11. Dear Her Black Cat

prompt 2. Ia sontak terbangun dan menatapmu. Kau tidak tahu mengapa, namun ada yang aneh dari caranya menatapmu. Perlahan, kau mendekat untuk menyentuhnya, hanya untuk mendapati jemari tangan pudarmu menembus permukaan bahunya.

AzaleaAzzahraF

🐈🐈🐈

Kenapa?

Kenapa gadis itu menatapku seperti itu? Bukankah aku tidak melakukan apa-apa yang dapat membuat kedua matanya terbelalak lebar seperti itu-semisal merobek bundelan kertas tugas sekolahnya, atau mengacak-acak meja riasnya? Aku 'kan hanya melangkah menyelip ke celah pintu kamarnya, lalu melompat naik ke kasurnya yang berlapis selimut tebal, kemudian mengeong demi membangunkannya sebab perutku lapar tiba-tiba. Memang ini sudah malam, sih, tapi kuyakin ini belum lewat pergantian hari. Jadi apa salahku-

"Kenapa-bagaimana-"​

Huh?

"Bagaimana bisa kau masih hidup?!"

Apa maksudnya? Itulah maksud eonganku selanjutnya seraya melangkah mendekat, yang entah kenapa justru membuat wajah majikanku itu kian pucat dalam remang lampu tidur kamarnya.
Kemudian, sebelah kaki depanku yang kutapakkan maju hendak menyentuh lengannya dengan niat menenangkan-seperti yang biasa kulakukan-menembus lengannya begitu saja.

***
Dingin. Dingin sekali. Meski ini cuma hujan yang derasnya tidak mengamuk, dengan tubuh basah kuyup karena disiram segayung air bekas cucian dari manusia yang tidak sudi membagiku secuil makanan tadi-yang belum sempat kukeringkan sedikit pun sebab gerimis telah lebih dulu menderas, dan hanya diteduhi sebuah bangku taman lapuk manusia yang pastinya bercelah banyak, aku benar-benar merasa bakal membeku.

Tetapi nyatanya, tiba-tiba saja tempias hujan dari celah bangku yang lolos tak lagi menetesiku, meski bising derasnya hujan masih terdengar jelas di telingaku. Kemudian sepasang tangan hangat itu mengangkatku keluar dari bawah bangku, menghadapkanku pada seorang gadis manusia berpayung ungu yang tersenyum amat lebar, kentara sangat senang ketika menemukanku. Dan entah kenapa, dia justru terlihat seperti ... bersyukur?

"Syukurlah!" serunya hangat di tengah dinginnya hujan, "Ya ampun, kasihannya dirimu, kucing kecil. Dinginkah? Sabar, ya, kucing kecil, aku akan segera membawamu ke rumahku."
Lalu kehangatan jaketnya melingkupiku, membuatku bersyukur akan masih adanya manusia berhati mulia selain yang cuma menyiramku dengan air bekas cucian.

***

"Kuro!" serunya riang setelah kurasakan sesuatu yang hangat dan gatal melingkari leherku, diiringi suara kerincing ringan bel, "Mulai sekarang, namamu Kuro, ya! Hmm, kau tidak keberatan, 'kan? Tenang saja, namamu beda dengan tokoh anak laki-laki berambut hitam menyamping si ketua klub voli yang kau lihat denganku di anime kemarin dan tidak kau sukai itu, kok! Itu sih namanya Kuroo, 'o'-nya dobel. Ehehe, kau tidak bakal paham, sih, ya?"

Aku mengeong, menggeleng-gelengkan kepalaku demi usaha melepas kalung di leherku yang justru membuatku tambah gatal saja dengan bunyi kerincing bel mungil di kalung itu yang semakin riuh. Andai saja gadis manusia itu tahu bahwa aku paham ucapannya-dan lega soal keterangannya bahwa namaku tidak sama dengan tokoh anime yang disebutkannya-dan mengerti bahwa aku cuma keberatan dengan kalung berlonceng mungil di leherku

.
Sayangnya, dia malah tertawa dan menganggap tingakhku menggemaskan, dan justru menjejalkan sesuatu seperti topi segitiga bertepi lebar-berujung runcing warna hitam ke kepalaku hingga menutupi pandanganku. Kudengar tawanya makin terbahak ketika aku berusaha menghempaskan topi aneh itu jauh-jauh dari kepalaku.

