Dua Puluh Empat

Hadirnya anggota baru di keluargaku memberikan nuansa tersendiri. Secara bergantian kami terbiasa begadang karena tangisan si kecil dari tengah malah hingga pagi. Walaupun aku tidak terlibat secara langsung, tapi mendengar tangisan keponakanku itu otomatis membuat mataku terjaga. Namun, aku tidak kesal karena kehadirannya sungguh memberikan warna baru di rumah. Meski aku cukup kesal bocah itu memiliki mata yang mirip dengan bapaknya.

"Lo habis ngeronda, Sha? Mata lo item gitu," tunjuk Bang Rendi saat aku menikmati seporsi bubur ayam di pantri.

"Iya, Bang. Sekarang gue punya keponakan. Setiap dia nangis tengah malam, gue ikut berasa begadang," sahutku.

"Wah, bagus. Anggap saja sebagai pemanasan kalau entar lo punya anak. Lo akan merasakan nikmatnya begadang ngurus anak. Biar nggak kaget gitu. Ngomong-ngomong, lo sama Gibran berencana nikah kapan?"

"Lo berlagak kayak sudah punya anak saja, Bang. Jangan-jangan diam-diam lo emang punya anak, ya? Hasil hubungan gelap begitu. Lo terlalu malu untuk memublikasikan jati diri lo yang sebenarnya."

"Sembarangan. Gue belum punya anak, gue masih perjaka, ya. Sebenarnya gue nggak perjaka-perjaka banget, tapi gue belum punya anak dan gue nggak suka hubungan gelap. Gue suka hubungan yang terang. Jadi, lo sama Gibran mau nikah kapan? Nggak baik kelamaan pacaran."

"Kapan-kapan. Lo berisik banget, sih. Mau tahu saja urusan orang."

Aku membuang bungkus styrofoam ke tempat sampah sebelum kembali ke kubikel. Hari masih pagi, tapi urusan pribadi sudah diusik. Itu sama saja merusak mood seharian. Dari balik kubikel, samar-samar kudengar suara Mbak Teya berbincang melalui saluran telepon. Aku mendengar nama Maximum disebutkan. Tampaknya mereka berniat mengajukan penawaran untuk pemeriksaan akhir tahun. Seketika perasaanku tidak enak.

Kuembuskan napas panjang, tidak terasa sebentar lagi akhir tahun tiba. Itu berarti aku harus bersiap menghadapi padatnya aktivitas kembali. Rutinitas tahunan yang membutuhkan tenaga ekstra. Aku harus mempersiapkan fisik, mental, jiwa, dan raga. Pasti akan menemui hari di mana aku harus beraktivitas seharian penuh atau bisa jadi lebih dari itu untuk kejar tayang menuntaskan laporan.

Saat ini pekerjaanku sedang tidak banyak dan aku merasa bosan tidak melakukan aktivitas pekerjaan sama sekali. Masih pukul sepuluh pagi, tapi aku butuh pencerahan untuk mengembalikan keceriaan hari ini. Berkelana ke taman mungkin adalah cara terbaik.

Prisha : Lo lagi sibuk nggak?

Aku mengirim pesan itu kepada Gibran. Tiba-tiba aku ingin mengobrol dengannya.

Gibran : Lumayan, sih. Kenapa?

Prisha : Gue lagi gabut, cuma pengin ngobrol. Ya udah, deh. Lanjutin aja kerjanya.

Pada saat itu juga ponselku berdering. Satu hal yang aku salut dari Gibran adalah dia selalu berusaha menyempatkan diri dalam situasi apa pun. Meskipun kadang keadaannya tidak memungkinkan sampai aku pernah bilang padanya tidak perlu memaksakan diri kalau memang keepntingannya lebih prioritas. Toh, tidak jarang permintaanku hanya untuk sekadar bersenang-senang atau mengisi waktu luang.

"Lo gabut kenapa?"

"Nggak ada kerjaan, tapi kalau kebanyakan kerjaan juga nggak suka."

Gibran tertawa. "Nggak jelas lo. Lo butuh piknik, Sha. Menyambut peak season pikiran lo mesti lebih positif. Lo pengin pergi ke mana gue temani, deh."

"Gue bingung. Ke mana, ya?"

"Pikirin dulu, dah. Gue balik kerja lagi, ya. Lirikan bos gue maut banget, sumpah."

Gibran mematikan sambungan. Iya, sepertinya aku butuh refreshing untuk menetralisir pikiranku. Sebenarnya aku ingin mengungkapkan kegelisahan terkait pengerjaan proyek Maximum. Belum pasti, tapi bukan tidak mungkin aku kembali dikirim ke sana untuk tugas yang sama. Namun, aku khawatir kalau cerita tentang prasangka ini justru mengusik konsentrasi Gibran yang sedang bekerja.

Sebetulnya tidak ada masalah hanya saja aku memang terlalu berpikir berlebihan. Mengerjakan proyek Maximum berarti aku akan bertemu dengan Dirga. Bertemu dengannya kembali dan terlibat dalam pekerjaan yang meningkatkan intensitas komunikasi lagi. Entahlah, rasanya aneh saja. Pasti canggung banget. Aku mengusap wajah lantas beranjak meninggalkan taman.

