5. Mr. Voodoo

Prompt 3 : Kau menatap jarum dengan benang hitam yang teruntai di tanganmu dengan ragu. "Tidak apa-apa," sahutnya. "Lakukanlah." Kau mengangguk mantap, lalu menusukkannya ke bibir.

AzaleaAzzahraF

                               ***


" Hei apa kau yakin aku bakal menang dengan kostum ini?"

Keningku berkerut ragu di pantulan cermin begitu kostum yang dirancang dengan baik hati oleh sahabatku, Alvin, telah terkenakan sempurna di tubuhku. Awalnya aku yakin kalau Alvin si tangan terampil itu yang membuatnya, tetapi jubah cokelat kusam beraksen rajutan ini mulai meragukanku.

Alvin datang dari dapur, kedua tangannya mengocok-ngocok botol cola yang salah satunya segera kutangkap dan kuminum rakus. "Tenang saja, Valent. Kostum boneka voodoo itu keren, lho."

"Apa kerennya jadi boneka voodoo?"

Alvin tersenyum misterius, menuntunku kembali masuk ke dalam kamarnya. Setelah aku menurut masuk dan duduk di sisi kasur, ia menyerahkan sebuah sabit bergagang sepanjang dua meter yang kerealistisannya membuatku terkagum. "Mitos boneka voodoo terkenal bersangkutan dengan kutukan, 'kan? Bayangkan, hanya sebuah boneka kecil yang dirajut sedikit saja, begitu ditusuk dengan paku, akan menjelma menjadi dewa kematian yang menyambar target kutukan!"

Seluruh keraguanku lenyap seketika membayangkan betapa kerennya diriku yang bertransformasi dengan bantuan efek dari Alvin di belakang panggung nanti. "Keren sekali! Kau memang yang terbaik, Alvin!"

Alvin menyeringai bangga, "Tapi kau perlu satu pelengkap lagi untuk memastikan kau akan terpilih sebagai juara terbaik," Tangan kanannya mengacungkan sesuatu padaku.

"Jarum?"

Alvin mengangguk, meruntutkan tangannya ke ekor jarum itu sehingga aku menyadari bahwa jarum itu telah tersambung dengan seuntai benang hitam yang cukup panjang. "Bukankah ciri khas boneka voodoo itu adalah mulutnya yang terjahit dari benang hitam? Kau harus melakukan totalitas untuk menang, Valent."

"Uh, totalitas sih totalitas, tapi apa harus sampai segitunya? Tidak mungkin 'kan aku menjahit mulutku sendiri? Sakitnya mana tahan,"

Alvin menggeleng, senyumnya masih bertahan. "Tahu, tidak? Yang kau minum tadi itu bukan cola, tapi bius khusus berdosis rendah yang bisa mematikan rasa sakit seseorang beberapa waktu. Karena sudah kau habiskan tiga perempatnya sejak tadi, efeknya pasti sudah dimulai dan berakhir sekiranya tengah malam nanti. Aman dari waktu pesta."

"Tapi—"

"Dengan pelengkap ini, kau bakal menang, Valent," bisik Alvin penuh penekanan, "Lizzie akan terpukau dengan aksimu di panggung. Dia pasti akan menerima ajakan kencanmu dengan senang hati."

Begitu nama Lizzie disebut, aku segera teringat dengan misiku. Kuambil jarum beruntai benang hitam dari tangan Alvin tanpa ragu—Alvin, sahabatku sejak SMP, tidak akan berbohong soal obat penawar rasa sakitnya, 'kan? Kudekatkan ujung jarum tajam itu ke bibirku, senyum mendukung Alvin di depanku yang menegakkan sebuah cermin kotak hingga dapat kulihat pantulan wajahku sendiri di sana menjadi hal terakhir yang melengkapi tekadku.

Dengan mantap, kutusukkan jarum beruntai benang hitam itu ke bibirku.

***

"Sumpah, kau keren kalau totalitas begitu, Valent!"

Dengan bibir yang terjahit, aku hanya bisa mendengus lewat hidung sebagai respon. Ternyata benar, aku sama sekali tidak merasakan sakit sedikitpun bahkan setelah kusudahi jahitanku dengan sebuah simpul dibantu Alvin. Bibirku hanya terasa kebas saja, dan aku harus kalem mencegah bibirku berdarah dengan tetap tutup mulut.

"Hei, Valent. Sudah sampai, lho."

Kalau muluku tidak terjahit, aku pasti akan menyahut kaget 'sudah sampai?' tapi karena aku harus setia tutup mulut, aku lekas keluar saja.

