9. Kerja Kelompok

Sembilan : Kerja Kelompok

GIMANA kalau kita ke rumahnya Shafira?”

Aku melotot. Apa-apaan? Usul Wildan untuk bekerja kelompok di rumahku sama sekali tidak kusangka. “Kenapa harus ke rumah gue?”

“Karena lo adalah yang paling pemalas di sini, bisa aja lo nggak mau kerja kelompok di rumah orang lain,” balas Wildan yang membuatku tak bisa berkata-kata. Wah, cowok ini memang suka berpikiran buruk padaku. “Lagipula, rumah lo yang paling dekat dengan sekolah, kan?” Wildan semakin memperkuat alasan agar aku bersedia meminjam rumahku sejenak untuk belajar bersama.

“Udahlah, Shaf, kenapa nggak setuju aja, sih?” Salsha berbisik.

Aku menatap tak suka pada Salsha. Namun, karena malas berdebat, aku mengangguk saja. Akan malas sekali untuk belajar di rumah sendiri, tetapi keluar rumah hanya untuk belajar juga tak kalah malasnya.

Ya Allah, Shaf, mau lo apa, sih?

“Hari Sabtu, kita setuju buat ke rumahnya Shafira, kan?”

“Hei!” Aku gagal mengontrol suaraku karena tidak terima dengan keputusan sepihak Wildan. “Itu hari libur, tahu. Apa nggak ada hari lain?”

“Lo maunya hari apa?”

“Terserah, pokoknya jangan hari libur! Lo mau bikin otak gue terbakar?” balasku yang sesungguhnya tidak memberi jawaban atas pertanyaan Wildan.

“Dasar cewek, bilangnya ‘terserah’ mulu.” Wildan mendengkus.

“Kalau nggak di hari libur, lo mau belajar sepulang sekolah?” sahutan Ariska membuatku diam. “Kita udah di sekolah selama delapan jam dalam waktu lima hari—“

“Tinggal bilang fullday apa susahnya, sih?” potongku tanpa sadar.

Ariska melotot, tetapi dia melanjutkan kalimatnya, “Oke, oke. Kita ini fullday, dan waktu kosong yang kita punya adalah Sabtu dan Minggu. Jadi, lo mau belajar kelompok di hari apa lagi selain hari libur itu, Shaf?”

Ucapan Ariska sukses membuatku diam seribu bahasa. Dia benar, tetapi ada bagian dalam diriku yang tidak rela jika aku harus menggunakan otak di hari yang seharusnya diisi dengan rebahan atau marathon drama korea. Kalau mau belajar bersama sepulang sekolah, aku yakin masing-masing dari kami akan menolak mentah-mentah. Siapa yang rela memanaskan otak lagi setelah hampir seharian belajar di sekolah?

“Jadi … gimana?” Wildan bertanya. Memecah keheningan yang terjadi tiba-tiba di antara perdebatan singkatku dengan Ariska.

“Gue setuju kalau Sabtu,” ujar Salsha, “karena Minggu adalah hari wajib buat gue untuk rebahan. Gue nggak mau mikir apa-apa.”

Aku hanya melirik Salsha sekilas. Kuputuskan untuk satu argumen dengannya. Kemudian, ucapan setuju dari mulut Ariska menyusul.

“Kalau gitu, kita ke rumah Shafira hari Sabtu, ya? Pukul delapan pagi, semua harus sudah ada di sana.”

Tidak ada bantahan, terutama aku yang paling sering menentang pendapat Wildan. Sebenarnya itu terlalu pagi, tetapi sepertinya lebih baik daripada siang hari karena kami pasti sudah bermalas-malasan. Aku menahan diriku untuk tidak mendebat dan menyerahkan keputusan kepada cowok kurus itu selaku ketua kelompok.

Meski sesungguhnya, aku tidak pernah berniat sungguh-sungguh di kegiatan ini. Semuanya terpaksa kulakukan demi ponsel yang dijanjikan Mama akan kembali padaku jika aku bersedia belajar berkelompok.

