8. Demi Ponsel

Delapan : Demi Ponsel

LO yakin, Shaf, lo lebih suka satu kelompok dengan anak-anak yang nggak dekat sama lo, biar lo bisa terhindar dari Wildan yang sukanya ceramah?”

Aku mengangguk.

“Kalau gue, sih, nggak yakin.” Salsha berkata sinis, “Siapa, sih, yang bakal mau ngangkut lo ke dalam kelompoknya, Shaf? Lo itu nggak punya teman.”

Aku diam saja. Ucapan cewek yang berjalan di sampingku ini memang benar.

“Shaf, kenapa lo nggak mencoba belajar bareng Wildan? Biar lo nggak remidi lagi.” Salsha masih pantang menyerah untuk membujukku ikut ke dalam kelompok belajar. “Siapa tahu, kalau nilai-nilai lo selanjutnya bagus, lo bisa dapetin ponsel lo lagi.”

“Gue bosan banget. Entah lo maupun Wildan, sukanya bahas nilai,” keluhku. “Dan juga, jangan bawa-bawa Mama gue. Dia nggak bakal mengembalikan ponsel gue, kecuali gue yang nekat mengambilnya sendiri.”

“Segitu pentingnya ponsel buat hidup lo, Shaf?”

“Lo tahu sendiri kalau gue fangirl, kan? Mana bisa gue hidup tanpa ponsel.” Nada bicaraku sedikit naik, agak tersinggung dengan pertanyaan Salsha. Lagipula, orang zaman sekarang, kan, sulit untuk lepas dari ponsel. Jadi, kurasa wajar untuk tersinggung dengan ucapan Salsha yang terkesan menyudutkanku. “Gue butuh ponsel, biar gue semangat menjalani hari-hari gue.”

“Lo lebih menganggap ponsel itu penting daripada nilai lo yang hancur itu?” Salsha mengeraskan suara. Emosi marahnya terpancing mendengar balasanku barusan. “Udahlah. Gue nggak tahu lagi harus bersikap bagaimana. Lo mau jadi apa kalau kerjaan lo cuma mantengin ponsel dan berhalu dengan oppa-oppa lo?” ocehnya. “Lo mau jadi apa, Shaf?”

Aku mengangkat bahu. Tidak tahu. Bukankah remaja SMA sering bingung ketika ditanya, ‘akan jadi apa lo ketika dewasa nanti’ dan hal-hal sejenisnya? Namun, Salsha tampak tidak suka dengan reaksi acuh tak acuh yang kutunjukkan. Cewek itu berkata lagi, “Semoga lo cepat sadar, ya, kalau lo bisa tetap hidup meski tanpa ponsel. Dan semoga lo sadar, kalau lo seharusnya memperbaiki nilai, memperbaiki attitude lo yang suka seenaknya sendiri ke orang lain, dan memperbaiki pikiran lo bahwa nggak seharusnya lo lebih mementingkan ponsel di saat lo bahkan hampir nggak naik kelas karena lo terus-terusan remidi!”

“Apa?” Dalam hati, aku sungguh ingin tertawa. Berani sekali Salsha berkata seperti itu. Amarahku terpancing. “Lo nggak ngerti, Sal,” balasku, “lo nggak ngerti apa yang membuat gue mementingkan ponsel. Dan juga, ini masih semester satu. Masih jauh dari ujian kenaikan kelas.”

Salsha diam, tetapi raut wajahnya kentara sekali sedang menahan diri untuk tidak membalas ucapanku dengan emosi.

“Lo juga kayaknya nggak ngerti apa alasan gue ngomong kayak tadi.” Salsha berkata tajam, lalu berjalan mendahuluiku.

Aku menghela napas. Ya Tuhan, perdebatan kami tadi tidak begitu penting. Kami sama-sama marah dan tidak ada yang mau berkepala dingin duluan. Kekanakan sekali. Ngomong-ngomong, aku tidak tahu kenapa Salsha tadi terlihat sangat sensitif.

Aku melihat Salsha yang mengambil sepeda motornya dan bergerak meninggalkanku. Pandanganku mengikuti Salsha yang sama sekali tidak menoleh ke arahku. Tampaknya ucapanku tadi membuat Salsha benar-benar marah.

“Tumben nggak bareng sama Salsha?”

Aku melihat Wildan yang tampak santai duduk di atas motornya. Tumben sekali cowok ini tidak pulang duluan. Oh, mungkin dia sedang menunggu temannya.

“Lagi marahan.” Aku mendengkus. “Berani-beraninya dia mengusik zona nyaman gue sebagai fangirl yang nggak bisa lepas dari ponsel.”

Wildan mengerutkan kening. “Gue rasa, Salsha benar. Kenapa nggak lo maafin aja?”

“Gampang banget mulut lo kalau ngomong,” sahutku ketus.

