4. The Siren of Freak


Prompt 3 : Kau menatap jarum dengan benang hitam yang teruntai di tanganmu dengan ragu. "Tidak apa-apa," sahutnya. "Lakukanlah." Kau mengangguk mantap, lalu menusukkannya ke bibir.

Kahnivore

***

Sudah berhari-hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Padahal dulu aku berpikir kalau aku sudah berada di puncak, menggapai segala sesuatu yang kuinginkan. Aku akan mudah terlelap, berhiaskan mimpi yang membuat mataku enggan terbuka. Namun nyatanya, angan itu selalu membohongi. Selalu kalah oleh kenyataan. Aku menghela nafas, memutar kemudi, berusaha untuk kelihatan tegar. Aku mengulurkan satu tangan hendak menyalakan radio, tetapi terhenti di udara.

"Aku menunduk untuk merunuti bagian terkecil dari pori-pori kulitmu, menghitung setiap syaraf yang berdenyut. Aku suka jantungmu. Dan darahmu, oh, darah orang jahat selalu terasa pahit tetapi itulah kelebihannya..."

"Senandung yang menghangatkan hati, Midas," aku bergumam selagi mataku kembali fokus pada kemudi dan jalanan yang dilalui kendaraan kami. Pria tampan di sampingku terkekeh pelan tetapi tidak mengatakan apa-apa selain melanjutkan senandung seramnya. Inilah satu-satunya hal yang bisa aku terima—dipasangkan dengan Midas, pemuda itu selalu tahu cara untuk menghilangkan rasa gugup yang akan menguasai setiap kali kami menuntaskan 'pekerjaan' paling diinginkan sejagat raya. Walaupun cara Midas menghiburku bisa dibilang mengerikan untuk ukuran seorang manusia, tetapi aku tidak protes. Apapun kuperbolehkan hanya agar sesuatu yang kurasakan di ulu hatiku musnah.

Kami mendekorasi ulang segala hal, mengatur semua agar sesuai dengan rencana yang sudah kupikirkan masak-masak untuk masa depan bumi yang lebih baik. Bahkan pemerintah yang sekarang rasanya takkan cukup. Spesies kami berpikir bahwa ini semua bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang. Pemikiran yang jauh dan sulit itu tentu menginginkan pengorbanan dan aku telah mengorbankan segalanya. Hampir.

"Kita dapat apa hari ini?"

"Dua subjek. Seperti biasa, pria untukmu. Wanita untukku," jawab Midas dengan enteng. "Atau mungkin kau mau bertukar posisi?"

Aku menunduk, pura-pura berpikir. Ujung mataku menangkap pergerakan di HoloMaps. Memperlihatkan bahwa kami makin dekat dengan tujuan. Tidak ada waktu lagi. Aku segera melepaskan tangan dari kemudi dan membiarkannya menjadi auto-pilot. Sementara itu aku mengambil barang-barang dari jok belakang, kulemparkan beberapa ke Midas. "Ide yang bagus," geramku selagi menempelkan satu benda di punggung. Benda itu tak kentara sebab kaos dan jaket kulit—yang masih bau pabrik—akan menyamarkan bentuknya. Takkan ketahuan kalau tidak dipegang atau kalau aku tidak ingin memperlihatkannya.

"Kalau begitu ini," Midas memberiku lempengan yang berisi informasi subjek yang akan kugarap hari ini. "Semoga beruntung."

Aku tidak membutuhkan keberuntungan, aku sudah pasti menang dengan mudah dan cepat. Hal yang selalu sama sedari dulu. "Kau juga."

Midas memberiku senyum miring andalannya, dia memasukkan lempeng informasi ke pelipis. Sekejap lempeng itu sudah tidak ada, Midas mengerjap beberapa kali. Ekspresi wajahnya dengan segera berubah menjadi serius. Aku mengikuti teladan Midas, merasa lempeng itu berkonstraksi dengan otakku, mengirimkan informasi melalui mata.

Pertama yang kulihat adalah informasi inti mengenai subjek.

Deara Mourgan. 230. Penggelapan uang. Pengkhianat negara.

Kemudian setelah menghiraukan informasi pribadi yang tidak terlalu penting, foto subjek akhirnya terlihat. Mudah diingat, tipikal wanita dengan gaya yang akhir-akhir ini banyak digandrungi. Mata biru, rambut yang diwarnai dengan dua atau tiga warna mencolok. Tindik di beberapa bagian wajah—yang hanya akan dipakai oleh kelas rendah atau menengah atau bukan bagian dari aparat negara. Aku lagi-lagi menghela nafas, berpikir bahwa kali ini takkan ada perlawanan yang berarti. Paling-paling hanya berupa pistol murahan, dan alat kejut yang bahkan takkan mempan untuk melumpuhkanku.