***

“Gue bersyukur, akhirnya lo mau belajar juga. Meski dengan bantuan cowok lo, sih.”

Itu adalah tanggapan Kak Sandra ketika aku mengatakan padanya bahwa kelompokku akan datang ke sini pada hari Sabtu minggu ini. Tapi … siapa yang dia maksud dengan cowokku?

“Wildan itu anaknya pintar, ya? Udah gue duga, sih, saat gue kali pertama bertemu dengannya,” gumam Kak Sandra yang membuatku mengembuskan napas pelan. Kenapa dia mengira bahwa cowok kurus itu pacarku, sih?

“Kita nggak ada apa-apa, Kak.”

Kak Sandra menggeleng, tidak percaya dengan ucapanku barusan. “Masa, sih?”

“Dibilangin malah nggak percaya.”

***

“Nih, nilai remidi lo.”

Selembar kertas disodorkan padaku. Karena tidak segera kuambil, Wildan meletakkannya di atas meja. Angka empatpuluh yang ditulis dengan tinta merah tertera di sudut kanan kertas tersebut. “Udah remidi, masih aja di bawah nilai KKM,” komentarnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Tanpa perlu melihat nomor mana saja yang benar atau salah, aku langsung berniat merobek kertas tersebut yang berhasil digagalkan oleh Wildan. “Ngapain lo?” tanyaku.

“Lo harus lihat kesalahan lo di mana aja,” ucapnya. “Jangan main robek kertas gini.”

“Apa, sih, urusan lo sama gue?” tanyaku jengkel. “Dan kenapa lo ngasih ini sewaktu pulang sekolah?”

Wildan beralasan bahwa dia tidak ingin aku tetap menjadi Shafira yang tidak memedulikan nilai, apalagi kami adalah satu tim kelompok belajar. “Gue nggak mau lo marah-marah dan ngumpat ke gue di hadapan anak-anak lain hanya karena gue ngasih kertas ini. Itu sangat mengganggu, tahu?” jawabnya. Dia menunjukkan kunci kelas di tangannya, kemudian berkata, “Cepat keluar bareng gue, kecuali lo mau terkunci di sini sampai besok.”

“Gue dijemput Kak Sandra,” ucapku ketika selesai membereskan beberapa buku pelajaran di meja. “Jadi, nggak perlu nawarin pulang bareng.”

Melihatku yang berkata seperti itu sambil berjalan keluar kelas, Wildan mematung sejenak. Kemudian, dia tergelak. “Maksud gue, cepet keluar dari kelas ini sebelum gue kunci kelasnya, bukan ngajak lo pulang bareng gue. Kenapa lo bisa salah paham, sih?” Tawanya masih belum berhenti, dan itu sangat mempermalukanku.

Langkah kakiku segera membawaku menjauhi Wildan. Menjauhkan telinga dari tawanya yang semakin lama semakin terdengar menyebalkan. Tak lama, terdengar langkah kaki Wildan menyusul. Aku memutuskan untuk berjalan normal, lagipula sulit untuk menghindari langkah kaki cowok yang notabene lebih cepat daripada cewek.

“Ngomong-ngomong, kenapa lo sering ngirim pesan ke gue padahal ponsel gue disita?” tanyaku ketika Wildan sudah menyamakan langkahku.

“Gue cuma ngingetin. Lo, kan, sering nggak merhatiin jadwal dan tugas.”

“Bisa berhenti ngelakuin itu, nggak?” tanyaku. “Percuma lo lakuin itu, karena gue nggak pegang ponsel sekarang. Gue juga muak diingetin terus sama Mama.”

“Shaf …” Wildan menjeda ucapan sekaligus langkah kakinya, membuatku ikut berhenti. “Mama lo pasti pengin yang terbaik buat anaknya.”

Aku juga tahu itu. Namun, membosankan sekali mendengarnya. Aku membenci Mama, jadi apa yang dikatakan Wildan hanya akan membuat rasa benciku bertambah. Bicara dengan cowok kurus ini memang tidak sehat untukku.

