7. Dari Wali Kelas
Tujuh : Dari Wali Kelas
PUKUL tujuh kurang dua menit. Kami baru sampai di sekolah. Aku terburu-buru turun, tetapi baru saja ingin berlari agar tidak terlambat masuk kelas, lenganku dicekal Wildan. “Mau ngapain? Kita udah mau telat, tahu!” ucapku sambil melepas cengkeraman tangan cowok itu dan langsung berlari.
Wildan segera menyusulku. “Ini tentang nilai lo—“
“Stop,” selaku. Dengan sangat terpaksa, aku berhenti. Aku sudah menduga ini. Benar, kan, apa yang kubilang beberapa saat yang lalu. “Jangan bicara tentang nilai. Gue nggak mau dengar itu sekarang.”
“Tapi, Shaf—“
Aku tidak peduli, memutuskan untuk tidak mendengarkan Wildan dan mulai berlari lagi agar bisa masuk ke kelas tepat waktu. Napasku ngos-ngosan. Di belakangku, terdengar langkah kaki Wildan yang melambat. Cowok itu justru berjalan santai, berbeda denganku yang takut terlambat.
Tepat satu menit sebelum bel berbunyi, aku harus mengembuskan napas lega karena baru bisa masuk kelas. Sedangkan Wildan baru masuk setelah bel berbunyi. Cowok itu sepertinya tidak takut terlambat padahal dia seorang ketua kelas. Bisa saja, kan, dia dicap sebagai ketua kelas yang tidak disiplin.
“Kalian berdua sama-sama hampir terlambat dan masuk barengan ke dalam kelas.” Salsha berkomentar ketika aku duduk di sebelahnya. “Kemarin, kalian juga barengan masuk kelas. Ada apa, Shaf?” tanyanya.
“Nggak ada apa-apa.” Bohong. Jelas ada sesuatu yang membuat Wildan menjemputku selama dua hari ini. Namun, aku malas menjelaskannya.
“Ayolah, masa nggak ada apa-apa, sih?” Salsha tidak percaya. Tingkat kekepoan cewek ini memang menyebalkan. Oh, mungkin Salsha juga akan kumasukkan ke dalam daftar orang-orang menyebalkan yang pernah ada dalam hidupku. “Nggak mungkin selama dua hari ini kalian bisa kebetulan masuk kelas barengan. Pasti ada apa-apa.”
“Bisa diam, nggak?” tukasku yang membuat Salsha langsung tutup mulut.
Suasana hatiku berantakan. Kuharap, hari ini bisa membangkitkan sedikit mood-ku. Aku meletakkan kepala di atas meja, bersiap tidur karena guru pelajaran kali ini belum datang—semoga saja waktu pelajaran kali ini kosong. Tak lupa dengan earphone yang mengalunkan lagu-lagu korea kesukaanku. Namun ….
“Bangun, Shaf. Gurunya datang.”
Aku mengerang kesal. Belum ada satu lagu yang selesai terputar. Tanganku mengambil buku dengan malas-malasan.
“Shaf, kenapa lo bawa buku sejarah? Ini waktunya biologi.”
Aku mematung sejenak, menyadari keteledoranku. “Duh, gue lupa kalau jadwalnya berubah.”
Salsha berdecak. Aku menepuk kening. Tamatlah aku. Bu Iza—guru biologi yang barusan memasuki kelas—memberlakukan denda bagi murid yang tidak membawa buku paket. Selain denda, ditambah hukuman menjawab pertanyaan tentang bab yang sedang kami pelejari dari beliau langsung di hadapan teman sekelas. Tapi, Bu Iza lebih sering memberi pertanyaan yang mengacu pada materi yang belum dipelajari. Alhasil, anak-anak kelas lain banyak yang tidak bisa menjawab. Kecuali kelasku yang sebagian besar berisi anak-anak pintar.
Mampus, aku bergumam. Bab satu saja tak pernah kubaca, apalagi bab dua dan bab-bab selanjutnya. Kalau tidak bisa menjawab sebagian besar pertanyaan dari Bu Iza, pasti aku akan dapat pengurangan poin.
Namun, sepertinya aku salah. Bu Iza hanya datang untuk memberi tugas, lalu meminta maaf karena tidak bisa mengawasi kelas karena ada urusan. Aku menatap punggung beliau yang meninggalkan kelas. Mataku mengerjap-kerjap. Aku tidak jadi dihukum?
“Kali ini lo selamat, Shaf.” Salsha berbisik. Aku menghela napas lega. “Nih, buku paketnya buat kita berdua, ya.” Salsha lalu mengangsurkan buku paket biologi miliknya ke tengah meja.
“Gue bodoh, Sal. Gue nanti contek jawaban ke lo aja, deh.” Aku menjauhkan buku paket Salsha. Cewek itu mendengus.
“Enak banget, ya, nggak jadi dihukum.”
