5

"Kamu mau nanya apa?" tanyaku seraya meletakkan gelas berisi es coklat diatas meja. Bukannya menjawab, Aqsa langsung menarikku untuk duduk disebelahnya.

"Kamu kuliah dimana dulu?" tanya Aqsa yang dapat kernyitan dahi dariku. Ini lagi sesi membuka jati diri atau gimana?

"Di Jogja. Kamu?" tanyaku balik seraya menyadarkan diri dibahunya.

Begini rupanya punya pacar.

"Di Aussie."

"Wah pintar dong kamu?" tanyaku dengan kikikan yang dibalas cubitan dihidungku. Aihhhhh.

"SMA?" tanyanya dengan syarat akan hati-hati. Aku mendongak untuk melihatnya yang dibalas kecupan hangat di dahi.

"Di SMA Pelita. Terus pindah SMA di Jogja." ujarku seraya meraih tangannya dan memainkan ruas-ruas jari-jarinya.

"Kenapa pindah?"

Aku terdiam sejenak. Apa aku harus jujur?

"Dulu, orangtuaku meninggal pas mau balik ke Indonesia. Korban jatuh pesawat. Jadinya aku diasuh sama adiknya mama di Jogja." ujarku sepelan mungkin menahan sesak didada. Walaupun sudah beberapa tahun yang lalu kejadian tersebut, tetap saja masih ada rasa kehilangan. Apalagi orangtua sekaligus.

Aku mendongak saat tidak ada jawaban dari Aqsa yang dibalas senyuman lembut olehnya, "Kematian memang nggak tau kapan datangnya. Itulah takdir. Bisa jadi besok kitak nggak bernafas lagi." ujarnya yang sontak membuatku mengeratkan genggamannya.

"Iya. Tapi, aku belum sempat ngebahagiain mereka."

Dapat aku rasakan elusan dikepalaku, "Kamu lahir aja sampai kamu bicara, berjalan, bahkan makan dengan lahap udah bahagia menurut mereka. Jadi kamu harus selalu berdo'a agar mereka selalu diberi ketenangan." ujarnya lagi yang membuatku berkaca-kaca menatapnya.

Tuhan, aku bersyukur mendapatkannya!

"Jangan terlalu sedih. Kita bakalan akan ketemu mereka juga di alam sana." ujarnya seraya menghapus lelehan air mata yang ntah kapan sudah meluncur begitu saja.

"Sebenarnya, aku pelupa parah kata temanku. Misalkan aku lupa ada janji sama kamu, maaf ya." ringisku yang dibalas anggukan manis darinya.

"Aku pernah kecelakaan pas pulang sekolah. Padahal aku masih baik-baik aja, nggak tau kenapa rupanya otakku ada masalah. Ada benturan kecil ternyata membuatku agak sedikit lupa."

"Kamu nggak ngerasain sakit? Kecelakaannya waktu kamu sekolah disini?"

"Sakit sih. Tapi masih bisa aku tahan. Bahkan, aku sempat nolongin orang loh." ujarku lalu mengingat dimana aku panik saat itu saat melihat mobil yang tak asing bagiku. Saat dihampiri betapa terkejutnya aku, seorang laki-laki yang sudah bersimbah darah dan bodohnya aku lupa siapa yang didalam mobil tersebut. Masih tanda tanya besar dibenakku walaupun aku berusaha melupakannya, sekelebat ingatan selalu saja muncul.

"Siapa? Kamu ingat?" tanyanya. Aku mendongak menatapnya seraya menggeleng. Ntah kenapa, menatap Aqsa saat ini seperti aku menatap laki-laki yang didalam mobil dengan darah meluncur di kepalanya. Sontak aku memundurkan diri darinya hingga rangkulannya terlepas.

Aku menggeleng lalu menundukkan wajah. Kenapa kejadian masa lalu kian jelas? Aku mengantarnya kerumah sakit hingga merawatnya. Lalu aku menangis meminta maaf? Hei! Aku baru mengingat kejadian seperti itu, tapi siapa?

"Lia?" aku mendongak menatap Aqsa yang begitu cemas melihatku.

"Kamu nggak ingat?" tanyanya hati-hati. Aku mengangguk pelan lalu dapat aku rasakan helaan nafas begitu kasar dari Aqsa.

"Kamu nolongin anak laki-laki? Seumuran kamu?" tanyanya. Aku mengangguk lagi. Cukup lama kami terdiam hingga Aqsa menarikku kembali mendekat.

