Dua Puluh Dua

"Tumben lo nggak bawa motor, Sha? Pulang naik apa?" tanya Mbak Teya saat kami masuk ke dalam lift.

"Eh, iya Mbak. Lagi nggak pengin bawa motor," jawabku sambil menatap langit-langit.

"Bareng, ya. Gue juga nunggu ojol. Mobil gue lagi dibawa bokap."

Aku mengangguk. Jantungku berdetak tak beraturan. Semoga ojol yang dipesan Mbak Teya datang terlebih dahulu ketimbang Gibran. Akan menjadi pemberitaan besar jika Gibran dan Mbak Teya berjumpa. Sebab, tidak ada satu pun orang di kantor ini yang tahu perihal hubunganku dengan Gibran. Bukannya aku tidak mau menyembunyikan keadaan, tapi aku cuma tidak mau dengar komentar orang-orang. Tentang cara mereka menanggapi hubunganku dengan Gibran.

Sekarang aku dan Mbak Teya sudah berada di tempat khusus untuk penjemputan kendaraan bermotor. Kuharap Gibran tiba lebih lama daripada ojo pesanan Mbak Teya. Namun, sayangnya harapanku tidak terjadi. Bahkan mereka datang bersamaan.

"Lho, lo ngapain Bran?" tunjuk Mbak Teya ketika Gibran menghentikan motor di depanku.

"Jemput Prisha, Mbak. Gimana kabar, Mbak? Sehat, kan?" balas Gibran seraya mengangsurkan helm padaku.

"Bentar, lo sama Prisha? Pacaran?" Mbak Teya terpana sedangkan Gibran tersenyum lebar.

Pada akhirnya bangkai yang ditutupi lama-lama akan tercium juga. Pada akhirnya informasi ini akan tersebar. Aku tidak bisa mengelak karena kenyataannya memang begini. Mungkin aku terdengar tidak ikhlas pacaran dengan Gibran. Bukan bermaksud seperti itu, hanya saja yah, aku sedang mencobanya. Memang belum ada perkembangan apa pun untukku saat ini.

"Gue kira lo sama Dirga, Sha? Terus Dirga lo kemanain? Gue ketinggalan cerita banyak banget, ya. Benar-benar nggak nyangka. Kok bisa, sih? Lo pakai ilmu pelet apaan, Bran?" seru Mbak Teya menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa sih yang nggak bisa di dunia ini, Mbak? Nyatanya Prisha maunya sama gue, bukan Dirga," ucap Gibran.

"Lo jangan terlena, Bran. Kalian itu belum menikah, yang sudah menikah pun gampang dimasuki penyusup. Siapa tahu Dirga atau orang lain sedang memata-matai kalian sambil menunggu waktu yang tepat untuk menyelinap. Tapi gue beneran nggak habis pikir, deh. Lo serius sama Gibran, Sha? Bukannya selama ini lo anti banget sama nih orang?" Mbak Teya belum puas, menatapku penasaran.

"Mbak, ojol lo kasihan nunggu dari tadi. Cepat pulang gih," sahutku mengingatkan, tidak bermaksud mengusir.

"Gue nggak mau tahu. Besok lo harus ke ruangan gue," tukas Mbak Teya sambil mengarahkan telunjuk tepat di wajahku.

Aku berdecak sedangkan Gibran melambaikan tangan. Sudah kuduga Mbak Teya pasti ingin menginterogasiku. Ini sudah keterlaluan, kali ini aku tidak akan membiarkan orang lain seenaknya mencampuri privasiku. Tidak peduli sekalipun itu manajerku sendiri. Sekali lagi hidupku adalah privasi, bukan untuk konsumsi publik. Artis bukan, publik figur juga bukan. Antara kepo dan peduli itu memang beda tipis.

Jalanan sangat padat sehingga membuat kami berkendara dengan tempo lambat. Berulangkali aku memergoki Gibran mengintip dari kaca spion. Aku menurunkan kaca helm supaya dia tidak bisa melihat wajahku lagi. Kudengar Gibran terkekeh.

