10. Berubah
Sepuluh : Berubah
“MAMA lo ke mana, Shaf?”
Aku yang sedang mengambil gelas-gelas kosong untuk ditaruh di tempat cuci piring langsung membatu. Salsha yang sedang menikmati biskuit juga ikut menghentikan kunyahannya. Wildan yang bermain ponsel langsung menatap Ariska—si penanya—dengan kerutan di kening.
Wildan dan Salsha memandangku, menunggu reaksi yang akan kuberi pada Ariska.
Aku benci dengan situasi ini. Salsha tentu saja tahu secuil fakta bahwa hubunganku dengan Mama yang tidak baik-baik saja. Sementara itu, aku tidak mengerti mengapa Wildan ikut menatap penasaran padaku, tatapan yang sama dengan milik Salsha.
“Gue harus pamit.” Ariska menyadarkanku yang begitu lama memberi respons. “Atau, Mama lo lagi nggak ada di rumah?”
“I-iya,” jawabku cepat, “nggak ada siapapun di rumah selain gue. Lo langsung pulang aja.”
“Ya ampun, lo langsung ngusir gue? Kasar banget.” Ariska terkekeh. “Oke, gue pamit, ya. Lo jangan malas-malasan lagi. Jangan malu-maluin kelompok kita. Dan juga, makasih, ya, Wil, buat hari ini.”
Kalau saja aku tidak sedang pusing, aku bisa saja menyahut ucapan Ariska yang berujung pertengkaran kecil nantinya. Seenaknya sendiri saja dia mengancamku untuk belajar. Apa, sih, urusannya denganku?
Aku bisa memaklumi kalau anak-anak kelas tidak menyukaiku karena aku telah mempermalukan mereka dengan mendapat nilai terburuk yang berakibat kelasku—yang terkenal unggulan—dicap jelek. Selain itu, aku suka pura-pura menunduk—agar tidak terlalu kentara bahwa aku tengah tidur—jika ada guru yang sedang menjelaskan suatu materi di kelas. Namun, sebenci-bencinya anak-anak kelas terhadapku, mereka hanya mengataiku atau sekadar melirik sinis. Tidak sampai berurusan lebih jauh.
Berbeda dengan Ariska.
Selain suka mengompori anak-anak lain untuk melontarkan ejekan padaku, dia juga mulai sering mendekatiku, menyindirku, dan mengucapkan kata-kata pedas tanpa kuketahui apa alasan sebenarnya. Sepertinya, sih, dia adalah cewek yang paling anti melihatku berada di kelas unggulan. Kalau saja bisa memilih, aku ingin berada di kelas mana pun, asal bukan XI IPA 1. Bertemu dengan Ariska benar-benar membuatku muak.
Jadi, kurasa tidak ada salahnya jika aku membenci Ariska.
“Shaf, lo nggak apa-apa?” Salsha bertanya.
Tidak, aku sedang tidak baik-baik aja. Mendengar kata ‘Mama’ selalu membuat suasana hatiku berantakan.
“Kak Sandra beneran nggak ada di rumah?” tanya Wildan. Dia sedikit sangsi dengan ucapanku tadi sebelum Ariska pulang. “Kalau ada, kenapa lo bohong?”
“Lo, kok, terlalu ikut campur, sih?”
Wildan dan Salsha berjengit kaget ketika aku meletakkan nampan—yang tadinya ingin kubawa ke dalam—dengan kasar ke meja. Dalam hati, aku bersyukur karena gelas-gelas di atasnya tidak pecah.
“Apa urusan kalian sampai mau tanya kebenaran ucapan gue?” Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memberi ekspresi marah dan terganggu ke mereka. “Lebih baik kalian pulang aja. Kegiatan kita udah selesai dan gue udah gak butuh kalian saat ini.”
Tentu saja, Shaf. Lo nggak butuh Wildan, Salsha, atau siapa pun saat ini. Hati kecilku berkata demikian. Lalu, dengan amarah yang masih tidak mereda, aku menyusun beberapa gelas yang sempat tumbang dan kembali mengangkat nampan untuk dibawa ke tempat cuci piring. Meninggalkan Wildan dan Salsha yang menatapku bingung.
***
Entah sudah berapa kali jarum detik di jam dinding melewati angka yang sama sejak aku menginjakkan kaki di dapur. Mungkin, ini sudah memasuki menit kelima sejak aku berdiri di sini. Mataku terpejam dengan kedua tangan yang berpegangan pada tepi tempat cuci piring. Iya, aku sedari tadi tidak segera kembali ke ruang tamu, ruang di mana Wildan dan Salsha yang mungkin menungguku kembali ke sana. Atau, mungkin saja mereka sudah pulang setelah kuusir.
Pusing di kepalaku bertambah. Biasanya, aku akan menyalahkan pelajaran yang membuat otakku panas. Namun, kali ini tidak. Aku tengah menggigit bibir, sebersit perasaan bersalah karena membentak Wildan dan Salsha muncul. Itu di luar kendaliku. Mulutku benar-benar tidak terkontrol.
Setahun yang lalu, aku tidak seperti ini.
Aku tidak sepemarah ini.