Aku yang awalnya ingin kembali tidur, beralih menatap Ariska yang barusan menyindir.
Ariska tertawa, terdengar dipaksakan sehingga telingaku terasa geli mendengarnya. “Lo lupa nggak bawa buku, tapi gurunya ada urusan sehingga lo nggak kena hukum. Gue juga pengin jadi lo, Shaf.”
“Gue juga pengin jadi lo,” balasku yang membuat Ariska tidak mengerti, “Lo pinter, dideketin banyak cowok, anaknya orang kaya. Sedangkan gue nggak punya satupun hal di diri lo. Mau tuker posisi?” tanyaku.
“Hei,” Salsha menyenggol lenganku. “Nggak usah diladenin, Shaf.”
Ariska melupakan satu hal: aku adalah murid terbodoh dan termalas di kelas ini, sedangkan Ariska adalah cewek yang tergolong pintar. Mana mungkin Ariska berkata bahwa dirinya ingin berada di posisiku? Dalam hati, aku bersorak karena berhasil membuat Ariska diam. Pasti cewek itu menyindirku karena iri terhadapku yang—beruntung—tidak terkena hukuman dari Bu Iza.
Dasar manusia. Rasa iri memang bisa membuat gelap mata.
Aku kembali memakai earphone. Mengabaikan Salsha yang sekarang sedang mengerjakan soal dan Ariska yang menatapku kesal—mungkin karena aku berhasil membalik ucapannya. Lagipula, tak ada angin maupun hujan, cewek itu tiba-tiba ingin bertukar posisi denganku. Aneh.
Pagi itu, aku tidak tahu bahwa alasan Ariska iri terhadapku bukan hanya karena aku yang lolos dari hukuman guru. Ada hal lain yang tersembunyi.
***
“Tadi pagi, gue ketemu Bu Tyas.” Ariska memulai percakapan dengan Wildan, cowok yang duduk di belakangnya. “Lo disuruh ke kantor guru saat jam istirahat.”
“Oh, iya,” balas Wildan tanpa menatap lawan bicaranya.
“Wil, lo denger gue nggak, sih?” Ariska tampak tidak suka dicuekin Wildan. Wildan sedang asyik bermain game. Jelas saja ia acuh tak acuh terhadap ucapan cewek itu.
“Wil!”
“Duh, kalah, deh.” Wildan mengeluh. “Ada apa, sih, Ris?”
“Gue nggak suka dicuekin sama lo, tahu!” ungkap Ariska, terlihat sekali bahwa cewek itu sedang mengeluarkan uneg-unegnya. “Lo dengar, nggak, apa yang gue omongin tadi?”
Wildan menatap jam dinding kelas, dua jam lagi waktunya istirahat pertama. Ia menatap Ariska, lalu mengangguk. “Iya, gue denger. Nggak usah marah-marah.”
Percakapan Wildan dengan Ariska terdengar olehku yang sedang terburu-buru menyalin jawaban soal. Jam pelajaran biologi akan berakhir dalam waktu sepuluh menit, dan aku sedang berusaha keras menyelesaikannya.
“Sal, kenapa jawaban lo banyak banget, sih?”
“Protes mulu!” Salsha menyahut cepat. “Nggak usah contek jawaban gue kalau gitu!” Tangannya bersiap mengambil buku tulisnya. Aku cepat-cepat menahannya. Salsha mencibir, lalu melanjutkan kegiatannya menonton drama korea lewat ponsel.
Melihat ponsel Salsha, aku langsung teringat pada Mama yang tadi pagi menolak keras untuk mengembalikan ponselku. Aduh, Mama lagi, Mama lagi. Kenapa hal-hal di sekitarku membuatku ingat Mama, sih?
Aku harus menemukan cara untuk mengambil kembali ponsel berhargaku. Aku adalah seorang fangirl, dan kehidupan seorang fangirl itu tak lepas dari ponsel dan data internet!
***
“Shafira!”
“Kenapa, Wil?” Bukan aku, tetapi justru Salsha yang menyahut panggilan Wildan.
Aku hanya melirik sekilas. Wildan pasti baru saja kembali dari kantor guru. Seperti yang Ariska ucapkan tadi pagi, Wildan pergi ke kantor guru saat jam istirahat pertama, dan sekarang ia baru kembali.
“Kelompok belajar,” ucap Wildan. Aku mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya. Salsha menaikkan salah satu alisnya, tampaknya ia juga tidak mengerti.
“Karena nilai-nilai lo yang jelek itu, Bu Tyas menyuruh gue untuk membentuk kelompok belajar. Beliau juga ingin gue dan lo satu kelompok, Shaf,” jelas Wildan.
“Kelompok belajar?” Astaga. Aku sempat tersinggung sewaktu Wildan bilang bahwa nilai-nilaiku jelek—padahal itu adalah kenyataan. Tapi, aku tidak percaya ketika Bu Tyas—wali kelas kami—menyuruh Wildan untuk membuat kelompok belajar hanya karena nilaiku.
