William Hakase Lore Story
Benua eropa pada abad ke-14, saat dunia perlahan berkembang dengan berbagai pengetahuan baru, apa yang paling membekas dari sang pria sampai sekarang adalah pernyataan yang menjadi awal mula malapetaka; pernyataan dengan suara bersorak hebat dari sosok berpengaruh, penuh dengan rasa percaya diri--- memandu masyarakat eropa untuk percaya dan mengikuti. Apakah manusia seperti itu? Mereka lebih mengikuti arus konyol tanpa sisi intelektual pasti, memercayai informasi yang tidak bisa dibuktikan secara sains. Tidak logis. Pembodohan publik. Apa yang diuntungkan hanyalah ketenaran kelompok tertentu. Jika saja kebenaran mudah dikejar dari satu mulut manusia, mengapa kita masih saja menderita?
Sang pria mengalami pengulangan memori kejadian lalu, pada saat salah satu tokoh agama menyampaikan deklarasi konyol, ia langsung dirasuki ketakutan setiap malamnya. Bukan karena nyawa pribadi sedang dalam ancaman, tetapi nyawa beberapa binatang yang mati-matian ia sembunyikan di dalam rumah sederhana milik keluarga. Masyarakat bergantian mengelilingi jalanan dengan obor di tangan mereka, berteriak dengan satu kalimat bermakna sama setiap harinya, yaitu
'Kucing adalah jelmaan iblis, media mereka untuk hidup di dunia! Penyihir memelihara mereka untuk ilmu hitam!'
Tidak, tidak, kalian tidak salah dengar.
Itulah kenyataan sejarah pada masa lampau, karena mulut pemimpin gereja menciptakan teori tidak masuk akal, entah takut pengaruhnya diragukan atau dengan alasan lain, ia mengatakan bahwa seluruh kucing harus dibunuh karena berkaitan dengan iblis dan penyihir. Mulai saat itu, seluruh kucing jalanan ditangkap; ada yang membunuh dengan cara memukul dengan batu, membakar secara massal, menggorok dengan senjata tajam, dan--- Ah, sang pria tidak mau mengingatnya, walaupun tidak bisa menyelamatkan semua, sang pria dan keluarga sempat membawa 3 ekor kucing masuk ke dalam rumah, menyembunyikan binatang tidak bersalah dengan usaha mati-matian.
"William." Sang pria teringat dengan suara yang ia rindukan, panggilan dari sang ibu dengan suara dan senyuman lebut, penuh dengan kasih sayang--- menatap simpatik sosok anak dengan tiga kucing dipangkuan. William memang mencintai kucing sejak kecil, mungkin kejadian tersebut adalah trauma memberatkan baginya. "Sayang, Ibu memang berat mengatakan ini, tetapi kita tidak bisa terus menerus menyembunyikan mereka. Tetangga mulai memeriksa seluruh isi rumah atas persetujuan pemimpian gereja."
William menggertakkan gigi, masih membuang pandangan karena tidak mau memerlihatkan wajah penuh emosi kepada sang ibu. Salah satu tangan terkepal erat seiring satu tangan lain mulai mengusap ketiga kucing secara bergantian. Sang ibu sendiri menyimpan kesedihan di dalam hati, berjalan ke arah William hingga berakhir duduk di pinggir kasur; memandang sang anak yang sedang setengah berbaring. Tangan bergerak, mengusap puncak kepala William. Helai rambut hitam terasa lembut pada setiap usapan.
"Ayahmu dicurigai oleh tetangga sebelah karena ia tidak menyadari terdapat bulu kucing pada pakaiannya." Sang ibu hampir menangis, tetapi saat William memandang dengan tatapan berat, tangisan tersebut berusaha ditahan semaksimal mungkin. William sendiri terkikis saat sang ibu berusaha memberikan senyuman penuh paksaan serta kedua sudut bibir yang bergetar berkat kesedihan mendalam. Apa ada yang salah? William pun memohon dalam hati agar ketiga kucing di atas pangkuannya mendapat keselamatan.
