7

AQSARA

Aku menghela nafas begitu Lia keluar dari mobil seraya berlari masuk kegedung perusahaan. Kenapa aku begitu bodoh hingga membuat tangannya memerah? Wajar saja! Aku tidak suka milikku dipegang orang lain. Apalagi tangannya yang selalu menggenggam tanganku kini memegang tangan orang lain.

Aku menoleh kesamping, dimana Lia barusan duduk. Aku mengernyitkan dahi begitu melihat ponsel dan dompet berwarna yang agak terkelupas. Apa ini milik Lia? Penasaran aku mencoba membuka ponselnya yang tidak terkunci lalu melihat aplikasi pesan dan tersenyum simpul, begitu banyak grup di obrolannya yang belum terbuka dan tidak ada satupun pesan dari lelaki lain. Setelah mengecek semuanya, suara pesan masuk yang membuatku melihatnya dari notif

From : Bu Aisyah Apart
Permisi, mbak Amelia. Jadi kapan mau bayar uang sewa apartemennya?

Aku kembali membuka aplikasi pesan tersebut, ternyata sudah ada tiga pesan yang dikirimnya tapi belum dibuka oleh Lia. Aku pun membuka pesan tersebut dan pesan yang dikirim dari Bu Aisyah sudah beberapa hari lalu yang belum dibuka oleh Lia. Segera aku membalas pesan Bu Aisyah tersebut dan melirik arah dompet Lia.

Mengambilnya lalu meneliti dari luar. Apa gadisnya tidak pernah mengganti dompet? Begitu membukanya, aku tersenyum saat foto anak kecil yang agak kusam dengan rambut yang diikat menjadi dua. Lucu sekali! Aku yakin ini adalah Amelia saat kecil. Aku pun mulai memeriksa kartu-kartunya yang hanya ada satu kartu ATM, itupun khusus untuk mengirim gaji diperusahaannya. Bahkan, kartu debit atau kredit sebagainya tidak ada, hanya kartu status penduduk dan kartu belanja lainnya. Aku mencoba melirik ketempat penyimpanan uangnya dan aku tertegun saat hanya ada selembar uang ratusan ribu. Mungkin, uangnya berada di kartu ATM. Aku pun memfotonya lalu mengirim ke Dafa, orang kepercayaanku sekaligus sahabatku untuk menyelidiki berapa tabungannya dikartu tersebut.

Tidak cukup lama. Pesan masuk dari Dafa membuatku mengernyitkan dahi. Sisa saldonya bahkan tidak sampai seratus. Makan apa Ia selama ini?

Suara dering membuatku mengalihkan pandangan dan tertara nama Papa. Tanpa menjawab, aku segera beranjak menuju ruangan Papa yang menjadi tujuan awal aku kesini. Seakan teringat, aku langsung mendial nomor Dafa.

"Tolong cari info nama Ragil. Anak magang, anak bawahan Rahmat Aidan Kusumo."

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Aku merenggangkan kedua tangan yang terasa kaku lalu melirik ke meja utama dimana sosok yang sangat aku banggakan masih berkutat dilayar komputer. Padahal hari sudah begitu gelap saat ini.

"Papa nggak pulang?" tanyaku seraya menutup laptop yang berada dipangkuanku.

"Sebentar lagi." ujarnya. Aku mengangguk lalu mulai mengecek ponsel yang belum aku sentuh saat menginjakkan kaki disini. Pesan dari Dafa adalah menarik perhatianku dari yang lain.

Benar, ternyata Ragil anak magang yang baru beberapa hari disini. Mengingat tersebut, aku tersenyum. Lia mencitaiku dengan cara jujur rupanya. Tetapi, yang menarik perhatiannya adalah rekaman cctv yang dikirim Dafa.

Ternyata rekaman Amelia dan Ragil saat berada di kantin. Segera aku membukanya dan membesarkan volume suaranya. 

"Siapa?" tanya Papa yang sudah duduk disampingku seraya melihat rekaman cctv. "Ini di kantin kan?"

Aku mengangguk lalu tersenyum, "Ini Amel, Pa. Pacarku."

"Kerja disini?" aku mengangguk lalu meringgis menatap Papa yang sudah menatapku tajam.

"Tenang, Pa. Amelia teman baiknya Citra. Belum ada yang tau status kami, cuman tadi aku agak ceroboh di lobi."
"Tapi, tetap taukan status kamu? Harusnya dia tau prosedur diperusahaan sini." ujar Papa. Aku kembali meringgis.

"Amelia sama sekali nggak kenal aku siapa, Pa. Beneran. Dia kira aku malah tamu disini, tapi kelamaan juga ngira aku kerja di perusahaan cabang."

"Kamukan memang kerja di perusahaan cabang, cuman bentar lagi pindah disini." cibir Papa. Aku terkekeh.

