BAB 17

BAB 17

Gerimis menemani perjalanan pasangan suami istri itu, seolah ingin menambah sendu suasana yang sudah keruh menjadi lebih buruk lagi. Ditambah dengan kondisi jalanan yang padat merayap, membuat kendaraan mereka beberapa kali tertahan di lampu merah. Nyaris membuat kepala Rena berasap saking tak sabarnya sampai ke rumah.

Ia ingin marah. Meraung-raung dan melemparkan apa pun. Kalau bisa mencekik Steel dan mengguncang-guncang tubuhnya ribuan kali sebagai pelampiasan. Lebih dari itu, hatinya sakit. Nyeri menjalar di sepanjang dada hingga membuatnya kesulitan bernapas, seolah ada tangan kasatmata yang memelintir saluran masuk oksigen ke paru-parunya.

Ah, sialan. Matanya ikutan panas dan mengancam tangis yang berusaha Rena tahan mati-matian. Harga dirinya sudah terinjak oleh kelakuan suami yang sama sekali tak mau bersusah payah untuk menjaga sikap demi dirinya. Untuk apa Rena makin merendah dengan menunjukkan kelemahan dalam sebentuk air mata?

Lagipula ini salah Rena. Bukan Steel sepenuhnya. Sebelumnya lelaki itu sudah mengatakan segalanya tentang Karina, pun bagaimana perasaan terhadap wanita di masa lalu. Rena saja yang bodoh dengan tetap melanjutkan pernikahan hanya karena sudah terlanjur.

Kalau begini, apa yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan diri?

Memilih diam di sepanjang jalan pulang, alih-alih lega, dada Rena justru kian sesak lantaran Steel sama sekali tidak berusaha mengajak bicara. Dia ikut bungkam. Membiarkan sunyi meraja di antara mereka, hanya bunyi klakson dan mesin-mesin kendaraan di sekitar yang terdengar menderu.

Menautkan tangan-tangannya yang gemetar lantaran lantaran amarah tertahan, Rena menyandarkan punggung pada jok kursi dan menghadap jendela lalu menutup mata dengan napas yang berusaha ia atur sedemikian rupa demi mengurangi sakit yang enggan pergi. Pura-pura tidur, pun menahan agar matanya tidak berulah.

Dalam hati bergolak. Penyesalan berada di atas ubun-ubun.

Sebelum ini, Rena sudah diberi gambaran pernikahan yang tak bahagia antara kakak dan kakak iparnya hanya karena Raki belum selesai dengan kisah masa lalu. Seharusnya Rena bisa mengambil pelajaran dari itu. Bukan malah menantang dan mengorbankan diri seperti ini.

Sama dengan Raki, Steel juga masih terjebak dengan cinta yang belum usai. Bedanya, Steel lebih berani untuk jujur, tidak seberengsek kakaknya yang bersikap pura-pura mencintai dan menghancurkan di saat yang tepat.

Namun, Rena juga hancur kini meski sejak awal ia sudah tahu segalanya. Menikah dengan seseorang yang masa lalunya belum usai ternyata semenyakitkan itu. Pantas banyak perempuan yang menganjurkan agar menikah dengan laki-laki yang mencintai, bukan dicintai.

Malangnya Rena, dia lebih dulu jatuh cinta. Tidak dengan Steel yang Rena pikir sudah mulai membuka hati. Nyatanya semua itu hanya ilusi. Keceriaan dan kebersamaan mereka selama dua bulan ini terasa seperti mimpi indah yang terjadi semalam. Dan saat membuka mata, semua menghilang. Pergi bersama pagi. Tapi mimpi tidak meninggalkan luka sedalam ini.

“Kita sampai.” Suara berat Steel terdengar seiring dengan bunyi mesin mobil yang dimatikan. Rena menarik napas pelan sebelum membuka mata kembali dan mendapati pemandangan rumah di malam hari yang entah mengapa terlihat begitu asing. Barangkali efek perasaan yang kacau balau.

Tanpa suara, Rena menegapkan punggung dan membuka pintu. Lantas keluar begitu saja. Mulutnya enggan membuka, terlalu berat mengeluarkan kata.

“Ren, kita belum selesai bicara,” ujar Steel yang tak ia indahkan dan terus melangkah memasuki rumah. Lalu membersihkan diri dan memilih melaksanakan salat isya yang belum didirikan. Sendirian. Ia sedang merasa tidak butuh imam. Pun tak kuasa berdiri sebagai makmum di belakang seseorang yang menurutnya tak bisa dipercaya.

Steel menyusul kemudian, menatap Rena yang sudah mengangkat tangan untuk takbir dengan pandangan penuh arti. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Rena tidak tahu dan tidak mau tahu. Namun kemudian lelaki itu menyusul dan ikut solat di sisi yang lain.

Langit masih menangis meski hanya berupa gerimis. Membawa hawa yang lebih dingin dari sebelumnya. Tetap dengan mulut bungkam, Rena naik ke atas ranjang mengenakan selimut dan menghadap dinding membelakangi tempat berbaring Steel.

