1

Sekali lagi, aku menatap penampilanku yang dihiasi celana yang nyaris hanya menutup bokongku saja dan baju yang hampir memperlihatkan dadaku. Ini gila.

Setelah mendapatkan predikat strata satu kota yang dikenal kota pelajar, Yogyakarta. Aku mulai mengirim CV di berbagai perusahaan hingga akhirnya diterima perusahaan yang lumayan besar di ibu kota. Sengaja aku melamar berkerja di ibu kota, karena ingin merasakan betapa kerasnya hidup di Jakarta. Lagipula hidup di Jakarta peluang untuk merintis karir cukup besar walaupun harapan begitu kecil karena banyak yang ingin bekerja. Alasanku juga karena ingin hidup bebas.

Seperti saat ini, setelah hampir satu tahun hidup di Jakarta. Keinginanku untuk menginjakan kaki di club akan tercapai bersama teman-teman kantor yang baru aku kenal selama sepuluh bulan ini.

Suara pesan berasal dari ponsel membuatku beranjak dari cermin yang memperlihatkan diriku sepenuhnya. Ternyata dari Messy yang sudah berada didepan gedung apartemen super sederhana ini. Dengan cepat aku beranjak dan menutup pintu. Setengah berlari untuk menggapai pintu lift yang hampir tertutup, nyaris aku berseru.

"Heii! heii, tungguuu!"

Hampir saja aku terbentur pintu lift kalau saja pintu lift tidak terbuka, tapi aku harus menahan agar tidak terlalu terbentur dalam lift. Untung saja rem dalam tubuh bekerja dengan baik. Begitu didalam lift, aku tersenyum kikuk kepada laki-laki yang sekira umurnya dua puluh tujuh. Pakaiannya begitu fashionable dengan merk yang begitu kenal di penjuru dunia. Oke, pria didepanku ini sepertinya kaya. Anak CEO kali yah? Wah bisa nih modus manjah.

Aku menggelengkan kapala dengan ide gilaku. Semenjak menginjakan kaki di ibu kota, setiap melihat orang-orang yang begitu kelihatan kaya secara nyata bukan secara terpaksa, aku mesti berpikir Ia anak dari punya perusahaan. Mengingat begitu banyak gedung-gedung tinggi disini.

Oke, aku norak abis.

Tunggu, aku baru sadar. Hanya kami saja berdua di lift? Astaga! Ini gila, pakaianku seperti ini pula. Lalu jaket yang inginku bawa tertinggal di kamar dong? Mati! Alamat demam ini besok. Secara langsungkan, aku tidak bisa terlalu diterpa dingin sedikit, pasti langsung menggigil.

Sial, ini lift kenapa seperti siput sih jalannya?

Tiba-tiba aku merasakan guncangan cukup aneh dan lampu yang tiba menjadi hidup mati. Astaga kenapa lagi ini? Bagaimana laki-laki didepanku bukan manusia?

Azab mau ke club atau gimana sih ini?

"Eh eh, ini kenapa?" tanyaku panik. Sial, laki-laki didepanku kenapa diam saja? Apa jangan-jangan benaran bukan manusia?

Astaga! Aku mau nangissssssss.

Getaran aneh tersebut berhenti dan lift kenapa tidak kembali berjalan? Tiba-tiba lampu didalam lift mati secara mendadak membuatku teriak ketakutan. Untuk menghilangkan ketakutan aku berjongkok dipojok dengan memeluk diri seraya memejamkan mata.

Sungguh! Aku sangat takut ditempat gelap begini dan diruangan yang sempit pula. Tanpa sadar aku menangis. Aku tidak tahan! Mungkin ini akhir segala hidupku 23 tahun.

Astaga, aku belum pernah merasakan nikah tapi sudah mati duluan. Belum merasakan kehangatan pacar boro-boro. Gini amat sih hidup gue! Azab kali yah mau ke club? Kan baru pertama kali.

