4. Kantin
Empat : Kantin
Di part sebelumnya, ada yang menyarankan untuk menggunakan 1 POV aja, jadi kuputuskan untuk memakai Shafira’s POV aja, ya. Terima kasih untuk sarannya, Mbak Ai (ainunhy).
Happy reading!
***
“EH, Wildan!”
Aku melotot waktu Salsha menyebut nama cowok itu. “Lo kenapa manggil dia, Sal?” tanyaku. Namun, Salsha malah meletakkan telunjuk kanannya di mulutku. Diam, Shaf! Ia berucap pelan.
“Iya, ada apa, Sal?” Wildan yang baru saja memesan bakso mendekat.
Salsha tersenyum melihatnya. “Gue mencari lo, Wil. Mau tanya-tanya tentang jadwal pelajaran yang berubah di kelas.”
Mataku menyipit. Apa maksud Salsha?
“Oh, boleh. Kenapa memangnya?” WIldan duduk di sampingku. Ia terlihat santai, sedangkan aku tiba-tiba merasa dongkol. Cowok ini ngapain duduk di sini? Di samping Salsha, kan, bisa.
“Sejak kapan jadwalnya berubah, WIl?” tanya Salsha seputar jadwal tadi. Aku berdecak pelan, mulai mengunyah baksoku. Tidak mengerti dengan maksud Salsha yang tiba-tiba memanggil Wildan lalu bertanya-tanya tentang pelajaran.
“Sejak ulangan matematika terakhir kali dibagikan,” jawab Wildan, lalu menatapku, “dan nilai Shafira paling rendah di kelas.”
Aku tidak menggubrisnya. Terus menikmati bakso gratis dari Salsha.
“Tapi, Shafira bilang, dia nggak tahu kalau jadwal pelajaran kelas kita berubah. Jadi, Shafira nggak tahu kalau ada pelajaran matematika.” Salsha bercerita tentang keluhanku. “Dan dia sedang pusing sekarang.”
Wildan refleks menatapku. “Pusing?”
“Iya, habis remidi ulangan matematika tadi,” Salsha melirikku, lalu melanjutkan, “Shafira juga belum sarapan. Gue sampai harus repot-repot traktir dia.”
Aku tersedak. Katanya tadi mau mentraktir gue supaya gue nggak sakit? Apa-apaan, lo, Salsha!
“Nih, minum!” Wildan menggeser sebotol air mineral miliknya—yang dibelinya bersamaan saat membeli bakso. “Memang bener, lo sakit gara-gara nggak sarapan dan remidi dadakan?”
“Gue nggak sakit. Cuma pusing,” kataku.
“Sama aja.” Wildan mendengus melihatku yang keras kepala. “Jadi, sewaktu gue menjemput lo tadi, lo belum sarapan?”
“Kenapa lo masih aja tanya-tanya padahal jawabannya udah jelas?” Aku melihatnya jengkel.
Wildan memandangku dengan tatapan rasa bersalah. “Ya ... maaf. Gimana tadi remidinya?”
Tanganku memukul mangkok dengan sendok. Bunyinya cukup keras sampai beberapa murid melihat mejaku. Aku menatap Salsha, “Gue nggak ngerti apa maksud lo manggil Wildan ke sini, tapi jujur ... gue semakin pusing.” Lalu, aku balik memandang Wildan yang sedari tadi matanya tidak beralih dariku. “Dan lo nggak usah sok peduli ke gue.”
Hening sejenak. “Gue nggak sok peduli, Shaf.” Wildan angkat bicara.
Aku memijjit pelipisku.
Wildan berbicara ke Salsha, “Sal, tampaknya Shafira terganggu dengan gue—“
“Sejak dulu, gue memang terganggu dengan lo, cowok kurus!” potongku cepat.
“Lebih baik gue menyingkir saja. Kalau lo mau tanya-tanya tentang jadwal pelajaran, bisa kontak gue atau lain waktu, ya, Sal.” Wildan berdiri, membawa mangkok berisi bakso yang belum dinikmatinya sama sekali.
Meski sudah tak berselera lagi, aku terpaksa memakan bakso yang tersisa. Berada di sekitar cowok itu benar-benar membuat emosiku tak terkendali. Ponselku disita, remidi dadakan, kepala pusing, dan ... ah, pokoknya, cowok itu sering membuatku terkena masalah!
Menyebalkan.