Begitu melihat bagian samping bangunan yang berpendar dengan kelip neon menyakitkan mata. Aku menggerang. Aku tidak pernah menyukai keramaian. Keramaian takkan menjadi lebih mudah untuk pekerjaan kami. Akan tetapi Midas punya pendapat yang berbeda denganku. Seringaiannya makin melebar, aku hampir-hampir bisa melihat wujud aslinya saat ini. Membuatku mau tak mau memalingkan wajah, tak ingin melihat refleksi diriku disana.

Tidak ada penyesalan. Manusia jejadian sepertiku pantang menyesal.

Kami masuk ke dalam Club tanpa halangan yang berarti. Bau nikotin, keringat dan darah membuat keningku berdenyut-denyut bersemangat.

Saat aku masih berusaha menyesuaikan pernapasanku dengan udara di sini, Midas sudah menghilang. Dengan cepat dia berbaur di antara tubuh yang bersesakan, menyelinap dengan mudah. Sepertinya pemuda sinting itu sudah menemukan subjeknya. Sekilas aku menangkap sosok subjek Midas. Pria tinggi dan terhormat—dilihat dari potongan rambut serta pakaiannya yang licin. Aku menggeser pandangan saat tanpa sengaja mata kami bertemu. Terkadang aku heran sendiri, tempat busuk ini selalu menjadi favorit bagi orang-orang putus asa dengan masalah yang menggerogoti mereka. Terlena oleh ketenangan sesaat. Tak tahu bahwa saat ini mereka sudah membuang kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang diperbuat.

Mereka malas atau selalu mungkin—putus asa sepertiku.

Namun aku kesini bukan untuk bermuram durja.

Aku mengetuk kening satu kali untuk mengaktifkan sensor identifikasi. Deara ada disana, bersandar santai, terpisah dari keramaian. Aku tercengang saat sensorku tak menemukan satupun senjata tersembunyi dalam pakaiannya.

Aku menyambar cairan kuning dari robot pelayan yang lewat. Gadis itu mengangkat satu alis saat melihatku mendekat, tetapi hanya itu saja reaksinya, sebab sesaat kemudian dia kembali tenggelam dalam isi kepalanya sendiri. Sejujurnya aku tidak seperti Midas yang akan melakukan pekerjaan tanpa basa-basi. Aku suka menunggu, mendengarkan keluh kesah yang bekeliaran dalam kepala si subjek. Melihat kenangan atau dosa-dosa yang menggerogoti jiwa serta akal sehat mereka. Kenangan Deara sangat sedikit bahagianya, sementara dosa-dosanya lebih membebani. Entah mengapa aku berhenti mengintip saat melihat gambaran dirinya menangis dalam gelap.

Sendirian.

Deara memalingkan wajah, tetapi itu sudah lebih dari cukup untukku. Aku menunduk, mendekatkan wajahku ke wajahnya, sementara dia berdiri terpaku. "Ikuti aku," aku bisa melihat uap hitam berhembus dari mulutku ke telinga Deara, menghanguskan kulit dan beberapa helai rambut berwarna, menjadikannya hitam permanem.

***

Deara tidak berjengit saat gigiku merobek daging di lehernya, memutus urat, memuncratkan seliter darah ke dinding dan kaca toilet. Sementara tubuh gadis itu tumbang, aku melihat perwujudanku sendiri di cermin bernoda, lampu berkedip-kedip diatasku seirama dengan detakan jantungku. Monster itu balas menyeriangi. Mengerjap dengan matanya yang jelek.

Senandung Midas kembali tergiang-ngiang.

Aku menutup bibir, masih mampu merasakan anyir darah dalam mulutku, berkubang, bercampur dengan liur. "Aku tak mau lagi."

Monster itu tertawa, dia menggeleng, mencela penyesalanku. "Lihat dirimu, Siren. Apa yang kau lihat? Katakan padaku."

Ada dua hal yang kubenci. Pertama, spesiesku. Kedua, suaraku.

Busuk. Busuk. Busuk.

Monster itu mengangguk, seakan-akan dia tahu apa yang kupikirkan. "Kau tak layak. Kau aib. Kau tidak seperti Midas. Lakukanlah..."

Maka aku pun bergerak, meruntuhkan setiap beban dan kesedihan yang kutanggung selama ini. Aku mengambil benda yang kusembunyikan di punggung, melihat kemilau benda kuno, diikuti untaian benang hitam. Perlahan mendekatkannya ke bibirku yang berhiaskan taring.

Air mata racun bercucuran.

Jahit, jahit, jahit. Untuk penebusan dosa. Untuk ketidakmampuanku selama ini.[]

                                 ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top