"Itu aku." ujarnya pelan. Seakan ingin menegaskan perkataannya, Aqsa menangkup wajahku, "Itu benaran aku, Lia. Kamu merawat aku kan seharian penuh? Kamu yang bawa aku kerumah sakit? Kamu yang sibuk minta tolong untuk bukain pintu mobil akukan?"

Aku masih saja menatapnya tanpa berkedip sekalipun. Aqsa? Orang yang aku tolong? Benarkah itu?

"Dipersimpangan jalan dekat SMA Pelita. Kecelakaan beruntun." ujarnya lagi membuatku tanpa sadar mengangguk dengan kata berkaca-kaca.

"Aa--aku, aku nggak tau kalau itu kamu. Maaf. Aku benar-benar lupa wajah kamu. Aku minta maaf. Kamu nggak apakan? Kamu masih sakit? Kamu beneran sembuh totalkan?" tanyaku dengan tangisan yang sudah tak bisa aku cegah. Aku juga tidak tau kenapa aku sekhawatir begini, saat kejadian lalu pun aku tidak tau kenapa aku harus meminta maaf dan menangisinya.

Aqsa membawaku kepelukannya seraya mengelus kepalaku dengan kecupan didahi berulang kali, "Aku nggak apa. Aku sehat. Buktinya aku masih hidupkan?" aku mengangguk didalam pelukannya.

"Soal kamu lupa wajahku. Mungkin itu salah satu memori kamu yang hilang. Reza sebenarnya senior yang paling dekat dengan kamu. Maaf kalau aku bohong kalau Reza ada adik. Ada tapi cewek dibawah kamu sedikit." ujarnya membuatku melepaskan pelukannya dan menatapnya dengan dahi berkerut.

"Berati kamu juga senior aku waktu SMA? Karin bilang kamu udah temanan dari SMA." ujarku yang dibalas senyuman lembut darinya seraya menjauhkan rambutku dari wajah.

"Iya. Kamu aja yang baru sadar. Amel yang dulu polos ternyata cerewet juga." kikiknya dan menarikku kedalam pelukan erat. "Aku kangen banget sama kamu. Banget!"

Amel? Itukan panggilanku dari keluargaku. Terutama hanya Febian memanggilku itu, sepupuku dari Jogja. Lalu? Sepintas perkataan Dila tergiang diotakku. Aqsa selalu menunggu cewek yang ditaksir dari SMA. Jangan bilang itu aku?

Lalu, perempuan itu kabur. Dimaksud aku kabur adalah pindah SMA? Hei! Apa-apaan ini. Aku bingung.

Aku melepaskan pelukan Aqsa lalu menatapnya intens, "Kata Dila, kamu naksir perempuan dari SMA. Siapa?"

Bukannya menjawab, Aqsa malah tertawa seraya mencubit kedua pipiku. Astaga!

"Kamu masih nanya lagi? Setelah aku kode, akukan senior kamu."

Aku meringis menatapnya lalu memalingkan wajah dengan rona yang terasa di wajahku. Aku malu! Berarti, kami sudah lama kenal? Dan maksudnya, ehm, laki-laki didepanku ini sudah suka denganku dari SMA?

"Apa perlu aku sebut namanya, Yank?" tanya Aqsa membuatku menoleh kearahnya seketika. Apa katanya tadi? Yank? Hei! Wajahku sudah seperti kepiting rebus saat ini.

"Ihhhh aku maluu tau! Sana kamu keluar. Malam begini main ke apartemen perempuan." ujarku lalu beranjak berdiri maksud menghindarinya dulu. Aku benar-benar malu saat ini! Ingin guling-guling diatas kasur!

"Eits! Mau kemana? Sini dulu duduk samping aku, Yank." aku langsung menatapnya horor saat Ia menarik tanganku untuk kembali duduk disebelahnya.

"Jangan gitu! Aku malu." ujarku seraya mengalihkan wajahnya yang senyum mengoda dariku.

"Astaga! Menggemaskan banget sih sayang aku ini." ujarnya dengan tawa yang begitu lepas. Aku yang semulanya kesal menjadi ikut tertawa. Hah, senyuman bahkan tawaannya sangat mengundang orang untuk ikut serta. Segera aku memeluknya erat dan membenamkan wajahku dilehernya.

"Sayang kamu juga."

"Iya. Udah ah aku mau pulang. Udah diusir." kikiknya membuatku memukul punggungnya. Aku yang masih dalam pelukannya menambah erat memeluknya.