Satu-satunya penyebab di balik perubahan sikapku adalah Mama. Apa yang telah diperbuat oleh Mama membuatku menjadi seseorang yang kasar dan cuek terhadap orang lain. Oleh karena itu, aku mulai mendapat rasa benci dari orang-orang sekitar. Dan mereka—terutama teman-teman sekelas—mulai sering menghakimi untuk mengubah sifatku yang mendatangkan nilai minus dalam hal tingkah laku. Padahal, mereka tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya.
Namun, aku tidak berniat repot-repot menjelaskan. Biarkan saja mereka seperti itu sampai lelah mengingatkan. Aku tidak peduli.
***
“Mama belum pulang, ya, Kak?” tanyaku yang ditanggapi dengan gelengan kepala oleh Kak Sandra. Aku mengembuskan napas, menelan kekecewaan. Aku mengintip ke luar jendela yang mulai diselimuti gelap, tidak sabar ingin menunjukkan sesuatu yang kubawa kepada Mama.
Ini hampir Maghrib, seharusnya Mama sudah pulang. Kecemasan mulai melanda. Apakah Mama lembur malam ini? Oh, aku harus berpikir positif. Mungkin Mama masih di jalan. Aku berjalan mondar-mandir.
Adzan samar-samar terdengar. Mama masih belum pulang, dan aku semakin cemas sambil melirik-lirik jarum jam yang mulai menunjukkan pukul setengah tujuh.
“Udah makan belum?” Kak Sandra mendekat dan menanyaiku. “Dari tadi lo di sini?”
“Iya,” jawabku singkat, “udah, udah, pergi sana. Jangan ganggu gue.”
“Mama sebentar lagi pulang, kok.” Kak Sandra memegang pundakku dan memerintahku untuk makan dan salat. Katanya, tanpa ditunggu pun Mama pasti pulang. Nada Kak Sandra yang tenang tetap tidak membuat rasa gelisahku berkurang.
“Hari ini Mama lembur, nggak, Kak?” Aku menyingkirkan tangan Kak Sandra yang masih berusaha menyeretku menjauh dari jendela. Karena Kak Sandra menjawab “Nggak”, maka aku memutuskan untuk bertahan yang membuat kakak perempuanku itu menyerah.
“Terserah lo, tapi jangan lupa kalau sekarang udah mau Isya, Shaf.”
Tepat ketika Kak Sandra membalikkan badan, aku menangkap sebuah mobil yang memasuki pekarangan rumah. Mataku menyipit, merasa asing dengan mobil tersebut. Kemudian, terlihat pintu pengemudi terbuka dan seorang pria keluar dari sana. Dia berjalan memutar menuju pintu penumpang, kemudian membukanya. Seorang wanita—yang ternyata adalah Mama—keluar dan tersenyum. Dari gerak bibirnya, kutebak bahwa Mama mengucapkan terima kasih kepada sang pria.
Jantungku mencelos ketika mengenal wajah pria yang mengantar Mama tersebut. Mataku yang semula menyipit seketika melebar. Tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Pandanganku mengikuti sosok Om Raka, nama pria tersebut, yang sekarang melanjukan mobilnya, meninggalkan halaman rumahku. Sementara Mama mulai mendekat ke arah pintu. Dengan wajah yang—tampaknya—senang meski ada raut lelah di sana.
“Ya Allah, kamu bikin kaget aja.” Mama berjengit, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mengetahui keberadaanku yang tak jauh dari pintu. “Kenapa kamu di sini, Shaf?”
Aku tiba-tiba gelagapan. Dengan segera, aku menyadarkan diri dan berkata, “O-oh … itu, aku mau nyerahin ini.”
Tanganku mengangsurkan kertas di hadapannya. Kemudian, kesenangan yang terpatri di wajah Mama semakin bertambah. “Nah, benar apa yang Mama bilang. Kamu sebenarnya bisa kalau mau berusaha. Akhirnya, kamu bisa dapat nilai seratus, kan?”
Seharusnya aku ikut senang seperti wanita di hadapanku. Namun, apa yang keluar dari mulutku bukanlah ucapan terima kasih karena pujian darinya, melainkan, “Segitu pentingnya, ya, nilai ulangan buat Mama?”
“Penting.” Mama mengembalikan kertas itu. “Biar nilai rapormu bisa terbantu. Bukannya enak kalau kamu dapat nilai bagus? Kamu bisa daftar ke kampus lewat SN—”
“Kalau aku nganggap nilai itu nggak penting, gimana?” tanyaku memotong.
“Maksudmu?”
Sejak mengenal yang namanya sekolah, aku selalu diajarkan untuk bisa mendapat nilai yang bagus di kelas. Bukan berarti aku dituntut untuk mendapat nilai sempurna, melainkan diwanti-wanti untuk mempertahankan nilai agar tidak naik-turun terlalu ekstrim. Memasuki sekolah menengah atas, aku berkali-kali diingatkan tentang hal sudah kuhafal di luar kepala itu.
Namun, untuk kali ini, aku merasa bahwa hal itu sia-sia.
