demi hari karena kewajiban. Tak ada gairah sama sekali. Berbeda dengan sekarang. Wajahnya selalu memancarkan binar kebahagiaan dan penuh semangat.
Mungkin memang benar, seseorang harus dihadapkan pada kehilangan sebelum mengetahui betapa berharga sesuatu yang dimiliki saat itu. Seperti Raki.
“Rena belum kasih tahu sama Ibuk, katanya biar kita lihat sendiri saja nanti,” ujar wanita paruh baya yang duduk di kursi seberang sambil melirik Rena seraya tersenyum kecil. Senyum penuh harapan yang membuat Rena tak berani balas memandangnya.
Jadilah ia hanya menunduk sambil memegang mug berisi susu hangat dengan kedua tangannya yang terasa begitu dingin.
Sejujurnya, Rena masih ingin menangis. Binar bahagia di mata sang Ibu saat pertama kali mendengar bahwa ada seseorang yang ingin melamarnya masih terbayang meski kejadian tersebut sudah berlalu hampir satu jam.
“Sungguh?” tanya Ibu dengan suara tercekat. Beliau yang sedang memasak saat itu bahkan sampai mematikan kompor demi menanggapinya.
Rena menggigit bibir seraya mengangguk. Dadanya sesak melihat mata Yanti yang berkaca-kaca.
Sama halnya seperti Rena, Yanti sudah hampir putus asa mengharapkan pernikahan bagi si bungsu yang sejak kecil suka menutup diri. Rena sebelas dua belas dengan sang kakak, orang-orang dengan tipe tertutup dan lebih suka menyendiri. Bukan berarti dia tidak pandai bergaul, hanya lebih suka menghabiskan waktu dengan hobinya dan berinteraksi dengan orang lain via media, kecuali yang memang sudah sangat dikenal dan dianggap nyaman. Rena bisa bertingkah cukup gila di tengah-tengah keluarga. Pun bersikap menyebalkan di hadapan manusia yang tak terlalu disenanginya.
“Siapa? Orang mana? Apa Ibuk kenal keluarganya? Sudah berapa lama kalian saling berhubungan?” tanya Yanti beruntun. Wanita itu melupakan masakaannya yang masih setengah matang demi mendekati Rena yang duduk di meja makan dan menjatuhkan diri di kursi dekat si bungsu.
Rena berusaha keras bersikap bisa-biasa saja dan tersenyum ala kadarnya sembari mengangkat bahu tak acuh. Matanya yang mulai memanas, ia arahkan pada jendela dapur yang menghadap ke arah matahari terbit untuk mengusir gumpalan cairan bening yang siap jatuh.
“Bisa dibilang begitu, Ibuk pernah ketemu keluarganya beberapa kali.”
“Oh iya? Siapa?”
“Besok insya Allah dia bakal datang sama keluarganya ke sini. Jadi, lihat besok saja.”
Yanti pura-pura memasang tampang memikir keras dan cemberut, tapi sama sekali tak mengurangi sinar lega di matanya yang mulai rabun jauh. Beliau tampak benar-benar senang saat ini, dan itu saja sudah cukup untuk si bungsu.
Rena tidak terlalu peduli pada kebahagiaannya sendiri. Yanti yang selalu ia pikirkan karena sang ibu mendapatkan pertanyaan sama banyak dengannya selama ini. Seputar kapan Rena akan menikah. Juga bagaimana perasaan ibunya setiap kali mendengar sanak saudara atau bahkan anak tetangga yang akan melangsungkan perkawinan bahkan di usia yang sangat muda. Sedang Rena yang sudah lebih seperempat abad masih belum dilirik oleh siapa pun.
Suatu hari, Yanti sempat mengeluh pelan, membuat Rena kian merasa tertekan. “Kamu lumayan cantik kok, Ren, tapi kenapa belum juga bertemu jodoh. Entah dosa apa yang pernah Ibu lakukan sampai harus memiliki anak perawan tua.”
