2. Nilai
Dua : Nilai
Shafira’s POV
SEBELUMNYA, aku sudah menduga ini akan terjadi.
Aku hanya menatap wajahnya dengan tatapan kosong. Perempuan di hadapanku itu melihatku penuh emosi. Dengan wajah dan telinga memerah—ah, setiap hari juga begitu—dia menunjuk kertas di tangannya.
“Apa ini? Apa yang terjadi dengan nilaimu?” tanyanya.
Aku melirik ke arah lain. Menghindari manik matanya yang aku benci.
“Kenapa kamu diam saja?” Dia memegang kepalaku untuk melihat ke arahnya. “Lihat nilaimu. Apakah kamu nggak bisa memperbaikinya? Mintalah remidi atau tugas untuk meningkatkan ini!”
Aku tidak suka berada di situasi seperti ini. Ingin melawan, tapi dosa. Kalau diam saja, dia semakin marah karena tidak kunjung ku jawab. Lalu, aku harus bagaimana? Tatapan matanya makin menusuk.
“Aku nggak suka remidi.” Kuputuskan untuk menjawab tegas. “Tapi, bukankah ini termasuk bagus? Ini nilaiku terbagus di pelajaran matematika,” belaku.
Dia memijat keningnya, lalu melihat nilai yang tertulis di kertas itu sekali lagi. “Ini delapan puluh, Shafira. Delapan puluh. Kamu dulu pernah mendapat nilai seratus di matematika, kan?”
Aku menggeleng. “Itu dulu. Bagiku sekarang, delapan puluh sudah termasuk bagus.”
“Shafira.” Dia menekankan ucapannya, “Kamu harus bisa mendapat nilai seratus di ulangan selanjutnya.”
Seratus. Bagi orang sepertinya, apakah mudah untuk mendapatkan nilai itu?
“Seratus, ya.” Aku berpikir, “kalau ternyata aku mendapatkan nilai enam puluh tujuh, bagaimana?”
“Hei!” bentaknya. “Kamu ini bagaimana, sih? Enam puluh tujuh adalah nilai terburuk yang pernah aku dengar dari mulutmu. Pokoknya, mulai sekarang aku harus melihat angka seratus di tiap mata pelajaranmu.”
Setelah mengatakannya, dia melempar kertas itu ke meja—yang menyebabkan kertas itu terhempas ke lantai—dan meninggalkanku. Malas bagiku untuk mengambil kertas yang telah disentuhnya. Aku berdecih, sambil mengatakan kata kasar dalam hati—walaupun sebenarnya kata ini tidak pantas sama sekali.
Mama jahat yang aku temui lagi setiap aku pulang ke rumah.
***
“Kertas ulangannya siapa ini?”
Aku diam saja. tidak menanggapi ucapan Kak Sandra—kakak perempuanku—yang tampaknya baru pulang.
“Shaf,” Kak Sandra menemukanku di dapur yang sedang memasak mie. “Lo lagi buat apa?”
“Mie.” Jawabku singkat.
“Mie lagi?” Kak Sandra mendengus. “Enggak baik buat kesehatan lo. Besok jangan diulangi lagi, ya?”
“Kalau gue mengulanginya lagi, bagaimana?” aku membalikkan pertanyaannya. “Lo selalu memperingatkan gue dan gue selalu mengulanginya lagi. Lo nggak marah?”
Kak Sandra bersedekap. “Sebenarnya gue marah karena lo selalu mengulangi kebiasaan buruk lo dan lo kasar banget sama siapapun. Enggak peduli itu tetangga atau teman lo.” Kak Sandra mendekat, “Tapi, lo adalah adik gue. Gue pikir, gue nggak perlu marah-marah buat mengingatkan tingkah lo yang kasar itu. Gue nggak mau darah tinggi, hahaha.”
“Begitu, ya?” komentarku.
Memang benar sekali apa yang dikatakan Kak Sandra. Aku kasar pada semua orang. Bukan perilaku, tetapi mulutku yang sering berbicara pedas dan sering memotong perkataan orang lain. Kak Sandra selalu mengingatkanku. Bilang kalau hal itu tidak sopan. Dan aku selalu mengacuhkan ucapan Kak Sandra.
Tapi, aku menjadi kasar pada semua orang bukan tanpa alasan.
Aku meniriskan mie yang telah masak. Sambil mencampurkan mie dengan bumbu, aku bertanya, “Kak, mau makan mie bareng-bareng, nggak? Lo pasti lapar, kan?”
Kak Sandra mengangguk. “Nah, begitu dong. Adik yang baik. Eh, iya, jangan tidur terlalu malam nanti. Enggak usah banyak nonton drama dari ponsel,” nasehatnya.
“Jangan begitu, dong, Kak. Bagi gue, nonton drama itu wajib, tahu!” seruku kesal.
“Pokoknya, lo nggak boleh tidur larut malam!” Kak Sandra mengambil piring yang berisi mie goreng yang baru kumasak, lalu menatapku. “Dasar fangirl.”