Kenapa lama sekali? Walaupun diruangan sempit dengan minim udara, tubuhku begitu menggigil merasakan ketakutan yang akan terjadi. Bahkan, suara laki-laki tersebut tidak terdengar. Atau aku saja yang merasa tidak dengar karena dengungan telinga dan kepala begitu diputar secara keras.

••••••

"Udah bangun lo?" suara Messy yang begitu kentara di apartemen membuatku menoleh kearahnya yang sedang membelakangiku. Sepertinya gadis itu sedang membersihkan sisa tempat makanan.

"Hm." sahutku seraya menuangkan air ke gelas. Aku menatap Messy yang sudah begitu rapi dengan setelan kerja yang tak asing dimataku.

"Lo belum apa-apaan lagi?! Ini udah jam berapa Liaaaa?" seru Messy begitu sudah selesai tugasnya dan berkacak pinggang melihatku yang pasti mirip zombie saat ini. Tanpa melihat cermin pun aku tau, bahkan saat bangun mataku masih merasakan kantuk.

"Lo pakai baju gue?" tanyaku kepada Messy. Bukan sekali dua kali gadis itu meminjam setelan kerjaku, tapi seringkali! Bahkan, aku tak malu untuk menagih bajuku yang selalu lupa ia kembalikan. Kalau tidak begitu, lama-lama uangku habis sia-sia membeli pakaian terus.

"Iya! Ini kan gara-gara lo pakai pingsan segala. Udah cepetan sana. Gue salin aja ini makanan, ntar lo makan dimobil." ujar Messy dan segera menyiapkan sarapan. Aku terkekeh lalu mengecup pipinya sekilas.

"Makasih sayang."

"Najis lo bau jigong!" ketusnya membuatku tertawa seraya masuk kedalam kamar mandi.

Walaupun sering meminjam pakaian, Massy begitu baik membuat sarapan. Apalagi saat aku memaksanya untuk menginap di apartemenku, seharian aku bisa merasakan masakan enak. Siapa lagi kalau bukan Messy yang masak. Gadis itu memang pintar masak dari dulu, tidak sepertiku. Memegang bawang saja begitu enggan. Padahal bawang salah satu rempah yang selalu digunakan dalam masakan.

"Siapa yang selamatin gue kemarin?" tanyaku seraya sarapan nasi goreng dengan Messy menyetir di sebelahku. Mengingat kemarinkan ada laki-laki yang mungkin saja ikut pingsan atau kenyataan bukan manusia?

"Satpam mungkin. Gue nunggu lo hampir setengah jam, sekalinya nyusul lo udah pingsan deket lift. Orang - orang pada bangunin lo, lo malah keasikan pingsan sampai pagi." cibir Messy membuatku terkikik. Bener juga, nyatanya bangun-bangun sudah ditempat tidur dan jam sudah pukul pagi.

"Oiya, sih laki-laki didalam lift gimana? Pingsan juga?" tanyaku saat mengingat laki-laki yang lagi-lagi wajahnyaku lupa. Selalu seperti ini, kelemahanku lupa mengingat wajah seseorang ataupun namanya. Tetapi, kemarin akukan hanya melihat sekilas saja. Jadi, tidak salahkan?

"Hah? Siapa?" tanya Messy seraya melirikku sekilas.

"Itu loh yang satu lift sama gue. Kan gue didalam lift berdua sama itu laki-laki." ujarku.

"Nggak tau gue. Orang-orang situ cuman coba bangunin lo." ujar Messy membuatku terdiam. Apa jangan laki-laki itu bukan manusia lagi?

Gawat! Kalau gini caranya gue pindah kamar apartemen aja ya? Masa harus lewat tangga. Kan tidak lucu dari lantai sepuluh turunnya lewat tangga.

Tapi itu apartemen masih ada dua bulan lagi penghabisan sewanya. Masa harus buang-buang duit cuman karena orang tidak jelas itu?