Hati Rena terasa dicabik-cabik waktu itu. Dengan perasaan campur aduk antara marah dan sedih, ia berkata, “Setiap orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri, Buk! Apa salah kalau umur 28 tahun dan masih sendiri? Toh yang penting aku bahagia,” dengan nada kesal yang sebenarnya tak ingin ia keluarkan. Hanya saja, ia sudah cukup lelah hari itu. Berkumpul dengan keluarga besar tak lagi terasa menyenangkan saat selalu ditanya kapan menikah? Belum lagi dibanding-bandingkan dengan di A atau si B yang lebih muda tapi sudah memiliki anak lima.
“Bahagia macam apa yang bisa dimiliki wanita yang hidup sendiri? Bahagia itu kalau kamu bisa memiliki seseorang untuk berkeluh kesah.”
“Standar bahagia seseorang berbeda-beda, Buk. Nggak semua orang yang menikah itu hidupnya sesejahtera Rena!”
“Kenapa kamu selalu melawan setiap kali Ibu bicara?”
“Karena Ibu selalu mojokin aku!”
“Ibu cuma mau kamu membuka hati dan mulai menerima seseorang.”
“Membuka hati dan menerima siapa?” tanya Rena dengan suara tercekik dan napas yang mulai tidak stabil. “Nyatanya nggak ada yang mau benar-benar mendekati aku selama ini. Ibu harus menerima kenyataan bahwa putri Ibu setidak menarik itu dan nggak laku!”
Yanti mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat dan berpaling muka dengan ekspresi yang sama lelah dengan Rena.
Cukup lama mereka terjebak dalam situasi itu. Rena yang merasa tak lagi bisa bertahan dalam ruang bisu dan atmosfer yang terasa sama sekali tidak menyenangkan tersebut, sudah hendak beranjak untuk kembali ke kamar tetapi urung saat mendengar ibunya kembali berkata, “Ibu hanya nggak mau kamu hidup sendirian setelah Ibu pergi. Bagaimana nanti Ibu bisa meninggal dengan tenang kalau kamu belum memiliki seseorang yang bisa menjaga kamu sebaik Ibu. Kamu penakut. Bahkan ke kamar mandi sendirian saat malam saja tidak berani. Kamu juga pemalu, jarang mau ke mana-mana sendiri. Kalau Ibu nggak ada, siapa yang akan kamu ajak ke kamar mandi nanti?”
“Rena bisa bikin kamar mandi di kamar,” jawab Rena sembari menelan ludah yang terasa seperti gumpalan batu es di kerongkongan. Ia lantas pergi begitu saja karena tak lagi sanggup meneruskan percakapan itu.
Barangkali karena alasan tersebutlah, Rena langsung mengangguk tanpa berpikir panjang saat Steel menawarkan diri sebagai suami. Agar Yanti bisa tenang. Tak peduli sekali pun ia tahu Steel sama sekali tidak menaruh rasa apa pun untuknya.
Masalah cinta atau apa pun bisa dipikirkan nanti. Nanti saja. Yang terpenting sekarang melihat Yanti bahagia membicarakan malam lamarannya yang sudah ditunggu sejak dirinya menginjak usia 23 tahun.
Yang menjadi beban pikiran Rena saat ini justru tentang Reaksi Raki nanti, pun Cinta yang sudah pasti akan ikut ke sini besok malam. Bagaimana pun, hampir semua orang terdekat mereka tahu bahwa Steel sempat mengejar Cinta, walau bukan jenis pengejaran menggebu-gebu.
Terlebih lagi, Raki tidak terlalu menyukai Steel sejak awal lantaran awal pertemuan mereka yang juga tidak menyenangkan.
“Mana bisa begitu? Kita harus tahu dia siapa dan dari keluarga mana agar bisa menyiapkan diri. Menyiapkan suguhan juga. Kalau dia dari kalangan biasa, mungkin apapun jamuan yang kita tawarakan tidak akan terlalu menjadi masalah, tapi bagaimana kalau dari kalangan berada? Kita yang akan malu kalau salah ngasih suguhan nanti, Buk.”
