15. Cheers!
prompt 1: Tetangga vampir mengetuk pintu, meminta darahmu. Kau mengiyakan dan berkata, "Silakan. Tapi darah di tubuhku adalah soda." Dan kau tidak berbohong.
🍷🍷🍷
Malam ini tidak jauh berbeda dengan malam lainnya. Walau bulan diizinkan untuk memberi cahayanya—walau sesaat—tetapi kini benda langit berbentuk bulat sempurna itu kembali bersembunyi di balik awan tebal. Membuat kota kecil yang minim penerangan kembali gelap gulita.
Sudah terbiasa dengan kegelapan yang menyelimuti kota. Para penghuninya yang sebagian besar bertubuh tinggi dengan gigi taring tajam, berjalan mengandalkan mata merah yang menuntun mereka melewati tempat tergelap semudah menjentikan jari.
Iya, betul. Penghuni kota kecil bernuansa suram, adalah para vampir. Makhluk yang selalu haus akan darah manusia, bersembunyi di balik pohon-pohon raksasa berusia jutaan tahun dan gumpalan awan yang menggantung rendah.
Ada satu rahasia yang selama ini hanya para leluhur dan beberapa vampir yang tahu, bahwa tidak semua cairan pekat yang mengalir di pembuluh darah mereka adalah darah murni. Bahkan ada seorang vampir yang di dalam arterinya mengalir red wine yang terkenal akan kualitasnya.
Seorang pria bertubuh gempal dengan taring berwarna kuning menjijikan, bernama Hein. Berjalan santai menyusuri setapak berlumpur dengan saliva menggantung dan sesekali menetes di sudut bibirnya.
Setelah menikmati dinginnya malam selama seperempat jam. Akhirnya dia sampai di deretan rumah dan berhenti di sebuah griya kecil dengan obor kecil terpasang di pagar, yang apinya terus berdansa mengikuti gerakan angin. Dengan satu tendangan, pintu rumah terbuka menimbulkan suara gabruk yang memecah keheningan malam.
Suara langkahnya yang berat membuat lantai kayu mengeluarkan suara derak yang terdengar bagai musik di telinganya. Bahkan ia memainkan langkah kaki untuk menemukan nada kesukaannya sambil meliukkan tubuh dengan aneh. Namun, kali ini ada suara yang sedikit berbeda.
Ia melempar jubahnya ke tiang gantungan di pojok ruangan.
Bruk!
Suara jubah berbahan tebal terjatuh di lantai. Membuat Hein menghentikan tarian absurdnya dan mengamati sekitar. Matanya menyisir kegelapan dengan teliti.
Pot bunga yang terjadwal pecah hari ini di belakang pintu tergeser sedikit ke samping, mencegahnya pecah terhantam pintu. Ada beberapa kayu yang sudah terlebih dahulu terinjak, mengganggu nada yang terbentuk, dan tiang gantungan bergeser satu inchi ke belakang.
"Siapa di sana?" Teriakan yang hanya dijawab oleh bunyi siulan angin malam yang menyisip melalui celah jendela.
Hein berjalan ke dapur, membuka laci dan mengambil pisau daging yang tersimpan rapi bersama sendok dan garpu. Suara denting peralatan makan terdengar menutup langkah kaki seseorang di lantai atas.
"Aku tahu ada seseorang di sini." Dengan berjinjit, ia memindahkan tubuh gempalnya ke lantai atas.
Kriet ....
Telinganya samar mendengar suara derit pintu dan langkah kaki mondar-mandir dari atas. Hein menahan napasnya, berusaha mengurangi beban tubuhnya satu kilo lebih ringan dengan tidak menambah udara ke paru-paru. Berharap dengan itu suara lantai tidak berderak keras saat terinjak.
Entah apa yang dipikirkan vampir itu. Jika ukuran otak berbanding lurus dengan kepintaran seseorang. Maka jelas ukuran otak Hein hanya sebesar kacang polong.
"Tunjukkan wujudmu!" Hein kembali berucap lantang.
Brak!
Satu-satunya pintu di lantai atas, dibuka paksa dengan cara yang sama dengan pintu depan. Daun telinganya bergerak-gerak, berusaha menangkap suara sekecil mungkin yang bisa diterima oleh indera pendengarannya.
Hah hah....
