BAB 18

“Kalau begini, apa arti kamu meminta waktu, Steel?”

Bagai tersambar petir di siang bolong,  Steel terperanjat. Ponsel di tangannya digenggam kian erat. Perlahan, dengan wajah pucat pasi ia menoleh ke belakang. Ke arah sumber suara yang dirinya kenal di luar kepala. Dan benar saja, Rena, istrinya berdiri di sana. Tepat dua langkah darinya. Menatap dengan sorot tajam yang kali itu berhasil menciutkan nyali Steel. Ekspresi wajah wanita yang Steel pilih sebagai itu sama sekali tak tertebak. Yang pasti, dia tampak begitu dingin dan jauh meski secara harfiah posisinya masih dapat dijangkau dengan mudah.

“Ren!” serunya. Ada sebersit nada panik di sana. “Kamu ... sejak kapan kamu di sana?” Bibir yang terasa mengering, Steel jilat setengah gugup. Dalam hati berharap, sangat, Rena tidak mendengar apa pun. Terutama nama Karina. Tetapi raut wajah Rena mengatakan sebaliknya.

“Mungkin semenjak kata halo pertama,” jawab Rena datar. Satu tangannya terkulai bukan tanpa daya di sisi tubuh, sedang tangan yang lain menahan lilitan selimut agar tetap menutupi tubuhnya yang telanjang. Tubuh yang Steel telanjangi lebih tepatnya. Beberapa saat sebelum ini. Sebelum awan badai datang.

Dan apa katanya tadi? Dari kata halo pertama? Steel kembali menjilati bibirnya. “Aku bisa memberi penjelasan.”

Rena mengangkat satu alisnya. Ketenangan yang menguar dari bahasa tubuh sang istri justru membuat Steel makin tak nyaman. “Apa?”

“Karina menelepon bukan tanpa alasan,” ujar Steel nyaris terlalu cepat. Ingin segera menyelesaikan masalah ini dan kembali ke ranjang untuk tidur. Ia lelah sekali. Pertemuan dengan Karina sungguh berhasil menguras energi. Lebih dari itu, pergumulan dengan Rena beberapa saat lalu berhasil menguras seluruh tenaganya yang tersisa. Dalam artian yang menyenangkan. Hanya untuk berbalik kini. Steel tidak menyukai itu.

“Dan alasannya?”

“Dia bilang tadi mantan sauminya datang. Perceraian mereka agak rumit, Ren. Dan mereka sedang memperebutkan hak asuh anak.”

“Apa urusannya dengan kamu?”

“Urusannya denganku?” Steel berkedip, agak tidak terima dengan pertanyaan tersebut. Karena entah mengapa, Steel memang merasa masalah Karina berhubungan dengannya. Sangat. “Karina temanku kalau kamu lupa.”

“Dan kita memiliki perjanjian terkait Karina kalau kamu lupa!” Pada tiga kata terakhir, Rena memberi penekanan yang agak dalam di setiap silabel. Penuh tuduhan.

Steel menarik napas panjang dan menyugar rambut dengan satu tangan yang tidak memegang ponsel. “Dia butuh bantuan. Ini jelas dua hal yang berbeda!”

“Dari sekian banyak teman yang dia miliki? Cuma kamu yang bisa bantu?” Rena tertawa mendengus. “Lucu sekali!”

“Memang hanya aku teman yang dia miliki. Setidaknya sekarang.”

Ada nyala dalam tatapan mata Rena yang sempat membuat Steel gamang. Hanya saja, di saat-saat seperti ini Steel tahu ia tidak memiliki pilihan. Karina berada dalam ketidakberdayaan melawan mantan suaminya yang cukup berkuasa. Dan Steel jelas bisa membantu wanita itu dengan kekuasaan kakak dan ayahnya. Karena itu Karina meminta bantuan Steel, tapi Rena tidak mau mengerti. Dia menolak mengerti!

“Jadi kamu sudah membuat keputusan?”

“Keputusan?” ulang Steel, belum bisa mengerti ke arah mana pembicaraan mereka berlangsung. Walau secara garis besar Steel tahu inti dari permasalahan ini. “Keputusan apa?”

“Untuk menolak atau memberinya bantuan.”

“Ren, dia dalam posisi sulit. Sebagai teman jelas aku harus bantu.”

Rena mengangguk-angguk. Nyala di matanya meredup dan dia memalingkan pandangan ke balik bahu Steel yang masih telanjang. Lelaki itu hanya mengenakan boxer yang diambilnya serampangan dari lantai. “Kalau begitu aku juga sudah membuat keputusan.”