“Buat apa nilai bagus kalau ujung-ujungnya hanya untuk daftar ke kampus?” Aku tidak tahu mengapa aku bisa berkata seperti ini, dan balasan yang kudapat adalah mata Mama yang menatap marah padaku. Tentu saja. Mama, orang yang selama ini mementingkan dan mengawasi kestabilan nilaiku, mendapat bantahan dari anaknya secara tiba-tiba. Siapa yang tidak akan marah sekaligus kecewa?
“Apa yang kamu bilang?”
Aku tidak menjawab, justru masuk ke kamar dan membiarkan tangan Mama yang memegang kertas tetap menggantung di udara. Aku juga menulikan telinga ketika Mama mencoba mencegah langkahku dengan memanggil namaku berulang kali. Panggilan yang diucapkannya dengan nada tidak mengerti, terkejut, dan marah yang bercampur menjadi satu.
Malam itu, untuk kali pertama, sikapku kepada Mama tak sama lagi.
Sejak itu, ucapan-ucapan bernada menyakitkan mulai sering keluar dari mulutku. Mama yang telah terang-terangan menunjukkan kekecewaan besar terhadapku mulai bersikap dingin. Mendapat ucapanku yang isinya mulai berupa bantahan dengan nada menantang, perkataan Mama juga ikut berubah. Dan itu membuat hubungan kami mulai merenggang. Hubungan antara ibu-anak yang awalnya normal-normal saja, berubah menjadi hubungan dua orang dengan kekecewaan di hati masing-masing.
Dalam kamusku, aku dan Mama menjadi dua orang yang saling membenci. Dan itu bertahan hingga setahun kemudian.
***
Aku berjengit ketika Kak Sandra memanggilku. Tangannya menunjuk keran air yang terbuka sejak aku meletakkan gelas-gelas tadi. Dengan cepat, aku menutupnya. Pandanganku kosong sedari tadi, sampai tidak menyadari sudah berapa liter air terbuang percuma.
“Biar gue cuciin. Lo ke luar aja, temenin teman-teman lo.” Kak Sandra menggeser posisiku. Dia membuka keran lagi, kemudian mencolek sabun cuci dengan spons. Sembari membilas gelas, dia bertanya lagi apakah kegiatan belajar bersama tadi pagi sudah selesai.
Aku mengangguk. Tanpa banyak bicara, aku segera kembali ke ruang tamu. Wildan dan Salsha ternyata belum pulang.
“Kayaknya lo butuh waktu sendiri, ya?” Salsha adalah orang pertama yang berbicara setelah menyadari keberadaanku. Cewek yang tadi bermain game dengan Wildan itu langsung berdiri dan membereskan peralatannya. “Gue sama Wildan mau pulang aja. Semoga badmood lo cepet ilang.”
Meski Salsha mengatakannya dengan nada cuek, aku tahu bahwa ia tengah mati-matian menahan rasa ingin tahunya. Ia lebih memilih membiarkanku menenangkan diri daripada mencecarku dengan pertanyaan mengapa aku tadi menumpahkan amarah kepadanya dan Wildan usai Arishka pamit pulang.
Sahabat yang baik. Aku beruntung memiliki Salsha.
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya, aku juga ingin meminta maaf, tetapi kata itu tertahan di tenggorokan.
Kemudian, Salsha ke luar bersama Wildan. Aku baru menyadari jika Salsha berangkat dan pulang bersama cowok itu. Ada sedikit kecurigaan yang muncul dalam diriku. Yang kutahu, mereka tidak lebih dari sekadar teman. Namun, separuh pikiranku yang lain membantah, berteman bukan berarti tidak boleh menggunakan kendaraan yang sama, bukan? Seperti aku dan Wildan yang berangkat bersama ke sekolah beberapa hari yang lalu.
-WILSHA-
Selamat Tahun Baru 1442 Hijriyah (terlambat dua hari)! Untuk yang beragama Islam, semoga bisa menjadi lebih baik daripada tahun kemarin, lebih kuat imannya, dan … (silakan berdoa sendiri, apa saja harapan kalian. Selama itu hal-hal yang baik dan berguna bagi diri kalian sendiri, akan kubantu dengan ucapan ‘aamiin’!).
Kita sudah berada di rumah selama x hari alias sudah nggak terhitung kita menghabiskan banyak waktu di rumah sejak pandemi. Gimana perasaan kalian? Masih betah di rumah, atau segera ingin jalan-jalan?
Tapi, kalau jalan-jalan ke luar jadinya serem, mana penularan virusnya cepet banget. :’) Kita bahkan nggak tahu apakah kita membawa virusnya atau nggak.
Hm, mari beralih topik. Membahas virus malah bikin nambah pikiran.
Jadi, gimana kesan kalian dengan bab sepuluh ini?
Masa lalu—penyebab sikap Shafira yang menjengkelkannya minta ampun—mulai kubuka satu persatu. ><
Sekali lagi, aku minta maaf karena nggak bisa menjanjikan jadwal update. Huhu. Buat yang masih bertahan sampai sini, kuucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Buat yang meninggalkan jejak, terima kasih juga! It means a lot for me. 😭❤️
Love,
Rifa
220820
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top