Dua Puluh Sembilan

Terhitung satu bulan lamanya aku berada di rumah karena kebijakan pemerintah untuk menerapkan work from home bagi seluruh perkantoran. Adanya makhluk tak kasatmata berupa virus yang telah menyebar membuat semua orang panik. Adaptasi kebiasaan baru mulai dijalankan. Semua aktivitas dilakukan di rumah, keluar rumah hanya dalam keadaan mendesak dan itu pun tidak lama. Di luar pun orang-orang memakai masker.

Satu bulan di rumah saja membuatku bosan. Akses bepergian dibatasi, tempat wisata ditutup, tidak ada aktivitas nongkrong, shopping, jalan-jalan, semuanya benar-benar dipusatkan di rumah. Kecuali untuk pekerja yang memang mengharuskan beraktivitas di luar rumah. Kurang bergerak membuat badanku terasa berat. Sepertinya badanku kian melebar. Hiburanku di rumah cuma Farraz dan akun media sosial yang kupunya. Bocah itu sudah bisa tengkurap, semakin menggemaskan, deh.

Gara-gara diterapkan bekerja dari rumah membuat jam kerjaku berantakan. Aku pernah meeting hingga pukul dua belas malam, tiba-tiba disuruh mengerjakan audit instruction saat mataku sudah terpejam separuh, dan berbagai macam pekerjaan ajaib lainnya. Mentang-mentang full di rumah saja jam kerjanya pun menjadi fleksibel. Semoga segera ada kabar baik sehingga aku dapat berkantor seperti biasanya dan bertemu dengan orang-orang di luar sana.

Ya, bertemu dengan orang-orang. Sudah terhitung satu bulan pula aku tidak bertemu dengan Gibran dan Dirga. Semoga mereka selalu sehat dalam lindungan Tuhan. Dalam situasi seperti sekarang, bertemu dengan orang lain merupakan hal yang sangat berisiko. Aku hanya bisa video call, telepon dengan teman-temanku tanpa bisa bertemu. Memang tidak puas, tapi mau bagaimana lagi. Seperti sekarang, aku rebahan di kasur sambil menggulir layar HP.

"Prisha ... ada yang nyariin, nih. Buruan," teriak Mbak Intan.

Duh, siapa yang nekat bertamu pada saat kondisi darurat begini, sih? Seharusnya dia mendukung program pemerintah untuk di rumah saja kalau tidak ada keperluan mendesak yang mengharuskan keluar rumah. Lama-lama di rumah memang bosan, tapi datang ke rumahku justru mengusik banget, lho. Sungguh mengganggu acara santaiku saja.

"Siapa, Mbak?" seruku malas.

Aku melangkah gontai ke ruang tamu tanpa peduli pakaian apa yang kukenakan. Piyama batik lusuh kedodoran serta rambut yang belum sempat disisir dari pagi. Bahkan aku saja belum mandi. Begitu tiba di ruang tamu, seseorang menyerbuku.

"Kenapa kamu ke sini? Kan lagi lockdown," tanyaku heran.

"Bodo amat sama lockdown. Aku kangen banget tahu," sahut Gibran dengan nada merajuk. Dia memelukku sangat erat.

Aku tertawa, membalas pelukannya. "Hampir tiap hari video call masa masih kangen?"

"Hoi, jaga jarak. Main peluk-peluk saja. Lo dari luar bawa kuman, kalau Prisha kenapa-kenapa gimana?" omel Mbak Intan seraya melempar bantal, mengenai kepala Gibran.

"Aduh, Mbak. Gue kangen sama Prisha, sebulan nggak ketemu."

"Kalian tiap hari video call masih ngaku sebulan nggak ketemu? Sabar dululah, sudah tahu kondisi lagi prihatin malah cari gara-gara."

"Cuma video call doang nggak puas, Mbak. Eh, ada si bocah. Om kangen sama bocah juga, nih. Sini sama om," cetus Gibran lantas perhatiannya teralihkan pada Farraz yang digendong Mbak Intan.

"Hei, lo nggak boleh sentuh anak gue. Lo kalau mau gendong dia mandi dulu sana. Dasar pembawa kuman, lo kotor banget banyak virus itu dari luar," bentak Mbak Intan galak. Matanya mengerling ke arahku, "Lo juga nggak boleh sentuh Farraz. Lo sudah dipegang-pegang sama Gibran. Lagian anak gadis jam segini belum mandi. Malah malas-malasan, buruan mandi sana!"

Akhir-akhir ini Mbak Intan semakin galak. Sejak hadirnya virus korona, Mbak Intan berusaha mengubah gaya hidupnya menjadi lebih higienis. Apalagi jika menyangkut keselamatan Farraz, dia tidak main-main dengan hal itu. Tubuh pun harus steril sebelum menyentuh sesuatu.

"Lhah, Prisha belum mandi? Berarti gue boleh mandi bareng Prisha, Mbak?" celetuk Gibran membuatku melotot.

"Jangan ngadi-ngadi lo, ya." Mbak Intan menepuk pantat Gibran dengan sapu lidi yang dia dapatkan dari sofa. Gibran mengaduh sembari mengusap pantat.

Aku tertawa. Bahkan Farraz tertawa melihat tingkah orang-orang dewasa di sekitarnya. Bocah itu sudah bisa mengenali orang-orang yang sering datang kemari. Namun, kalau lama tidak bertemu kadang Farraz perlu proses untuk mengingat lagi.