“Apa maksud kamu?”

Saat mendongak kembali padanya, Rena terasa begitu asing. “Tidak ada kesempatan lagi untuk kita. Untuk kamu.”

“Ren--”

“Bahkan belum semalam berlalu, kamu sudah melanggar perjanjian. Banyak janji. Aku tidak bisa bertahan dengan laki-laki yang tak bisa memegang omongan sendiri.”

“Omonganku yang mana yang tidak bisa dipegang?” marah karena dituduh mengingkari banyak janji--meski hati kecilnya mengakui--Steel setengah meraung. Kesal. Entah pada Rena atau terhadap dirinya sendiri yang mendadak plinplan.

“Untuk membuatku bahagia. Untuk membangun keluarga yang hangat. Dan untuk belajar mencintai aku! Kamu melanggar semua itu bahkan di awal bulan ketiga pernikahan kita.” Rena tahu seharusnya ia bisa menahan diri dan menekan emosi dalam-dalam. Tapi tidak bisa. Dadanya sesak sekali. Bahkan air matanya terbit tanpa diminta. Sial! Ia bahkan mendongak tinggi hanya untuk menunjukkan pada Steel betapa ia tak ingin dianggap rendah sehingga bisa dengan mudah diinjak seperti kerikil kecil di bawah sepatu lelaki itu yang bisa seenaknya ia biarkan di sana atau buang saat dirasa mengganggu.

“Benar, pernikahan ini bahkan belum genap tiga bulan, jelas aku belum bisa menepati janji. Hal-hal semacam itu butuh waktu, Rena. Tidak bisa dilaksanakan dalam semalam!”

“Setidaknya kamu bisa menahan diri untuk tidak menghancurkannya dalam semalam!” pekik Rena setengah menjerit. Jeritan yang coba ia tahan hanya agar tidak membangunkan ibunya dan tetangga yang bisa jadi sudah bangun untuk sepertiga malam.

“Aku hanya mengangkat telepon dari seorang teman yang butuh bantuan. Apa itu salah?”

“Setelah kamu berjanji untuk tidak menemui teman yang itu kecuali dalam keadaan benar-benar penting!”

“Dan ini lebih dari sekadar penting!”

Rena tertawa penuh ironi. Menertawakan dirinya yang begitu bodoh. Menertawakan keadaan yang sama sekali tidak mendukung. Menertawakan Steel yang belum bisa lepas dari masa lalu. Dan menertawakan pernikahan mereka yang kemungkinan besar tidak bisa diselamatkan.

Siapa yang bisa Rena salahkan sekarang? Ini atas dasar keputusan yang dibuatnya sendiri. Yang ia pikirkan matang-matang. Yang ia ambil dalam keadaan benar-benar sadar.

Mengangguk kalah, wanita itu mengambil satu langkah mundur. “Kalau begitu pergi,” ucapnya dengan nada lelah.

“Maksud kamu?”

“Temui wanita itu dan berikan apa pun yang dia butuhkan.”

“Kamu tidak keberatan?” Steel bertanya sangsi, setengah heran dan agak bingung dengan perubahan emosi Rena yang tiba-tiba. Dia tidak mungkin menyerah semudah itu.

“Kenapa aku harus keberatan?” Mati-matian Rena menahan agar air matanya tidak jatuh. Rasa sakit di sepanjang tenggorokan ia tahan di balik senyum kering. “Bukankah kamu sudah membuat keputusan? Yang itu berarti, tidak ada lagi yang perlu kita pertahankan dari pernikahan ini.”

“Rena, maksud kamu--”

“Aku mundur. Aku tidak ingin lebih sakit lagi dengan berperang dengan masa lalu kamu. Dan aku tidak ingin bertahan dengan seseorang yang menginginkan orang lain.”

“Aku hanya ingin memberi Karina bantuan! Jangan berlebihan sampai ingin mengakhiri pernikahan. Kamu gila!”

“Kamu yang gila! Kamu mengangkat telepon darinya setelah meniduri aku!”

Steel mengerang seperti hewan terluka. Ia berbalik memunggungi Rena dengan napas memburu dan mencengkeram birai dengan satu tangan. Lantas menoleh ke belakang sebatas bisa menatap Rena dengan ujung mata. “Apa yang salah dengan aku yang meniduri istriku sendiri?”

“Tidak. Kamu memang tidak salah. Hanya aku yang terlalu mudah memberi kesempatan, yang kemudian kamu hancurkan.”

“Tolong jangan berlebihan, Ren!”