Saat sampai dikantor. Aku tersenyum dalam hati, senangnya menjadi bagian perusahaan ini walaupun divisi tertinggi selalu kelihatan sosialitanya. Tidak perlu rendah hati, disinipun aku ingin bekerja dengan layak dan mendapatkan laki-laki yang layak lalu memenuhi kehidupan anak kelak. Mengingat tersebut membuatku tersenyum kecil. Setidaknya aku ingin mendapatkan laki-laki sederhana bisa mencukupi hidup keluarga kecil kelak.

"Kenapa lo?" tanya Messy seraya menyenggol lenganku. Saat ini kami sedang menunggu lift terbuka. Agak trauma, tetapi aku yakin! Perusahaan ini pasti menjaga keamaan dengan detail.

"Pengen nikah." bisikku yang membuatnya menatapku horor.

"Kerja aja lo belum setahun." cibir Messy seraya melangkah masuk kedalam lift. Kami pilih paling pojok karena duluan yang masuk. Ada karyawan divisi lain juga baru datang.

"Lo nggak apa naik lift?" tanya Messy dengan guratan khawatir.

"Tenang aja sayang. Kalau disamping lo gue merasa aman." ujarku seraya merangkul lengannya dan menyandarkan kepalaku dibahunya.

"Najis lo. Udah sana kawin lo cepet biar ada yang nemenin di lift."

"Lo kira gue nikah cuman mau ditemenin di lift? Sekalian aja gue tinggal di lift." cibirku.

"Ide bagus."

"Palingan juga rumah gue yang ada lift."

"Ngayal aja terus lo. Tau-tau besok lo dipecat. Mampus! Gagal ada lift di rumah." aku memutar bola mata dan menoyor kepala Messy. Kalau bicara suka sembarangan.

"Heh! Makanya cari yang tajir. Ntar gue jadi istri yang baik jaga anak."

"Ide bagus. Lo jadi pengasuh anak aja. Cari pekerjaan orang tuanya gaji besar. Artis tuh, kan sibuk. Lo jagain anaknya aja. Ntar gue bilang Pak Rahmat lo mau mundurin diri."

"Sinting! Gue susah- susah masuk ini perusahaan lo enak bener bilang mundurin diri. Fix! Gue kesel sama lo." ujarku dengan tangan yang bersedekap. Messy menyengol lenganku dengan senyuman yang ditahan.

"Elahh, kesel aja lo situ. Baju kagak gue balikin. Pulang sendiri lo, naik lift sendiri, bawang kagak gue potongin." ancam Messy seraya memainkan alisnya. Sial!

"Kagak kesel lagi gue. Canda." ketusku dengan wajah yang masih bertekuk.

"Lo sih sinting. Takut lift tapi mau punya rumah yang ada lift." kekeh Messy.

"Gue canda kali. Lo kira rumah gue sepuluh tingkat segala ada lift? Sekalian aja buka kost-kostan." cibirku. Saat Messy akan berbuka suara, lift tiba-tiba kembali bergetar walaupun lampu tidak berkedap-kedip horor seperti kemarin. Suara-suara didalam lift yang didominasi perempuan sontak saja jadi heboh.

"Syyy! Gueee takuttt!!!!!" ujarku dengan suara yang mulai bergetar. Dengan kuat aku mencekram langan Messy dengan mata yang terpejam.

"Tenang. Lo tenang. Oke?" ujar Messy menenangkan seraya memelukku. Aku mengangguk dan tangisan yang kutahan tidak bisa kucegah.

Demi apapun, ini terakhir aku naik lift! Lantai tujuh di kantor juga gue naiki itu tangga, apartemen gue juga kalau bisa!

"Saya terjebak di lift." suara laki-laki yang masuk ke gendang telinga membuatku berucap syukur. Sepertinya laki-laki yang berada di sini meminta bantuan temannya di luar.

"Lo jangan pingsan lagi! Ada meeting hari ini. Ah lo suka bener nyusahin." gerutu Messy. Aku mendongak dan menatap ruangan lift yang lumayan penuh ini. Jadi, liftnya belum ada perubahan walaupun getaran tidak ada.