Tapi bukan gerbang sekolah bercat perak yang kudapati, justru pepohonan yang berjejer. Begitu kuingat dan kuperhatikan lebih jeli, sadarlah aku bahwa ini adalah hutan jalan pintas yang terhubung dengan gerbang belakang sekolah.

"Kita perlu totalitas boneka voodoo yang tidak terlihat bahayanya sebelum kutukannya ditancapkan, 'kan?" ujar Alvin yang baru keluar mobil, mendorong punggungku, "Ayo, Tuan Voodoo, kita menyelinap dan muncul begitu dipanggil ke panggung saja."

Satu lagi pelengkap totalitas dari Alvin. Menuruti dorongan tangannya, aku melangkah maju menyusuri jalan setapak berhias rerumputan liar dengan penerangan dari senter ponselku. Ah, aku benar-benar tidak sabar—

Bruukk!

Sial, tersandung apa aku barusan sampai jatuh? Kurasa aku harus menjeda khayalanku dulu di jalan remang ini. Ugh, di mana ponselku jatuh—

"Gh—!"

Aku mengernyit nyeri merasakan sesuatu serasa meretakkan punggung tanganku yang tengah meraba-raba tanah berumput. Dalam keremangan, kulihat sebuah tangan mengambil ponsel yang tadinya hanya tinggal sejengkal dari jangkauan tanganku. Sinar senternya menyilaukan pandanganku yang berusaha mendongak, sebelum posisinya digeser sehingga aku dapat melihat seringai lebar yang tersungging di wajah pencuri ponsel sekaligus penginjak tanganku.

Alvin...?

"Ups, malangnya sahabatku yang sangat naif ini," sahutnya menjawab belalak mataku. "Maaf, Tuan Voodoo, sayangnya kau harus melakukan peranmu dengan totalitas sebenarnya di sini."

Belum sempat kucerna ucapannya, mendadak pening berderak tajam di kepalaku. Seketika itu pula, aku tidak bisa merasakan tanganku yang diinjak Alvin. Juga tangan yang satunya. Lalu leher, bahu, dada, perut, menjalar hingga ke ujung kaki.

Aku lumpuh...?

"Jangan takut, Valent...," Kudengar suara Alvin yang bernada. Kemudian rasa sakit menyengat di sisi tubuhku—tepat di tulang rusukku, seiring tubuhku berguling telentang. Apa aku tidak salah lihat Alvin baru saja menurunkan kakinya yang seolah-olah habis dipakai menendang itu?

"Kau pasti menang kalau ikut kontes kostum konyol itu. Yap, seharusnya kau menang, 'kan, Valent? Tapi itu kalau kau ikut, kalau kau ke sana—yang sayangnya tidak akan terjadi."

Meski tubuhku serasa lumpuh, aku justru bisa amat merasakan sakit yang berdenyut-denyut di tulang rusukku. Juga seuntai tali tambang yang dilingkarkan mencekik leherku oleh Alvin.

"Apa cola-nya enak, Valent? Oh-oh—maksudku obat biusnya? Eh, salah lagi, yang benar itu adalah ramuan sihirku. Enak, 'kan? Sampai-sampai kau jadi tidak bisa bergerak sekarang. Huh, kau tidak percaya sihir itu sungguhan? Kalau begitu, bakal kubuktikan sebentar lagi. Sabar, ya?"

Alvin menunduk, meraih sesuatu yang tergeletak di tanah. Begitu ia kembali tegak menghadapku, benda yang dipanggulnya di sebelah bahu itu membuat debar jantungku kian menggila, sementara tubuhku justru kian lemas saja.

"Ini dia! Sabit dewa kematian yang bersemanyam dalam boneka voodoo, eh? Tapi kalau sebenarnya dewa kematiannya yang menusukkan paku ke boneka voodoo, tetap masuk akal, 'kan? Eh tapi, kalau boneka voodoo, harusnya ditusuk pakai paku, ya? Yahh, aku cuma punyanya sabit."

Alvin berhenti melangkah, wajahnya mengerut kecewa menatap sabitnya—debar jantungku mereda sedikit demi mengais harapan dari celah itu, sebelum seringainya kembali terbit.

"Ups, tak ada paku, sabit pun jadi. Ya?"

Tidak, tidak, tidak. Alvin, kau sahabatku, 'kan? Bukankah itu artinya kau tidak akan menusukkan pangkal runcing sabit itu ke jantungku? Tidak, 'kan? Sekarang kau sedang bercanda, 'kan? Halloween prank?

"Iya, Valent. Kita sahabat, kok. Karena itu, jadilah boneka voodoo-ku Halloween ini." []
  
                               ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top