"Lho, ada Gibran. Bukannya masih lockdown, ya. Kenapa kamu berkeliaran?" tegur papa tiba-tiba muncul di antara kami.

"Eh, halo Om. Maaf, Om saya mau ketemu Prisha. Lagian di kantor saya sudah ada informasi terbaru buat masuk kantor, kok. Cuma belum boleh seratus persen masih dijadwal begitu," ujar Gibran sambil meringis.

Papa menyatukan alis, mengamati Gibran dari ujung kepala hingga ujung kaki. Salah satu tanda papa mencurigai sesuatu adalah dia mengamati betul-betul detailnya.

"Kamu sudah cuci tangan dan cuci kaki belum? Di depan sudah disediakan keran buat cuci tangan dan kaki sebelum masuk rumah," tanya papa.

"Ya belumlah, Pa. Mana Gibran tadi datang langsung peluk-peluk Prisha, mau gendong-gendong Farraz, padahal dia itu dari luar banyak mengandung kuman," sahut Mbak Intan.

"Peluk-peluk Prisha?" pekik papa seraya melipat tangan. "Bukannya saya melarang kamu ketemu Prisha, tapi harusnya kamu tahu situasi sekarang lagi gawat. Apalagi kamu dari luar yang udaranya berdebu nggak jelas...."

Selanjutnya kami mendengarkan papa ceramah. Kondisi darurat ini masih terhitung baru dan masyarakat belum terbiasa, wajar kalau berbagai macam cara diupayakan untuk mengurangi penularan. Menerapkan hidup bersih salah satunya. Maka dari itu sebelum melanjutkan interaksi, Gibran segera membersihkan diri. Setelah Gibran selesai, aku berada di urutan berikutnya.

Selesai mandi, aku menemukan Gibran menggendong Farraz di teras. Mbak Intan tetap mengawasi pergerakan itu dengan sapu lidi di tangan kanannya. Tidak mau terjadi sesuatu terhadap kesayangannya. Aku menyusul ke sana, memerhatikan interaksi Gibran dengan keponakanku. Aku terharu ternyata dia menyukai anak kecil.

"Nah, itu tante. Tante sudah mandi, masa tante kalah sama Farraz yang sudah mandi dua kali. Iya, kan? Utututuuu...." Gibran menoel pipi Farraz kemudian menyerahkan kepada Mbak Intan yang matanya awas dari tadi.

"Noh, giliran lo ngurus bayi gede sono," cetus Mbak Intan seraya melenggang masuk ke dalam rumah.

"Mbak Intan makin galak, ya. Coba cariin jodoh, deh. Siapa tahu jinak lagi," usul Gibran.

"Penginnya sih gitu, tapi Mbak Intan lagi seneng-senengnya sama Farraz. Aku nggak mau mengganggu momen mereka. Yah, semoga saja diberikan yang terbaik buat Mbak Intan, deh," sahutku menarik napas panjang.

Senja mulai mengintip. Beranjak malam, suasana Jakarta pada masa-masa lockdown lokal ini cukup mencekam. Sepi. Gibran baru saja bersantai, masa aku mau menyuruhnya pulang. Bukannya apa-apa, aku hanya khawatir nanti ketika dia pulang sepanjang jalan menghadapi suasana yang senyap.

"Kayaknya tahun ini aku nggak bisa mudik, Sha. Kalau situasinya masih kayak begini. Padahal rencananya pengin sekalian temuin kamu sama keluargaku di kampung. Paling aku lebaran sama adikku yang kuliah di Bogor itu," ucap Gibran.

"Kamu lebaran di rumahku saja. Papa sama Mama pasti nggak keberatan, kok. Aku juga nggak mudik. Biasanya lebaran begini pulang ke Jawa, tapi tahun ini situasinya nggak pasti. Saudara Papa banyak di sana," sahutku sambil menuang sirup ke dalam gelas untuk Gibran.

"Musibah ini bikin orang-orang menunda semua rencana. Termasuk pernikahan kita." Gibran melirikku. Dia terkekeh menyadari ekspresiku yang memberengut. Tetapi sesudah itu aku tertawa menyadari betapa lucunya alur yang kualami.

"Kenapa harus kamu, sih?" tawaku.

"Karena takdirmu itu aku," balas Gibran membuatku geli sepanjang masa.

Meskipun situasi dunia sedang mengkhawatirkan, setidaknya kekalutanku mulai mereda. Keputusan yang kuambil kali ini tidak lagi membuatku gelisah. Sangat sulit bahkan aku butuh waktu berpikir berhari-hari. Namun dengan semua peristiwa selama tiga puluh dua tahun yang kualami, cepat atau lambat aku harus segera mengambil langkah untuk meneruskan kehidupan.

Satu minggu setelah Dirga memberikan proposal pernikahan, aku meminta Gibran menemani untuk bertemu dengan Dirga. Kuberikan kembali proposal itu padanya dan Dirga hanya tersenyum memandangku dengan Gibran bergantian. Dia tidak banyak bicara, hanya mengucapkan terima kasih sesudah itu langsung pamit. Dirga pasti kecewa, tapi tidak dipungkiri perasaanku justru lega. Aku tidak mendengar kabarnya lagi setelah hari itu.








Gimana sudah dapat pencerahan? Kalau sudah tercerahkan berarti tidak lama lagi cerita ini .... tamat? 😥

Jangan lupa vote dan komentarnya ya....




04.01.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top