5. Ponsel
Lima : Ponsel
AKU turun dari sepeda motor Kak Sandra. Saat membuka pintu, aku terkejut ketika melihat Mama sedang duduk-duduk di sofa ruang tamu. Aku mengerutkan kening. Mama enggak bekerja? Aku sedikit bingung.
Mama melihatku yang terpaku di depan pintu. Beliau menurunkan koran yang tengah dibacanya. "Sudah pulang?"
Aku tidak menjawab. Tanganku asal-asalan melepas sepatu dan kubiarkan terlempar sedikit dari rak, lalu aku menoleh ke arah Mama yang masih menunggu jawabanku. "Kan, Mama bisa lihat sendiri. Kalau enggak pulang, kenapa aku di sini?" aku menjawab ketus.
Aku membanting pintu kamar. Entah kenapa ... aku selalu kesal berada di rumah. Kenapa Mama harus bertanya hal yang sudah jelas jawabannya, sih? Memang benar jika aku membenci Mama dan sering ketus saat menjawab pertanyaannya, tetapi ini lain. Wajah Mama saat bertanya tadi datar-datar saja. Tidak tersenyum. Membuatku jengkel saat melihatnya.
Tak bisakah memasang ekspresi yang lebih baik saat bertanya?
Aku terduduk di pintu. Menenggelamkan wajah diantara kedua lutut. Hari sudah sore, tapi aku malah memejamkan mata. Pikiranku keruh dan pusing di kepala belum sepenuhnya hilang. Aku butuh istirahat sejenak.
***
"Ya Allah," aku mengaduh pelan. Punggungku terasa sakit.
Aku mencoba bangkit dari posisi tidur yang sungguh tidak nyaman tadi. Sambil memukul punggungku pelan, aku sedikit menyesal kenapa aku tidak rebahan di tempat tidur saja. Malah tidur dengan posisi duduk sambil menekuk lutut.
Aku menatap jam dinding dan langsung membulatkan mata. Hampir pukul lima sore.
Astaga! Aku belum berganti seragam sekolah, belum mencuci tangan dan kaki, lalu ... aku belum salat Ashar! Langkahku terbirit-birit menuju kamar mandi. Mandi secepatnya, sambil berkomat-kamit agar jarum jam berhenti sejenak-eh.
Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, lalu orang itu mengetuk pintu. Aku yang sudah selesai berganti pakaian, membuka pintu perlahan. "Kak Sandra?" tanyaku.
Kak Sandra mengernyit. "Baru selesai mandi?" Aku mengangguk, lalu Kak Sandra melanjutkan ucapannya, "Cepat ke meja makan. Jangan mengurung diri di kamar seperti tadi sore."
"Iya .... Gue mau salat dulu."
"Apa? Lo belum salat?!" Mata Kak Sandra berubah galak. "Cepat salat sana! Hampir Maghrib!"
"Iya, Kak. Iya!" Aku balas berteriak dan langsung mengambil air wudhu. Entah aku sudah berwudhu dengan baik atau tidak, aku cepat-cepat berjalan ke mushalla yang dekat dengan ruang tengah.
Huft, sempat-sempatnya lupa salat, kamu, Shaf!
***
"Tujuan gue memanggil Wildan adalah gue nggak menyangka kalau Wildan tadi pagi mengantar lo ke sekolah, jadi gue memanggilnya. Dan ternyata ... itu benar."
Salsha tersenyum melihat wajah bingungku. "Dan lo tahu, Shaf, itu tandanya dia peduli sama lo. Selama ini, Wildan mana pernah tertarik dengan cewek."
Aku merenung sejenak. Perbincangan menjengkelkan di kantin sekolah tadi terputar ulang di benakku. Tanpa sadar, aku mengaduk-aduk makanan dan perutku belum terisi satu suapan pun. Kak Sandra memperhatikan gelagatku. Ia menyentuh lenganku pelan.
"Dimakan, Shaf. Enggak baik menyia-nyiakan makanan." Kak Sandra-yang duduk di sampingku-mengingatkan. Matanya melirik soto ayamku yang tercampur aduk dengan nasi-ya ampun, bentuknya tak keruan. Astaga, aku tak sengaja memperburuk penampilan makanan yang belum kunikmati tersebut.
Berbanding terbalik dengan tampilan buruknya, rasa soto ini sangat enak.
Aku melihat dua kursi di depanku yang kosong, lalu mendengus pelan. "Mama sekarang di mana, Kak?" tanyaku pada Kak Sandra.
"Mama sedang bekerja di kamarnya. Kenapa lo tiba-tiba bertanya tentang Mama?"
"Cuma penasaran. Gue kira Mama udah lupa sama rumah. Maghrib gini, tumben sekali Mama ada di rumah," ucapku.
Kak Sandra hanya menghela napas ketika mendengar ucapanku. "Segitu bencinya lo sama Mama, Shaf," gumamnya. "Ini adalah kedua kalinya Mama pulang pukul tiga sore. Biasanya, kan, Mama pulang jam delapan malam. Gue heran, apa yang membuat Mama kayak gini."
Ucapan Kak Sandra ada benarnya. Kali pertama Mama pulang lebih cepat adalah ketika aku menerima nilai ulangan Matematika yang terburuk di kelas. Kemudian, malam harinya, Mama sangat marah karena aku ketahuan mendapat nilai enam puluh tujuh dan menyita ponselku.
Duh, mengingat ponselku yang masih disita membuatku badmood.
"Gue enggak suka kalau Mama pulang cepat," keluhku.
"Kenapa? Gue malah suka dan berencana mengajak Mama makan malam bersama kita." Kak Sandra mengutarakan hal sebaliknya. "Tapi, gue tahu lo enggak bakal mau. Lo, kan, benci sama Mama."
Aku mendengus. Mulutku tidak mengeluarkan suara, sibuk mengunyah makanan. Aku tidak tahu harus berkata apa pada Kak Sandra. Tentu saja, siapa yang mau makan bersama orang yang dibenci?
"Gue enggak bisa mengambil ponsel gue kalau Mama ada di rumah tepat ketika gue pulang sekolah." Aku mengeluh lagi. "Lo tahu enggak, Kak, dimana Mama menyembunyikannya?"
Kak Sandra mengangkat bahu.
***
"Wildan mana pernah tertarik dengan cewek."
Apa ucapan Salsha benar?
Aku tiba-tiba merinding. Berarti ... Wildan bukan cowok normal, dong?! Eh, tapi, secara tidak langsung, Salsha bilang kalau Wildan tertarik padaku.
Hm, sepertinya Salsha salah, deh. Bisa saja, kan, kalau Wildan memang sengaja mengejekku yang mendapat nilai terendah di kelas? Lagipula, Wildan itu cowok yang hidupnya enggak bisa jauh-jauh dari game. Hidupnya cuma berisi tentang belajar dan game, jadi mana mungkin dia tertarik pada cewek sepertiku yang sukanya teriak tidak jelas karena bertemu oppa?
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Aku yakin kalau pendapatku pasti benar.
-WILSHA-
Hai!
Gimana kesannya sama bab ini?
Ya ampun, aku menghilang selama berbulan-bulan dari Wilsha dan malah update di akhir tahun. :') Oh iya, username-ku ganti. Jadi, maaf kalau kalian sempet bingung.
Lapak ini berdebu parah. In Syaa Allah, kalau nggak ada halangan ke depannya, aku bakal update dua minggu sekali. Doakan, ya.
Jangan lupa klik bintang dan komentar, ya! Lebih baik memberi vote daripada nggak sama sekali, dan jangan jadi silent readers. ^^
Love,
tulisanrifa_
151219
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top