akhir


Waktu itu kayaknya aku pernah bilang ada satu anak fusion yang bakal sad end gak sie? xixixi
______

"Cantiknya, mirip Papanya banget mukanya."

"??? Maksud lo apa anjing??"

Iya, itu [Name], yang tidak terima anaknya disebut mirip dengan suaminya. Padahal faktanya memang begitu. Aldila itu seperti Gentar tapi versi perempuannya saja. Ditambah, anak itu memiliki mata yang sama seperti Gentar; mulai dari warna, bentuk, caranya menatap. [Name] benar-benar tidak kebagian apa-apa dari fisiknya, karena itu ketika orang berkata, "Anaknya mirip Gentar, ya," [Name] akan (sangat) mengamuk.

Ya, bayangkan saja. Sudah mengandung selama sembilan bulan dengan segala hambatan seperti; susah bernapas, susah bergerak, pilih-pilih makanan, terkadang muntah, mood tidak jelas, serta hambatan lainnya, lalu saat lahir, 99% fisik bayinya sangat mirip dengan suami yang tidak banyak berkontribusi ketika sedang masa kehamilan (hanya ikut andil dalam proses reproduksi).

Bagaimana [Name] tidak mengamuk? Karena itu, ada baiknya untuk tidak berkata Aldila mirip Gentar di hadapan [Name]. Terakhir kali Blaze bilang seperti itu, esoknya Faya sudah membantu ibunya (istri Blaze) dengan membawa kain kafan. Agak mengerikan, tapi itu keluarga Blaze, jadi tidak begitu heran.

Selama dua minggu pun, [Name] menjadi sedikit cuek kepada Gentar karena fisik anaknya begitu mirip dengan Gentar. Gentar yang memang bingung harus bagaimana hanya bisa pasrah dan menunggu [Name] jadi lebih baik. Untungnya waktu itu [Name] berhasil dibujuk dengan istrinya FrostFire yang berkeluh kesah karena putranya sangat mirip dengan FrostFire, tidak dari segi fisik saja, tapi dari segi sifat juga. FrostFire mewariskan seluruh dirinya kepada putranya (kalau bahasa agak dilebih-lebihkannya).

Mendengar cerita istri FrostFire, [Name] menjadi memiliki sebuah semangat. Saat ini, hanya fisik Aldila yang mirip dengan Gentar, tapi sifatnya belum. Oleh karena itu, [Name] memiliki rencana untuk membuat Aldila mengikuti jalan tidak benarnya, wibu. Astaga, tolong siapapun hentikan kewibuan [Name].

Itu benar-benar terjadi, di umur tiga tahun, Aldila sudah bisa mengingat empat nama suami gepeng [Name], tapi tidak pernah bisa mengingat nama panjang Gentar. Waduh. Kini umurnya sudah lima tahun, caranya melihat dunia sudah salah karena [Name], anak itu sekarang sudah masuk ke fase bocah kematiannya. Apalagi, bocah kematian ini wibu.

Mampus, deh.

____

Seperti biasa, di hari libur seperti ini Gentar dan [Name] tidak akan keluar rumah, mereka lebih memilih di dalam rumah karena merasa khawatir dengan kondisi Aldila. Aldila tidak bisa di tempat ramai, dia akan tremor, pusing, dan berakhir pingsan. Pertama kalinya hal seperti itu terjadi pada Aldila ketika Aldila masih berusia empat tahun, sejak saat itu pula, Aldila jadi jarang keluar rumah. Kalau pun malam minggu, keluarga kecil ini akan menonton film bersama dalam satu selimut yang sama. Sederhana, tapi cukup menyenangkan.

Mungkin memang terkadang Aldila merasa bosan karena di rumah saja, tapi Arsa terkadang mengunjunginya agar Aldila tidak begitu merasa kesepian. Arsa ini memang suka berkeliling sana-sini hanya untuk membuat sirkel pertemanan yang lebih luas. Sopan dan istrinya sendiri tidak masalah dengan hal itu, selama anak mereka tidak aneh-aneh saja sih (Padahal Arsa banyak melakukan yang aneh-aneh). Oleh karena itu, kalau Arsa tidak datang berkunjung, Aldila akan mulai berceloteh. Seperti―

"Ayah!"

"Apa?"

"Kenapa bumi itu bulat?"

"Kata siapa bumi bulat? Bumi datar."

"Kata Mama bumi itu bulat."

"Ngawur Mamamu itu, bumi datar."

"Oh iya? Kalo misal bumi datar, kenapa dia datar?"

"Ya udah setingan pabriknya begitu."

"Setingan pabrik itu apa?"

"Ya aturan kali ah, gitu lah."

"Pabrik bisa diseting?"

"Iye,"

"Gimana tuh caranya?"

"Gatau, Ayah gak kerja di pabrik. Coba noh tanya sama Om Gopal atau Om Blaze."