"Aku masih seribu pertanyaan untuk kamu. Jadi, disini aja dulu ya?" tanyaku pelan yang dapat aku rasakan anggukan darinya. Aku pun melepaskan pelukannya dan menatapnya dengan cengiran.

"Jadi, sayang aku ini mau nanya apa?" tanyanya yang dibalas kikikan dariku.

"Dari mana ya? Mungkin dari SMA aja dulu ya?" tanyaku yang diangguki Aqsa.

"Kamu kok bisa tertarik sama aku dari SMA? Aku beneran lupa loh. Maaf ya." ringisku yang dibalas genggaman tangannya.

Aku jadi tau kenapa awal mula kami ketemu, Ia izin genggam tanganku hingga keterusan. Apa ini alasannya? Bukan sekedar nyaman saja? Tapi ada rindu darinya. Tanpa sadar aku tersenyum seraya menatap tangan kami yang saling bertautan.

Akhirnya mengalirlah cerita dari mulut Aqsa yang ternyata satu organisasi disekolah dulu. Wajar saja aku tidak terlalu mengigatnya, ternyata kami tidak begitu dekat. Tetapi, mengingat Reza saja aku pun benar-benar lupa walaupun aku sangat dekat dengannya. Bahkan, artian dekat sulit untuk aku deskripsikan.

Tetapi, satu hal menarik dari masa lalu. Ternyata Ia pernah mengajakku ke acara fromnight untuk menjadi partnernya. Aku menjadi terkikik geli saat berapa hari yang lalu Aqsa juga mengajakku menjadi partnernya di acara perusahaan nanti.

"Minggu depan pergi sama-sama ya?" celutukku.

"Kemana?" tanyanya.

"Acara ulang tahun perusahaan." ujarku yang dapat terdiaman dari Aqsa lalu anggukan kecil membuatku tersenyum.

"Tapi, sebelum itu kamu kenalan dulu ya sama orangtuaku?" ujarnya membuat senyumku luntur seketika. Hei! Belum juga resmi dua puluh empat jam kami jadian, laki-laki disampingku ini sudah mengajakku untuk kenalan orangtuanya?

"Apa nggak keawalan?" tanyaku hati-hati yang langsung dapat gelengan darinya.

"Orangtuaku baik. Palingan cuman ditanya-tanya ringan." aihh apa yang dikatakan pria ini? Enteng sekali berkata.

"Yang bilang jahat pun siapa. Aneh kamu." ujarku lalu mulai beranjak dari sofa.

"Mau kemana?" tanyanya dengan dahi berkerut.

"Mau hapus make up. Tunggu sebentar " ujarku lalu berjalan kearah kamar mandi. Tidak sengaja aku melirik jam dinding dengan arah jarum jam pendek ke satu. Alamat besok telat kerja ini.

Selang beberapa menit, aku keluar dengan Aqsa yang menonton pertandingan bola tanpa melirikku sedikitpun. Aku mengabaikannya lalu berjalan kekamar untuk menganti pakaian tidur lalu keluar dengan membawa bantal serta selimut. Tanpa berbicara, aku langsung baring di paha Aqsa dengan selimut yang menutupi tubuhku. Bahkan, Aqsa hanya melirikku sebentar dan kembali menatap layar televisi membuatku mendengus. Tetapi, tidak lama kemudian aku merasakan usapan lembut dikepalaku. Membuatku baru merasakan lelah seharian tidak ada istirahat.

Lalu, apa kabarnya Aqsa? Pasti sama-sama lelah juga.

Aku jadi bingung ingin memanggilnya apa. Masa harus yang tadi sih? Kan malu!

"Aqsa." panggilku yang langsung ditoleh Aqsa.

"Hm? Kenapa?" tanyanya.

"Kamu nggak capek? Baring sini aja. Muat kok." ujarku seraya menepuk sebelah sofa yang untung saja lumayan lebar walaupun tidak terlalu panjang.

"Atau mau ganti pakaian dulu? Aku ada celana training sama kaos besar." ujarku. Aqsa tampak berpikir lalu mengangguk.

"Boleh deh." aku pun segera beranjak dari sofa dan berjalan masuk kedalam kamar. Mencari celana training kebesaran yang mungkin cukup pas untuk Aqsa lalu baju kaos kebesaran.

"Ini. Coba aja dulu." ujarku seraya menyerahkan baju dan celana yang langsung diambil Aqsa dan membawanya ke kamar mandi. Sedangkan aku mulai mencari posisi enak di sofa dan memejamkan mata.