Raki dan pikirannya yang agak tajam terkadang bisa jadi sangat menyebalkan. Rena merasa mati kutu saat Ibu kembali melirik dengan sorot yang berbeda kali ini, terlihat jelas mulai termakan omongan si sulung dari speaker ponsel yang disetel dalam mode keras.
“Benar juga kamu,” gumam beliau. “Kita tidak bisa menerima tamu begitu saja tanpa tahu dia dari keluarga yang seperti apa, Ren,” ujarnya pada sang lawan bicara yang duduk di seberang meja.
Rena menunda memberi tanggapan dengan menyeruput susu hangatnya yang mulai mendingin.
“Apalagi Rena juga bilang kalau kita kenal calonnya, Bu,” tambah Raki yang membuat Rena makin senewen.
“Jadi, siapa? Nggak usah malu-malu kasih tahu Ibuk sama Abang.”
Rena masih menyeruput susunya pelan hingga tersisa separuh gelas, kemudian ia meletakkan mug tadi dengan pelan, sangat pelan ke atas meja kopi di ruang keluarga. Sisa susu yang diminumnya menyisakan bekas di bibir mengikuti pola pinggiran mug dan membentuk kumis kecil di bawah hidungnya.
“Mmm, dia dari keluarga yang lumayan ... berada sih, Bu.”
“Siapa?” tanya Raki dengan nada yang kian tajam.
Rena meringis sambil mengusap tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Sedang Ibu menunggu jawaban sang putri dengan raut wajah sabar.
“Apa nggak cukup dengan aku bilang dia dari keluarga yang lumayan berada?” bukan menjawab, Rena malah balik bertanya. Dia belum siap mengatakan bahwa lelaki yang saat ini mereka bicarakan adalah Steel. Mantan saingan Raki sendiri.
“Nggak bisa gitu dong, Ren. Abang juga harus menyiapkan diri nanti ngomongnya gimana. Apalagi ini buat masa depan kamu.”
Rena memperbaiki posisi duduknya. Semula ia membiarkan kakinya terjulur ke bawah, kini bersila hanya karena berharap berhenti merasa gelisah lantaran dipojokkan. “Anaknya Pak Subhan,” jawab Rena akhirnya sambil meringis dan menggigit bibir. Dua tangannya yang bebas ia gunakan untuk meremas-remas ujung baju kausnya hingga lecek.
“Pak Subhan?” Raki mengulang dengan nada menggantung, seolah butuh kejelasan lebih lanjut.
“Pak Subhan Hanggara.”
Lalu hening. Baik Yanti atau Raki sama-sama tak mengeluarkan suara apa pun yang membuat Rena makin waswas.
Lalu kemudian, abangnya menggeram dari seberang saluran, “Abang tahu kamu sudah lelah dengan pertanyaan orang-orang tentang pernikahan, tapi bukan berarti kamu bisa menjadi istri kedua, Ren!”
“Istri kedua?” Yanti memekik dan menatap Rena horor, wajahnya mendadak sepucat kertas dan tampak nyaris pingsan. “Rena, apa benar?”
“Iron, putranya Pak Hanggara sudah punya istri, Bu,” Sambar kakaknya tanpa memberi Rena kesempatan bicara.
Lebih lagi, Rena sama sekali tak habis pikir ... bagaimana bisa Raki mengira ia hendak dilamar oleh Iron? Apa abangnya lupa bahwa keluarga Hanggara memiliki dua putra? Atau dia terlalu tidak menyukai Steel sampai menganggap lelaki itu tak pernah ada di dunia?
Grrrr ... Rena menahan diri untuk tidak menggebrak meja, tak ingin Yanti bertambah terkejut dan benar-benar jatuh pingsan.
“Bukan Mas Iron, Bang. Tapi adiknya!”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top