Bisa Rena duga, malam ini pernikahan mereka akan lebih dingin dari suhu udara. Dan ya, benar. Barangkali Steel mengerti istrinya marah, dia menjaga jarak dan berbaring lurus di sebelah.

Kalau saja boleh jujur, meski mata terpejam, otak Rena tidak bisa berhenti berputar. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana ia bisa tertidur? Salah satu faktornya mungkin karena dua bulan terakhir ia terbiasa berbaring dalam pelukan Steel.

Sampai hampir tengah malam. Tak ada yang melakukan pergerakan apa pun. Bahkan langit sudah bosan menangis. Jelas sekali mereka sama-sama tidak bisa tidur. Terdengar dari desah napas tertahan dari masing-masing yang tak teratur.

Hingga kemudian; “Sampai kapan kita akan seperti ini, Ren?” Steel bertanya. Memecah hening setelah sekian jam berlalu.

Di liar dugaan, Rena justru tertawa karena merasa lucu. Sangat lucu. Tubuhnya bahkan sampai terguncang-guncang. Anehnya, air mata justru mengalir.

Lelucon macam apa ini?

Menghapus titik basah terakhir di sudut mata, Rena menjawab tanpa mengubah posisi tidurnya. “Bukankah seharusnya aku yang bertanya?”

“Apa maksud kamu?”

“Seseorang yang kamu cintai kembali Steel.” Suara Rena sempat tercekat saat mengatakan kalimat itu, rasanya lebih sakit saat diucapkan terang-terangan. “Dan dia masih sendirian. Walau mungkin pernah menikah, tapi sekarang dia kembali melajang. Kamu memiliki kesempatan.”

“Kamu menyuruhku kembali mengejarnya?” Steel bertanya dengan nada tak percaya yang kentara, barangkali tak habis pikir dengan saran dan pola pikir Rena yang sama sekali di luar dugaan. Tapi Rena memang tipe manusia yang tak terduga.

“Daripada aku larang tapi kemudian tetap ditinggalkan?”

“Lalu kamu anggap apa pernikahan kita?” Kali ini suara Steel mulai terdengar tidak ramah. Rendah dan setengah menggeram. Bukankah seharusnya Rena yang bersikap demikian.

“Kamu bisa memilih. Tetap melanjutkan pernikahan atau usai.”

“Maksud kamu?”

“Aku tidak akan melarang kalau kamu mau menikah lagi.”

“Poligami?! kamu gila!”

Mungkin. Rena mungkin memang sudah gila. Keadaan berhasil mengacaukan kewarasannya sedemikian rupa. “Tapi aku tidak sebodoh itu. Aku hanya akan bertahan semampunya. Saat dirasa sudah tidak sanggup, aku akan pergi. Tidak ada yang bisa melarangnya.”

“Dan kamu pikir, apa aku bersedia poligami?!”

“Kenapa tidak? Agama dan hukum, negara kita tidak melarang.”

“Tapi aku tidak pernah ingin memiliki dua ratu, Ren!”

“Kalau begitu, berarti perceraian.”

“Kamu ngomong apa sih?!” Steel bangkit dari posisi berbaringnya, menjadi duduk dan menatap Rena murka. Terlihat jelas dari dalamnya kerutan di antara alis tebal yang melengkung itu. Kenapa Steel harus marah? Rena hanya memberi solusi untuk masalah mereka.

Rena akhirnya memutar kepalanya, membalas tatapan marah Steel dengan ekspresi wajah yang berusaha mati-matian ia buat sedatar mungkin agar sang lawan bicara tidak tahu seberapa dalam luka yang sudah berhasil ditorehkan. “Lalu, kalau bukan pilihan semacam itu, apa yang kamu harapkan dariku, Steel?”

Steel terdiam. Tampak kebingungan. Tentu saja. Di satu sisi, dia sudah menikah, sedang di sisi lain wanita yang dicintai kembali. Dalam versi yang lebih dewasa dan semenyenangkan dulu.

Sedikit banyak, Rena berusaha memahami meski sakit. Steel sedang dilema kini. Harapannya untuk membangun keluarga yang baik, dihantam kenyataan bahkan di dua bulan pertama. Terlalu singkat untuk diakhiri. Dan hanya orang bodoh yang akan percaya bahwa dia sudah melupakan Laura.

Enggan menunggu Steel berpikir, Rena melanjutkan, “Kalau kamu berharap aku akan menangis meminta kamu melupakan masa lalu dan melanjutkan pernikahan kita, kamu salah. Karena aku tahu melupakan masa lalu tidak semudah itu. Dan lagi, aku terlalu mencintai diriku untuk mengemis cinta pada seseorang. Bahkan suami sekalipun. Makanya aku memberi kamu pilihan. Dengan catatan, bila dirasa aku tidak sanggup lagi, aku akan mundur.”