Walaupun begitu, satu kalimat yang terakhir William ingat sebagai serpihan memori membekas, menjadi dendam tersirat yang tidak pernah ia sadari dalam hidupnya---
"Besok mereka akan memeriksa rumah kita dan kita harus menyerahkannya--- karena anak tetangga sebelah melihatmu bermain dengan ketiga kucing dari jendela luar rumah lalu melaporkan. Maafkan Ibu, Sayang, seharusnya tidak ada celah di jendela rumah kita, tapi---"
!!!
William terbangun mendadak dengan detak kencang pada jantung, merasa syok berat berkat mimpi bagaikan alam neraka tanpa ujung--- tubuh refleks memosisikan diri duduk saat ia pada awalnya sedang berbaring di atas kasur dalam posisi tidur. Napas terengah diikuti kedua mata membelalak. ia sangat tidak menyukai sensasi pagi hari seperti ini. Mimpi dengan ingatan buruk seakan seperti kutukan kecil, mengapa kecil? Karena sekarang ia mendapat kutukan yang jauh lebih besar dan mengerikan.
Memutuskan menghela napas panjang demi menenangkan diri, sang pria beranjak berdiri dari kasur, pendengaran menangkap samar teriakan bercampur tangisan orang-orang dari luar rumah. Tidak baru, baginya, karena setelah kejadian pembunuhan massal kucing yang dianggap sebagai iblis, malapetaka baru muncul secara cepat. Apa itu? Wabah penyakit manusia. William membersihkan diri sebagai persiapan awal untuk beraktifitas, menikmati sarapan sederhana seorang diri sembari kedua tangan sibuk mencampurkan daun mint, bunga mawar, dan bunga carnation sebagai 'pewangi alami'. Ia telah mengenakan jas, sepatu, sarung tangan, serta topi hitam dari bahan dasar kulit yang menutupi seluruh tubuh demi kelangsungan pekerjaan. Mengunyah gigitan terakhir selembar roti dan meneguk segelas air, ia menaruh pewangi tadi ke dalam masker berbentuk burung pada bagian paruh lalu mengenakannya.
"Aku pergi dulu."
Tidak ada siapa-siapa yang membalas, William mengatakan demikian seiring membuka pintu rumah saat tangan berhasil meraih satu tongkat hitam di pinggir tembok. Mungkin di dalam pikiran, ia berusaha menghibur diri sendiri dengan suara terbayang. Sekarang ia hidup di dalam rutinitas, melakukan hal sama seorang diri cukup membuatnya lelah menjalani hidup. Tidak ada anggota keluarga serta tiga ekor kucing yang menantinya untuk pulang.
Doctor Plague.
Sebutan untuk kelompok dokter yang diutus untuk mengakhiri malapetaka bernama The Death Black. Pemimpin gereja sendiri tidak mau mengakui kesalahannya, menganggap bahwa wabah dahsyat ini disebabkan oleh amukan iblis yang tidak cukup kuat mereka cegah. William sendiri mendecak kesal dengan pemikiran tidak logis tersebut; ia sangat membenci orang yang berbicara tanpa pembuktian pasti. Apa yang ia percayai adalah fakta bahwa meningkatnya populasi tikus setelah 200.000 kucing dibunuh begitu keji. Tikus yang mudah beranak kini membawa virus mematikan kepada manusia, di mana virus tersebut masih dicaritahu seperti apa dan cara penyembuhannya.
"Dokter." Tidak menyadari perjalanan singkatnya, seseorang dalam busana sama terlihat memanggil dari kejauhan seiring melangkah mendekat. Mau bagaimanapun dengan pakaian kembar, mereka hanya bisa memanggil sesama dengan sebutan dokter--- kecuali mengingat suara masing-masing di balik masker. "Aku membutuhkan bantuan di sini, bisa tolong sebentar?"
Sosok di hadapan William memutuskan berhenti melangkah, mengayunkan tangan sebagai isyarat untuk mengikutinya--- sang pria sendiri mengangguk, mulai berjalan sesuai dengan arah lawan bicara yang membalikkan badan, ia sendiri mempercepat langkah hingga berjalan berdampingan.
