Dua Puluh

Aku tidak mengira Gibran mendapat banyak hadiah dari anak-anak intern di hari terakhirnya. Ternyata dia populer juga di kalangan para dedek gemes. Pantas aku sering memergoki cewek-cewek itu berbisik-bisik saat Gibran melintas. Tidak heran sih, orang model Gibran menjadi incaran anak-anak ABG itu. Tidak hanya memberi hadiah, bahkan mereka minta foto bersama. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sebegitu terobsesinya cewek-cewek itu sama Gibran.

Selama Gibran sibuk meladeni para fans, aku menunggunya di taman.

"Gila, cewek-cewek intern bar-bar juga. Gue tinggal kabur saja, dah," cetus Gibran dengan napas terengah-engah. Dia mengambil duduk di sebelahku.

"Dapat apa saja lo? Banyak banget kayaknya," sahutku saat melihat setumpuk kado di pangkuan Gibran. Ada empat kotak besar masing-masing dibungkus kertas kado warna-warni bermotif hati.

"Nggak tahu. Gue nggak nyangka mereka kasih gue hadiah perpisahan kayak begini. Terharu banget ternyata fans gue banyak juga."

Aku mendengus sedangkan Gibran tertawa.

"Lo jangan cemburu ya, Sha. Hadiah mereka nggak berarti apa-apa dibandingkan lo. Yang penting lo tetap jadi kado terindah buat gue hari ini dan seterusnya. Eh, bantuin buka, dong." Gibran memindahkan dua kotak kado di atas pahaku.

"Emangnya gue bocah, cemburu sama gituan," gumamku.

Sungguh hadiah terniat sekali. Dari hasil unboxing, Gibran mendapat hadiah berupa sepasang sneakers, jam tangan, mug, tumblr, kemeja, topi, kaus, dan sarung tangan. Aku berdecak. Kombinasi yang sangat lengkap. Beberapa di antaranya merupakan barang-barang bermerek. Anak-anak itu pasti berusaha keras mengumpulkan uang patungan untuk membeli barang-barang cukup branded ini.

Gibran terkekeh mengamati hadiah-hadiah tersebut. Dia mencoba memakai hadiahnya satu per satu mulai dari sneakers hingga sarung tangan. Dia sangat antusias seolah-olah baru pertama kali mendapat hadiah dari orang lain. Semuanya pas, ukurannya tidak ada yang kurang atau lebih. Yah, namanya juga fans pasti paham banget berapa ukuran sosok yang digemarinya. Ada-ada saja.

"Lo kapan mulai masuk kerja?"

"Em, Senin depan. Nggak usah khawatir, kantor kita cuma selisih berapa gedung dari sini. Masih satu kawasan, lah. Kita masih bisa makan siang bareng. Pokoknya kalau lo butuh gue, kabari saja. Oke?"

"Gue dengar di tempat kerja baru lo cewek-ceweknya aduhai. Lo yakin nggak bakal tergoda sama mereka? Anak-anak milenial zaman sekarang pada cetar-cetar. Biasanya yang kayak begitu banyak penggemarnya, tipe populer. Beda banget sama zaman gue. Lo yakin nggak bakal menjadi salah satu fanbase dari mereka?" pancingku.

Gibran menoleh ke arahku. "Kalau ada yang cakep, kenapa nggak? Lagian cuma ngefans doang. Lo juga kalau ada cowok cakep pasti terpana, kan? Reaksinya wow gitu, tapi cuma sesaat. Habis itu ya udah. Wajar kali gue kagum lihat cewek cakep, kan gue laki-laki normal. Kalau gue ngefans sesama laki-laki, itu malah bikin ngeri. Lo mesti waspada."

Mau tidak mau aku tertawa mendengar penjelasan Gibran. Iya, memang benar, sih. Tetapi tidak ada salahnya mengantisipasi, siapa tahu Gibran akan tergiur dengan pesona wanita milenial yang usianya jauh lebih muda dan berpenampilan lebih segar daripada aku. Namanya pria, matanya pasti susah dikondisikan kalau lihat penampakan betina cantik, kan? Semuanya berawal dari mata kemudian berlanjut ke arah-arah berikutnya.

Apalagi sekarang Gibran berada jauh di sana. Dulu Ferdi yang bekerja satu kantor denganku saja, aku sampai tidak sadar sudah diselingkuhi dengan dua wanita sekaligus. Untung saja pada saat itu radarku sebagai wanita masih berfungsi dengan baik sehingga aku bisa mendeteksi tingkah hidung belangnya sebelum melangkah lebih jauh.

"Kalau terbukti gue selingkuh, lo boleh putusin gue," lanjutnya. Tampaknya Gibran paham arah pembicaraanku. Dia sudah tahu kasusku dengan Ferdi.

"Kalau terbukti gue yang selingkuh?" tanyaku.

"Gue bikin selingkuhan lo terkapar terus gue kasih lo pelajaran biar kapok. Tapi gue nggak akan buru-buru putus, gue akan cari tahu dulu. Nggak ada asap kalau nggak ada api."

"Berarti lo ngizinin gue selingkuh?"

"Ya nggak gitu juga, Sha. Lo ngertiin perasaan gue, dong," seru Gibran kesal.

Aku tertawa. "Gue bercanda, Bran. Gue tanya semuanya biar jelas karena kesepakatan juga diperlukan dalam sebuah hubungan. Baru permulaan biar ke depannya nggak ada salah paham."

"Lo bijak banget, tapi kadang pemikiran lo childish juga."

