6. Menyelinap
Enam : Menyelinap
DI kamar, aku berpikir keras. Laptop di hadapanku menyala, memperlihatkan drama Korea yang sedang terputar. Mataku melihat tayangan tersebut, tetapi pikiranku tidak fokus terhadap ceritanya. Aku sedang berpikir tentang ponselku.
Bagaimana cara mengambilnya dari Mama?
Lima menit berpikir, tak ada ide sama sekali yang mampir. Huft, menyebalkan. Aku memutuskan memejamkan mata sejenak, siapa tahu dengan begitu aku bisa mendapat pencerahan. Sementara itu, laptopku masih menyala. Sebenarnya ini milik Kak Sandra, sih, aku meminjamnya dengan alasan ingin menonton drama.
Iya, nanti aku harus mengembalikan laptop ini. Tapi, saat ini tak ingin kukembalikan selama aku belum mendapat ponselku! Aku masih membutuhkan kehadiran idol Korea untuk mewarnai hidupku—aish, jiwa fangirl-ku kumat. Aku menghela napas pelan, tanpa sadar aku terlelap dan jatuh tertidur.
***
“
Hah? Udah jam sepuluh aja.” Aku mengucek mata. Ternyata aku tertidur selama dua jam. Oh iya, di jam-jam segini, Mama terkadang baru mau tidur. Kalau aku bersabar menunggu sampai Mama benar-benar terlelap—minimal aku harus bersabar menunggu satu jam lagi, aku bisa mengendap-endap ke kamarnya dan mendapat ponselku kembali.
Aku menjentikkan jari. Yes! Akhirnya otakku tercerahkan juga.
Tanganku pelan membuka pintu kamar. Dahiku sempat mengerut ketika televisi di ruang tengah menyala. Dahiku mengerut lebih dalam lagi melihat Kak Sandra yang menonton televisi. Tumben sekali.
Aku kaget sewaktu kepala Kak Sandra menoleh padaku. Tanpa diduga, dia melirik ke arah kamar Mama, memberi kode bahwa aku harus cepat-cepat mengambil ponselku di sana. Sepertinya Mama sedang keluar dari kamar.
Aku tersenyum. Kak Sandra memang yang terbaik buat diandalkan!
Mataku menjelajahi segala barang yang tampak di ruangan kamar Mama. Agak lama mencari, ponselku masih belum ditemukan. Di meja, laci, kursi, kasur, depan cermin, semuanya tak ada yang terlewatkan. Tubuhku rasanya lemas, dimana ponselku disembunyikan?
Aku akhirnya berjalan lesu ke kamar. Mama baru saja keluar dari kamar mandi saat aku menutup pintu kamarku sendiri. Seketika aku mengelus dada, untung saja Mama tidak melihatku menyelinap ke kamarnya. Huft.
Otakku masih berpikir dimana Mama menyembunyikan ponsel itu. Sampai akhirnya aku merasa akan ada asap keluar dari kepalaku, saking lamanya aku berpikir. Ujung-ujungnya, tetap saja aku tak punya ide apapun. Ah, Mama. Dia menyembunyikannya di mana, sih?
“Nggak tahulah! Bodo amat!” pekikku kesal. Lebih baik tidur saja. Aku ingin merebahkan diri dan menarik selimut, tapi ... aku menutup mulut ketika menyadari bahwa laptop Kak Sandra masih menyala selama dua jam lebih. Aku cepat-cepat menutupnya. Ya ampun, aku berharap laptopnya tidak rusak. Kak Sandra pasti marah besar kalau tahu.
Shafira bodoh! Aku mengumpat pelan.
***
“Lo bakal dijemput sama Wildan, nggak?”
“Hah?”
Kak Sandra mengerutkan kening melihatku yang tidak mengerti. “Lo bakal dijemput Wildan kayak kemarin atau nggak?”
Aku refleks mendengus. “Kak, kemarin itu Wildan nggak berniat ngantar gue ke sekolah, dia cuma kebetulan aja lewat di depan rumah.”
Kak Sandra tampak tidak percaya. “Hm ... entah kenapa, menurut feeling gue, lo bakal dijemput Wildan lagi.”
