Enam

Ohoo... update lagi sehari dua kali, nih. Mumpung sudah ada di draft jadi publish aja, kan.

Ayo ramein, dong. Kalian komentarin aja cerita ini ya, jangan komentarin hidup orang apalagi nyinyir kayak tetangganya Prisha.

😜😜😜

Pulang kerja, aku menjumpai Mbak Intan tidur pulas di kamarku. Aku menghela napas panjang. Untuk yang ke sekian kali Mbak Intan datang ke rumah tanpa suami. Sudah sering terjadi, Mbak Intan kabur menghindari suaminya. Padahal Mbak Intan sedang hamil, usia kandungannya menginjak lima bulan. Yang kutahu Mbak Intan dan suaminya sudah lama terlibat pertikaian, tapi Mbak Intan terus mempertahankan. Hingga Mbak Intan hamil pun tampaknya tetap tidak mampu meredam.

"Cerai?" pekikku pada esok harinya ketika sarapan.

Mbak Intan mengangguk lemah, tangannya memegang perut. Sementara di seberang sana kulihat wajah Papa memerah. Ayah mana yang tidak marah melihat putrinya diperlakukan tidak benar oleh suaminya. Dirawat dari kecil, disayang-sayang, setelah menikah berharap suaminya bisa menjadi tumpuan keluarga, namun kenyataannya malah disia-sia.

"Dari awal Papa sudah nggak setuju kamu menikah sama dia. Makanya kalau orang tua ngomong itu jangan dibantah. Kamu nggak nurut sama Papa, sih. Jadinya kayak begini, kan?" ucap Papa sambil mengaduk kopi.

"Darian nggak kayak begitu sebelum menikah, Pa. Aku nggak tahu kalau dia sangat kasar dan suka main perempuan." Mbak Intan mulai terisak, aku menyentuh pundaknya untuk menenangkan.

"Sudahlah, tinggalkan saja suamimu itu. Tugas laki-laki itu mencari nafkah buat keluarga, masa kamu yang kerja sedangkan dia cuma foya-foya. Papa masih bisa kasih makan dan menanggung biaya hidup kamu. Laki-laki brengsek macam Darian harus dikasih pelajaran. Buat kamu juga ini, Sha. Jangan tiru kakakmu, jangan mau menikah sama pengangguran. Bikin bencana saja," sambung Papa.

Mbak Intan semakin terisak. Usia pernikahan kakakku sudah menginjak sepuluh bulan. Permasalahan mulai timbul ketika Mbak Intan meminta suaminya mencari pekerjaan karena selama ini hanya Mbak Intan yang berpenghasilan. Namun, Darian—suami Mbak Intan malah tersinggung. Sejak saat itu dia mulai bertindak kasar dan selingkuh dengan alasan Mbak Intan tidak bisa melayani sepenuhnya di rumah.

Berbagai macam masalah sesudah menikah pasti akan datang bergantian. Menikah tidak hanya perihal kesiapan mental serta komitmen dua manusia, melainkan juga kesiapan materi untuk pertahanan hidup berumah tangga. Usiaku dengan Mbak Intan hanya selisih satu tahun. Persiapan perceraian Mbak Intan membuatku semakin skeptis tentang pernikahan. Aku masih beruntung memergoki Ferdi selingkuh saat kami masih pacaran. Kalau sudah menikah, bisa panjang urusannya. Mungkin ini adalah salah satu alasan Papa dan Mama tidak menuntutku cepat menikah, tapi justru lingkungan sekitar yang sering komentar.

Hari-hari berikutnya, aku menemani Mbak Intan hadir di sidang perceraian karena Darian sering mangkir. Aku kasihan melihat perut Mbak Intan yang semakin membesar sekaligus kesal dengan kelakuan Darian. Ekspresi wajahnya mengingatkan pada Ferdi, memotivasiku ingin mengguyur tubuhnya dengan cairan bensin lantas kubakar hidup-hidup. Dasar pria tidak bertanggung jawab.

"Entar lo nggak usah jemput gue, Sha. Kayaknya gue lembur. Biasa akhir bulan," ucap Mbak Intan saat aku mengantarnya ke kantor.

"Lo kabari gue saja kalau mau balik, Mbak. Gue jemput nggak apa-apa, kok. Lo kan tahu gue sering pulang malam. Pernah pagi malahan," sahutku.

"Gue bisa naik ojol atau taksi, Sha. Biasanya juga begitu. Lo tenang saja."

Bukannya apa-apa, aku hanya tidak tega melihat kondisi Mbak Intan yang sedang hamil. Lagi pula kantor kami masih satu kawasan. Daripada dia pulang naik transportasi umum atau ojol mending bareng sama aku, kan.

"Pokoknya lo kabari gue kalau sudah selesai, Mbak. Lagian kantor gue dekat sini juga."

"Iya, iya. Lo bawel banget."

"Hati-hati, Mbak." Mbak Intan melambaikan tangan dan aku melanjutkan perjalanan.

Karena kasus Mbak Intan, aku sering menolak ajakan dari pria seperti Bang Rendi dan teman-teman pria di kantor untuk sekadar hang out. Bahkan sekarang, aku jarang merespons chat Pak Dirga. Pokoknya aku menjadi semakin mawas diri. Kegagalan dalam pernikahan menimpa orang terdekat, bukan tidak mungkin hal serupa juga terjadi kepadaku.