"Liftnya kenapa diam gini? Lo telpon dong itu sih Tuyul. Gue kagak mau mati di lift!" ujarku.

"Udah lo diem. Lift lagi dibuka tuh." ujar Messy seraya memandang pintu lift. Mataku pun ikut tertuju ke pintu yang sedang dibuka. Melihat cahaya yang tampak malu membuatku nafas lega. Akhirnya, penderitaan drama kali ini usai.

"Ayo! Kita telat meeting." ujar Messy segera seraya menarik tanganku dan menerobos orang yang banyak tak sabaran ingin keluar juga.

Begitu sampai di ruangan meeting, aku menghela nafas dan segera duduk di kursi kosong seraya menyandarkan badan, kepala mendongak dan mata terpejam. Nikmat. Aku kira akan telat masuk keruangan meeting hingga akhirnya aku membawa laporan yang untung saja selesai, sebuah buku dan pen. Hanya seadanya, bahkan penampilanku tidak tau keadannya. Lebih utama adalah aku belum minum kopi pagi ini! Bisa-bisa kosentrasiku buyar hanya karena bisikan-bisikan setan mendayu menyuruh tidur.

"Pak Rahmat bilang Meeting diundur jadi besok." ujar salah satu staf yang duduk didepanku. Dengan mata yang masih terpejam aku mengangguk dalam hati. Syukurlah. Lagipula, pekerjaanku hari ini tidak begitu banyak. Cukup membuat laporan yang diminta sama atasan aja, Pak Rahmat.

"Tau darimana lo?" kali ini suara Messy terdengar. Aku merengangkan badan dan menatap wanita dengan hijab yang menghiasi kepalanya.

"Kan dia bini Pak Rahmat. Gimana sih lo." ujarku seraya beranjak dari kursi, sedangkan para staf lain sudah mengincir keluar saat tau meeting diundur.

"Bener juga lo. Oke, makasih mbak Indah." ujar Messy dan kami sama-sama keluar dari ruangan yang di dominasi dengan kursi.

"Pekerjaan lo banyak kagak hari ini?" tanyaku.

"Nggak terlalu. Kenapa lo?" tanyanya dengan kernyitan di dahi. Aku tersenyum menggoda seraya menyengol lengannya.

"Ntar malam club yok! Gue nunggu lo deh sampai pulang. Pekerjaan gue palingan sebelum istirahat sudah selesai." ujarku yang hanya diangguki Messy.

Tiba di ruangan kerja, aku berbelok arah ke dapur kecil untuk membuat kopi hangat dan tersenyum menggoda ke teman sekantorku, Citra dan Sandra . Sedangkan yang disenyumin hanya bergedik geli, aku terkekeh melihatnya.

"Lo tau darimana? Eh sorry gue lupa." tanya Sandra yang diakhiri nyengiran. Aku melihat kearah mereka yang masih bersantai ria dengan tangan masing-masing memegang mug.

"Apaan dah?" tanyaku dan ikut bergabung ke arah mereka seraya mengaduk kopi.

"Katanya ada anak bos besar ke kantor. Masih muda, cakep beuhhh. Kan desas-desus mau ganti bos besar." ujar Sandra heboh. Aku yang mendengarnya sontak tersenyum menggoda seraya melirik ke arah mereka yang langsung dapat toyoran.

Anak bos besar? Masih muda? Wow.

Bos besar itu sebutan para kami yang punya perusahaan besar ini, secara tak langsung bos itu sangat tertutup untuk urusan keluarga selain pekerjaan. Jadi, saat mendengar ada anaknya Pak Bos sontak saja kami bahagia.

"Gue tau isi otak lo." aku terkikik.

"Mana bisa lo gaet kali. Nggak demen dia sama lo, Yaa." ujar Citra dengan lirikan sinis.

