Rhea

"H-Halo. Rhea?"

"Ya, siapa ini?"

"Aku Aram," jawabnya. Berusaha menerka seperti apa ekspresi Rhea mendengar itu.

"Aram? Ada...perlu apa?" rasa penasaran jelas meredup dari nada bicaranya setelah Rhea tahu, berganti dengan kejengkelan yang disamarkan. Aram tidak akan terkejut atas itu, atau kecewa atau marah. Ia pantas mendapatkannya.

"Ini... Aku...." Terlalu lama. Aram segera menyesali keputusannya untuk menelepon.

"Kenapa? Maaf, Aram, jika tidak mendesak, lewat chat sa-"

"Io!" potong Aram. "Aku melihat kucingmu!"

"Io? Di mana?" Nadanya meningkat bukan main. "Kamu lihat Io?"

"Iya, dia...dia ada di sini sekarang," jawab Aram. "Aku akan shareloc, kamu bisa menjemput dia ke sini, 'kan?"

"Iya, iya. Makasih, ya, Aram. Tunggu aku."

Aram menutup telepon dan mengirimkan lokasinya. Tak lupa ia juga mengirimkan foto Io. Dia kucing yang pintar, lebih jinak daripada Wili, dia tidak takut ke orang-orang. Itu tidak bagus, menurut Aram. Terlalu jinak. Kucing seharusnya waspada. Namun buktinya, dia masih sehat selama ini, tidak ada luka atau trauma. Tapi sepertinya sudah lama dia terpisah dari Rhea, Aram menilai dari bobotnya. Jika bersama Rhea, kucing tidak mungkin sekurus ini. Ia membeli sebotol air mineral dan sebungkus kecil VVhiskas basah.

Mereka duduk di café di halaman minimarket itu. Tas astronaut ia tinggalkan di dalam untuk menghindari pertanyaan yang tidak diperlukan. Io melahap makanannya dengan cepat. Aram menuangkan sisa air minumnya ke tutup botol untuk Io. Lalu mereka menunggu. Sekitar lima belas menit kemudian, Rhea datang.

Seorang wanita turun dari mobil, membuka payung, dan bergegas menghampiri Aram. Menghampiri Io. Dia hanya memakai tudung dari sweater tebalnya daripada seperangkat jilbab seperti biasanya. Tanda bahwa dia benar-benar buru-buru. Dan Aram mendapati dirinya terpaku lagi.

Sial.. Dia makin cantik, pikirnya.

"Io...," panggil Rhea, mulai tersedu-sedu. Ia memukul-mukul hewan beruntung itu dengan lembut. "Kamu dari mana saja, hmmm? Nakal! Nakal!"

Seketika Aram merasa tidak pantas berada di sana. Penglihatannya sedikit kabur, apakah itu air mata? Bukan. Aram jengkel. Ia marah pada dirinya sendiri karena seharusnya ia merasa terharu dan bahagia, mempertemukan mereka. Tapi... Tapi dia mirip sekali dengan Wili, pikirnya. Dan ia masih berharap bahwa itu adalah Wili, bukan Io.

"Kamu dapat dia di mana, Aram?" tanya Rhea, membangunkannya.

"Di bus," jawab Aram, mengusap kedua matanya diam-diam. "Dia ada di bus yang kutumpangi tadi. Mungkin berteduh dari hujan atau dia mencium ada makanan di sana," lanjutnya sambil memalsukan tawa.

Rhea tidak menanggapi, dia kembali membenamkan wajahnya pada si kucing dan mulai mengomel lagi. "Sudah hampir enam bulan...," katanya pada akhirnya. "Dia kurus sekali. Tapi aku selalu yakin dia pasti baik-baik saja di luar sana, 'kan, Io? Kamu kucing pintar, 'kan? Hmm?"

Aram hanya mengangguk.

"Di sini dingin-"

"Oh, iya, benar. Kamu langsung pulang saja, deh," kata Aram. "Io pasti juga belum kenyang."

"Eh, kamu belikan makanan, ya?" ucap Rhea sambil membuka dompetnya.

"Iya. Tidak, tidak," potong Aram, menggerakkan tangannya untuk menghentikan apa yang akan dilakukan Rhea. "Rhea, tidak usah. Cuma satu bungkus, kok, lagi promo, juga." Bohong.