***

"Wah, dia sudah bisa senyum. Padahal umur lo baru dua bulan, ya. Makin ganteng saja lo. Sini, om gendong." Gibran mengusap pipi Farraz-keponakan tunggalku- yang sedang berjemur di teras rumah.

Aku saja belum berani menggendong Farraz, tapi Gibran bersikeras kalau dia bisa mengendalikannya. Aku sempat waswas kalau bocah kecil itu bakal menangis. Mengingat dia belum begitu mengenal Gibran secara dekat meskipun satu dua kali pernah melihat. Seketika aku terpana, Farraz sama sekali tidak rewel. Dia malah menikmati ketika Gibran perlahan menggoyang gendongannya ke kiri dan kanan secara bergantian.

"Eh, kok anget. Apaan, nih?" celetuk Gibran sambil meraba pantat Farraz lantas dia memekik, "Lo ngompol, ya? Pasti popoknya sudah penuh, nih. Sampai merembes begini."

"Itu tandanya dia nyaman sama lo. Sini sama gue saja, sekalian gue mandiin Farraz." Mbak Intan terkekeh kemudian mengambil alih Farraz dari gendongan Gibran.

Bibir Gibran tetap memberengut meskipun Farraz sudah dibawa masuk ke dalam oleh Mbak Intan. Dia mengusap kausnya yang basah kemudian membaui aroma telapak tangan bekas tumpahan air seni balita tersebut. Aku tertawa melihat tingkahnya.

"Lo mandi juga, deh. Pakai baju gue. Gue punya baju sama celana oversize, kok. Bakal muat sama lo," tawarku.

"Apakah ini tandanya gue bakal punya anak dalam waktu dekat, ya?" gumam Gibran seraya kembali mengusap kausnya.

"Pertanda macam apa itu? Heh, lo itu belum nikah. Mau punya anak dari mana? Jangan bilang lo sudah menghamili cewek. Jujur sama gue, Bran. Lo menghamili siapa?"

"Gue belum menghamili siapa-siapa karena gue belum punya istri, tapi sudah ada calonnya, sih. Cuma dia orangnya agak susah makanya gue harus berusaha pelan-pelan untuk membuat dia percaya sama gue."

Aku mengulum bibir ke dalam. Paham ke mana arah pembicaraan dan siapa yang Gibran maksud. Aku juga ingin, tapi untuk sampai ke tahap sana pada saat ini sepertinya belum masuk ke dalam daftar rencana jangka pendekku. Nanti dulu, deh. Tidak perlu terburu-buru. Keluargaku juga mulai terbiasa serta menerima keberadaan Gibran. Namun, bukan berarti aku lekas diminta segera menikah dengannya, kan?

"Buruan sana mandi. Gue siapin handuk sama bajunya. Katanya lo mau ajak gue nonton," cetusku seraya beranjak.

"Kenapa lo menghindar mulu sih, Sha? Gue kan punya niat baik sama lo." Gibran berusaha melobi.

"Entar dulu, keadaan gue belum baik-baik saja. Gue masih perlu waktu."

Gibran mendengus keras. Aku jelas mendengarnya sedikit mengumpat. Yah, aku tidak menyalahkan reaksinya. Pasti dia merasa kesal dan kuharap situasi akan membaik ke depannya. Terutama untuk hatiku yang sedang dalam masa pemulihan. Aku yakin cepat atau lambat hatiku akan tertambat kepada seseorang yang kupercayakan seluruh hidupku untuknya.

Bukannya aku tidak memercayai Gibran, hanya saja hubungan kami masih terhitung seumur jagung dan aku tidak mau gegabah mengambil keputusan menikah. Setidaknya saat ini sudah ada kemajuan, kan? Aku tidak lagi menutup diri dan berusaha open minded untuk memulai hubungan dengan seorang pria. Kuharap kali ini berhasil meskipun aku sendiri tidak yakin. Namun, aku juga tidak ingin berujung mematahkan.

Ternyata beberapa hari kemudian kegelisahanku mendapat jawaban. Keresahan yang belakangan ini mengganggu ingatan, akhirnya hinggap juga di permukaan. Sangat mengejutkan firasatku selama ini terbukti benar.

"Lo sama Ardan pegang Maximum interim sama year end 2019 ya, Sha," tunjuk Mbak Teya pagi-pagi saat aku baru tiba di kubikelku.

"Gue, Mbak? Nggak ada orang lain?" pintaku.

Mbak Teya menatapku tajam. "Sudah ada pembagian tugas masing-masing. Gue nggak mau tahu yang terjadi antara lo sama Dirga, tapi gue harap lo bisa profesional dalam penugasan ini. Kerja ya kerja, masalah pribadi ya di luar kerjaan. Ngerti?"

Aku mengangguk. Mendebat Mbak Teya memang susah lagipula dia atasanku, berurusan dengannya sama saja membuat masalah. Setelah sekian lama saling tidak berkabar, mau tidak mau aku kembali akan berurusan dengan Dirga. Aku meminta Ardan menjadwal pertemuan untuk penjelasan tahap awal pengerjaan serta mengatur waktu untuk fieldwork ke sana. Sedangkan aku membuka file lama mengenai hasil pemeriksaan pada saat itu sebagai bahan diskusi apakah terjadi perbaikan untuk penerapan tahun ini.












25.12.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top