***
Semoga saja guru pelajaran kali ini tidak memasuki kelas. Aku menginginkan jam kosong. Ya, mungkin ini permintaan yang tidak baik. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak ingin mendengarkan penjelasan guru yang membuatku semakin pening.
Mencoba memejamkan mata, dua detik kemudian langsung gagal. Aku mengerutkan kening ke arah Salsha yang tadi mencolek lenganku. “Apa?” tanyaku.
“Gue sebenarnya mau minta maaf.”
“Minta maaf kenapa?” tanyaku heran.
“Kan, gue yang membuat lo badmood karena kejadian di kantin tadi. Seharusnya gue nggak memanggil Wildan ....” Salsha mengucapkannya pelan. “Ma—“
“Sudahlah.” Aku memotong perkataannya. “Yang salah itu si cowok kurus. Dia selalu membuat gue badmood, entah di dalam atau di luar kelas.”
“Kok jadi Wildan yang salah?” Salsha tidak mengerti. “Dia justru peduli sama lo, Shaf. Dia tampak khawatir waktu gue bilang kalau lo lagi pusing dan dia yang ngasih minum waktu lo—”
“Peduli apanya! Waktu dia ngasih minum ke gue? Itu, kan, sudah suatu keharusan waktu ada orang yang tersedak.” Aku menyanggah. “Tapi, sebenarnya apa tujuan lo memanggil Wildan tadi?”
Mendengar sanggahanku, Salsha menghembuskan napas kasar. “Sepertinya, lo udah mau sembuh. Buktinya, lo bisa sewot lagi.” Salsha melanjutkan, “Tujuan gue memanggil Wildan adalah gue nggak menyangka kalau Wildan tadi pagi mengantar lo ke sekolah, jadi gue memanggilnya. Dan ternyata ... itu benar.”
Salsha tersenyum melihat wajah bingungku. “Dan lo tahu, Shaf, itu tandanya dia peduli sama lo. Selama ini, Wildan mana pernah tertarik dengan cewek.”
***
Kak Sandra menjemputku ketika aku pulang sekolah. Aku sempat terkejut. “Kak Sandra kok nggak bilang-bilang mau jemput gue?” tanyaku.
Ia menyipitkan mata melihat ekspresi datar di wajahku. “Lo nggak senang kalau gue menjemput lo?” Kemudian, ia menyerahkan helm padaku. Aku menerimanya sambil memaksakan senyum.
“Gue senang, kok.”
“Ya sudah, nggak usah memaksakan senyum gitu. Jadi aneh.” Kak Sandra berkomentar seenaknya. “Gue lagi nggak ada kerjaan di rumah.”
“Lo memang pengangguran, sih.”
“Hei,” Kak Sandra mendelik. “Gue nggak pengangguran, ya. Dasar adik ter-menjengkelkan sedunia. Sudahlah, ayo naik. Lalu, istirahat di rumah, jangan bermain ponsel terus.”
Aku duduk di belakang Kak Sandra. “Gue nggak bisa bermain ponsel sekarang, Kak.” Sengaja, aku mengucapkannya dengan nada sedih agar Kak Sandra membujuk Mama untuk mengembalikan ponselku. “Gara-gara Mama, sih.”
“Jangan salahkan Mama.” Hanya itu jawaban Kak Sandra. Sungguh tidak sesuai dengan ekspetasiku. “Harusnya, lo tanya ke diri lo sendiri, apa yang membuat Mama marah dan ponsel lo sampai disita.”
Bibirku membentuk lengkungan ke bawah. Aku menempelkan dahi ke penggung Kak Sandra dan tidak menanggapi ucapannya barusan. Kepalaku masih sedikit pusing. Mood-ku memburuk. Seolah mengerti, Kak Sandra tidak mengajakku bicara lagi. Pembicaraan yang melibatkan Mama selalu sensitif buatku.
-WILSHA-
Pendekkah? Huhu. Kalau iya, maaf.
Ada yang kangen dengan Wilsha, kah? Udah berdebu, nih, lapaknya. :D Gimana kesan kalian dengan bab ini?
Jangan lupa klik tanda bintang dan komentar di bawah, ya! 🌟 Komen apa aja, entah typo sampai curhat pun nggak masalah.
Selamat menunaikan ibadah puasa di 10 hari terakhir Ramadan. Nggak terasa, ya. Nggak rela mau pisah sama bulan ini. :(
Love,
260519
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top