"Itu dia ngapain tuh?" tanya Papa seraya menunjuk ponselku.

"Ini Ragil anak magang. Kayaknya Amelia ngasi uang. Papa dengarkan? Ibunya Ragil mau di operasi." ujarku yang diangguki Papa dan kembali menyetel rekamam cctv.

"Padahal uangnya sisa segini dan tabungannya nggak sampai seratus." ujarku seraya menunjukan isi dompet Amelia.

"Makan apa dia? Kamu nggak coba traktir dia makan? Gimana kamu jadi pacarnya?" aku terkekeh lalu beranjak berdiri.

"Aku bayar sewa apartemennya loh, Pa. Tenang, aku mau ajak dia makan juga. Mungkin masih dibawah, akhir-akhir ini pulang malam terus dia."

"Apartemen? Orangtuanya kemana? Dia anak rantau?" tanya Papa. Aku mengeleng.

"Asli sini, Pa. Orangtuanya nggak ada karna insiden jatuh pesawat pas mau balik ke Indonesia." dapat aku lihat wajah kaget Papa yang membuatku tersenyum simpul.

"Kalau aku duluan, nggak apakan?" tanyaku. Papa ikut berdiri seraya merapikan jasnya.

"Sama Papa aja makannya. Sekalian mau kenalan." ujar Papa membuatku terkekeh dan mulai berjalan beriringan menuju lift.

"Papa tunggu di depan ruangan aja dulu." ujarku ke arah Papa yang dapat anggukan dari Papa. Saat sudah dilantai tempat Amelia kerja segera aku kesana dan hanya sisa dua orang yang masih berkutat dilayar komputer. Segera aku menghampirinya, seakan tau ada orang. Wanita dengan hijab yang menghiasi kepalanya segera berdiri lalu menunduk hormat membuatku sedikit risih.

"Amelia sudah pulang?" tanyaku seraya melihat-lihat sekeliling.

"Sudah dari tadi sore, Pak." ujarnya sopan. Aku mengangguk.

"Kamu lihat pulangnya sama siapa?"

Gelengan sopan membuatku menghela nafas, "Oke. Tolong jangan beri tau tentang ini." ujarku lalu berjalan menuju keluar saat Papa sudah masuk duluan membuat suara kursi dari arah belakangku begitu kentara dan salam hormat dari karyawan tadi.

"Selamat Malam, Pak Guhardja."

Seakan tak bersalah, Papa malah tersenyum menjawab mereka yang dapat aku lihat lebih terkejut.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" ujar karyawan satu lagi dengan rambut batas bahu.

"Tidak. Saya hanya mau menemani anak saya aja. Kalian tidak pulang?" tanya Papa. Lagi-lagi gelengan dengan senyuman dari mereka. Sepertinya mereka susah untuk menjawab.

Sudah hal yang wajar karena pemilik perusahaan begitu tertutup dan aku yakin kedatangan Papa disini membuat mereka begitu kaget.

"Istirahatlah yang cukup. Tidak perlu tergesa-gesa nyelesain pekerjaan. Walaupun wajib, tubuh tetap prioritas." ujar Papa sebelum akhirnya beranjak dari ruangan yang diikuti olehku.

"Kemana pacar kamu?" tanya Papa. Aku mengedikkan bahu.

"Udah pulang dari sore. Aku mau ke apartemennya dulu. Papa biar aku antar sebentar." ujarku yang diangguki Papa.

"Jangan nakal kamu."

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

AMELIA

Aku berhenti menyanyi dengan garpu yang berada ditanganku saat bunyi bel berbunyi. Aku melirik jam dan sudah jam sembilan malam. Siapa yang datang malam begini? Aku yang memang berdiri depan kompor sedang masak mie instan langsung mematikan apinya dan berjalan kearah pintu.

Betapa kagetnya aku saat ini saat wajah Aqsa yang nyata dihadapanku dengan senyuman lalu masuk tanpa disuruh. Aku pun terkikik lalu memeluknya erat dari belakang. Sungguh! Aku senang saat Ia kesini.

"Maaf nggak ngasi kabar. Ponselku hilang. Atau ada ketinggalan di mobil kamu?" ujarku penuh harap seraya menatapnya.

"Nggak apa. Kamu masak apa?" tanyanya. Aku menghela nafas lalu melepaskan pelukannya seraya berjalan ke arah kompor dan memindah mie kedalam mangkok.

"Indomie? Aku ada bawa makanan ini." ujarnya seraya membawa kantong berlogo cepat saji. Aku meliriknya tanpa menyahutinya.

Aku kesal dengannya sebenarnya! Senang sih senang, tapi Aqsa suka sekali mengabaikan pertanyaanku yang dibalas pertanyaannya. Bodohnya, aku baru sadar. Memangnya dia aja bisa dijawab pertanyaan? Aku juga bisa!