"Ingat, gue lahir duluan daripada lo. Lo itu lebih muda dari gue nggak usah ngatain childish-childish," tukasku tidak terima. Aku rasa setiap orang memiliki pemikiran dan sikap kekanakan dengan porsi masing-masing.

Gibran mengedikkan bahu lantas dia menyengir kepadaku. "Umur gue boleh lebih muda dari lo, tapi kodrat gue sebagai laki-laki pasti bakal menjadi kepala rumah tangga nggak peduli berapa pun umur istri gue. Umur itu bukan standar seseorang sudah dewasa atau belum. Jadi, mulai sekarang lo nggak usah ngajak debat gue soal umur karena bagi gue, nggak masalah."

"Tapi gue bukan istri lo," bantahku.

"Entar, belum. Lo bersedia pacaran sama gue berarti lo harus siap menerima konsekuensi kalau suatu saat nanti lo jadi istri gue," ucap Gibran tersenyum riang dengan intonasi sangat mantap.

Memang salah satu keputusan yang kuambil konsekuensinya demikian. Secara kriteria, Gibran jauh dari tipe yang kuinginkan. Bahkan aku pernah bersumpah tidak akan melihatnya sama sekali. Namun, aku mempertimbangkan segala kebaikan kecil yang dia lakukan untukku. Selain itu aku belum pernah menjalin hubungan dengan pria yang berusia lebih muda. Yah, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan.

Jangankan aku, Gibran saja tidak menyangka aku menyambut uluran tangannya. Aku tetap memegang prinsip siapa yang terlebih dahulu, bukan siapa yang paling superior. Apalagi jika semua kandidat mempunyai kapasitas yang tidak jauh berbeda. Saat ini aku memang belum memiliki rasa apa pun terhadapnya. Kalau ini jalanku, semua pasti akan berkembang seiring berjalannya waktu.

Tiba di kamar, aku langsung merebahkan diri. Walaupun berlawanan arah, Gibran tetap bersikeras mengantarku pulang. Padahal kami berkendara dengan kendaraan masing-masing. Aku tidak tahu apakah kondisi ini akan bertahan lama atau hanya di awal-awal saja karena kini ritme pekerjaan kami tidak lagi sama. Untuk menyamakan persepsi butuh penyesuaian waktu. Rasanya cukup canggung, tapi melihat Gibran begitu santai dan biasa saja membuatku menyisihkan pikiran-pikiran negatif.

Ketika sedang bersantai, aku mendapati sebuah notifikasi Instagram yang mengejutkan. Gara-gara like foto tanpa sengaja, Dirga mengirim permintaan pertemanan. Tidak hanya itu, dia juga memberikan like di foto yang pertama kali aku posting. Persis seperti ketidaksengajaan yang kulakukan waktu itu. Aku sempat menimbang sejenak sebelum akhirnya menambah pertemanan dengannya.

Gibran : Lo sudah tidur, Sha?

Tiba-tiba Gibran mengirim pesan sehingga travelling otakku tentang Dirga buyar.

Prisha : Belum

Gibran : Gue lupa bawa cokelat yang dikasih Aisha. Masih ada di meja gue, besok lo ambil ya. Buat lo.

Aisha adalah salah satu anak intern. Selain memberi hadiah sneakers mahal, rupanya dia juga memberi Gibran hadiah cokelat. Kalau dia melihatku mengambil hadiahnya yang ditujukan untuk orang lain nanti malah tersinggung. Lagipula Gibran pakai acara lupa segala. Biar cepat selesai, aku iyakan saja permintaan Gibran.

Gibran : Itu cokelat lo makan. Biar lo nggak stres. Lain kali gue beliin sendiri, deh. Sorry, gue baru bisa kasih cokelat pemberian orang lain.

Prisha : Gue terharu, sumpah! Lo baik banget, sih.

Gibran : Selama ini gue emang baik, lo baru nyadar?

Prisha : Iya. Selama ini gue ke mana ya, baru nyadar gitu?

Gibran : Lo emang susah sadar. Udahan ya, Sha. Sambung besok lagi. Gue mau tidur. Ngantuk. Night. Bye.

Baru pukul sepuluh malam saja dia sudah mengantuk padahal mataku masih terbuka lebar. Aku iseng memasang story Instagram tentang hadiah-hadiah yang diterima Gibran dari para intern. Aku juga mencantumkan tag namanya. Tahu tidak, seseorang yang pertama kali mengomentari adalah Dirga. Dari komentarnya aku tahu kalau sebenarnya dia penasaran kenapa aku mengunggah cerita tentang Gibran. Selama ini aku dan Gibran selalu berseberangan di mata Dirga. Aku menjawab sekenanya dan pada saat itu Dirga langsung menelepon. Tidak kuangkat.

Lantas dia meninggalkan pesan, tapi tidak kubalas. Aku berencana membalasnya besok pagi saja. Aku juga tahu posisi saat ini dan aku tidak main-main dengan hal itu. Biarkan saja Dirga berpikir dan mencerna sendiri. 






Prisha sudah resmi pacaran sama Gibran. Gimana mereka serasi, kan? 😁

Oh ya, kalau ada yang nggak nyaman karena alur ceritanya lambat mending skip aja. Masih banyak cerita lain yang punya alur cepat karena aku nulisnya mempertimbangkan detail, bukan asal cepat selesai.
Hal-hal kayak begini sering kutulis berkali-kali tapi masih saja ada yang colek-colek.




15.11.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top