Empat Belas

Sejak dijemput Dirga kemarin, Gibran terlihat menjaga jarak padaku. Di dekatku, dia lebih banyak diam seperti menjaga image. Tidak banyak bertingkah dan itu justru membuatku aneh. Rasanya gimana sih, ketika seseorang terbiasa berperilaku ramai kemudian tiba-tiba diam tak banyak berulah? Canggung banget. Aku beruntung sesi pengerjaan lapangan telah selesai. Kalau belum berakhir, situasi bakal semakin canggung apalagi Bang Rendi sering meninggalkan kami berdua di tempat klien.

Aku menjadi jarang mengendarai motor ke kantor. Dirga juga tidak keberatan bila pada waktu yang sama sekalian mengantar jemput Mbak Intan bersamaku. Hingga pada suatu hari, Mbak Teya pernah memergoki Dirga menjemputku. Tentu saja reaksinya terheran-heran. Berulang kali Mbak Teya memekik melihatku bersama Dirga. Dia pikir kami menjalin hubungan istimewa, padahal sebenarnya biasa-biasa saja.

"Oh, jadi seleranya Prisha yang kayak begini. Kelasnya CFO, bok. Pantesan digodain Gibran nggak ngefek," celetuk Mbak Teya terkikik riang sambil menepuk pundak Dirga sok akrab. Memang pada dasarnya Mbak Teya dan Dirga sudah saling kenal sebelumnya, sih. Aku tidak heran karena Mbak Teya memiliki koneksi luas, melebihi jaringan provider terkenal.

"Siapa Gibran?" tanya Dirga.

"Junior di kantor gue. Sering dibilang daun mudanya Prisha kalau di kantor. Lo nggak tahu saja, Ga. Prisha itu direbutin cowok-cowok di kantor, lho. Cuma dia nggak peka eh, atau pura-pura nggak peka? Gue kira ini anak sengaja jual mahal. Prisha pantang tengok kiri kanan. Ternyata lo sudah kencan duluan sama Prisha," jawab Mbak Teya beralih menoel daguku.

Semua orang menganggapku jual mahal, terlalu pilih-pilih pasangan makanya belum menikah. Oh ya ampun, seandainya mereka tahu yang terjadi denganku. Aku hanya tersenyum saja menanggapi pendapat orang yang demikian. Kebanyakan terlalu menghakimi tanpa tahu keadaan sebenarnya.

"Apaan sih, Mbak. Gue sama Dirga cuma berteman. Nggak ada apa-apa kali."

"Semua itu diawali dengan berteman, Sha. Jelas lo pilih Dirga, masa depan lebih menjanjikan."

Mbak Teya tertawa lagi. Aku tersenyum kecut seraya membuang muka. Setiap orang memiliki takdir yang berbeda, untuk apa dibahas? Dadaku terasa sesak, tapi tidak mungkin aku meluapkan emosi kepada Mbak Teya. Tampaknya Dirga menyadari perubahan ekspresiku. Dia mengalihkan perhatian dengan mengajak Mbak Teya mengobrol perihal lain. Cukup efektif karena Mbak Teya benar-benar fokus pada Dirga. Bahkan dia mengacuhkanku. Aku menghela napas lega saat Mbak Teya berlalu.

Aku kira kali ini Dirga mengajakku makan malam seperti biasa. Namun, malam ini aku mendengar kabar yang cukup mengguncang. Ibu Dirga meninggal dunia. Aku tidak menyangka dia memiliki bakat aktor handal. Di depan Mbak Teya, dia mudah tertawa serta pandai menyembunyikan perasaan. Padahal hatinya tengah menangis.

Dirga memintaku ikut ke Sukabumi malam itu juga. Sebenarnya aku tidak bisa menjamin ikut karena pekerjaanku sedang menumpuk. Tetapi rona wajah Dirga yang pucat membuatku tidak tega. Aku akan ikut dengannya setelah minta izin dengan orang tuaku. Aku juga membawa beberapa baju, untuk berjaga-jaga kalau mendadak menginap. Aku harus melapor pada Bang Rendi kalau besok aku tidak ngantor.

Sepanjang perjalanan aku merasa waswas. Dirga mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Diperingatkan pun tidak ada pengaruhnya. Suasana hati pria itu sedang terguncang. Namun, aku punya cara lain untuk menenangkannya. Di saat Dirga mulai berkendara ugal-ugalan, aku mengusap pundaknya perlahan. Gerakan itu cukup mampu membuatnya tenang. Dirga menggenggam tanganku sementara sebelah tangannya mengendalikan kemudi.

***

Semua pelayat sudah meninggalkan makam. Ayah dan ibu tiri Dirga sudah bertolak kembali ke Jakarta. Mereka berdua hanya singgah sebentar. Baguslah, ayah Dirga masih ada niat baik untuk bersilaturahmi dengan keluarga sang mantan. Kini, aku menemani Dirga yang masih terduduk di samping makam. Tentu saja dia sangat terpukul.