"Happy Halloween, Kuro! Jadi kucing baik, ya, sampai Halloween kita tahun depan."

***

"Tidak, tidak akan kubiarkan Vian bersama pelakor sialan itu...."

Aku melongok dari celah pintu kamarnya yang terbuka sedikit, kutelan kembali eongan yang hampir terlontar hendak memanggilnya ketika kulihat tangan majikanku tengah terkepal erat menemple di cermin meja riasnya. Aku tidak bisa melihat seperti apa wajah gadis manusia itu sekarang karena posisinya benar-benar membelakangiku. Tahu-tahu saja suara hantaman keras dan benda yang pecah berderak mengejutkanku, lebih-lebih lagi ketika kusadari tangan majikanku telah dilumuri darah dengan pecahan kaca yang menusuk kepalannya. Aku masih berpikir mengira-ngira apakah akan berbahaya bagiku kalau aku masuk sekarang atau tidak, ketika kudengar gadis manusia itu menceracau lagi.

"Desi ... gadis jalang itu ... memangnya dia punya apa yang lebih dariku? Vian, apa Desi lebih baik dariku?-Jangan, jangan pilih dia, Vian ... dia itu busuk. Busuk-busuk-busuk. Hei, Vian ... apa Desi lebih cantik dariku...?"

Sebelum majikanku itu memukul cermin untuk keempat kalinya, aku buru-buru mengeong nyaring dan berlari masuk. Kedatanganku sepertinya mengejutkannya, tetapi berhasil menghentikannya yang kini bersimpuh duduk membelaiku dengan tangannya yang tidak berdarah dengan senyum lembut.

"Ya ... sekarang aku punya Kuro. Sebentar lagi, Vian, Oktober tinggal sebulan lagi, Vian. Halloween tinggal sebentar lagi-sebentar lagi saja, aku bakal jadi lebih cantik dari gadis manapun, Vian. Tunggu, ya...."

***

Ah.

Benar juga. Sebulan setelah itu. Tiga malam lalu.

Halloween. Halloween yang dirayakan gadis manusia itu kedua kalinya bersamaku. Halloween yang penuh kuingat berisi talenan dapur yang dipindah ke lantai kamarnya, lingkaran merah, pisau daging, lilin berdupa, kain hitam dan rasa sakit yang menyiksa ketika kepalaku dipenggal di atas talenan setelah sebelumnya mata biruku dicongkel.

Tiga malam lalu, aku sudah mati dijadikan tumbal ritual majikanku di malam Halloween.

Dan sekarang, aku kembali. Sepertinya kali ini Tuhan sudi mengabulkan harapan si kucing malang ini setelah sebelum-sebelumnya selalu tertunda-untuk membalas dendam kepada manusia yang rela menghamba pada kesesatan karena buta oleh cinta yang fana, sebelum aku sepenuhnya dijemput ke alam lain-tanpa perlu waktu satu tahun untuk menunggu malam Halloween selanjutnya.

Aku bersyukur ditunjuk sebagai penghukum gadis manusia ini. Meski wujudku kini hanyalah jiwa yang tersampuli penampakan dari kenangan yang dapat dilihat mereka yang mengenalku saja, bukan berarti aku tidak dapat memberinya hukuman yang setimpal.

Tanpa raga, bukan cakar maupun taringku yang beraksi. Cukup kutembus saja fisik fana gadis yang wajahnya kian pias itu melihat sosokku telah berkobar dalam hitamnya api dendam yang kuyakin membuat penampakanku menjadi menyeramkan-terutama mengingat kenangan terakhir mengenai penampilan terakhirku. Kemudian kukoyak jiwanya hingga hancur menguap, terpecah dalam jeritan penyongsong ajalnya, yang bersiap menemui penghakiman yang lebih besar di alam sana.

Tugasku selesai. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top