Wildan mengangguk.
“Kalau gue mau satu kelompok sama lo, boleh nggak, Wil?” Salsha bertanya pada Wildan. Cowok itu mengangguk. Tidak masalah, katanya.
“Nggak! Gue nggak mau ikut kelompok belajar!” Aku menolak keras. “Gue benci belajar, tahu!”
“Shaf, ini perintah dari Bu Tyas, dan lo nggak boleh seenaknya menolak,” tegas Wildan. “Bu Tyas membentuk kelompok belajar ini dengan tujuan meningkatkan nilai kita, terutama nilai lo, Shaf. Lo sendiri pasti udah tahu, kan, kalau Bu Tyas memang berencana membentuk kelompok belajar di awal semester lalu?”
Aku menghela napas. Tentu saja, semua anak ingat apa yang dikatakan Bu Tyas, selaku wali kelas kami, sewaktu kami masih baru menginjak kelas sebelas. Beliau berencana membuat beberapa kelompok belajar di semester dua. Tujuannya, untuk membuat kami fokus dan nilai-nilai kami akan meningkat di rapor.
Bu Tyas ingin anak didiknya mendapatkan hasil yang baik, aku tahu itu. Tapi, pembentukan kelompok belajar ini lebih awal dari yang kuduga. Semester dua akan di mulai tiga bulan lagi.
“Jadi … intinya, Bu Tyas bikin kelompok belajar lebih awal dari yang direncanakan hanya karena gue?” tanyaku memastikan dugaanku benar.
“Lebih tepatnya, karena nilai lo.”
Menyebalkan. Wildan selalu saja mengungkit nilaiku. Tapi, akan tidak sopan jika aku menolak permintaan wali kelas. Tidak ada pilihan lain selain menyetujui keputusan Bu Tyas.
Sejujurnya, tidak ada masalah bagiku untuk satu kelompok dengan siapa saja. Kecuali Wildan. Aku sungguh tidak menyukai cowok itu karena ia pasti akan terus memberiku ceramah mengenai nilai ulangan dan kesukaanku pada lagu dan drama Korea.
“Gue nggak mau satu kelompok dengan lo.”
“Ini perintah Bu—“
“Gue nggak masalah satu kelompok dengan siapa aja, tapi bukan dengan lo.” Aku memotong balasan Wildan.
Cowok kurus itu memutar bola matanya, kesal. Ia menyerah denganku yang ngotot tidak mau satu kelompok dengannya. Siapa, sih, yang bakal betah dengan orang yang sukanya berceramah?
***
Jam pelajaran terakhir adalah waktunya wali kelas kami, Bu Tyas. Sebelum materi dimulai, beliau menyampaikan satu hal: pembentukan kelompok belajar. Berbeda dengan rencana sebelumnya, beliau membentuk kelompok sesuka hatinya sendiri. Kami tidak diperbolehkan memilih anggota sendiri.
Dan itu artinya, aku satu kelompok dengan Wildan. Ditambah dengan Salsha dan Ariska. Aku, seorang fangirl garis keras, harus berinteraksi dengan Wildan si cowok kurus yang menjengkelkan, dan Ariska si pembenci orang bodoh sepertiku. Juga Salsha, sahabatku yang kuracuni hal-hal berbau Korea.
Aku bersedekap. Menatap Bu Tyas dengan tatapan jengkel.
Tidak, aku tidak membenci beliau. Aku hanya kesal karena harus satu kelompok dengan orang-orang yang menyebalkan. Akan lebih baik jika anggota kelompokku adalah orang-orang yang memiliki kesamaan hobi denganku: fangirling. Itu akan membuat suasana lebih seru dan aku tidak akan stress dengan tuntutan belajar-agar-nilai-meningkat.
Namun, jangankan satu hobi, aku sadar bahwa tidak ada yang berteman denganku. Hanya Salsha-lah satu-satunya teman yang kupunya. Menyedihkan sekali.
Sampai jam pelajaran habis, suasana hatiku tidak kunjung membaik. Lalu, aku merasakan sebuah feeling yang buruk lagi. Ini sama seperti yang tadi pagi aku rasakan.
Ada apa lagi ini?
-WILSHA-
Chapter kemarin 1400-an kata. Chapter ini 1500-an kata. Seneng rasanya karena bisa nulis di atas 1000 kata.
Gimana kesannya sama chapter tujuh ini?
Aku bakal usahain lebih aktif di tahun 2020 ini. Semoga kalian mau menemaniku sampai akhir cerita Wilsha, ya.
Oh iya, aku juga menerima krisar agar Wilsha jadi lebih baik ke depannya. Silakan yang mau krisar, aku tunggu. ^^
Lots of love,
Rifa
080220
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top