BAB 10

“Muka kamu kenapa?”

Rena sedang duduk di teras depan, berusaha menikmati pagi dan menghirup udara segar agar pikirannya lebih tenang saat Yanti keluar dari pintu depan dan bertanya tanpa tedeng aling-aling. Membuatnya yang setengah melamun terlonjak kaget sebelum kemudian menoleh pada sang ibu yang berdiri dua langkah dari kursi rotan yang didudukinya dengan satu alis terangkat.

“Pengantin baru kok pagi-pagi sudah melamun.”

Rena menahan diri untuk tidak balik bertanya, memang apa yang biasanya dilakukan oleh pengantin baru saat pagi? Sebab tahu bila dirinya melakukan itu, hanya akan membuat Yanti curiga dan bertanya-tanya tentang malam pengantinnya yang ... memalukan.

“Ya nggak apa-apa, Bu. Mau cari udara segar aja.”

“Tumben.“ Wanita paruh baya itu melipat tangan di depan dada seraya melangkah ke kursi sebelah dan duduk di sana, lantas mencondongkan tubuh ke arah si bungsu yang demi apa pun ingin sendirian saat ini. “Biasanya pagi-pagi begini kamu paling males keluar kamar.”

“Ya kan sekarang beda, Bu.”

Yanti mengangguk mengerti sambil tersenyum jail. “Takut kalau di kamar terus, nanti diserang lagi ya?”

Hah? Rena menoleh dengan ekspresi bingung yang kentara. “Diserang?” ulangnya, benar-benar tidak paham.

“Suami kamu,” ujar Yanti setengah berbisik sembari melirik ke dalam rumah dari kaca jendela, seolah takut tiba-tiba Steel datang dan mendengar percakapan mereka.

“Kenapa Steel mau serang aku?”

Raut jail di wajah Yanti memudar. Beliau sedikit memundurkan tubuhnya dan mengamati Rena dengan saksama. Lalu seolah paham, beliau tersenyum prihatin. “Semalam mengecewakan, ya?”

Bukan mengerti, Rena tambah bingung sampai menelengkan kepala membalas tatapan Yanti. “Ibu ngomong apa sih?”

“Nggak usah malu, Ren. Ibu bisa mengerti kok. Bagaimana pun, Ibu juga pernah muda.”

“Iya, tapi aku sama Steel memang nggak ada apa-apa. Nggak kenapa-kenapa. Dan malam pengantin yang mengecewakan maksud Ibu itu juga maksudnya apa?”

“Kamu tidak mendapatkan pelepasan kan?”

Maksud--

Ya Tuhan ... Rena mulai paham. Ia menatap Yanti ngeri sekaligus malu. Bagaimana bisa ibunya menanyakan hal sesensistif itu pada anak perempuan yang baru menikah. Terlebih, pernikahan yang dijalani ini bukan jenis pernikahan biasa.

Dan kalau mengingat kejadian semalam, ya ... memang mengecewakan. Tapi bukan karena itu, melainkan tingkah Rena sendiri yang memalukan.

Menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan berpaling muka, Rena bersungut, “jangan ngaco deh, Bu.”

“Kalau bukan itu, apa durasinya yang kurang?”

Ya ampun ... “Bu,” Rena mulai merengek, tidak tahan dengan pembahasan Yanti yang terlalu dewasa. Andai ibunya tahu, ia masih tersegel dengan sempurna. Bukan salah Steel, ia yang meminta sang suami agar tidak menyentuhnya dulu. Tapi baru diberi sedikit saja sapaan hangat di bibir, Rena sudah terbakar.

Sial. Mau ditaruh dimana mukanya nanti kalau bertemu Steel mengingat dirinya langsung lari dari kamar begitu bisa membuka belitan selimut dan bangun dari lantai semalam dan memilih tidur di ruang kerjanya yang dipenuhi banyak barang jualan. Ah, begitu lebih baik daripada harus menghadapi wajah penuh tanya Steel.

“Nggak usah malu-malu, kamu ngomong aja sama Ibu. Kalau memang stamina suamimu yang kurang, nanti kan bisa ibu buatkan jamu kuat, Ren.”

Ugh! Tak lagi tahan, Rena memilih bangkit dari kursi. Ia duduk di sini untuk mencari ketenangan, bukan untuk memancing berbagai pertanyaan konyol. Terlebih ini dari ibunya sendiri yang luar biasa penasaran. “Bukan itu, Bu. Dan aku sama sekali nggak ada keluhan perihal malam pertama, oke?”

