6

"Kamu lembur lagi?" pertanyaan seorang disebrang sana yang akhiri helaan nafas membuatku tak enak hati untuk menjawabnya.

Setelah menjemputku sepulang kerja tempo hari, kami tidak pernah bertemu lagi karena kesibukan masing-masing mengingat acara perusahaan akan seminggu lagi. Apalagi adanya anak magang yang di khususkan aku untuk membantunya. Alih-alih bisa membuat laporan dengan cepat lalu pulang tetapi ini harus membantu anak magang juga. Lumayan repot karena pertama bagiku bekerja dalam acara besar begini ditambah mempercayai membantu anak magang. Padahal aku juga belajar untuk pertama kali saat ini.

"Yang penting jaga kesehatan kamu. Jangan terlalu lelah." belum juga menjawab, Aqsa seakan tau jawabanku.

"Iya. Kamu juga." ujarku seraya menatap arah luar dimana pantulanku dengan rambut yang diikat dan sebelah tangan memegang telepon. Aku mengangguk saat ucapan terakhir Aqsa sebelum akhirnya mematikan sambung telepon.

Aku menghela nafas lalu beranjak dari kursi untuk mengambil air putih didapur saat mataku tak sengaja melirik anak magang dan Mbak Ika yang masih berkutat didepan komputer.

"Belum selesai, Mbak Ika?" tanyaku saat keluar dari dapur kecil.

Mbak Ika merenggangkan tangannya seraya memiringkan kepalanya ke kiri-kanan dengan bunyi. Aku meringgis melihatnya, aku tidak bisa sambil bunyi begitu, kayak mau copot aja kepala.

"Ini udah selesai." ujarnya lalu bersiap-siap mematikan komputer. Aku mengangguk lalu melirik Ragil yang tak jauh dariku duduk.

"Udah selesai, Gil?" tanyaku. Ia menoleh lalu menggeleng dengan wajah lesu. Aku terkikik lalu mengintip hasil pekerjaannya.

"Besok dilanjut juga nggak apa. Pak Rahmat kan sering turun lapangan." ujarku yang dibalas anggukan darinya. Kembali aku menatap monitor dengan pandangan lesu. Microsoftword kalau bisa berbicara mungkin sudah bosan lihat wajahku.

Pantes aja tajir ya penemu microsoft word? Pekerja didunia ada berapa ribuaan orang? Ya, hitung aja satu gedung perusahaan. Udah berapa penghasilannya? Kalau aku jadi anaknya, kayaknya nggak perlu kerja gini sambil mikirin uang sewa apartemen, listrik, air, bahkan untuk makan! Lebih lagi kalau ke mall, mungkin nggak perlu nahan diri kali ya? Nggak nahan diri juga untuk masuk toko baju yang bisa membayar uang sewa apartemenku tiga bulan.

Mandi uang juga aku bisa itu. Gila!

"Kak? Aku duluan ya?" aku menoleh kesebelah lalu mengangguk dan aku melirik arah jam yang menunjukan pukul delapan. Rekor! Datang jam delapan pagi, pulang juga jam delapan malam.

"Eh tunggu!" seruku. Dengan cepat aku menyimpan data dan mematikan komputer. Gila aja aku sendirian di kantor malam-malam gini.

"Ayo." ujarku lalu kami bersama menuju lift seraya berbincang dengannya sebelum akhirnya pisah didepan lobi. Sempat basa-basi menawarkanku, tetapi kali ini aku menolak secara halus karena Ia sempat bercerita kalau ibunya lagi masuk rumah sakit.

Hah, aku jadi rindu Ibu, Ayah dan Acel, adikku yang lucu. Mungkin sekarang sudah masuk SMP. Aku menghela nafas, tak terasa sudah bertahun lalu mereka pergi dan aku masih sesedih ini walaupun sudah sangat ikhlas. Aku menyeka air mata lalu mulai membuka ponsel untuk memesan ojek online. Untuk menghemat biaya, sebenarnya naik transportasi umum lebih hemat. Tetapi, saat ini aku ingin pulang cepat, beristirahat dengan pulih lalu bangun dengan keadaan bugar.

Aku menghempaskan badanku ke sofa saat sampai diapartemen seraya menghela nafas. Bunyi pesan dari ponsel membuatku mencari keberadaan ponsel dan kembali mendengus kesal lalu melempar ponsel yang masih kawasan sofa.

Sial. Bulan ini aku lupa membayar uang sewa apartemen dan uangku hanya cukup untuk sehari-hari aku saja. Makan contohnya. Bulan ini tagihan listrik ntah kenapa begitu menunjak naiknya. Bahkan lampu balkon tidak pernah dihidupkan, kamar mandi bila diperlukan lalu ruang dapur jarang dihidupkan, kamar saja pakai lampu tidur yang watt rendah, dan ace? Aku cuman menggunakan saat benar-benar penat. Kulkas? Astaga, itu saja sudah aku atur agar tidak memakan banyak listrik.