"Aku menyesal nggak mengabulkan permintaan Ibu," ucap Dirga saat aku ikut jongkok di sebelahnya.

"Ibu masih bisa lihat saat kamu sukses nanti. Eh, nggak sekarang kamu sudah sukses, kok. Ibu pasti bangga."

Dirga menggeleng. "Nggak. Aku belum menikah. Salah satu keinginan orang tua adalah menyaksikan anaknya bahagia. Menyaksikan prosesi pernikahan anaknya. Sayangnya, aku nggak bisa memenuhi keinginan itu."

"Bukan nggak bisa, tapi belum. Hei, ayolah. Kamu sendiri yang bilang menikah itu bukan soal siapa cepat dia dapat. Yah, bahkan kamu tinggal di lingkungan yang dihuni banyak wanita. Apalagi divisi keuangan biasanya gudangnya wanita. Kamu tinggal pilih salah satu dari mereka juga bisa. Senyum, dong. Jangan kayak orang susah," hiburku.

"Sayangnya aku nggak bisa milih, nggak tertarik."

"Terserah kamu, deh."

"Kamu juga bisa milih satu dari sekian lelaki di kantor yang katanya mengincar kamu. Kenapa kamu biarin? Aku yakin orang yang namanya Gibran itu yang nungguin kamu di kantor klien, kan? Aku jadi merasa bersalah sudah bikin dia patah hati."

"Kok jadi Gibran?"

Setidaknya aku lega melihat Dirga kembali tersenyum meskipun pada akhirnya aku yang dijadikan sasaran umpan. Dari sini aku melihat Dirga sangat menyayangi ibunya. Usai pemakaman, kami segera kembali ke Jakarta. Aku tidak bisa izin lama dan Dirga juga harus menyelesaikan pekerjaannya.

Tiba di rumah, aku justru mendengar informasi yang tidak mengenakkan telinga. Para tetanggaku kembali berulah. Gara-gara Dirga sering mengantar jemput dan mengajakku pergi, kini aku disamakan dengan wanita panggilan. Astaga, kekuatan netizen sungguh luar biasa. Sempat-sempatnya mereka ikut campur urusan orang lain.

"Kenapa Mama nggak pernah negur mereka? Mama nggak sakit hati gitu dengar anaknya digosipin aneh-aneh? Mulutnya nggak cuma minta dicabein, tapi minta dikeritingin. Ibu-ibu pengangguran nggak ada guna," gerutuku.

"Biarin saja. Toh, nggak ada yang percaya sama omongan ibu-ibu itu, Sha. Semua orang di sini juga tahu kelakuan mereka. Jiwanya terguncang karena sering ditinggal suami ke luar kota," balas mama sambil melipat baju.

Aku tertawa mendengar gurauan mama. Saat-saat seperti ini yang kurindukan. Menghabiskan waktu dengan mama yang sering terlewatkan gara-gara kesibukan. Aku jadi penasaran apakah mama juga menuntutku cepat menikah. Aku berharap mama bisa menyaksikan dan menikmati kesuksesan yang diraih anak-anaknya. Memikirkan pernikahan hampir setiap hari membuat pikiranku penat. Di mana-mana topik itu tak pernah lekang oleh waktu.

Gibran : Besok lo masuk, Sha?

Keningku mengerut. Tumben banget Gibran mengirim pesan tengah malam. Aku baru sampai di rumah, mengobrol dengan mama sebentar lantas masuk kamar. Usai beberes diri kutemukan pesan dari Gibran singgah di ponsel.

Prisha : Masuk. Kenapa?

Gibran : Nggak apa-apa. Kangen. Hehe

Prisha : Tidur, Bran.

Aku mengabaikan pesan Gibran berikutnya. Tubuhku sangat lelah, tidak bisa diajak kompromi. Perjalanan dan kegiatan yang padat membuatku butuh asupan tenaga berkali-kali lipat. Malam ini tidurku sangat nyenyak dan berkualitas. Aku bermimpi tentang sebuah pesta pernikahan. Pengantin pria dan wanita berdiri di pelaminan bersalaman dengan tamu undangan. Aku menjadi salah satu tamu yang mengantre untuk mengucapkan selamat. Ketika langkah kaki semakin dekat, aku melihat wajah dari mempelai wanita itu mirip denganku. Namun, aku tidak bisa melihat wajah mempelai pria dengan jelas. Aku bermimpi menghadiri pesta pernikahanku sendiri. 







Sepi banget ya 😂😂
Biar ramai bikin survei kecil-kecillan ah....

1. Lebih gemes lihat Prisha sama siapa? Kenapa?

••• Gibran
••• Dirga
••• ......

2. Mimpi menghadiri pesta pernikahan sendiri itu cuma bunga tidur belaka atau sebuah pertanda, sih?

3. Ada yang merasa punya karakter atau yang senasib sama Prisha?

Diisi ya biar lebih berwarna lapaknya....

Khophunkaaa










10.10.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top