“Kak,” aku memutar bola mata, “kemarin itu dia nggak jemput gue buat berangkat bareng ke sekolah. Dia cuma kebetulan lewat. Kebetulan lewat, Kak, ke-be-tu-lan.” tegasku. Kenapa Kak Sandra mengartikan kejadian kebetulan kemarin itu sebagai tanda bahwa aku bakal terus dijemput Wildan, sih?
Lain lagi kalau cowok kurus itu pacarku—hih, amit-amit, aku tidak mau punya pacar sepertinya yang sukanya bermain game. Pacarku lebih tampan darinya dan sayangnya sedang berada di negara ginseng—oke, jiwa fangirl-ku kumat.
Tak lama, kemudian aku bertanya ragu, “Kalau gue bakal dijemput Wildan lagi, memangnya kenapa?”
“Tentu saja gue seneng banget dong, akhirnya gue nggak perlu ngantar lo ke sekolah lagi. Kan, lo udah punya tukang ojek sendiri. Gratis pula.”
What the—apa yang Kak Sandra bilang tadi? Tukang ojek? Yang benar saja Wildan jadi tukang ojek. Cowok kurus itu mana mau dimanfaatkan. Eh, tapi ... enak juga, sih, kalau cowok itu setiap hari melewati rumahku. Biar beban Kak Sandra sedikit berkurang. Alias tidak repot-repot lagi mengantarku ke sekolah.
Hm, sebenarnya aku tahu kalau memanfaatkan orang itu tidak baik, tapi ... aku melakukan ini, kan, demi Kak Sandra yang semakin hari semakin sibuk dengan dunia perkuliahannya. Ups, aku jadi ingat kalau aku pernah menghina Kak Sandra pengangguran. Aku hanya bercanda. Kakakku bukanlah pengangguran, ia seorang mahasiswi. Hanya saja, kemarin dia libur dan mungkin karena gabut, jadi dia menjemputku pulang.
Dasar adik durhaka, umpatku pada diriku sendiri.
***
“Suara sepeda motor milik siapa itu?” Mengira ada seseorang yang datang sambil membawa sepeda motor, Kak Sandra—yang baru saja menelan suapan terakhirnya—melangkah keluar dari ruang makan. Aku merasa tidak asing. Pikiranku tertuju pada satu orang. Wildan.
Apakah cowok itu menjemputku lagi, seperti yang dikatakan Kak Sandra?
Ah, sepertinya tidak mungkin. Bisa saja, kan, dia temannya Kak Sandra. Kenapa aku tiba-tiba memikirkan Wildan, sih? Haish, otakku rasanya campur aduk. Namun, entah mengapa aku merasakan perasaan yang buruk. Ketika ingin mengecek jam lewat ponsel yang biasanya kutaruh di saku, aku baru sadar bahwa sejak kemarin aku tidak memegang ponsel sama sekali. Oh iya, ponselku, kan, sedang disembunyikan Mama.
Baru saja sosok Mama terlintas di kepala, orangnya muncul. Wanita itu melewati meja makan dan menuju kamar mandi. Dengan terburu-buru, aku turun dari kursi dan memanggilnya, “Ma!”
Mama menoleh. Menungguku bicara.
“Ma, dimana ponselku?” tanyaku sambil mengulurkan tangan. Berharap Mama akan memberikannya padaku.
“Kenapa kamu malah mencari ponsel padahal sebentar lagi kamu bakal telat masuk sekolah, sih? Lebih baik kamu berangkat sekarang dan belajar yang bener.”
Aku terpaku. Tidak menyangka akan mendapat balasan seperti itu. Mama langsung melenggang ke dapur setelah memberiku ucapan yang lumayan pedas. Tanganku yang masih menggantung di udara, pelan-pelan turun. Rasanya hatiku diremas.
Mama jahat. Aku mengepalkan tangan. Mama jahat, itu yang dikatakan hatiku berkali-kali. Seharusnya aku tidak bertanya tentang ponselku. Seharusnya aku mengabaikannya saja, sama seperti dirinya yang mengabaikan keberadaan diriku. Tiap ucapan dari orang yang kita benci akan selalu menyakiti hati kita. Jadi, akan lebih baik jika kita mengabaikannya agar kita tidak sakit hati terus-terusan.
Selera makanku hilang. Aku langsung menyambar tas dan berjalan cepat ke depan.