Apa aku harus jadi selebgram aja ya? Aku terkekeh seraya menatap arah depanku. Colokan tv saja aku cabut. Sehemat itukan aku?

Aku berpikir, mungkin karena aku sering makan diluar kali ya? Dan sering pulang sendiri daripada numpang dengan teman kantorku.

Kembali aku menghela nafas lalu beranjak menuju kamar yang cukup remang karena lampu tidur yang bisa menerangkan kehematan ini.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

"Kenapa baru sekarang sih, Pak?" keluhku saat Pak Rahmat memberikan amanat dari Mbak Indah yang mendadak tidak masuk karena sakit dan pekerjaannya melimpahkan kepadaku karena harus diselesaikan secepat mungkin.

"Saya saja baru bisa masuk sekarang. Mana tega saya membiarkan Indah dirumah keadaan sakit begitu." ujarnya. Aku mendengus lalu mengangguk pelan sebelum akhirnya keluar dari ruangan Pak Rahmat. Gagal lagi aku bisa makan siang sama Aqsara! Mana laporan harus diserahkan sebelum makan siang.

"Kenapa lo?" tanya Messy seraya memutarkan kursinya ke arahku.

"Kerjaan Mbak Indah dilimpahin ke gue, yang penting aja sih untuk serahin hari ini." ujarku lalu menatap nanar ke arah komputer.

"Sabar ya komputer. Kerjaan lo emang hidup terus nemenin gue kerja." lirihku seraya mengelus komputer yang dapat kikikan dari sebelah kiriku.

"Sinting." ketus Messy dengan dengusan.

Selang beberapa jam, suara yang lumayan riuh membuatku melirik jam dilayar komputer yang ternyata sudah masuk jam istirahat. Mengabaikan semuanya, segera aku menyelesaikan laporan yang belum siap.

"Ikut nggak?" tanya Citra. Tanpa melihatnya aku menggeleng seraya mengetik kuat keyboard.

"Lagi ngerjain tugas Mbak Indah dia. Lo mau dibelikan apa?" ujar Messy. Tanpa melihatnya juga aku menggeleng. Memang sih menawarkan, tetapi sama aja bohong kalau duit aku juga ikut keluar.

"Duluan deh. Bye!" suara Sandra terakhir aku dengar yang akhirnya aku bersorak dengan tangan keatas. Cepat-cepat aku mencetaknya dan menyerahkannya ke Pak Rahmat.

"Ragil? Kantin yuk!" ajakku. Anak lelaki itu semenjak istirahat makan siang kepalanya diletakan ke meja dan aku tidak ada melihatnya mengunyah hari ini.

"Lupa bawa uang aku kak." ringisnya lalu kembali meletakkan kepalanya dimeja.

"Ayo, aku traktir. Tapi, roti aja ya? Aku juga lagi krisis ekonomi ini." ringisku seraya berdiri dan membawa dompet dan ponsel.

"Ayo! Nggak apalah." ujarku seraya menariknya untuk berdiri yang dibalas anggukan darinya.

Mungkin lebih tepatnya, Ragil juga menghemat untuk membiayai ibunya yang dirumah sakit. Aku salut kepadanya. Atau memang aja kali ya lupa bawa uang? Ah sudahla.

"Ibumu gimana? Udah baikan?" tanyaku seraya menyerahkannya roti seada yang jual dikantin perusahaan. Biar bagaimana pun perut tetap diisi.

"Harus di operasi kak, tapi finasial lagi nggak mendukung." ujarnya lemah. Aku jadi ikut prihatin kepadanya, andai aku pun punya uang lebih setidaknya aku bisa memberi Ia uang untuk membantu.

"Berdoa dan tetap semangat. Semoga diberikan kelancaran." ujarku dengan senyuman lembut. Ibunya memang sakit usus yang harus segera dioperasi, dengar dari ceritanya, ibunya sudah lama penyakit tersebut.

Aku membuka dompet lalu memandang isinya yang mungkin bisa mencukupi seminggu ini. Aku memberinya beberapa lembar uang ke tangannya langsung yang ditolak olehnya langsung.

"Aku ikhlas kok, seriusan! Setidaknya ada sedikit kurang beban kamu." ujarku lalu kembali memberinya uang dalam genggaman tangannya.

"Makasih kak, doa sama semangat kakak udah cukup bagiku. Semoga rezeki kakak juga makin lancar." ujarnya dengan senyuman tulus. Aku pun ikut tersenyum tipis, lalu kembali memakan roti. Walaupun uangku hanya bisa untuk makan berapa hari ini, setidaknya aku bisa menghemat makan indomie telur dan masih bisa mengunyah nasi.