Untung saja, saat sudah dekat dengan gerbang sekolah, terlihat Kak Sandra yang tengah menungguku. Aku harus bersyukur, akhirnya aku bisa lepas dari Wildan. Namun … tunggu. Aku mengarahkan badanku untuk menghadap ke samping, memastikan bahwa Wildan tengah berjalan di sampingku.

“Lo …” ucapku pelan, “bukankah motor lo ada di tempat parkir belakang sekolah?”

Wildan terdiam sejenak, lalu bibirnya membentuk senyum kecil. “Oh, iya. Kenapa gue malah ke tempat parkir yang di depan, ya?” Dia bertanya-tanya sambil menggaruk-garuk kepala. “Kayaknya gue gagal fokus. Ya udah, anggap aja gue barusan ngantar lo sampai gerbang.”

Aku mengerutkan kening. Ada-ada saja.

***

Aku menaruh beberapa gelas teh dengan sedikit perasaan jengkel. Baru hari pertama belajar berkelompok, materi yang akan kami pelajari adalah matematika. Ya Allah, aku memang benci belajar, tetapi apakah tidak ada pelajaran yang lebih baik? Bahasa Indonesia, misalnya. Meski agak rumit karena memerlukan ketelitian yang tinggi, setidaknya lebih baik daripada matematika yang membuat otak panas. Ini masih pagi, serius.

“Bagian mana yang belum kalian pahami?”

“Semuanya,” jawabku asal.

Wildan mengembuskan napas pelan. Terlihat bahwa dia tengah mempertahankan stok kesabaran melihat tingkahku yang seenaknya sendiri. “Sini, mana yang belum lo pahami?” tanyanya padaku.

“Semuanya, Wil.” Aku masih menjawab asal, berharap waktu berhenti sejenak agar Wildan berhenti mengusikku. Tidak hanya otak, mataku juga terasa panas melihat berbagai angka yang tercetak di kertas yang tengah kupegang.

“Iya, makanya lo harus ke sini.” Gestur tangan Wildan seperti menyuruhku untuk mendekat dengannya. “Gue jelasin, biar lo makin paham.”

Dengan kedua alis yang saling bertautan dan telinga yang terpaksa mendengarkan, aku menyadari ada yang diam-diam menatap Wildan yang tengah serius mengoceh. Aku sempat mengira bahwa Salsha dan Ariska ikut menyimak penjelasan Wildan—agar lebih memahami materi yang kami pelajari, tetapi sepertinya aku salah.

Aku bisa merasa ada sepasang mata yang menatap kesal melihat kebersamaanku dengan Wildan.

Saat aku mendongakkan kepala, Salsha dan Ariska justru asyik dengan soal-soal latihan di hadapan mereka. Oh, sepertinya tadi hanya perasaanku saja.

-WILSHA-

Sebenernya udah telat, sih, ini: Selamat Hari Raya Idulfitri 1441 H! Mohon maaf lahir dan batin. ❤️

Semoga kita bisa diberi kesempatan untuk bertemu Ramadan lagi, dengan kondisi dunia yang lebih baik—tidak dalam keadaan pandemi seperti ini.
Untuk tenaga medis, kalian hebat. Kalian adalah perantara Allah untuk menyembuhkan manusia-manusia yang terkena covid-19. Semoga masyarakat Indonesia segera sadar (tidak meremehkan virus) dan pandemi ini segera berakhir, aaamiiin!

Mau bilang maaf untuk kesekian kali karena lagi-lagi aku slow update. Mungkin kalian udah bosan, ya, tiap aku update selalu diiringi kata ‘maaf’. Menulis itu ternyata nggak mudah, guys. *nangis
Tapi, aku berharap bisa menamatkan Wilsha. Semoga.

Btw, apa yang membuat kalian bertahan sampai sini?
Kenapa Wilsha masih ada di perpustakaan kalian?

Tinggalkan jejak, ya. It means a lot for me. ❤️
Jangan menjadi silent readers.

Love,
Rifa

270520

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top