"Mana tau aja lihat kecantikan gue jadi demen gitu." ujarku seraya mengibaskan rambut ke belakang.

"Elaah, lihat lo matrean aja ogah dia. Perusahaan jadi bangkrut gegara lo." ujar Citra membuatku tertawa keras. Astaga! Temanku bisa aja.

Memang, bukan rahasia umum lagi kalau aku dijuluki gadis matre karena tidak bisa melihat laki-laki yang dompet tebal. Plus tampan. Paket lengkap. Padahalkan realitis aja. Matre juga untuk kehidupan yang sejahtera. Emang mau hidup susah? Apa lagi kalau udah anak.

Anak mulu ye gue mikirnya?

"Udah ah kerja sana lo berdua. Gue laporin ntar sama pacar. Makan gaji buta." kikikku dan berlalu dari mereka, berjalan kearah meja yang selalu setia hampir setahun ini.

"Dipanggil Mbak Indah lo." ujar Messy disebelah mejaku tanpa melihatku. Aku mengangguk lalu berjalan ke arah Mbak Indah. Belum juga sampai dimeja Mbak Indah, dari kejauhan aku melihat Mbak Indah membuatku tersadar. Mbak Indah yang merasa ada perhatikan mendongak dan tersenyum ke arahku. Sial! Senyumannya manis tapi itu pertanda!

Tanpa babibu aku segera kembali ke meja dan mengambil tas serta keperluan lain. Menghiraukan panggilan Messy. Kenapa gue o'on begini dah? Pantesan rapat diundur, aku nya ada kerjaan dilapangan sama Pak Rahmat!

Berjalan cepat ke arah lift dan memencet tombol agar cepat terbuka, aku menatap arloji dengan gelisah. Gila, ini aku udah telat hampir setengah jam!

"Nggak takut naik lift lagi?" ujar seseorang disampingku membuatku menoleh ke arahnya dengan cengo. Apa katanya? Takut naik lift ya?

Aku lupa soal itu.

Dengan senyum sopan aku menjawab, "Saya ada perlu mendadak. Turun tangga perlu waktu lumayan lama."

Aku menatap laki-laki disampingku dan lumayan muda dengan pakaian agak sedikit formal. Mungkin tamu disini. Eh, jangan-jangan laki-laki satu lift denganku tadi ya? Tapi kenapa ngikut nunggu lift? Nggak takut itu orang?

"Tadi terjebak lift juga ya?" tanyaku akhirnya. Laki-laki disampingku mengangguk. Kembali kami terdiam hingga suara dering telepon masuk yang masih berada di tasku.

Tertera nama suami Mbak Indah alias Pak Rahmat.

"Halo, Pak?" pintu lift terbuka dan aku masuk kedalam seraya melirik laki-laki disampingku yang ternyata masuk juga. Takut juga kalau aku sendirian di lift. Kalau ada apa-apa kan setidaknya aku bisa kasi amanat kepadanya sebelum mati. Kussemangat.

"Iya, Pak. Saat ini saya lagi dijalan. Jalan keluar kantor, hehe."

"Loh? Siapa, Pak? Bilang tunggu dulu,kan gue nunggu ojek dulu. Taksi kemahalan. Iya-iya maaf, Pak. Keceplos." ujarku seraya terkikik dan langsung dimatikan sepihak. Udah kesal tingkat dewa tu kayaknya Pak Rahmat.

Kembali suara dering ponsel terdengar. Aku melihat si penelpon yang ternyata dari Messy. Sesaat ideku terlintas.

"Mau kemana lo? Lo bilang mau nemenin gue kerja!"

"Syy, tolongin gueee! Hiks, ini lift kenapa lagi coba. Ditakdirin gue mati disini kali ya?" ujarku dengan sesedih mungkin yang langsung dibalas desisannya.

"Nggak cocok lo akting! Sana lo hati-hati. Ntar biar gue jemput lo."