Suara embusan napas terdengar lirih dari balik lemari, yang berada di seberang pintu kamar. Benar-benar tempat klise untuk bersembunyi.
Hein menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang berjajar tidak rapi di dalam rongga mulut.
"Keluar, keluar. Di mana pun kamu berada."
Tangannya membuka cepat lemari baju yang berisi belasan jubah tergantung. Air liurnya membanjiri mukosa mulut dan menetes cepat di kedua sudut mulut. Matanya bergerak liar menyisir lapis demi lapis kain berbahan tebal.
Prang!
Suara vas pecah di kepala Hein. Diikuti oleh suara langkah pendek berlari keluar kamar.
"Argh! Sial!!" Hein memutar tubuhnya dan berlari mengejar penyusup. Menghiraukan darah yang mulai mengalir di puncak kepalanya.
"Hei, berhenti!!" Ia berlari dengan pisau tajam di tangan kanannya.
Sampai di ujung tangga, ia melihat anak kecil merosot di teralis tangga.
"Aku bilang berhenti!!" teriak pria botak itu.
Merasa tidak didengar, Hein melempar pisau ke arah bocah cilik itu.
"Kakak, awas!" pekik anak kecil lainnya dari arah belakang.
Pisau dengan cepat meluncur, memotong beberapa helai rambut sang anak yang masih terus meluncur. Suara denting pisau membentur dinding, membuatnya menolehkan wajah untuk melihat benda tajam yang hampir menancap di kepalanya.
"Aa!!"
Teriakan panik dari bawah membuat konsentrasi Hein kacau balau. Ia memutar tubuh dan merasakan keseimbangannya goyah ketika anak kecil itu menabrak badannya menggunakan seluruh kekuatannya.
"Koena! Ayo!!" teriak sang kakak dari bawah.
Berdiri di ujung anak tangga, Hein terguling dan menimbulkan suara gedebuk berulang kali. Sementara penyusup lainnya menyelip di sela tiang penyangga teralis dan melompat.
Terjun dari ketinggian satu meter, ia mendarat dengan mulus dan berlari bersama sang kakak ke pintu depan.
Beberapa langkah lagi sampai. Sebuah meja terbang melewati kepala mereka, membentur pintu, dan menghancurkannya menjadi serpihan kayu.
Kedua bocah itu berhenti—tak berkutik—dan merasakan kerah baju tertarik ke belakang. Mencekik leher mereka.
"Tertangkap juga kalian!" Hein tertawa puas.
"Maafkan kami, Tuan. Ka-kami sepertinya salah masuk rumah," jelas sang kakak.
"Be-benar, Tuan. Kami berjanji tidak akan mengulanginya."
"Apa? Setelah luka bocor di kepala dan beberapa lebam di tubuh, kalian meminta untuk dimaafkan?"
"Aku ti—"
Tok tok tok.
Suara ketukan di pintu menghentikan kalimat penuh emosi Hein. Awalnya ia ingin menghiraukannya, tetapi ketukan itu kembali berulang sampai tiga kali.
Hein yang sudah terlebih dahulu mengancam mereka sejak ketukan pertama, kembali memberi peringatannya sebelum membuka pintu.
"Hei, Tuan Hein. Aku harap aku tidak mengganggu, tapi bolehkan aku meminta darahmu?" ucap seorang perempuan cantik yang dikenalnya sebagai tetangga dekat.
"Oh, Nona Yahra. Maaf, tapi aku ada sedikit keperluan. Bi—"
"Tante Yahra! Tolong kami!" Suara penyusup kecil itu terdengar keras dari balik punggungnya.
"Koena? Kana? Itu kalian?" Perempuan itu menjadi cemas dan mencoba mengintip ke dalam.
"Maaf, Tuan Hein. Tapi itu suara keponakan saya. Kenapa mereka bisa ada di dalam?"
Hein akhirnya mempertemukan mereka. Setelah menceritakan alasan mereka menerobos masuk. Akhirnya Hein memaafkan dan mengumpulkan mereka semua di ruang tamu.
"Kenapa kalian tidak bilang kalau ingin soda. Dengan senang hati aku akan memberikan darahku secara percuma," ucap Hein membawa empat gelas berisi darah miliknya.
"Terima kasih, Tuan!" girang Koena saat menerima gelas.
"Sama-sama." Hein tersenyum ramah.
"Baiklah, mari kita minum bersama."
"Cheers!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top