"Kamu ada nemuin ponselku di mobil kamu nggak?" tanyaku seraya menatapnya. Aqsa langsung menoleh lalu menghela nafas seraya mengangguk.

"Tapi, kamu makan dulu ya?" ujarnya. Aku hanya mengangguk pasrah dan berjalan kearah sofa seraya menghidupkan televisi. Tidak mungkinkan aku ajak Aqsa menghemat juga saat bersamaku? Maksudnya dalam keadaan seperti ini.

Aku menatap makanan yang tersaji dihadapanku. Astaga! Akhirnya aku ketemu nasi hari ini. Ntah kenapa, beras yang jarang aku gunakan ternyata sudah habis. Terhitung sudah berapa lama aku tidak membeli beras.

"Makasih hehe. Aku beneran lapar." ujarku dengan kekehan seraya menatap Aqsa yang dibalas dengusan.

"Uang kamu beneran sisa yang ada didompet?" tanyanya. Aku meringgis lalu mengangguk. Sudah pasti Aqsa memeriksa dompetku. Memalukan!

"Aku nggak tau kenapa, bulan ini bayar listrik naik drastis." jujurku. Hah, aku memang tidak bisa beri alasan kepada orang. Kecuali terlalu mepet, aku bisa sedikit untuk berbohong. Sedikit.

"Kalau merasa terbebani. Kamu pindah aja ke apartemenku." ujarnya. Tanpa berpikir dua kali aku menggeleng.

"Aku masih cukup kok. Cuman bulan ini aja. Mungkin lagi banyak pengeluaran aja."

Aqsa menghela nafas, "Biar aku yang bayar listriknya dan keperluan lainnya."

Aku mengernyitkan dahi seraya menatapnya lalu terkekeh, "Ngaco kamu."

Dikira aku istrinya apa? Segala ditanggung semua.

"Aku seriusan, Yank."

"Iya aku tau. Tapi, uang kamu bisa kamu gunakan untuk keperluan kamu aja. Kebutuhan kamu jugakan pasti banyak."

"Kebutuhanku ya kamu, segala tentang kamu juga itu sangkut paut denganku." ujarnya dengan tatapan serius. Aku langsung memutuskan pandangan dan beralih kearah nasi dipiringku.

"Tapi, aku nggak enak sama kamu. Kita masih sama-sama kerja, Yank." ujarku dengan perkataan pelan. "Kamu jangan terlalu mentingin aku, ada kedua orangtua kamu, setidaknya bahagiain mereka sebelum kamu terikat sah sama calon kamu ntar."

"Iya, sayang. Tapi, tidak masalahkan kalau aku sesekali membayar kebutuhan kamu?"

Aku menggeleng, "Aku punya pacar bukan untuk nanggungin aku. Udah ah, kapan makannya ini?"

Aqsa tidak kembali berbicara dan kami larut dalam talkshow di televisi hingga makanan habis.

"Kamu baru pulang kerja?" tanyaku seraya mengemaskan sisa makanan dan mencucinya. Aku baru sadar baju Aqsa yang gunakan sama dengan dimobil tadi.

Pelukan dari belakang serta kecupan di pipi membuatku tersenyum. Bahkan, lelakiku ini tidak menjawabnya.

"Tadi kamu pulang sama siapa?"

"Sama Messy." ujarku seraya mengelap tangan sehabis mencuci piring lalu membalikan badan menjadi hadapan dengan Aqsa. Tanpa ragu, aku memeluknya erat. Ntah kenapa, aku suka memeluknya yang begitu menenangkan.

"Masih kangen?" tanyanya dengan nada geli. Aku mengangguk.

"Beda ya kalau orang kantoran gini? Udah seharian masih aja wangi." ujarku seraya menghirup aromanya yang dibalas kecupan hangat dikepalaku.

"Oiya, mana dompet sama ponselku?" ujarku seraya mendongak tanpa melepas pelukannya. Aqsa merogoh koceknya lalu membuka ponselku tanpa melepaskan pelukanku.

"Ini siapa? Bram? Sering banget kayaknya nelpon kamu?" cibir Aqsa. Aku melihat ke layar ponselku yang menampilkan beberapa panggilan.

"Itu anak akuntan. Memang suka nelpon, tapi lihat tuh aku nggak pernah jawab. Pesannya aja langsung aku hapus." ujarku dan kembali menghirup aroma Aqsa.

Bram sebenarnya sudah lama menggodaku, mungkin karena akhir-akhir ini satu perusahaan sibuk, aku nggak pernah melihatnya. Bukannya bercanda saat menggoda seperti temanku lain, Ia menggoda seperti pedofil. Padahal umurnya sama dengan Mbak Indah, lebih tua dikit tiga puluhan. Maklum, masih belum menikah.

"Dia suka sama kamu?" aku menggeleng.