"Ayo. Kerjaanku lagi banyak." ujarku saat rasanya roti yang tidak sampai ke perutku habis. Ragil mengangguk lalu kami bersama jalan ke arah lift. Tetapi jalanku berhenti saat melihat Aqsa yang menatapku tajam. Aku yang melihatknya tersenyum kikuk. Bingung ingin berbuat apa, berjalan menuju lift atau berjalan ke arah Aqsa? Tapi ini masih kawasan kantor. Bahkan, para karyawan mulai berdatangan dari arah pintu masuk karena jam istirahat hampir selesai.

Ahh nggak mungkin Aqsa lupakan perkataanku tempo hari? Maksudnya seminggu lalu? Bahwa dikantor ya seperti biasa aja. Aku pun tersenyum sekilas sebelum akhirnya berjalan menuju lift.

"Siapa kak?" tanya Ragil. Aku menggeleng dan saat ingin masuk ke lift tanganku tiba-tiba ditarik yang sontak saja aku berseru kaget.

"Aqsa?" seruku lalu menutup mulut dengan sebelah tanganku yang ditarik Aqsa. Saat ini lobi memang ramai. Sialan!

"Pak Aqsa!" seruku pelan dengan kesusahan berjalan karena Aqsa yang menarikku lumayan kuat. Tidak ada jawaban dari Aqsa yang membuatku menunduk. Aku takut dengan tatapan para karyawan disini dan aku tidak suka menjadi pusat perhatian.

Aqsa membawaku ke mobilnya dan tak lama pintu kemudi dibuka menampilkan dirinya dengan deru nafas kasar tanpa menatapku. Sedangkan aku kembali melihat pergelangan tanganku yang sedikit memerah karena cengkramannya tadi.

"Maaf." cicitku dengan air mata yang sudah menumpuk dimata. Aku menyekanya sebelum Aqsa melihatnya yang mungkin tambah muak denganku. Aqsa pasti marah saat ini. Apa Ia cemburu melihatku dengan Ragil? Tapikan, dia hanya anak magang yang baru usia dua tahun dibawahku.

Aqsa menoleh kearahku lalu turun melihat tanganku yang membuatku melindunginya agar tidak melihat kemerahan dipergelangan tanganku. Bisa saja Ia tambah marah melihat tanganku kan?

Tanpa berkata, Aqsa mengambil tanganku yang menyisakan kemerahan seraya mengelusnya. Sudah beberapa menit berlalu, tetapi Aqsa masih belum membuka suaranya. Dan pekerjaanku saat ini pasti lagi menunggu! Dan dan dan, astaga! Laporan yang harus aku serahkan ke Pak Rahmat!

Aku duduk gelisah sebelum akhirnya menangkup tangan Aqsa yang masih mengelus tanganku.

"Maaf, Aqsa aku beneran minta maaf kalau aku salah. Tapi," aku berpikir, bagaimana mengatakan secara halus? Apa aku terlalu mementingkan pekerjaan daripada dirinya?

Aqsa menoleh kearahku dengan dahi berkerut, "Aku, belum nyerahin laporan sama Pak Rahmat." cicitku pelan seraya menunduk.

Tiba-tiba Aqsa menarikku kepelukannya seraya mengelus rambutku yang dibalas tak kalah erat.

"Maaf aku kasar tadi. Habis pulang kerja kerumah sakit ya?" aku menggeleng dan menghirup wanginya yang membuatku begitu tenang.

"Pulang juga udah hilang merahnya." ujarku tanpa melepaskan pelukannya. "Kangen."

Aqsa terkekeh lalu mencium kepalaku berulang kali, "Aku juga kangen. Makanya selalu balas pesanku! Sering kabarin juga."

Aku mengangguk sebelum akhirnya melepaskan pelukannya dengan tawa kecil, "Aku lupa kabarin kamu ya kalau aku nggak bisa makan siang sama kamu? " anggukan Aqsa sebagai jawaban.

"Maaf. Tapi, kamu udah makan?" tanyaku yang kini tanganku digenggam erat sama Aqsa.

"Udah kok. Kamu? Tadi siapa?" kini pandangannya menatapku tajam membuatku ingin mencubit pipinya tapi sayangnya genggamannya terlalu erat.

"Namanya Ragil, dia anak magang loh. Baru kemarin. Aku disuruh dibimbing sama Pak Rahmat. Aku udah makan kok tadi dikantin sama Ragil."

Aqsa memandangku dengan tatapan tidak percaya, "Yakin?"

"Yakin, sayang." ujarku lalu terkikik geli mendengarnya. "Kamu ngapain kesini? Ada perlu apa?"

"Katanya mau nyarahin laporan?" tanya Aqsa yang membuatku meringis. Astaga, baru beberapa menit aku sudah lupa. Efek lama tidak bertemu Aqsa jadinya gini.