"Emangnya mereka kerja di pabrik?"

"Enggak sih,"

Jujur, kalau Aldila sudah banyak bertanya seperti ini, energi Gentar akan cepat habis. Aldila memang sedang dalam fase bocah kematiannya, tapi ya agak lain dikit (kalau kata Gentar). Biasanya kalau ada [Name], Aldila akan banyak bertanya pada [Name], dan dapat jawaban yang lebih masuk akal daripada milik Gentar. Namun, berhubung [Name] sedang tidak ada di rumah karena ada janji dengan teman masa SD-nya, jadi Gentar yang menggantikan.

"Ayah,"

"Hm?"

"HP lama Ayah layarnya retak ya?"

"Iya,"

"Kenapa retak?"

"Jatuh dari atas meja,"

"Meja apa?"

"Meja ruang tamu,"

"Oh...." setelahnya, Aldila diam. Dia pergi dari hadapan Gentar untuk mengambil ponsel lama Gentar yang sudah retak itu. Dia mainkan sebentar sebelum kembali bertanya pertanyaan yang sama.

"Ayah!"

"Apaa?" Gentar sudah mulai lelah.

"HP lama Ayah layarnya retak!"

"Iyaa, kan tadi udah dibilangin."

"Kenapa retak?"

Gentar mengusap dadanya sabar, Aldila memang suka mengulang pertanyaan yang sama tanpa alasan. Oleh karena itu, ketika pertanyaan itu diulang, Gentar tidak akan begitu fokus menjawab. Asal-asalan jawab saja.

"Karena jatuh dari meja,"

"Jatuh dari meja apa?"

"Meja makan,"

"Salah! Tadi Ayah bilang jatuh dari meja ruang tamu."

Oh astaga, Gentar sedang dites. Lantas, ayah dari gadis cilik ini menatapnya sebal dan mendengus. Dia menangkap putrinya dan membawanya ke dalam pelukan hangatnya.

"Siapa yang ngajarin kamu begitu?"

"Nggak ada. Kan emang Ayah aja yang suka nggak fokus kayak gitu. Kalo kata Om Supra, itu disebutnya bodoh."

"Aldila...."

Aldila hanya tersenyum sembari menampilkan giginya. Tidak ada rasa bersalah dalam hatinya. Membuat Gentar gemas dan memeluk lebih erat putri semata wayangnya. Namun, belum ada satu menit mereka berpelukan, telepon Gentar bunyi. Menampilkan sebuah layar bahwasanya [Name] meneleponnya. Lantas, pria itu menurunkan putrinya di sofa dan mengangkat telepon dari sang istri.

Dia bangkit dari sofa sembari membawa cangkir bekas ia meminum kopi tadi, dia bermaksud mampir ke dapur untuk menaruh cangkir tersebut di cucian piring.

"Halo, [Name]?"

"....."

Melihat hal itu, Aldila bangkit dari sofa dan menuju ke tempat bermainnya, ia tahu kalau sudah berteleponan begitu berarti ayah dan mamanya ingin membicarakan hal privasi. Iya, setidaknya itu yang Aldila pikirkan―sampai ia mendengar suara cangkir jatuh di telinganya.

Terkejut? Iya. Gadis cilik itu kembali keluar dari tempatnya bermain, dan mendapati raut wajah ayahnya yang terlihat panik dengan telepon digenggam olehnya. Cangkir yang ayahnya bawa tadi pecah, terlepas dari tangan kanan ayahnya, sehingga pecahan itu sedikit mengenai kaki ayahnya sampai terluka.

Ragu-ragu, Aldila menghampiri ayahnya, dengan wajah sedikit ketakutan.

"... Ayah, Ayah nggak apa-apa?"

__________

END

Saksikan kelanjutannya di kisah Aldila nanti di buku sebelah 🤭🤭🤭

Aku waktu itu bilang bakal ada satu yang emang sad ending, tapi yh aku bikin gantung aja dulu karena di kisah aldila nanti semuanya bakal jelas walau timeskip umur aldila udah 16-17 tahun.

Aku bener-bener makasih ke kalian, gak nyangka buku ini berhasil terselesaikan dengan 15 bab seperti biasa 😭😭😭✋ bangga banget, walau sempet ngilang 3 bulanan, tapi aku bertanggung jawab menyelesaikan buku ini.

Also,


Hehehe aku akan memperjelas ini semua, kayaknya cuma bakal ada 5 bab deh ini, setiap bab pake POV masing-masing anggota keluarga, bab 1 pov solar, bab 2 pov name, bab 3 pov cahaya, bab 4 pov cheryna.

Ntar bab 5 baru semuanya jelas ✋

mau aldila dulu atau solar dulu? 🤭

makasih banyak ya, sampai jumpa di buku selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top