"Sukanya kamu." ujarku terkikik lalu melepaskankan pelukannya.

"Sini, ponselku." Aqsa langsung menyerahkan ponselnya yang disambut olehku. Tanpa mengecek ponsel lagi, aku langsung memeluk Aqsa dari samping seraya mencium bahunya yang lumayan keras.

"Kamu suka banget wangiku?" ujarnya dengan kekehan lalu mengecup dahiku.

"Kamu pakai parfum apa sih? Aku mau beli aja."

"Limited Edition. Jadi, kamu peluk aku aja kalau mau cium aromanya." aku tertawa lalu memukul pahanya kesal.

"Sana kamu mandi. Bau! Belum mandi dari pagi." ledekku tapi dasar munafik ya aku? Bilangnya bau tapi masih menempel di bahu Aqsa.

"Nih bau!" ujarnya gemas yang langsung memiting kepalaku berada di ketiaknya. Sontak aku teriak.

"Gila kamu! Jorok!" seruku yang dibalas tawa dari Aqsa dan dengan cepat menarikku memeluknya erat membuat Aqsa berbaring dengan kaki yang masih berjuntai, begitu pula denganku.

Aku kaget dengan serangannya yang mendadak apalagi wajah kami yang begitu dekat. Gawat! Aqsa sudah mendekatkan wajahnya. Tanpa sadar aku memejamkan mata.

Ya, gawat sih. Tapi kok aku malah kayak nungguin dia ciumin aku ya? Aku terkikik dan dapat aku rasakan pipiku yang dikecup gemas olehnya.

"Ini belum disentuh ya?" tanyanya dengan kikikkan seraya menempelkan tangannya di bibirku membuatku membuka mata dengan kesal. Aihh, memalukan!

"Kayak kamu udah disentuh aja." cibirku lalu kembali duduk dengan benar seraya memukul lengannya yang keras. Kenapa badannya keras semua sih? Jangan-jangan makan besi lagi! Ya, mungkin ada satu dari badannya yang nggak keras.

Apa sih?! Gegara Aqsa ni deketin wajahku!

"Udah kok." ujarnya dengan tatapan meledek.

"Ishh. Siapa?" ketusku. Kenapa senang sekali sih dia kalau bibirnya udah pernah disentuh sama bibir lain?!

"Ini." ujarnya dan dapat aku rasakan bibirku menempel dengan benda yang begitu kenyal. Astaga! Mataku yang masih terbuka dengan kaget menatap Aqsa yang tersenyum ke arahku. Bisa-bisanya anak itu!

"Kamu!" seruku kaget seraya menyentuh bibirku. "Bibirku ternodai!"

Bukannya marah, Aqsa malah tertawa yang membuatku melemparinya bantal sofa.

"Maaf, maaf. Kamu lucu soalnya. Itu juga pertama kok bagi aku." ujarnya yang masih diselingi kikikkan.

"Sini kamu!" ujarku seraya mendekat ke arahnya dan menarik bahunya lalu mengecup bibirnya sekilas. "Kedua! Aku yang ngambil ciuman kamu."

"Bibirku ternodai!" serunya dengan kepura-puraan lalu tertawa membuatku ikut tertawa. Sudah gila ini pacar. Aku juga gila dibuatnya.

"Udah ah, sana kamu mandi." usirku seraya menolaknya agar menjauh, Aqsa malah memegang tanganku lalu tersenyum lembut.

"Sekali lagi ya? Boleh?" tanyanya. Aku cengo lalu kembali tersadar saat tau arti perkataannya. Pipiku terasa panas sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Jangan kebablsan ya?" ujarku yang hanya diangguki Aqsa dan tak lama bibirnya yang menempel dibibirku. Kami sama-sama membuka mata yang akhirnya Aqsa memejamkan duluan dengan pergerakan kecil dibibirnya. Aku seperti dihipnotis dan ikut memejamkan mata dengan keanehan yang baru aku rasakan dibibirku.

Bahkan, jantungku sudah seperti ingin meledak rasanya. Begitu kuat berdetaknya.

Saat merasakan nafas yang sudah mulai habis, kami sama-sama menjauhkan wajah lalu tersenyum dengan aku yang menunduk. Aku pun mendongak saat Aqsa menaikkan daguku dan mengelap sisa-sisa disekitaran bibirku dengan tangannya. Aku pun ikut mengelap disekitaran bibirnya dengan kikikkan.

"Love you." ujarnya dengan pandangan yang penuh cinta. Aku langsung menariknya kepelukanku. Aku bersyukur selalu mendapatkannya!

"Love you too, Yank."
.
.
.
.
.
Tbc

Nakal yeeee sih Aqsa? Udah dibilang sama bapaknya jangan nakal eh malah nakal!

Apasih Thor 😂

Sabtu, 7 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top