"Hari mendung seperti biasa, padahal bulan seperti ini seharusnya kemarau." Orang asing di samping William membuka topik, karena jujur saja sang pria tidak mengenali pemilik suara tersebut. Ia hanya tahu bahwa lawan bicaranya adalah seorang perempuan, mungkin sudah menginjak usia 30 tahun. Berpostur tinggi serta langsing, wangi bunga mawar lebih dominan mencuat keluar dari balik topeng masker.
"Ya, benar, tapi aku lebih menyukai situasi seperti ini---"
William mencegah kalimatnya karena tersadar dengan artian ambigu, kedua mata memandang sekitar jalanan eropa yang begitu tragis dan menyedihkan. Terdapat tumpukan mayat, di mana para dokter ditugaskan untuk mengumpulkannya pada satu titik agar mencegah penularan, ada juga barisan orang yang sudah terkena tanda penyakit; dari gejala ringan hingga berat. Mereka menangis dan memohon para dokter di hadapan mereka untuk disembuhkan, ada juga yang sudah berada dalam kondisi sekarat--- berteriak meminta ampun sembari berdoa untuk mujizat. Oh, ada juga yang marah dan bersumpah kepada banyak orang agar menyusul nasibnya. Pagi hari saja sudah membuat para dokter kewalahan dengan situasi berulang seperti ini.
"--- Maksudku situasi cuacanya, bukan situasi sekitar." William membersihkan tenggorokkan dengan melepas batuk buatan, berucap sedikit gugup karena baru saja mengeluarkan kalimat ekstrim. Ia menoleh ke arah lawan bicara dan sedikit berharap bahwa perempuan tersebut menganggapnya tidak serius. Hal yang William tidak tahu, dokter wanita melepas senyuman tipis di balik topeng. Kebanyakan dokter memang sudah cukup muak dengan kelakuan masyarakat yang dengan mudah memercayai perkataan pemimpin gereja, karena dokter lebih berpikir logis.
"Siapa namamu?"
"Panggil saja William."
William langsung menjawab, membuat sang wanita melepas kekehan pelan. Mereka berhenti tepat di hadapan tumpukan mayat yang cukup tinggi--- di mana puluhan gagak mendadak bersuara seiring terbang menjauh karena kehadiran mereka. Walaupun beberapa gagak kelaparan tampak tidak peduli, mengoyak daging mayat dengan paruh dan cakar. Jika saja tidak ada pewangi di dalam topeng mereka, sudah dipastikan mulut akan mengeluarkan sarapan yang sudah dicerna tadi.
"Maaf, tapi diriku enggan memberitahu nama, jadi panggil saja dengan sebutan dokter." Sang wanita meminta maaf dengan suara bersalah, mungkin tidak ingin informasi personal diberitahu karena alasan tertentu. William mengerti, lagipula memberitahu namanya tadi tidak mempengaruhi apa-apa, ia menganggap bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi setelah kepergian mereka.
"Tidak masalah, jadi dirimu membutuhkan bantuan apa, dokter?" William bertanya, mengeratkan masing-masing sarung tangan dengan menarik bagian bawahnya secara bergantian. Wanita tersebut menunjuk menggunakan tongkat, memerlihatkan salah satu mayat dengan kondisi paling sehat dari gejala, tetapi sudah dalam kondisi meninggal.
"Mayat perempuan ini tidak mati karena virus." Sang wanita berucap dengan serius, William sendiri memastikan sebentar--- mengarahkan ujung tongkat, membuat kepala mayat tersebut mengarah kepadanya lebih jelas. Memang benar, gejala sang wanita seakan tidak memerlihatkan indikasi khusus dari virus. Terdapat garis luka pada bagian sebelah kiri dan kanan leher. Kedua mata terbuka dengan bekas air mata mengalir pada pipi. Perempuan ini mati dicekik.