"Aku duluan ya. Kali ini aku maafin kamu loh, aku nggak suka jadi pusat perhatian kayak tadi." rajukku lalu keluar begitu mendapatkan kecupan ditangan. Sedikit berlari menuju lift dan secepat kilat mengambil berkas diatas mejaku lalu menarik nafas sebelum akhirnya masuk keruangan Pak Rahmat dengan senyuman ala kadar.

"Maaf, Pak. Saya ada urusan sebentar tadi." anggukan Pak Rahmat membuatku menghela nafas lega. Walaupun tidak marah dengan mengeluarkan kata-kata, aku tau dari wajahnya Pak Rahmat yang sudah begitu kesal.

"Sudah sana keluar." ketusnya.

"Iya, Pak." ujarku lalu keluar menutup pintu.

"Sial." umpatku lalu berjalan kearah dapur kantor seraya mencari obat maagh. Aku takut saja kambuh mengingat hari ini aku kembali lembur dan hanya memakan roti seadanya. Bahkan, indomie dari rumah sengaja aku bawa agar bisa masak disini.

Setelah meminum obat, aku berjalan menuju mejaku seraya mencari keberadaan ponsel. Kemana itu barang? Bahkan dompetku juga kemana?

"Cari apaan lo?" tanya Messy.

"Ponsel sama dompet gue. Lo liat nggak?" tanyaku seraya mencari keberadaan itu dua barang.

"Mana ada lo taro itu barang. Lo langsung nyelonong ngambil laporan langsung ke ruangan Pak Rahmat." aku menepuk dahiku lalu duduk dengan lemas. Kalau ketinggalan diruang Pak Rahmat juga nggak mungkinkan? Aku hanya meletakkan berkas yang langsung diambil Pak Rahmat tadi. Atau ketinggalan dimobil Aqsa?

Astaga! Aku ingin nangis rasanya.

Kesempatan terakhirku adalah bertanya ke Ragil. Mungkin memang cecer atau gimana terus Ragil ada megangnya kan? Tapi belum juga sepenuhnya menoleh kearah Ragil, laki-laki itu sudah menyeletuk membuatku meletakan kepala ke meja dengan pasrah.

Kalau Aqsa melihat dompetku gimanaaa?! Dompetku hanya tersisa satu lembar ratusan. Bahkan ribuan sudah aku beli roti tadi. Memalukan! Kalau gini juga caranya, gimana aku mau pulang? Aku kan lembur malam ini!

Opsi terakhir adalah aku memindahkan pekerjaan kerumah. Untung saja laptop tidak jadi aku jual.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

"Tunggu bentar ya, Sy?" ujarku tak enak hati melihat Messy yang masih setia menungguku kedatangan Aqsa. Mungkin sajakan Aqsa kekantor untuk ngembaliin ponsel dan dompetku? Mau menelpon Aqsa juga mau dapatin nomornya darimana? Temanku pasti juga tidak tau. Aku pun juga tidak hafal nomer ponselnya. Meminta ke Pak Rahmat? Aihh laki-laki itu ternyata pulang cepat.

Sudah setengah jam aku menunggu dengan gelisah dan hari sudah mulai gelap, akhirnya aku putuskan pulang. Kalau dompet sama ponselku beneran hilang, sudahla. Aku bergantungan terus aja numpang Messy. Soal makan, setidaknya aku bisa bekal dari rumah dan tinggal menunggu gajian. Aku akan mengurus besok segala kartu yang berada didompetku, lagipula kartu ATM juga tidak ada uangnya. Ya, ada sih, tapi tidak bisa ditarik juga untuk apa.

Masalah Aqsa, biarkan ajalah. Tunggu ketemu akan aku jelaskan. Tidak mungkin kan Ia juga ikut menghilang tanpa mencariku?

"Makasih ya, Sy." ujarku seraya turun dari mobilnya dan berjalan lesu ke apartemen. Sebenarnya, bukan pertama kali dompetku hilang dan ponsel juga. Tapi tidak secara sekaligus seperti ini.

Saat sampai di apartemen, aku langsung mandi, begitu selesai aku langsung mengerjakan tugas yang belum selesai. Ternyata lelah juga kalau ada acara lumayan besar gini ya?

Suara yang menghiasi kali ini hanya suara kendaraan dan klakson serta ketikan di keyboard. Aku merentangkan tangan seraya melirik jam yang sudah menunjukkan angka delapan. Kamana Aqsa?

Aku mengharapkannya untuk datang malam ini membawa ponsel serta dompetku. Kalau tidakpun, aku hanya ingin memberitahunya kalau ponsel dan dompetku hilang.
.
.
.
.
.
Tbc

Namanya juga hidup yaaaa? Begini begitulah.

Jumat, 6 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top