"Iya sayangku, cintaku, dan babuku." ujarku dan tak lupa kecupan yang mengelikan. Tanpa balasan, Messy langsung mematikan secara sepihak. Haa lagi-lagi gini.

Aku melirik disampingku dan meringis malu, "Maaf." yang dibalas anggukan maklum walaupun ada senyum geli di wajahnya.

Akhirnya yang ditunggu tiba. Lift sudah berhenti dilantai dasar tetapi ini kenapa lagi yaaa Tuhan? Pintunya tidak kebuka.

Tanpa panik, aku masih tenang walaupun sedikit gelisah. Berpikir positif aja, mungkin pintunya macet-macet atau gimanalah itu, yang penting layarnya sudah menandakan kami dilantai satu. Tidak ada pembicaraan diantara kami hingga selang beberapa menit membuatku tidak sabar.

"Kenapa sih lagi ini?" gerutuku seraya melirik sekilas kesamping, melihat tanda-tanda responnya. Akhirnya aku putuskan untuk berbicara duluan. Bagaimanapun laki-laki sebelah ini pasti tamu dan sebagai karyawan yang baik harus bertanggung jawab!

Aku berdehem, "Maaf ya kalau liftnya begini. Tadi pagi juga gini lagikan liftnya? Tenang saja, saya akan melaporkan kepada pihak perusahaan."

Laki-laki itu menoleh dengan alis terangkat satu. Sedangkan aku menyengir dan mundur selangkah, "Sekali lagi maaf. Saya sebagai karyawan disini bakalan janji bilang ke pihak yang berwenang. Emm, saya akan menelpon sebentar."

Hendak mencoba menelpon siapapun yang bisa aku telpon, laki-laki itu melangkah kedepan, lebih tepatnya wajahnya maju hingga membuatku kembali mundur dan sialnya punggungku menyentuh dinding lift.

Ini kayak adagen-adegan sih tokoh mau ciuman nggak sih?! Astagaaa, jangan-jangan takdir ciuman pertamaku di lift? Wow. Itu. Sangat. Wow.

Seperti ada tanda bahaya di kepalaku membuatku mendorong kedua bahunya. Enak aja mau nyosor sembarangan! Kenal aja kagak. Aku menatapnya garang dan laki-laki itu menampilkan tatapan tajam membuatku menantangnya dengan tatapan tajam juga.

Suara dentingan lift membuatku tersadar dan segera melepaskan tanganku dari kedua bahunya. Saat menatap pintu lift yang ternyata sudah terbuka lebar dengan karyawan yang sudah ramai menunggu didepan lift dengan wajah seperti melihat setan. Astaga! Tidak tau saja mereka kalau lagi-lagi lift bermasalah.

Dengan cepat aku menerobos para karyawan dan masa bodoh dengan para karyawan yang menatap seperti orang linglung, aku berjalan cepat seraya memesan ojek online. Enaknya zaman sekarang ya gini, tidak perlu buang-buang duit terlalu banyak untuk taksi. Cepat dan mudah.

Aku menghela nafas dan menoleh ke kanan-kiri. Kira-kira para karyawan tadi melihat adegan di lift nggak yah? Posisi begituan di lift tadi kan pasti memancing mereka berpikir nggak-nggak. Apasih begituan sama nggak-nggak.

Aih kenapa juga harus dipikirkan!

Selang beberapa menit dengan abang ojek yang aku suruh kebut dan tak lupa memberinya bintang, aku segera mencari batang hidung Pak Rahmat. Menerpa segela kepanasan dan rayuan para tukang membuatku keukeh mencari Pak Rahmat yang ternyata lagi duduk santai ria dengan secangkir gelas di dalam gedung bangunan yang hampir jadi. Aku menghela nafas dan secepat kilat berjalan ke arahnya.

"Pak Rahmat!" seruku. Masa bodoh, toh yang lagi bersantai duduk sendirian sambil menatap pekerja.