William mengusap bawah dagu, dokter amatir saja akan tahu bahwa mayat perempuan muda ini mati karena dibunuh, lalu sengaja ditaruh ditumpukan paling bawah agar tidak disadari. Sayang sekali, dokter wanita di sampingnya justru memiliki waktu luang untuk memeriksa. Luar biasa, sang pria pikir, tetapi sedaritadi tubuhnya terasa panas. Campuran antara baju tertutup serta fenomena sejak tadi; melihat mayat-mayat membuat otak memutar kembali kenangan buruk sebulan lalu, di mana teman baiknya memutuskan mengakhiri hidup dengan cara gantung diri setelah kehilangan pasangan hidup yang sedang mengandung 6 bulan karena wabah tragis. William menggeleng kepala cepat, berusaha menghilangkan kenangan buruk tersebut,
Ironinya otak masih membayangkan bagaimana mayat temannya tergantung mati dengan mulut dan mata terbuka lebar saat William mencoba masuk ke rumah untuk berkunjung karena khawatir. Bau busuk menusuk hidung, lalat-lalat yang sudah mengerumuni, tubuh mengurus seakan bersatu dengan bentuk tengkorak.
"William? Kau baik-baik saja?"
Sang wanita melambaikan tangan tepat di depan wajah William.
"O-Oh, maaf, aku sedang berpikir." William berbohong seiring memberi tatapan kepada dokter wanita di samping. "Jadi apa yang harus kulakukan?"
"Aku tidak bisa membuat laporan khusus mengenai ini, jadi bisakah kau melaporkannya kepada atasan? Perlu waktu cukup lama dalam proses sedangkan diriku baru saja mengandung, aku membutuhkan lebih banyak istirahat."
Kebetulan sekali.
"Selamat untukmu, Dokter. Semoga suamimu terus dalam keadaan sehat selalu."
William hanya bisa berharap dan mengucapkan kata-kata baik, ia ikut merasa senang saat sang dokter wanita mengusap pelan bagian perutnya. Dokter itu sendiri kembali tersenyum, walaupun sang pria tidak akan tahu bagaimana senyuman pahit diulas dengan rasa khawatir dan gugup, seakan menyimpan suatu rahasia besar yang tidak boleh diketahui siapapun. William berakhir bingung dan takut bahwa ucapannya meleset saat sang wanita tidak langsung menjawab.
"Apa aku salah mengucap?"
"Tidak, tidak. Suamiku dalam keadaan sehat, ia salah satu anggota gereja. Jadi sepertinya akan sibuk ke depan."
William mengerutkan alis, cukup mengejutkan seorang dokter dengan pikiran logis bisa bersama dengan kelompok fanatik yang lebih memainkan imajinasi. Lagi-lagi, William sangat tidak menyukai orang yang melakukan hal sembarangan, apalagi sampai menjadi penyebab wabah mengerikan seperti ini. Tetapi itulah hidup, perlakuan buruk manusia akan dibayar dengan karma sedemikian rupa. Bukankah ironi saat tumpukan mayat kucing kini berganti menjadi tumpukan mayat manusia? Saat manusia mati, mereka terlihat sama saja seperti binatang. Kecuali keluarga dan temannya--- mereka tidak pantas mengalami takdir seperti ini.
Mendadak saja, langit mendung mulai meneteskan air hujan secara bertahap, William menoleh ke arah atas--- entah kenapa merasa lega saat rintik jatuh pada dirinya. Menutup mata di balik topeng sejenak, darah serta bau mayat mulai tersapu oleh aliran air hujan dengan mudah. Meninggalkan bau khas dari campuran tanah dan air.
Ia menyukai hujan.
"Dokter, kembalilah ke dalam ruangan, biarkan diriku menyelesaikan sisanya."
Sebagai pelaksana tugas, William akan menyelesaikannya, terlebih lagi saat ia sudah menerima permintaan seseorang. Sang dokter wanita hendak membalas, tetapi diurungkan saat ia sudah melihat sang pria bertekuk satu lutut untuk mengecek mayat tadi; hawa serius keluar di sekitar tubuh, tetapi terasa menenangkan pula seakan William mendapat kedamaian hati walaupun hanya sementara. Wanita tersebut mengangguk pelan, hendak meneduhkan diri demi kesehatannya dan sang bayi, ia berjalan pergi, sempat meninggalkan kata yang cukup membekas dalam pikiran William.