Steel menarik napas kasar, lalu membuang muka ke samping dan kembali menjatuhkan diri. Tak mengatakan apa pun. Mungkin masih bingung. Atau bertambah bingung. Rena tak ingin mengambil pusing. Walau tanpa Steel tahu, air matanya mengalir lagi. Biar saja. Dia juga berhak menangis. Yang pasti, jangan sampai Steel dan dunia tahu bahwa dirinya seterluka itu.

Keadaan semacam ini, bukan mereka yang mau. Tidak Rena, tidak juga Steel. Hanya saja, takdir siapa yang bisa menerka?

Andai saja Steel lebih bisa menghargainya dan menjaga martabatnya sebagai pasangan yang dipilih di depan wanita yang lelaki itu cinta, mungkin Rena akan terlena dan sedikit percaya bahwa lambat laut Steel akan bisa membuka hati.

Namun keinginan memang tak sesuai harapan. Steel tidak bisa menahan diri. Sebesar itu rasa yang Karina tinggalkan pada diri suaminya.

“Aku juga tidak ingin seperti ini,” desah Steel lama setelah mereka kembali terdiam. Masih dalam posisi Steel membelakangi dan Rena telentang menatap lampu kamar yang dimatikan. Hanya lampu nakas yang dibiarkan menyala. Memberi penerangan remang-remang yang sayang tak menyenangkan.

“Aku tahu.”

“Tidak bisakah kamu memberiku waktu?”

“Untuk apa?”

“Belajar mencintai kamu.”

“Berapa lama?”

“Aku juga tidak tahu.”

Rena menelan ludah dan tersenyum kecut. “Aku tidak bisa memberi kamu waktu selamanya, Steel. Karena aku juga berhak bahagia dan membangun keluarga seperti yang aku dambakan. Jadi, aku butuh rentang yang jelas.”

“Berapa lama batas yang bisa kamu kasih?”

“Satu tahun dan tidak lebih. Dengan syarat.”

“Satu tahun terlalu singkat.”

Jantung Rena berdenyut lebih nyeri dari sebelumnya. Bahkan Steel tidak yakin bisa melupakan Karina dalam rentang waktu itu. Lalu apa yang masih bisa ia harapkan dari pernikahan ini. “Kalau kamu merasa tidak akan mampu--”

“Aku akan berusaha. Apa syaratnya?”

“Jaga jarak dari Karina. Dan kalau bukan untuk hal-hal yang penting, jangan pernah temui dia.”

Steel berbalik badan, miring menghadap sang istri yang masih telentang. Lalu perlahan meraih tangan Rena dalam genggaman erat sambil mengangguk pelan. “Oke,” ujarnya penuh pengharapan.

Menelan ludah, Rena ikut mengangguk dan membiarkan Steel menghapus jarak di antara mereka untuk memeluknya. Walaupun masih terasa sakit, setidaknya begini lebih baik. Mungkin lambat-laun, semua akan berbeda. Steel hanya butuh waktu.

Hanya waktu.

Steel mengeratkan pelukan dan Rena membiarkan saja. Bahkan ia menerima saat Steel mencium dan meminta haknya. Karena Rena ingin percaya, bahwa Steel bersungguh-sungguh kali ini. Pun ingin Steel tahu, bahwa ia benar-benar ingin mempercayainya. Sepenuh hati. Meski kerap kali keraguan datang dan membuatnya waswas tentang masa depan. Tapi selama nama Rena yang Steel teriakkan saat mendapatkan kepuasan, mungkin semuanya masih akan baik-baik saja. Rena berusaha meyakinkan diri. Karina mungkin hanya ujian dalam pernikahan mereka. Yang pasti Steel sudah berjanji.

Steel sudah berjanji.

Sampai semua dihancurkan oleh bunyi dering ponsel beberapa waktu kemudian. Di pagi buta saat Rena dan suaminya hampir terlelap usai menjalankan ibadah yang lain.

Rena pura-pura tertidur saat Steel bergerak menjauh dan melepaskan pelukan demi mengecek ponselnya di nakas. Perasaan Rena mulai tidak nyaman saat Steel tak langsung mengangkatnya. Lalu kemudian lelaki itu turun dari ranjang dan membawa ponsel menjauh sampai keluar ke arah balkon dan berdiri di sisi birai.

“Halo? Kenapa, Kar?”

Kar. Untuk Karina.

Rena membuka mata dan mencengkeram erat selimut di dada.

Cukup sudah. Ini bahkan belum semalam berlalu. Tapi Steel bahkan sudah melanggar janjinya.

Melilitkan selimut ke sekeliling tubuh, Rena bangkit berdiri dan menghampiri lelaki itu. Membiarkan Steel bicara sampai selesai. Barulah setelah sambungan ditutup, Rena berkata muak, “Kalau begini, apa arti kamu meminta waktu, Steel?”

***

Huaaaa... pengen bejek2 Steel rasaneeeeeee....

Kuy, yang mau kasih wewenang buat si babang dipersilakan. Saya dukuungggg ....

04 Mar 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top