“Oh, itu Shafira.” Aku melihat mata Kak Sandra yang berbinar ketika melihatku yang mengambil sepatu. “Baru aja gue mau manggil lo, Shaf.”
Aku mengerutkan kening.
“Lo ditungguin Wildan, tuh.” Kak Sandra tersenyum. Mataku membelalak. Firasat Kak Sandra tampaknya benar, bahwa Wildan akan menjemputku hari ini. Aku memutar bola mata, agak malas kalau diantar Wildan, karena si cowok kurus itu pasti bakal memberitahu hasil remidi ulanganku kemarin. Aku yakin bahwa nilaiku hanya begitu-begitu saja. Sekalipun remidi, pasti nilaiku tidak jauh beda dari nilai sebelumnya.
Tanpa banyak bicara, aku naik ke bagian belakang motor Wildan. Tasku menjadi pembatas kami. Lalu, sepeda motor milik cowok kurus itu melaju. Dari spion, aku bisa melihat bahwa Kak Sandra melambaikan tangan.
“Kakak lo tampak seneng banget ketika gue jemput lo.”
Aku bergumam, lalu membalas, “Gue nggak ngerti kenapa dia seneng banget.”
“Mungkin, kakak lo ngira kalau kita pacaran?” tanya Wildan yang membuatku menabok punggungnya.
“Jangan ngawur!”
“Sakit!” Wildan protes, “Lo cewek tapi tenaga lo besar banget buat mukul gue.“
Si cowok kurus melajukan sepedanya dengan santai. Tiba-tiba aku mengingat ucapan pedas Mama yang mengatakan bahwa diriku akan terlambat ketika aku bertanya tentang ponselku. Aku langsung memukul punggung Wildan sekali lagi. “Cepet dikit, lah. Udah pukul berapa ini? Lo pengin terlambat?”
“Enggak.”
“Terus kenapa lo masih kayak siput?” Aku menaikkan nada suaraku. “Cepet dikit, dong!”
“Sekarang jam berapa—“
“Jam tujuh kurang tujuh menit!” Entah sudah keberapa kalinya aku ngegas saat bicara dengan Wildan. “Makanya gue bilang cepet biar kita nggak telat, Cowok Kurus!”
***
Napasku terengah-engah saat sampai di kelas tepat satu menit sebelum bel berbunyi.
Jadi, ini arti dari perasaan buruk yang menghinggapku tadi di meja makan. Aku menerima ucapan pedas dari Mama—yang membuat suasana hatiku pagi ini memburuk—dan hampir terlambat masuk kelas bersama Wildan.
Aku mengumpat dalam hati. Pagi ini, aku menyimpulkan satu hal: Mama dan Wildan adalah sosok yang menyebalkan dalam hidupku. Sepertinya aku harus menjauh dari mereka demi mencegah perasaan buruk yang sering kudapatkan.
Aku sudah berusaha menghindari salah satunya, yakni Mama. Meski aku tidak dapat sepenuhnya menghindar karena kami adalah keluarga dan tinggal satu atap. Tapi, untuk Wildan, aku yakin bahwa aku pasti bisa menghindarinya. Cowok kurus itu, kan, bukan siapa-siapaku.
Kami hanya sebatas teman sekelas.
-WILSHA-
Hai!
Gimana kesannya sama part iniii?
Aku mau curhat, nih. Di pelajaran matematika, kadang aku sering gak paham, dan kadang-kadang aku sering gak fokus. Itu buat aku kesel. Satu semester rasanya gak ada gunanya belajar matematika.
Kayaknya hal ini yang bikin aku nulis karakter Shafira yang sangat-tidak-menyukai pelajaran matematika.
Kalau kamu, pelajaran apa yang gak kamu sukai (di sekolah)?
Sekadar info, dari review Kak Ray (Rayhidayata), dialog yang kugunakan (di part-part sebelumnya) itu terlalu kaku. Jadi, pelan-pelan aku ubah biar nggak kaku lagi.
Terima kasih atas review-nya, ya, Kak! Oh iya, cover Wilsha ini juga dibuat oleh Kak Ray, lho. Cantik kan? (iyain biar Kak Ray seneng)
Part selanjutnya akan update dua minggu lagi! (Bisa juga minggu depan, kalau nggak ada halangan. Doakan nggak ada halangan, ya!)
Love,
Rifa
200120
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top