"Terima kasih, dan aku sangat berduka atas kepergian keluarga serta ... ketiga kucingmu."
Hanya dengan menanyakan nama, kisah seseorang bisa saja membekas melaluinya.
.
'Entah bagaimana caranya, kehidupan William terasa lebih panjang. Ia belum merasakannya secara signifikat, tetapi entah kenapa diri tahu menahu dengan sangat baik. Saat seluruh mayat memenuhi kota eropa, seluruh jiwa membekas tampak berterbangan bebas--- berusaha meraih dirinya. Seperti ia menyerap seluruh sisa nyawa yang seharusnya dari para sosok berumur panjang, sang pria ditakdirkan menjalani hidup panjang seakan mewakili kehidupan mereka tanpa karma menyedihkan.'
.
William merenggangkan otot serta punggung, sedikit menguap setelah selesai menulis laporan melalui kertas dan tinta. Menurut sang pria, mayat wanita telah dibunuh kurang lebih tiga sampai empat hari lalu, sang wanita memiliki penyakit kulit--- membuat permukaannya terasa kasar karena perubahan suhu. Terdapat bekas kekerasan pada tubuh serta daerah bawah, ya, korban pelecehan. Saat sang pria bertanya kepada orang setempat, ternyata sang perempuan adalah gelandangan yatim piatu, menjadikan siapa saja bisa menjadi pelaku. Hanya saja apakah ada waktu bagi mereka untuk mencaritahu dalang di balik kasus ini? Menurut pemikiran logis William, kertasnya akan dibuang begitu saja karena menganggap menangkap pelaku hanya membuang waktu pada kondisi seperti ini.
Sang pria bersandar pada kursi kayu, apa yang terpenting setidaknya ia sudah berusaha dan membantu sang dokter wanita. Jika bertemu lagi besok, mungkin William akan menceritakan isi pikiran mengenai opininya. Opini mengenai kenyataan pahit, tentu saja.
'Tok, tok.'
William sedikit terkejut saat mendengar pintu rumah diketuk saat langit sudah menunjuk tengah malam, bukan karena ketakutan, tentu saja, hanya saja baru kali ini ada seseorang yang melakukan hal tersebut. Kulit berwarna agak pucat kini lebih sedikit memucat berkat keterkejutan bercampur udara dingin malam hari, memutuskan bangkit dari kursi, sang pria sudah meminta orang tersebut untuk menunggu, tetapi beberapa detik kemudian ketukan kembali didengar--- terdengar lebih terburu-buru. Sang pria menaikkan salah satu alis, dengan cepat menggunakan topeng masker yang masih berada di atas meja, tentu saja was-was adalah hal prioritas. Ia pun berjalan cepat ke arah pintu rumah untuk membuka.
"Siapa---"
William melebarkan kedua kelopak mata di balik topeng masker, napas sedikit terhenti saat mengetahui siapa yang datang. Otak kembali mengingat di tempat yang sama seperti sekarang, sesosok ibu dan anak lelaki berumur 5 tahun dengan angkuh berdiri di depan rumah, memaksa menyerahkan tiga kucing di dalam rumahnya dengan ekspresi jijik sembari memaki William serta keluarga; menyumpahi mereka untuk mati karena telah melindungi hewan yang dianggap sebagai iblis, peliharaan penyihir. Ya, mereka adalah pelaku yang melapor tentang keberadaan kucing yang ia selamatkan satu tahun lalu.
Tetapi sekarang, terlihat sang ibu mengalami kondisi mengenaskan, seluruh jari menghitam dengan tubuh gemetar, napasnya terlihat sesak dan sulit dikeluarkan. Tubuh sangat pucat, bau busuk mulai keluar dari kulit tubuh. Menggigil dan kelelahan.