"Kenapa cemberut mulu, Sha? Gue pernah bilang lo itu jelek banget kalau ngambek, kan?" ucap Gibran.

Aku memalingkan muka, memandang gedung-gedung menjulang di kiri kanan.

"Lo kecewa karena Mbak Teya tahu hubungan kita? Atau lo kecewa pacaran sama gue?"

"Bukan. Gue cuma malas jadi sasaran objek perghibahan. Lo kayak nggak ngerti orang-orang di kantor gimana, Bran. Mereka itu ... ah, nggak tahu, deh."

"Lo nggak terpaksa pacaran sama gue kan, Sha? Gue tahu lo belum cinta sama gue, tapi gue yakin lo punya pikiran positif tentang gue. Kalau lo nggak punya firasat baik tentang gue, lo nggak bakal terima gue ajak pacaran. Dari situ gue berharap baik sama lo. Syukur-syukur kita bisa langgeng sampai nikah, kan?"

Pernikahan adalah dambaan setiap manusia yang sudah lama merasakan hidup tanpa pasangan. Tetapi memutuskan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain Dirga, Gibran adalah pria yang berusaha memantik diskusi tentang pernikahan. Mengangkat tema yang sama, tapi arah pembicaraannya berbeda. Dirga hanya membahas pernikahan secara umum, tentang orang-orang yang memilih menikah dan memilih melajang di usia tertentu.

Sedangkan Gibran, dia menyampaikan pesan dalam kalimatnya bahwa menikah dan hidup bersamanya adalah sebuah kebahagiaan. Sepanjang jalan aku hanya mendengarkan visi misinya tentang pernikahan. Aku tidak menyampaikan pendapat sedikit pun karena hatiku sendiri masih bimbang. Tujuanku menerima ajakan Gibran menjalin hubungan bukan untuk mematahkan hatinya. Itu sangat kejam. Tetapi ... apakah kelak aku akan menikah dengan Gibran atau....

"Yah, hujan. Kita harus cari tempat berteduh, Sha."

Tiba-tiba hujan turun sangat deras di saat kami berada di tengah jalan raya. Gibran buru-buru menepikan kendaraan. Ketika dia hendak mengarahkan kendaraan ke arah ruko, aku menepuk pundaknya. Memintanya berbelok ke warung bakso yang tidak jauh dari ruko. Sambil berteduh, kami memesan dua porsi bakso ukuran jumbo. Tampaknya aku dan Gibran sama-sama kelaparan setelah menghadapi hari yang cukup menguras tenaga.

"Gue jadi ingat donat yang dulu sering lo taruh di meja gue. Itu beli di mana, sih? Enak banget, lho," cetusku sambil mengunyah bakso.

Gibran tersenyum. "Lo suka? Entar gue beliin, deh. Gue kirim ke kantor lo nggak apa-apa, kan?"

"Nggak usah, gue mau beli sendiri. Lo repot banget, sih."

"Santai saja, Sha. Sama gue biasa saja kali. Besok gue kirim ke kantor lo, ya? Lo nggak ke mana-mana, kan?"

Aku menggeleng.

"Lagian, nih, hari ini gaji pertama gue turun. Kalau lo pengin sesuatu, ada barang yang pengin lo beli, bilang saja. Gue traktir. Oh ya, biasanya budget lo buat skincare sebulan berapa? Gue subsidi sejuta cukup nggak?"

Alisku terangkat. Sungguh di luar ekspektasi, Gibran berniat memberikan subsidi skincare bulananku. Bisa-bisanya dia berpikir sampai ke situ. Kuperhatikan pria ini sangat lahap menikmati bakso hingga kuahnya nyaris tak bersisa sementara sebutir bakso ukuran jumbo masih mengambang di dalam mangkukku. Tanpa pikir panjang, aku menaruh bakso itu ke dalam mangkuknya.

"Buat lo saja. Gue sudah kenyang."

"Beneran? Kenapa cewek-cewek makannya sedikit banget, ya? Apa lo mau bungkus buat di rumah?"

"Nggak usah."