Rena mengangguk-angguk lelah. “Setelah ini tidak lagi. Kamu bisa pergi sekarang. Tapi ingat, selangkah kamu keluar dari rumah untuk menemui wanita itu, jangan pernah berharap kembali lagi. Tunggu saja surat panggilan dari pengadilan atas permohonan gugatan cerai pernikahan kita.”

“Kamu mengancamku?”

“Bisa dibilang demikian. Dan kalau kamu takut harga diri kamu terluka, kamu bisa memasukkan surat talak lebih dulu. Aku bisa menunggu.”

Steel kembali berbalik menghadap istrinya yang malam ini sama sekali tidak bisa diajak berbicara dengan baik. Dadanya mulai mendidih atas sikap Rena yang menganggap perkawinan mereka tak ada artinya. “Kamu anggap pernikahan kita ini apa?!”

“Upaya kamu untuk melanjutkan hidup, kan?” jawab Rena dengan tanya retoris. “Sayangnya, kamu memilih orang yang salah, Steel. Aku bukan orang yang tepat untuk itu.”

Steel bungkam sejenak. Hanya menatap Rena selama beberapa saat dengan sorot marah bercampur kesal sebelum kemudian membuang muka. “Kalau memang begitu pemikiran kamu, sepertinya pernikahan ini memang tidak bisa dipertahankan.”

Bagai ada sebilah pisau yang ditusukkan ke jantung Rena dan jatuh mengenai sasaran. Sakit tapi tak berdarah. Barangkali seperti ini maksud orang-orang. Rasanya, luar biasa. Kakinya bahkan goyah di balik selimut dan nyaris membuatnya jatuh, tapi ia berhasil bertahan dengan tetap berdiri dengan dagu terangkat.

Semudah itu. Semudah itu semua terjadi dan semudah itu semua berakhir. Bahkan belum genap tiga bulan berlalu. Inilah akhir dari keputusan gila yang diambilnya. Kehancuran atas diri sendiri.

Mengangguk kaku, Rena memutar tubuhnya yang mendadak limbung dan untungnya berhasil sampai ke ranjang tanpa harus mempermalukan diri dengan jatuh terkulai selama mengambil langkah yang terasa berjalan di atas bara api. Bara api amarah yang berkobar-kobar di balik dadanya.

Dua manusia yang masih terikat pernikahan itu tidak berbicara lagi, petanda bahwa keputusan sama-sama sudah diambil dengan bulat.

Butuh beberapa waktu sampai akhirnya Steel berhasil mengatur napas dan menjauh dari birai. Seolah menunggu Rena mengatakan sesuatu. Tentang pernikahan mereka yang seharusnya tidak berakhir seperti ini. Tapi tak ada. Rena tetap diam. Berbaring meringkuk seperti bayi di atas ranjang. Matanya terpejam dan napasnya agak memburu.

Steel tahu wanita itu pura-pura tidur untuk menghindari situasi mereka. Anda Steel juga bisa melakukannya.

Menarik napas panjang agak gemetar karena sisa-sisa berbagai emosi yang berkecamuk usai pertengkaran tadi, Steel memilih melangkah ke arah lemari dan mengambil pakaian secara sal untuk kemudian dikenakan.

Rena sudah membuat keputusan. Mengusirnya dari rumah ini. Sebagai laki-laki, tentu saja ego Steel agak terluka. Tapi ia tahu ini sepenuhnya bukan salah Rena. Hanya saja, menolak membantu Karina yang sedang dalam kesusahan juga bukan solusi, terlepas dari Steel yang masih mencintainya atau tidak.

Hanya saja, yang paling Steel sesalkan, kalau memang perceraian merupakan jalan terakhir, kenapa harus begini? Rena jenis teman yang menyenangkan kalau boleh jujur. Dia juga istri yang ideal. Salahkan keadaan yang tidak mendukung mereka. Salahkan juga Rena yang tidak bisa bersabar menunggunya. Pun salahkan saja Steel yang terlalu terpaku pada masa lalu.

Benar, Steel dan Rena sama-sama salah. Seharusnya, sejak awal tidak pernah ada cetusan pernikahan antar keduanya.

***

Nah loh, kalau sudah begini gimana dong. Nyesel percuma juga kan🤧
Lagian mutusin nikah kayak nerima ajakan makan siang sih, Ren ....

10 Mar 23

Maaf banget. Sebagian bab dihapus ya, karena ini sudah ada versi berbayarnya di karyakarsa. Buat kalian yang penasaran mau baca sampai akhir, bisa langsung ke sana ^^

InsyaAllah ini masih akan direpost sampe tamat lagi di sini, tapi belum tahu kapan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top