Sedangkan anak lelaki digendongannya jauh lebih parah, kondisi sama seperti sang ibu, tidak sadarkan diri, ada hal yang berbeda--- aliran darah segar sudah keluar dari lobang telinga, sudut mata, hidung dan mulut. Kulitnya terlihat membusuk dan terkoyak, memerlihatkan daging yang terekspos jelas pada pandangan.
William masih terdiam, memandang mereka bergantian dan tidak mengatakan apa-apa, ia pria yang sangat tenang serta tidak banyak bicara.
"Jangan pedulikan nyawa saya, tetapi tolong selamatkan anakku!"
Sang ibu tetangga merintih dengan suara yang sulit dikeluarkan, tetapi dipaksakan demi sang anak.
"Saya mohon, selamatkan anak saya, itu saja, bagaimana caranya! Saya akan memberikan semua ... harta, uang, barang---"
Suara sang ibu sedikit terendam dalam pikiran sang pria, ia mengingat jelas momentum menyebalkan saat sosok ibu di hadapannya masih menghina saat anggota keluarga meninggal akibat virus. Entah kenapa, keluarga William adalah korban fase pertama dalam wabah mematikan dan parahnya lagi, sosok ibu ini malah menyebar informasi palsu bahwa keluarga William mendapat kutukan karena telah menyimpan jelmaan iblis. Sedangkan William? Ia hanya bisa menangis di pinggir kasur, bergantian menggenggam tangan anggota keluarga yang secara bergantian meninggalkannya satu per satu. Keluarga William mengingatkannya untuk tidak menyimpan dendam, merelakan kepergian mereka serta berdoa agar sang pria berumur panjang, tidak menyusul mereka.
"..." Entah apa yang dipikirkan William, kedua tangan lebih cepat bergerak dibandingkan mulut. Ia ingin mengatakan bahwa kedua tangan harus lebih cepat beraksi daripada mulut sampah seperti itu, tetapi sang pria mengurungkan diri karena menganggap sang ibu sudah mendapat ganjarannya.
William memeriksa, tetapi aneh, ia sudah sedikit menyadari satu fakta; dada sang anak tidak terlihat kembang kempis--- Ya, saat sang pria menaruh jemari di bawah hidung, ia sudah yakin bahwa anak digendongan ibu sudah tiada.
"Anak Anda sudah meninggal."
William harus jujur.
"Tidak, tidak! Dia masih hidup, lihat, tubuh anak saya masih hangat." Sang ibu menyodorkan anaknya ke arah depan, meminta William menyentuh. Sang pria menelan ludah, hendak memberitahu bahwa sang ibu terlambat beberapa menit. Tetapi ia bungkam saat ibu tersebut menangis hebat, masih berada pada titik menerima dan menolak.
"Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, sama seperti kondisi ibu sekarang."
William kembali jujur, pupil hitam menatap mereka penuh ironi. Bagaimana takdir seseorang bisa berubah dengan mudah bagaikan roda berputar, lagi-lagi hawa tidak mengenakkan muncul; saat sang anak benar-benar tiada dengan kehangatan yang perlahan menghilang, sang pria merasakan hawa tersebut mengarah dan diserap kepadanya. Seakan ia diberikan nyawa atas celaka banyak orang.
"Tolong kembali ke rumah Anda dan setidaknya coba minum ini untuk meredakan rasa sakit." William mengambil botol kaca obat berisi cairan pekat di dalam saku, memberikan kepada sang ibu dengan nada tenang. Sang ibu sendiri tidak berkomentar apa-apa karena kelelahan, tetapi menerima dengan ekspresi tanpa semangat hidup, kedua pupil menggelap seakan jiwa mulai mati. Sosok di hadapan William mengangguk, mulai membalikkan badan.
"Apa ingin saya membantu menguburkan---" William berhenti berbicara saat sang ibu langsung menggelengkan kepala, telah menerima kenyataan bahwa sang anak sudah tiada dan ia sendiri akan menyusul. Sang pria memandang mereka cukup lama hingga keberadaan ditelan oleh kegelapan malam, becampur aduk antara sedih, bingung, marah--- apakah wabah ini akan terus ada selamanya?