***
Aku membuka laptop. Tanganku bergerak, mengetikkan sesuatu di sana.
“Hari ini, pulang sekolah, gue dimarahi Mama. Cuma gara-gara nilai gue yang buruk—katanya. Nilai delapan puluh, apa itu jelek? Gue pikir, itu bagus. Iya, menurut gue. Gue yang merasa kalau nilai itu nggak perlu dipermasalahkan.
Apa seorang murid harus punya nilai yang bagus? Gue jengkel setiap kali ingat pertanyaan itu. Jelas-jelas, gue jawab nggak!
Gue jengkel dengan semua hal yang berhubungan dengan nilai. For your information, I’m a bad girl. Gue ingin bebas tanpa ada tekanan yang namanya ‘ulangan’ dan ‘nilai’! Yah, meski gue anaknya malas belajar.
Sejak dulu sampai sekarang, ada satu pertanyaan yang selalu ada di otak gue. Kenapa tiap anak harus mendapat nilai bagus? Gue rasa, orangtua kadang terlalu menekan anak-anaknya. Seharusnya mereka mengajari anaknya, bukan malah menyuruh anaknya belajar sendiri. Kalau anaknya bodoh, anaknya juga yang disalahkan.”
Aku menyimpan tulisan itu dalam bentuk microsoft word. Tak lama, aku menekan folder lain yang bernama ‘Mas-mas Korea’. Dan muncullah berbagai macam lagu dari berbagai artis. Aku memilih beberapa video klip yang menurutku bagus, lalu memutarnya.
Lima belas menit memutar video klip, aku berhenti dan menekan tombol ‘close’. Kemudian, aku menekan tombol ‘shut down’ untuk mematikan laptop yang telah panas. Bukannya menyiapkan buku pelajaran, aku malah membuka ponsel. Sebuah aplikasi berwarna ungu menjadi tujuanku—instagram.
“Yes! Akhirnya EXO akan comeback!” seruku. “Enggak sabar buat dengar lagu barunya!”
Aku men-scroll layar. Lagu terbaru mereka berjudul ‘Tempo’. Teaser-nya akan muncul beberapa jam lagi. Oh, akhirnya! Aku senang sekali. Seolah lupa bahwa Kak Sandra tadi telah memperingatkanku untuk tidak tidur terlalu malam.
***
“Dasar adik nakal! Bangun, ayo bangun!”
“Aduh! Kenapa, sih?” Aku refleks duduk tegak dan mengucek mataku cepat. Rasanya sesak sekali karena debu-debu berterbangan. Keningku terasa sakit ketika seseorang memukulku dengan bantal berdebu itu. “Apa-apaan, sih..”
“Ssst!” Orang itu menempelkan jari telunjuk ke mulutnya. “Jangan keras-keras. Cepat mandi sana, sudah pukul enam.”
“Itu masih—hah, pukul enam?!” Aku memekik tanpa sadar. Ya Allah, ini pasti gara-gara tidur larut malam kemarin. Duh, lagipula kenapa drama kemarin itu ceritanya buat penasaran, sih—ups, ini masih pagi, aku tidak boleh mengeluh. Tidak baik.
Pukul enam lebih lima belas menit, aku beranjak menuju meja makan. Saat membuka tudung saji, mataku membelalak. Tidak ada satu makanan pun selain nasi. “Kak Sandra, mana ikannya?” aku memanggil Kak Sandra, berharap perempuan itu telah memasak sarapan untukku.
“Iya, Dik? Sebentar.” Terdengar sahutan dari perempuan yang kupanggil ‘Kakak’ itu.
“Shafira!”
Aku berbalik, terkejut melihat kedatangannya. Itu bukan Kak Sandra, tetapi Mama.
“Mulai sekarang, ponsel kamu disita. Kurasa, karena ponsel ini, kamu jadi malas belajar dan nilaimu banyak yang hancur.” Wanita itu memegang ponsel berwarna putih yang tak lain adalah milikku. “Apalagi nilai ulangan matematikamu minggu kemarin. Enam puluh tujuh. Aku kecewa, Shaf.”
Apa?
Aku tidak pernah memberitahunya tentang nilai ulanganku yang jelek, kecuali nilai delapan puluh di ulangan matematika—yang kutunjukkan kemarin. Ini aneh. Wanita itu... bagaimana dia tahu kalau nilai ulanganku terakhir kali sangat jelek?
Sial. Padahal ini belum berangkat sekolah, telingaku akan mendengar ucapan pedas darinya. Shaf, yang sabar, ya. Ini masih pagi.
“Aku jadi mengerti ucapanmu kemarin. Ternyata benar, kau mendapat nilai enam puluh tujuh. Sungguh sangat bagus nilaimu, Shaf.”
-FANGIRL X GAMERS-
Jangan lupa cek bila ada typo, ya. Akhirnya, aku selesai PAS dan mau liburan. Kalian yang lagi baca ini, apa rencana liburan kalian?
Gimana kesan kalian dengan bab ini?
Love,
rrrsyarifah
141218
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top