Ahh, jadinya kami akan tidur bersama di sofa sini? Tanpa sadar aku terkikik. Baru juga jadian. Nakal kamu, Amelia.

Saat bunyi pintu kamar mandi, cepat-cepat aku memejamkam mata dengan posisi memunggunginya. Tak lama aku merasakan usapan dikepala sebelum akhirnya kecupan hangat di pelipisku.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Aku mengerjabkan kedua mata saat suhu udara dikamar menjadi rada hangat. Tidak se-segar pagi biasanya yang membuat mata susah untuk dibuka. Aku menyibakkan selimut yang lumayan tebal dari tubuhku lalu mencari dimana letak ponsel berada.

Tanpa sadar aku menoleh kearah kasurku. Bukannya aku tidur di sofa? Lalu ada Aqsa bukan? Kemana laki-laki itu? Aku pun berjalan kearah meja rias untuk mengambil ikatan rambut sebelum akhirnya keluar mencari keberadaan Aqsa.

Begitu keluar pun, tidak ada batang hidungnya. Lalu aku berjalan kearah balkon. Membuka gorden agar ada penerangan alami masuk ke apartemen. Tidak sengaja aku melirik jam dinding yang menunjuk angka sebelas. Mungkin saja itu jarum angka menit. Mengabaikan jam, aku membuka balkon dan kebisingan ibu kota yang tak pernah reda membuatku tersadar. Dengan mata yang begitu sadar aku menatap kebawah dimana para pengandara sudah begitu sibuk lalu pandanganku melihat matahari seakan mengejekku.
Sialan.

Segera aku masuk dan benar-benar melihat jam dengan saksama. Jam yang menunjukkan angka sebelas bukan menunjukkan menit, ternyata jamnya! Astaga.

Segera aku mencari ponsel dimana berada. Ini gawat! Bolos kerja sama aja cari mati. 

Tidak sengaja mataku melirik kearah pantry dan menemukan roti bakar dengan note disampingnya. Aku beranjak melihat note tersebut lalu menghela nafas lega juga terkikik.

Pagi :)
Jangan lupa sarapan! Kalau kesiangan, aku udah izin ke Pak Rahmat. Btw, makasih bajunya

Love,
Kesayangan Amelia ❤

Astaga! Si cute name ternyata sama aja dengan sifatnya. Hihi cute!

Akhirnya aku putuskan mandi terlebih dahulu lalu makan dan berangkat kerja. Walaupun udah diizinin, sama aja besok lembur kerja.

Saat masuk ruangan kantor begitu kosong tidak ada penghuni, wajar saja, ini masih jam istirahat. Aku beranjak ke meja kesayanganku dan menghidupkan komputer. Mulai mengecek email masuk.

Terdengar suara gaduh dari luar membuatku mengalihkan pandangan dari layar komputer. Ternyata ada Citra, Sandra, dan Messy yang begitu heboh, terutama Citra. Bahkan pandangan kami bertemu pun, anak satu itu makin heboh seraya berlari ke arahku dan memelukku erat.

"Apaan sih?" tanyaku risih seraya melepaskan pelukannya. Bukannya dilepas, Citra malah memeluku erat.

"Gue lagi seneng aja!" nyengirnya begitu lebar membuatku menoyor kepalanya. Lihat, Ia malah tambah tengil.

"Izin kemana lo?" tanya Sandra seraya duduk dikursi Messy sedangkan Messy ntah pergi kemana.

Aku nyengir seraya mencari keberadaan Messy dan mengalihkan pertanyaan Sandra, "Messy kemana?"

"Palingan bikin es teh." ujar Citra.

"Kemana lo? Spesial amat di izinin sama Pak Aqsara." celutuk Messy dengan tangan membawa mug.

"Hehe, biasa orang dalem." cengirku lalu kembali melirik sana sini mencari keberadaan Mbak Indah. Bisa ajakan aku mengalihkan pembicaraan?

"Mbak Indah kemana dah?"

"Tadi nyari Messy, sekarang lo nyari Mbak Indah. Lagi pergi sama lakinya." ujar Sandra dan berlalu berjalan kearah mejanya yang disusul Citra.

"Lo kesiangan lagi?" tanya Messy seraya menghidupkan komputer yang dibalas gumaman olehku.

"Kebiasaan lo! Terus kenapa Pak Aqsara yang izin langsung? Heh! Gue dengar langsung dari mulutnya Pak Rahmat. Jangan ngeles lo." ujarnya yang kini menatapku tajam. Aku terkikik lalu mendekat ke arahnya seraya berbisik.