William sebagai dokter, bagaimana pun caranya, akan mencari cara untuk menghilangkan wabah mematikan ini. Puluhan hingga ratusan tahun, mungkin, semoga kutukan ini perlahan menghilang seiring diri menjalani tugas sebagai sosok doctor plague.
.
.
Atau mungkin tidak.
Untuk kedua kalinya, William membuka sepasang kelopak mata, tetapi kali ini dengan kondisi tenang dan situasi kondusif, ia berganti posisi duduk--- kedua mata menyipit saat cahaya matahari menembus masuk ke ruang kamar, jemari menggosok depan mata demi menghilangkan pandangan buram akibat efek cahaya pagi. Di mana sekitar ruang dipenuhi dengan perabotan modern, begitu pula meja komputer. Kenyataan pahit atas kutukan, William masih hidup sampai era sekarang, seluruh momen dahulu sudah dilewati; kabar baik di mana wabah Black Death telah usai hanya menjadi satu dari beberapa alasan mengapa sang pria bahagia. Tidak ada korban jiwa lagi, tetapi benarkah begitu?
"Lelah sekali hari ini." William mengeluh, bergumam pelan, samar mendengar klakson mobil dari luar rumah, sepertinya jalanan cukup sibuk pagi ini. Sang lelaki menghapus niat untuk merebahkan diri lagi, bangkit dan hendak mencuci muka di dalam kamar mandi. Seperti biasa, ia harus melakukan produktifitasnya walaupun menginjak hari liburan.
Saat tubuh berdiri tepat di depan kaca kamar mandi, ia membeku sejenak saat pandangan menangkap refleksi. Menatap dirinya sendiri membuat sang pria membayangkan 'sosoknya di masa lalu', masih mengenakan busana lengkap doctor plague, sosok bayang tersebut tampak mengarahkan tangan ke depan seakan ingin menyentuhnya dari sisi lain. Pemandangan di balik tubuh dari masa lalu mendadak muncul, tidak lain adalah tumpukan mayat keluarga dan teman baiknya. William mengerang pelan, dengan cepat menunduk untuk menghilangkan pemandangan mengerikan. Mau bagaimana pun, selagi dia masih hidup abadi, sang pria akan mengingat bagaimana kejadian itu merenggut kehidupan normalnya. Seharusnya ia hidup normal dengan keluarga serta teman-teman, mungkin menjalani kehidupan baru berupa membangun keluarga bersama dengan pasangan hidup.
Tetapi kenyataannya William hidup dengan kondisi fisik sama, takut diburu oleh banyak orang atau oknum gila, sang pria mencoba menjalani kehidupan di balik bayang. Beberapa orang yang tidak sengaja mengetahui, memberitahu sang lelaki untuk menganggapnya sebagai anugerah dari maha kuasa, tetapi saat ia mengingat bagaimana sisi gelap gereja menyebabkan kematian ratusan juta orang, William tidak sanggup menerima pernyataan tersebut. Tidak logis, tetapi ia sendiri mengalami kejadian tidak logis itu sendiri.
Memutuskan menghilangkan beban pikiran, sang pria buru-buru mencuci muka dan mulai menggosok gigi, salah satu tangan sibuk memegang ponsel untuk memesan sarapan melalui aplikasi. Tepat saat ia memencet tombol pesan, terdapat pesan lain dari bagian atas layar ponsel, membaca singkat dalam hati--- membuat William perlahan dirasuki perasaan senang;
"Kapan siaran live lagi? Kita sudah rindu, loh!"
William melepas senyuman tipis, sedikit terburu membereskan kegiatan membersihkan diri dan mulai memikirkan konten apa yang akan ia bawakan hari ini kepada para penonton. Memikirkan saja sudah membuat perasaan semangat mulai bergejolak, mungkin mendekatkan diri kepada banyak orang di balik layar akan menjadi langkah awal untuk melupakan masa lalu kelam miliknya, bukan? Entah secara virtual atau bertemu langsung, William akan memilih jalan ini untuk terus menjalani kutukan ini.
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top