Pikiranku keruh dengan hal-hal yang terjadi belakangan ini. Cowok kurus ini malah menyuruhku untuk memaafkan Salsha sementara dia tidak melihat secara langsung pertengkaran kami. Tidak, aku tidak akan melakukannya. Melihat wajah Salsha saja sudah terbayang bagaimana sikapnya menyebalkannya tadi saat mengingatkanku untuk tidak terus-terusan mementingkan ponsel.

“Hei,” Wildan berdiri dari posisinya, “Kenapa lo jadi marah ke gue?”

Ya Tuhan, cowok ini membuatku ingin mengumpat. Aku memberikan tatapan yang menyiratkan bahwa ini bukan urusannya, lalu aku melenggang begitu saja menuju luar tempat parkir.

“Lo nggak mau bareng gue? Rumah kita, kan, searah.”

“Nggak, gue dijemput Kak Sandra!” balasku sambil memasang ekspresi kesal. Sungguh, aku tidak ingin mendengar Wildan berbicara lagi.

“Oh, ya udah.” Wildan mengatakan sesuatu yang tidak kusangka. Kukira, ia akan memaksaku untuk memaafkan Salsha sekali lagi sekaligus mengajakku pulang.

Ketika motor Wildan menghilang di belokan parkir, aku meraba saku rok sekolah. Lalu, aku membulatkan mata. Ponselku, kan, sedang disita. Aku juga tidak yakin dengan ucapanku tadi yang dengan lancarnya mengatakan bahwa Kak Sandra akan datang menjemput.

Ya Tuhan, Shafira. Kenapa tadi lo nggak mengiyakan ajakan Wildan, sih?

Penyesalan selalu datang belakangan.

Tidak ada pilihan lain. Aku harus naik bus atau aku akan berada di sekolah sampai besok. Syukurlah, letak terminal tak jauh dari sini. Aku mulai berlari ke depan gerbang sekolah.

Jangan berharap Wildan akan berbalik menjemputku layaknya novel-novel remaja pada umumnya. Itu hal yang sangat-tidak-mungkin.

Tunggu. Otakku lemot. Kenapa Wildan tiba-tiba membahas Salsha? Mungkin, ada sesuatu di antara mereka yang tidak aku ketahui. Dan juga … bagaimana cowok kurus itu bisa tahu bahwa aku dan Salsha tadi sempat bertengkar, padahal dia berada di tempat parkir alias sudah keluar dari kelas?

Aku berjengit kaget ketika melihat sesuatu berbentuk balok raksasa yang berhenti di depan. Kemudian, aku tersadar bahwa aku sedang berada di terminal untuk menunggu bus yang akan mengangkutku pulang.

Kenapa gue tadi sempat melamunkan Wildan, sih.

***

Ini waktunya menggeledah kamar Mama. Semoga ponsel gue segera ketemu.

“Mau ngapain?”

“Ngagetin aja!” sahutku. Aku melirik keberadaan Kak Sandra yang menangkapku basah sedang mengendap-endap ke kamar Mama.

“Gue tanya karena gue nggak tahu. Lo itu kenapa?” Kak Sandra mengulang pertanyaannya dengan nada kesal. “Mau mencuri?”

Aku mengibaskan tangan, “Pokoknya, lo jangan bilang-bilang ke Mama, ya! Lo mau bantuin gue, nggak, Kak?”

Kak Sandra berdecak melihat kelakuanku. Dia lalu merebahkan diri di atas sofa sambil menonton televisi. Astaga, pertanyaanku digantung tanpa kejelasan.

Sepuluh menit mengacak-acak—sekaligus membereskan—meja rias Mama, membalikkan bantal dan guling, sampai menyusup di kolong tempat tidur yang banyak nyamuk, aku mengerang kesal. Ponselku tetap tak ditemukan. Justru tanganku kotor dan beberapa jari terlihat bentol-bentol merah.

Aku menutup pintu kamar Mama dari luar dengan keras. Melampiaskan rasa kecewa karena kegagalan usahaku dalam menemukan ponsel.

***

“Kak … pinjam laptop.”

Kak Sandra melirikku yang berdiri di samping pintu kamar. “Buat nonton drakor?” tanyanya, “itu, ambil aja,” lanjutnya sambil mengarahkan dagu ke meja kecil yang terletak di samping tempat tidurnya. Kak Sandra tampak malas mengambil laptop.

Aku bersorak dalam hati. Tidak ada rasa bersalah yang ada dalam diriku yang mengganggu waktu belajar Kak Sandra. Aku memeluk laptopnya, lalu berjalan keluar.

Ngomong-ngomong, Kak Sandra memang berbeda denganku. Jika dia rajin belajar, maka aku rajin menonton drama. Jika dia menghapal nama-nama latin suatu makhluk hidup, maka aku menghapal nama-nama aktor atau aktris beserta nama pemerannya dalam beberapa drama. Bahkan, aku yakin kalau Kak Sandra sempat berkata, “Dasar fangirl” usai aku mengambil laptopnya.