"Gue jadian sama Pak Aqsara! Jadian!" ujarku lalu berseru heboh. Mumpung ruangan lagi diisi teman-teman baikku.

"Seriusss?! Kapan?" tak kalah hebohnya Messy membuatku tertawa kencang.

"Kenapa lo?!" seru Sandra dari arah mejanya seraya berdiri menatap kami. Sedangkan Citra sudah berlari kembali ke mejaku.

"Ada apa? Apaan?"

"Ini sih matre duitan jadian sama Pak Aqsara." ketus Messy membuatku tertawa kencang.

"Gila loo?! Selamat wanita matre! Lo abisin tu duit Aqsa sekalian." ujar Citra dan kami tertawa bersama.

"Sinting lo berdua."

"Lo kalau cemburu bilang aja kali." celetuk Sandra seraya memukul lengan Messy dengan kikikan.

"Dikira gue lesbi?! Yaudah. Selamat! Semoga Aqsa bisa jaga baik-baik duitnya." ketus Messy dengan senyuman miring. Aku yang geram melihat ekspresinya langsung menepuk lengannya.

"Selamat yahhh sayang!" ujar Sandra. Aku pun terkikik.

"Gue kayak menang lotre aja. Mentang-mentang kejombloan gue lepas dari dua puluh tiga tahun ini."

"Karna ini pertama bagi lo. Jaga baik-baik itu duit orang." masih dengan nada ketus Messy berbicara. Aku pun memeluknya dengan gemas.

"Iya sayangkuh. Tenang aja."

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

"Kamu masuk kerja?" tanpa sadar aku mengangguk seraya mengaduk es coklat yang mungkin bubuknya benar-benar habis karena tidak berhenti aku mengaduknya.

"Pulang jam berapa?" tanya laki-laki disebrang telpon. Dengan senyuman aku menjawab.

"Kayak biasanya. Hari ini nggak lembur."

"Aku jemput kamu ya?" begitu mendengar tawaran tersebut. Aku langsung melompat kegirangan didapur kantor tanpa menimbulkan suara. Begini ya rasanya ada pacar?

"Yank?" aihhhh panggilan itu lagi! Aku kan masih malu dipanggil itu. Tapi, suka.

"Ehm. Iya." bisa muntah ini kalau Messy dengar aku bicara begitu kalem.

"Yaudah. Kerja lagi sana." tanpa sadar lagi aku mengangguk walaupun Aqsa tidak bisa melihatnya. Begitu bodoh pengaruh cinta ya?

"Eh, tunggu! Aku nunggu di halte aja ya? Nggak jauh dari sini kok." ujarku yang baru teringat kalau hubungan ini harus dirahasiakan. Lagi-lagi tanpa alasan. Nanti aku harus bertanya ke Aqsara! Juga, ingatkan aku untuk menanyakan jabatan Aqsa di kantor cabang.

Aku kan pacaranya kan ya? Ya, setidaknya harus ada kejujuran. Apalagi ini masalah sepele.

Yaelah, sekate-kate lo aja deh, Amelia.

"Kenapa nggak langsung di lobi aja?" nggak perlu jalan kaki."

"Kamu lupa kata temanku? Maaf ya, besok nggak lagi deh."

"Iya "

"Tapi nggak janji."

"Dasar. Yaudah nanti aku kabarin lagi. Happy working sayang."

"Iya. Kamu juga, sayang." ujarku dengan ucapan super pelan saat kata terakhir dengan kikikan. Bahkan, Aqsa diseberang sana tertawa yang akhirnya aku matikan sepihak. Maluuuuuuuuuu.

"Iya. Kamu juga, sayang. Tuh airnya tumpah sayang. Ngaduknya pakai sayang dong sayang." aku langsung menoleh ke sumber suara saat menemukan Citra dengan tatapan mengejek.

"Apaan sih?" tanyaku menahan malu saat ketauan Citra. Ember ni orang. Tanpa menghiraukannya yang sudah tertawa, aku beranjak seraya memegang mug dan berjalan ke arah meja.

Biar aja Citra dikira orang gila. Tertawa sendiri di dapur.

Ya, horor sih kelihatannya.
.
.
.
.
.
Tbc

Gimanaahh? Hahahah

Jangan lupa komen ya sama vote! Hihihihi aku jadi tidak malu lagi kalau ada yang komen atau vote (* ̄︶ ̄*)

Kamis, 5 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top