“Kalau begitu, Ibu nggak perlu khawatir masalah cucu, kan?”

“Kenapa Ibu harus khawatir masalah cucu? Kan ibu sudah punya dua.”

“Flora sama Mateen cuma datang sesekali. Ibu mau cucu yang bisa dipeluk setiap hari, Rena.”

Rena mengembuskan napas panjang sebelum kemudian mengangguk tak asal dan memilih masuk ke dalam rumah. Namun bukan kamar yang menjadi tujuan utamanya, melainkan ruang kerja.

Sial, sepertinya semesta sedang ingin bermain-main dengan Rena. Orang yang berusaha ia hindari sejak semalam kini malah berdiri tepat di depannya. Mereka nyaris bertubrukan saat hendak berbelok di dekat lemari partisi. Refleks, Rena langsung mengambil satu langkah mundur dan mendongak untuk bisa melihat wajah Steel yang hampir 25 senti lebih tinggi darinya. Ingin menegur, tapi wajahnya sudah merah duluan saat tak sengaja melirik bibir lelaki itu yang ... ya ampun, apa yang Rena pikirkan? Kenapa otaknya jadi kotor begini?

“Semalam kamu nggak balik ke kamar. Tidur di mana?” Steel bertanya. Dia terlihat lebih tampan dari biasanya dengan rambut setengah basah dan wajah segar. Sepertinya baru selesai mandi. Tampilannya juga terlihat lebih santai. Kaus lengan pendek dan celana selutut.

Benar, setahu Rena Steel mengambil cuti nikah selama satu minggu. Entah apa yang akan lelaki itu lakukan di rumah selama satu minggu ini. Dan entah bagaimana dengan Rena sendiri kalau seminggu penuh harus terkurung bersama Steel. Bagaimana pun, ia tidak akan bisa setiap malam tidur di ruang kerja. Yanti akan tahu nanti. Lalu bertanya-tanya dan mulai menyalahkannya.

Ya, ya, ya, memang Rena yang salah.

“Di kamar sebelah,” jawab Rena sekenanya, ia menunduk tak berani membalas tatapan mata sang lawan bicara. Juga masih setengah malu.

“Kenapa tidak di kamar kita?”

Kamar kita? Ah ... kenapa dua kata sederhana itu terdengar begitu ... intim? Dan tanpa bisa dicegah, Rena merasa perutnya bergolak.

Steel menyebut kamarnya sebagai milik mereka.

“Lagi ingin sendiri aja.”

“Kamu nggak nyaman karena ada aku?”

“B-bukan itu masalahnya.” Rena menunduk, tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini. Ia memelintir bagian bawah baju rumahan yang pagi itu dikenakan, masih tidak berani beradu pandang dengan Steel yang hanya berada dua langkah di depan. Menatapnya lurus-lurus.

“Kamu malu karena semalam nyium aku duluan?”

Hais ... kenapa tidak Yanti, tidak juga Steel, suka sekali mengajukan pertanyaan memalukan semacam itu tanpa memikirkan perasaan lawan bicara mereka?! Rena memutar bola mata dan melipat tangan di depan dada seraya mendongak. Rasanya percuma merasa malu pada lelaki ini. Lelaki yang kini menatapnya dengan wajah lempeng seolah tanpa dosa. “Kalau iya, kenapa?” tantangnya.

“Kenapa harus malu? Aku milik kamu sekarang. Kamu bisa mencium aku sesering dan semau kamu.”

Memang seharusnya Rena tidak menantang. Kalau Steel sudah berkata demikian, ia bisa apa? Yang ada dirinya yang malu kini. Wajahnya sudah pasti semerah pantat bayi. Kenapa Steel suka sekali berbicara terus terang?

Apa katanya tadi? Aku milik kamu. Ugh. Andai lelaki itu tahu, Rena memiliki pertahanan diri yang begitu rapuh. Hatinya juga sangat lemah. Kalau Steel terus-terusan begitu, yang ada Rena bisa menyerah pada perasaannya sendiri dan takluk pada pesona si bungsu Hanggara.

Rena tahu, dirinya tidak akan terselamatkan dalam hubungan ini. Hanya saja, kalau bisa ia tidak ingin hal itu terlalu cepat terjadi. Minimal sampai Steel merasakan getaran yang serupa.

Berdeham untuk menyembunyikan rasa malunya, Rena makin menaikkan dagu agar Steel tidak tahu kalau dirinya mulai gentar. Peduli setan dengan pipi yang memerah. “Bisa nggak sih, nggak usah bahas ini pagi-pagi?”