Langkahku hampir terhenti ketika melihat Mama barusan pulang. Ini waktunya Maghrib, artinya Mama pulang lebih cepat dari biasanya—pukul delapan malam.

Seharusnya aku menyambut Mama dengan cara mencium tangan beliau. Namun, yang terjadi justru aku berdiri mematung, menunggu kata-kata pedas yang akan keluar dari mulutnya karena lagi-lagi melihatku yang akan marathon drama.

“Kamu membuang-buang waktumu lagi,” Langkah Mama mendekat padaku, dan dia melanjutkan ucapannya, “dengan menonton hal-hal yang nggak bermanfaat.”

Cengkeraman tanganku pada laptop Kak Sandra mengeras.

Mama melihat ke arah pintu kamar Kak Sandra yang barusan kututup, lalu beralih padaku. “Nilaimu jelek, dan kamu masih nggak belajar. Ketika ponselmu disita, kamu selalu punya cara untuk mengatasi kebosananmu.”

Aku sangat paham dengan maksud Mama.

“Ponselmu bakal kembali, kalau kamu mau belajar.”

Helaan napas kasar keluar dari hidungku. “Aku nggak bakal belajar. Berhentilah membandingkan aku dengan Kak Sandra, Ma.”

“Ikutlah kelompok belajar, lalu aku akan mengembalikan ponselmu.”

“Hah?” Aku hanya bisa memandang Mama yang berjalan menjauh. Beberapa saat mencerna kata-katanya, aku membulatkan mata. Bagaimana dia bisa tahu kalau wali kelasku membentuk kelompok belajar—

Oh, pasti ini karena Wildan yang mengirim pesan untuk membujukku agar mau belajar bersama dengannya—sesuai perintah Bu Tyas. Cowok itu, kan, sudah tahu kalau aku sedang tidak memegang ponsel, kenapa dia masih mengirimkan pesan padaku, sih?

Aku tidak habis pikir dengan orang-orang yang sangat mementingkan nilai pengetahuan akademik. Sampai saat ini, mungkin bisa naik kelas adalah satu-satunya hal yang bisa didapatkan dari nilai yang bagus. Selain itu, kurasa tidak ada lagi.

***

Murid-murid di kelas mulai terpecah menjadi beberapa kelompok. Proses kegiatan belajar berkelompok akan dimulai. Aku menahan diri untuk tidak mengumpat ketika Wildan dan Ariska bergerak mendekat ke mejaku.

“Lo harus belajar, ya, mulai sekarang.” Baru saja datang dan menarik bangku di depanku, Wildan sudah membuatku naik darah. “Semoga lo nggak semakin benci dengan yang namanya belajar karena kelompok ini.”

“Kalau nilai lo masih jelek, lebih baik lo nggak usah naik kelas.” Ariska meneruskan ucapan Wildan.

“Kalau ngomong itu dijaga.” Salsha membalas. “Memang, gara-gara Shafira, lo harus belajar lebih keras lagi, tapi kenapa lo marah, sih? Bukannya bagus jika Shafira mulai memperbaiki nilainya dan lo jadi makin pinter?”

Aku melirik Salsha sambil bertanya-tanya dalam hati, kenapa dia membelaku padahal kemarin kami sempat bersitegang. Tadi pagi, kami juga saling diam. Terlalu malas untuk membuka percakapan.

Tapi Salsha memang selalu membelaku. Tiap kali aku dan Ariska bertemu, tidak ada yang namanya suasana damai. Aku harus berterimakasih pada Salsha. Berkat dirinya, aku tidak perlu repot-repot membalas Ariska.

Oke, aku harus bertahan dengan ocehan-ocehan Wildan—dan Ariska—selama beberapa minggu ke depan. Demi ponsel, tentu saja.

Aku sudah membayangkan bahwa jika aku berhasil di ulangan-ulangan harian selanjutnya, maka aku akan mendapat ponselku kembali. Entah nilaiku akan semakin bagus atau justru sangat dekat dengan KKM, yang penting aku tidak remidi.

Aku merasa bodo amat dengan nilai. Tidak ada gunanya jika aku terobsesi dengan nilai yang bagus. Buat apa, begitu pikirku. Nilai tidak dibawa mati, bukan?

-WILSHA-

Ya Allah, sudah berapa minggu aku nggak apdet? Maaf, ya, karena kalian udah digantungkan. (╥﹏╥)
Kalau kalian mau mengikuti Wilsha sampai akhir, aku bakal mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.

Gimana kesan dari bab 8 ini?
Mau ngasih kritik dan saran boleh banget.

Btw, selamat menunaikan ibadah puasa! ❤️

Love,
Rifa

250420

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top