"Kamu! Saya tunggu hampir satu jam disini. Untung saja anak bos juga telat datangnya." dumel Pak Rahmat dengan hidung kembang kempis. Untung ini, suaminya Mbak Indah, kaya. Jadi mau gimanapun tetap cakep.

"Iya-iya maaf. Lagian, bapak sih mendadak amat kasi taunya." ujarku seraya duduk tak jauh darinya dan mencomot gorengan yang terletak diatas meja.

"Saya kan sudah bilang--, eh, Selamat Siang, Pak Aqsara ." tiba-tiba saja Pak Rahmat berdiri membuatku ikut berdiri dengan sembarang meletakan gorengan. Aku mendongak dan tersenyum menatap laki-laki muda yang ternyata berada satu lift denganku tadi.

Aku mengulurkan tangan dengan senyuman yang masih menghiasi, "Saya Amelia, salam kenal Pak Aqsara."

Dipikir-pikir, kenapa lucu sekali namanya Aksara?

Pak Aqsara tersebut masih menatapku tanpa melepaskan tautan tangan kami. Aku tersenyum meringgis untuk melepaskannya, mengingat tanganku masih ada sisa minyak dari gorengan yang aku makan tadi. Seperti tersadar, Pak Aqsara tersenyum, sangat manis membuatku terpesona melihatnya.

Astaga! Cakep banget sihhhhh.

Setelah perkenalan singkat, kami pun berjalan mengelilingi gedung yang baru setengah jadi. Aku yang agak beberapa langkah dibelakang Pak Aqsara sih nama lucu menyikut lengan Pak Rahmat dan berbisik.

"Itu tamu kita mau ngapain?" bukannya jawaban yang aku terima tetapi tatapan Pak Rahmat membuatku nyengir. Baru saja akan menjawab, tetapi suara sih lucu nama tersebut sudah nyelip duluan.

"Pak Rahmat, untuk kamar mandi bagian suiteroom lebih baiknya tidak ada usah ada pembatas begini. Modelnya samakan dengan kamar yang lain?" tanyanya.

Pak Rahmat mengangguk, "Iya Pak. Sesuai di diskusikan. Kamar mandinya disamakan saja semua, hanya saja ukuran ruangan yang berbeda dan ukuran bethup."

"Sebaiknya jangan ada pembatas begini."

"Baik pak."

Pembatas begitu saja dipermasalahkan? Iya sih, tapikan. Hemm sudahla. Lagipula dia siapa sih? Mana anak buahnya banyak lagi ngikutin belakang. Udah kayak anak sultan didampingi. Untung ramah-ramah anak buahnya.

"Menurut Bu Amelia, sebaiknya shower begini harus ada penutup atau tidak?" aku yang merasa terpanggil sontak tersadar.

Apa katanya? Bu Amelia? Berasa tua banget gue!

"Saya rasa lebih baik ada, tetapi dengan lapisan kaca stanparan agar airnya tidak kemana-mana. Lagipula, apakah tidak terlalu terbuka kalau tidak ada penutup? Sedangkan pembatas antara closet rencana akan dihilangkan?"

"Urusan airnya kemana-mana namanya juga kamar mandi. Tidak harus kering teruskan? Apa gunanya pengering di kamar mandi? Tetapi, apakah tidak terlalu pengap kalau ada penutup begitu?"

Ini gimana sih bapak satu?

"Kaca transparannya jangan sampai ke atas, Pak Aqsara. Setengah aja yang penting masih diatas shower. Lagipula, kamar mandi bagian ini cukup tinggi beberapa meter daripada yang lain. Hingga udara masih leluasa keluar masuk." ujarku diakhiri senyuman begitu menawan. Walaupun sedikit terpaksa.

Cakep tapi nyebelin juga ya?

"Akan saya pikirkan lagi sama-sama tim."

Terserah bapak-bapak aja dah.
.
.
.
.
.

Tbc

Hihihihihi udah terjun dunia pekerjaan aja ceritaku :p semoga suka ya hehe

Salam, Fayza

Selasa, 25 Feb 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top