Pak Dirga : Mau dinner bareng?

Prisha : Kayaknya nggak bisa. Malam ini kakak saya lembur, saya harus jemput dia.

Pak Dirga : Nggak apa-apa, sekalian ajak saja kakak kamu.

Prisha : Nanti saya kabari lagi, deh.

Tidak ada yang tahu kalau aku menjalin komunikasi berkelanjutan dengan Pak Dirga. Hanya Mbak Teya kadang menggodaku, tapi dia tidak tahu kalau aku sebenarnya memang pernah kencan dengan Pak Dirga. Tetapi untuk kali ini, aku sedang tidak berminat pergi. Mbak Intan mengabari kalau dia tidak jadi lembur. Mengeluh pusing dan tidak enak badan, Mbak Intan memilih membawa pekerjaan ke rumah.

Dan, sekarang aku sudah menunggu Mbak Intan di depan kantornya. Berbaur dengan kerumunan ojek online yang sedang menunggu penumpangnya. Aku bermain ponsel untuk mengusir kebosanan. Tiba-tiba aku melihat seorang pria yang kukenal melintas di trotoar bersama seorang wanita. Otomatis aku menunduk. Aku yakin pria itu tidak mengenali karena wajahku tertutup helm yang kukenakan. Lagi pula di antara ramainya kerumunan, pasti dia tidak begitu memerhatikan.

Pak Dirga dan seorang wanita yang bersamanya melangkah menuju gedung kantor tempat Mbak Intan bekerja. Kuawasi pergerakan mereka perlahan. Aku mendengus pelan. Jadi begini ya, pria selalu memiliki wanita cadangan bila keinginannya tidak dipenuhi oleh wanita lain. Pria selalu punya cara untuk bersenang-senang dengan wanita mana pun.

"Sha?" Sebuah tepukan di pundak memberantakkan lamunanku.

"Mbak Intan?"

"Lo kenapa kaget banget lihat gue kayak lihat mantan."

"Gue ... cuma kaget, Mbak."

"Lo lihat siapa, sih?"

Aku menggeleng lantas bergegas menyalakan mesin motor. Mencoba mengusir pemandangan yang barusan kulihat, aku tidak boleh terbawa suasana. Sebagai wanita normal, wajar kalau aku baper, kan. Tetapi masa bodoh, lah.

***

Sekarang topik pembicaraan berghibah tetangga semakin bertambah dengan beredarnya kabar perceraian Mbak Intan. Aku heran, padahal keluargaku tidak pernah bertindak meresahkan untuk umum, tapi kenapa orang-orang tertarik membicarakan aib dan membuatnya menjadi berlebihan. Sampai aku pernah mengusulkan agar kami pindah rumah, tapi Papa tidak sepakat. Rumah ini adalah peninggalan mendiang kakek, rumah ini akan menjadi warisan turun temurun bukan untuk dijual.

"Ya ampun kasihan banget, ya. Yang satu cerai lagi hamil pula, yang satu lagi belum menikah. Alamat jadi perawan tua. Duh Jeng, nasib orang nggak ada yang tahu, ya."

Begitulah kira-kira percakapan yang tertangkap telinga saat aku dan Mbak Intan baru tiba di rumah. Tubuh sudah lelah ditambah mendengar kalimat bermuatan ujaran kebencian dari tetangga sebelah, siapa yang tidak resah? Memarkir motor seadanya, aku menghampiri dua wanita paruh baya yang tengah bergosip tersebut.

"Heh, nggak usah ikut campur urusan keluarga gue. Gue sumpahin anak kalian jadi perawan tua. Gue sumpahain anak kalian rumah tangganya berantakan ditikung pelakor. Gue sumpahin kalian berdua digugat cerai suami. Gue sumpahin hidup kalian nggak tenang," teriakku seraya mengangkat telunjuk tepat di muka wanita itu.

"Prisha, lo ngapain, sih? Ayo, pulang. Biarin saja nggak usah diurus." Mbak Intan menarik tanganku sementara aku masih kesetanan.

Aku tidak terima keluargaku direndahkan. Bukan sesuatu yang aneh, dua wanita tersebut memang dikenal sebagai ratu gosip sekampung. Semua orang maklum, tapi bagiku tidak ada kata maklum kalau sudah menyinggung anggota keluarga. Orang seperti mereka berdua pantas diberi pelajaran. Semoga saja lekas mendapat azab dari Tuhan.

"Lo ngapain, sih?" tanya Mbak Intan ketika dia berhasil membawaku masuk ke dalam rumah.

"Masa lo nggak gerah sama omongan mereka, Mbak? Gue kesal banget tiap hari dengar omongan mereka. Emak-emak pengangguran tiap hari kerjaannya memang nyinyiran orang, ya. Parah banget pengin gue potong itu lidah," geramku.

"Biarin, deh. Nggak usah dengerin omongan orang. Bukannya tambah maju entar lo malah semakin mundur. Hidup kita sudah berat nggak usah menambah bebannya. Mending lo istrirahat. Gue masih banyak kerjaan." Mbak Intan mendesah panjang sambil menepuk lenganku.

Aku masih termangu diruang tamu. Memang benar, memikirkan ucapan orang bukannya semakin mencerahkan diri, yang ada justru membuat penekanan terhadap diri sendiri. Hanya saja aku masih kesal. Berharap ibu-ibu di luar sana pada kena azab. 



17.09.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top