“Hal semacam ini memang harus dibahas, Ren. Demi keberlangsungan pernikahan kita.”

“Tapi kita masih bisa membahasnya nanti, kan?”

“Kapan?” Timbul kerutan kecil di antara alis tebal Steel yang terarsir berantakan. “Sampai masing-masing dari kita menyesali pernikahan ini dan memilih berakhir?”

Rena menelan ludah yang terasa kelat. Ia mengerutkan bibir, ingin menjawab tapi otaknya terlalu lambat memproses kalimat singkat sang lawan bicara.

Dan ya, ia malah ikut bertanya-tanya. Kapan?

“Kita sudah sama-sama dewasa sekarang, sama-sama sudah bisa berpikir dengan matang.”

“Lalu mau kamu apa?”

“Aku mau kita bisa saling membuka diri. Belajar saling menerima dan menjalani pernikahan dengan benar.”

“Hanya itu?”

“memang apa lagi?”

“Bagaimana dengan cinta?”

Steel tidak langsung menjawab. Ia menatap Rena selama satu detik yang terasa begitu panjang, lalu berkedip dan berpaling muka seraya menarik napas panjang.

Bahasa tubuh Steel yang entah mengapa membuat dada Rena terasa nyeri.

Mengembuskan napas pendek, lelaki itu kembali menatapnya dengan wajah lelah. “Bagaimana aku bisa mencintai kamu kalau kamu terus menghindar seperti ini?”

“Aku nggak menghindar. Aku cuma berusaha melindungi diri.”

“Dari apa?”

“Dari sesuatu yang mungkin akan melukaiku suatu saat, mungkin.”

“Maksud kamu, aku?”

Rena mengangkat bahu pura-pura tak acuh. Ini masih terlalu pagi, ta[i kenapa pembahasan mereka sudah seberat ini? Bagaimana Rena bisa mendapatkan ketenangan yang dicarinya kalau begini.

Ah, benar kata orang-orang. Pernikahan memang tidak seindah itu. Baru hari pertama saja, Rena sudah merasa dunianya jauh berbeda. Berat sekali dijalani. Bahkan lebih berat dari saat orang-orang membicarakannya di belakang. Sebab kini, Rena tidak tahu ia harus apa dan bagaimana.

Ada Yanti yang berharap memiliki cucu lagi. Ada Steel yang memintanya membuka diri. Lebih dari itu, ada dirinya sendiri yang harus dilindungi.

Karena rena tahu, sekali ia membuka diri untuk lelaki ini ... berakhir sudah segalanya. Karena diakui atau tidak, di hati Rena memang sudah timbul rasa. Sebongkah rasa yang akan terus membesar dan membuat pertahanannya lemah.

“Wanita mudah jatuh cinta.” Rena mengakui sambil menatap keramik di bawah sana. “Apa jaminan kalau nanti aku jatuh cinta duluan, kamu tidak akan melukai?”

“Kamu mengabaikan kemungkinan lain.”

“Apa?”

“Bagaimana kalau nanti aku yang lebih mencintai kamu?”

Ah, kemungkinan itu terlalu indah untuk dibayangkan, maka dari itu Rena menolak memikirkannya walau hanya sebentar. Ia lebih suka memikirkan yang pasti. Bukan angan-angan kosong yang hanya mengembangkan harap. Karena hidup memiliki banyak kemungkinan yang lebih menyakitkan. “Bagaimana bisa?” balasnya balik bertanya.

“Kenapa tidak?”

“Karena sekarang saja, hati kamu masih milik Mbak Cinta, kan?”

Tembakan Rena sepertinya tepat mengenai sasaran. Steel langsung bungkam. Hanya menatapnya dalam diam. Tatapan yang satu detik kemudian menjadi sayu, seolah menyimpan terlalu banyak hal yang sungguh tak ingin Rena tahu, sekaligus membuatnya penasaran.

Lima detik tanpa jawaban, Rena sudah akan pergi. Namun tumit kanannya yang sudah terangkat, ia turunkan lagi saat mendengar Steel berkata pelan. “Bukan Mbak Cinta,” gumamnya. “Hatiku mungkin masih dimiliki seseorang, tapi bukan Mbak Cinta.”

Rena membasahi bibirnya yang kering, lantas menelan ludah sebelum memberanikan diri bertanya, “Kalau begitu, siapa?”

***

Ugh ugh ugh ...
Kalau ngomongin masalah hati emang berat yaaa.

Ada yang tau siapa yang dicintai Bang Steel?
Hayo... bukan Mbak Cinta loh katanya😂

20 Jan 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top