"Tidak apa-apa, Aram, kamu-"

"Jangan, Rhe," larangnya lagi, saat Rhea mengeluarkan selembar uang seratus ribu. "Tidak apa-apa, aku yang traktir. Soalnya, Io pintar banget, sih."

Ia seketika menyesali kata-katanya. Apakah ia baru saja menolak uang sebanyak itu? Hanya saja, rasanya tidak benar. Tidak dari Rhea.

"Hmm. Ya sudah," ucap Rhea, menyimpan dompetnya dan menggendong kembali Io.

Aram hanya mengangguk.

"Kalau begitu, terima kasih banyak, ya, Aram. Kamu... Kamu dari mana mau ke mana? Maaf aku tidak bisa-"

Klakson kecil berbunyi dari mobil.

"Tidak apa-apa," jawab Aram, menggeleng dan menunjukkan ponselnya. "Aku sudah pesan ojol, sebentar lagi dia sampai, nih. Terima kasih kembali, Rhea."

"Aku pulang dulu."

"Ya, hati-hati, Rhea. Io."

Rhea berbalik dan beranjak, payung di tangan kanannya, Io di lengan kirinya. Lalu Aram memberanikan diri, atas semua hal yang telah dan sedang terjadi di benaknya, untuk mengatakan yang seharusnya ia katakan.

"Rhea!" panggilnya, melangkah maju dan menyenggol meja. Botol air mineral jatuh ke lantai.

Rhea berbalik, dan menunggu.

"Aku minta maaf," pintanya lirih, tak berani menatap apa pun, mengkhianati usahanya agar tidak terdengar payah. "Aku menyesali segalanya. Aku-"

Rhea masih berdiri di sana, menyimak. Beruntung.

"Maafkan aku," katanya, akhirnya menatap mata Rhea. Ia tak tahu apa kalimat selanjutnya.

Rhea hanya mengangguk. Lalu berbalik lagi dan beranjak. Sesaat kemudian, mobilnya melaju dan hilang ditelan jalanan kota.

Sialan, pikirnya, menyadari air hujan dan rasa sakit di telapak tangannya yang terkepal. Aram kecewa rasanya tidak sesuai seperti yang ia harapkan.  Mengucapkan kata maaf masih jauh dari mengangkat beban yang ternyata sudah seberat itu di pangkal tenggorokannya. Meski begitu, Ia masih harus pulang ke kos.

Hujan juga masih berlanjut. Aram melewati kamar satpam gedung kos-kosannya. Itu adalah tempat tidur Wili. Dia hanya kucing liar, sudah tinggal di sana sejak Aram pindah ke tempat itu dua tahun yang lalu. Mereka langsung akrab. Kucing yang merepotkan, Wili itu. Setidaknya sekarang ia tak perlu menyisihkan makanan lagi untuknya. Tidak perlu singgah untuk bermain dan menyita waktu istirahatnya. Setidaknya dia sudah tidak kedinginan lagi, tidak kelaparan lagi.

Karena ia sudah mati dan tidak bisa merasakan apa-apa lagi, 'kan? pikirnya, ia benci segala jenis justifikasi untuk kematian.

Aram masih berusaha mengangkat kedua kakinya menapaki anak tangga yang tampaknya tak mau habis. Tas astronaut membatu di punggungnya. Kedua kakinya kebas, rasa sakit habis terkilir mulai tak berasa. Wili juga setuju, dia jarang naik sampai ke lantai sepuluh. Terlalu jauh, terlalu menguras kehidupan. Namun, semakin tinggi kamar maka semakin murah, tidak ada alasan untuk tidak mengambil yang paling tinggi, kalau begitu. Lift ada, di belakang, tapi hanya aktif hingga pukul sembilan malam.

Akhirnya ia sampai. Aram segera masuk dan menutup pintu, terlalu malas untuk menguncinya kembali. Terlalu malas untuk meneruskan langkahnya. Ia merosot turun dengan punggungnya di pintu. Terduduk dan bersandar di lantai. Dia mencoba melepas pakaiannya yang basah kuyup tapi malah berakhir terbaring dengan bahunya di lantai.

Ia tak mampu menangis. Tak ada yang bisa keluar. Ia ingin menangis, setidaknya itu bisa meringankan. Namun ia hanya berguling di sudut ruangan, mengejar-ngejar napasnya, menguap, dan berharap ia bisa cukup menghilang saja. Seperti mobil yang melebur di jalan raya, seperti lilin di tengah badai.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top