Tanpa sadar aku kembali memerhatikan Gibran saat menandaskan bakso jumbo yang kuberikan. Kuakui Gibran memang pria baik, aku tahu bagaimana reputasinya dulu saat bekerja di kantor yang sama denganku. Hanya saja dia memang sedikit rese, tapi melihatnya begini membuatku tidak tega.

"Gue punya gaji, Bran. Lo nggak perlu kasih subsidi skincare segala karena lo bukan suami gue. Mending lo manfaatin itu gaji sebaik-baiknya buat kepentingan lo. Suatu saat nanti lo pasti bakal butuh," tukasku.

"Iya sih, tapi siapa tahu bisa buat tambahan lo, kan?"

"Kalau lo suami gue, baru gue bisa terima itu duit. Malah entar gue bakal minta lebih dari sejuta karena kebutuhan sehari-hari itu banyak. Makanya lo cari duit yang bener biar bermanfaat buat keluarga lo entar."

"Jadi intinya lo bersedia seandainya suatu saat nanti gue ajak nikah?" Saat ini Gibran bersendang dagu sambil menyengir menatapku. Dia benar-benar mengosongkan isi mangkuknya.

"Itu hanya perumpamaan. Keluarga lo bisa siapa saja nggak harus gue juga," decakku.

Gibran tertawa. Lantas dia beranjak menuju kasir untuk melunasi pembayaran. Kebetulan hujan sudah tidak lebat lagi. Menyisakan gerimis kecil. Akhir-akhir ini hujan turun tanpa diprediksi. Tiba-tiba hujan, reda, kemudian hujan lagi dengan intensitas lebih lebat. Makanya aku ingin langsung pulang saja daripada tidak dapat menikmati acara jalan-jalan yang bahkan belum diputuskan mau ke mana.

Setengah perjalanan pulang, hujan kembali mengguyur. Padahal jarak ke rumahku sudah dekat. Gibran menepikan kendaraan di depan sebuah minimarket. Dia mengeluarkan jas hujan kemudian mengangsurkan padaku.

"Lo pakai saja, gue sebentar lagi sampai. Perjalanan lo masih panjang, Bran," elakku.

"Gue gampang. Pakai saja, sih. Lo kan sensitif banget sama air hujan. Kena sedikit langsung demam," protes Gibran.

Benar juga. Aku pernah kehujanan dalam perjalanan pulang dari klien di daerah Ancol. Tidak deras, hanya gerimis. Waktu itu malam hari dan esoknya aku langsung demam. Mungkin ditunjang oleh fisik yang lelah serta sistem imun menurun sehingga mudah tumbang. Kejadian itu sudah lama banget, seingatku ketika Gibran masih menjalani masa probation. Kok dia masih ingat, ya?

Selanjutnya aku menurut saja. Kupakai jas hujan milik Gibran sedangkan dia hanya mengenakan jaket yang cukup tipis. Kalau begini ceritanya bukan aku yang demam, tapi dia. Dalam keadaan seperti ini tiba-tiba aku teringat momen bersama Dirga di Bogor. Kami memutuskan menunda kembali ke Jakarta dan menginap di hotel. Apesnya, di hotel itu aku malah berjumpa dengan Gibran. Ah, Dirga apa kabar, ya?

"Gue langsung balik, ya. Sayang banget belum sempat kita mesra-mesraan eh, malah hujan badai begini. Harusnya hujan itu jadi momen romantis, tapi jadi nyusahin begini," celetuk Gibran begitu aku turun dari motornya.

"Sebentar, tunggu jangan balik dulu."

Aku berlari ke dalam rumah, mencari jas hujanku yang selalu tersimpan di dalam jok motor.

"Warnanya pink nggak apa-apa, kan? Yang penting bisa melindungi. Nih, pakai."

Awalnya Gibran ragu, tapi akhirnya dia mau. Aku mengawasinya hingga menghilang di tikungan pertama. Bunyi petir menggelegar seiring dengan intensitas hujan semakin deras. Kuhela napas panjang sesudah menjejakkan kaki di dalam rumah. Kukeluarkan ponsel dari dalam tas.

Prisha : Bran, kalau lo sudah sampai kabari, ya.

















17 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top