Dua Belas
"Ibu ingin lihat aku bawa pacar, lebih tepatnya calon istri," ucap Dirga saat memulai percakapan malam ini.
Aku mengamati buku menu secara saksama. Memerhatikan barisan makanan yang ingin kupesan. Namun, mendengar suara Dirga terus-menerus membuatku tidak bisa berimajinasi membayangkan visual makanan ini. Pikiranku terdistraksi dengan ucapan Dirga. Aku paham ke mana arah tujuannya. Pasti dia ingin aku membantu mencarikan pacar pura-pura. Tinggal bilang sama ibunya kalau belum punya pacar apa susahnya, sih?
"Bilang saja kamu belum punya pacar. Gampang, kan?" sahutku.
"Nggak segampang itu. Ibuku sakit kanker. Umurnya tinggal menghitung hari. Sebelum meninggal, ibu berpesan dia ingin melihatku menikah. Tadi siang tiba-tiba dia telepon begitu, padahal sebelumnya ibu nggak pernah menuntutku cepat-cepat menikah."
"Bukannya kamu tinggal di Jakarta sama orang tuamu?"
"Iya, dengan ayah dan ibu tiriku. Ibu kandungku tinggal di Sukabumi. Aku sudah lama nggak pulang menjenguk ibuku."
Dramatis sekali. Sungguh tidak kusangka Dirga yang tampak baik-baik saja rupanya hidup dalam kondisi keluarga yang broken. Mungkin ini adalah salah satu alasan kenapa Dirga tidak ingin buru-buru menikah. Perceraian kedua orang tuanya masih membekas dalam benak. Pasti beban hidupnya berat. Dirga pasti tidak mau cepat-cepat menikah kalau tujuannya hanya untuk menghilangkan beban hidup. Ternyata yang selama ini sering menawarkan perjodohan dan mendesaknya menikah adalah ibu tirinya.
"Kamu mau menolongku, Sha?" tanya Dirga seraya menutup buku menu.
"Menolong?"
"Tidak harus menikah, kamu tinggal berperan sebagai pacarku. Yang penting ibu sudah lega kalau aku nggak jomlo lagi."
"Kalau kamu ngenalin aku sebagai pacar, lama-lama ibu kamu pasti bakal menuntut pernikahan. Terus kamu akan berdoa supaya ibu kamu cepat meninggal supaya kita tidak terlibat pernikahan. Itu sadis banget tahu," seruku ikut menutup buku menu.
Kami tidak memesan apa pun. Hanya menghabiskan waktu dengan berdebat. Aku tidak enak dengan pelayan restoran yang sejak tadi mengawasi. Seolah dia berpikir kami hanya numpang duduk tanpa memesan secuil makanan. Bertujuan membahagiakan orang tua memang baik, tapi kalau dibalut dengan kebohongan sama saja menyakiti. Aku hanya manusia biasa, rakyat jelata. Bukan bintang film yang butuh sensasi dengan menyelenggarakan pernikahan settingan. Aku tidak butuh janji palsu penikahan di atas kertas yang kubutuhkan adalah pernikahan dengan ikhlas.
"Maaf, ya. Nggak bisa. Kalau kamu nggak berani, aku akan bantu. Aku yang bilang sama ibu kamu kalau kamu belum punya pacar. Aku akan coba bicara kalau menikah itu nggak semudah mencari upil yang nyangkut di rongga hidung. Jangan bohong sama orang tua kamu. Apa pun keadaannya kamu harus jujur. Apalagi kekuatan doa seorang ibu selalu nomor satu."
Dirga tersenyum. Dia kembali membuka buku menu. "Oke. Kamu mau makan apa?"
Aku melongo Dirga tidak protes lagi. Kami tidak melanjutkan membahas 'rencana masa depan'. Lagi-lagi obrolan kami tidak jauh dari pekerjaan. Tetapi aku memberhentikan di tengah pembicaraan. Otakku semakin panas kalau dijejali dengan kerjaan terus-menerus. Beralih topik ke arah liburan tampaknya lebih menggembirakan.
***
Selepas subuh, aku dan Dirga berangkat ke Sukabumi. Papa dan mama tidak keberatan aku pergi dengan Dirga. Mbak Intan juga tidak banyak komentar. Dia malah mendukung. Itung-itung sekalian piknik. Menurut Mbak Intan aku kurang refreshing. Ya, ada benarnya. Ini adalah perjalananku pertama kali bersama pria selain papa setelah aku putus dengan Ferdi.
Sepanjang perjalanan aku perhatikan wajah Dirga sangat bersinar. Dia terlihat bahagia. Sesekali kudengar Dirga bersenandung lirih. Kelihatannya dia sangat menikmati perjalanan ini dan mendambakan pertemuannya dengan sang ibu. Aku tidak bertanya berapa lama dia tidak bertemu ibunya. Kalau dilihat dari caranya bercerita sepertinya sudah cukup lama.
Sekarang aku dan Dirga duduk di dekat ranjang ibu Dirga. Ternyata Dirga adalah anak tunggal. Ketika orang tuanya berpisah, hak asuh dimenangkan oleh ayahnya. Perceraian orang tuanya terjadi saat Dirga berusia sepuluh tahun. Sejak saat itu ibu Dirga tidak menikah lagi. Dirga hanya menjenguk ibunya sekali-kali. Aku yang mendengar informasi itu sangat tercengang.
"Makasih ya, Bik," ucap Dirga kepada perempuan paruh baya yang merawat ibunya—pembantu keluarga yang sangat setia.
Aku menatap Dirga yang menggenggam tangan ibunya.
"Jadi ini perempuan yang mau kamu kenalin ke ibu?" tanya wanita itu lirih.
Dirga menggeleng pelan lantas dia mencium kening ibunya. Sungguh, aku sangat tersentuh melihat pemandangan tersebut. Hanya dengan melihat begitu saja hatiku segera luluh. Sementara pikiranku berkelana, berpikir ulang tentang tawaran Dirga. Tetapi kalau aku mengiyakan sama saja menyakiti perasaan wanita yang kini terbaring tak berdaya. Masalahnya pernikahan itu tidak layak dipermainkan. Itu sangat suci dan sakral. Mempermainkan pernikahan sama saja mempermainkan Tuhan.
"Nggak apa-apa. Ibu doakan semoga kamu segera ketemu jodohnya, ya," lanjut ibu Dirga sambil tersenyum kepadaku.
"Terima kasih. Ibu istirahat, ya."
"Kamu malam ini nginap, kan?"
Dirga melirikku. Oh, tidak. Rencana kami semula tidak begini. Dirga menjanjikan kami hanya berkunjung kemudian segera kembali ke Jakarta pada sore atau malam hari. Besok memang hari Minggu, tapi menginap di rumah seseorang yang belum cukup aku kenal sepertinya bukan hal bagus. Walaupun Dirga juga tidak bakal bersikap yang mengancam keselamatanku.
Ibu Dirga berkata padaku, "Di rumah ini punya banyak kamar. Kamu nggak usah khawatir. Lagian besok kalian libur, kan? Bersenang-senanglah. Nanti biar Dirga antar kamu jalan-jalan. Jangan salah, Sukabumi punya banyak tempat wisata yang bagus."
"Iya, Bu. Kebetulan saya belum pernah jalan-jalan ke Sukabumi," ucapku tersenyum sopan.
"Nah, itu. Besok ajak Prisha ya, Ga. Kasih lihat sama dia gimana uniknya Sukabumi. Siapa tahu kelak dia pengin tinggal di sini."
"Iya. Aku juga sudah janji sama dia mau jalan-jalan, Bu. Tenang saja."
Rupanya pembantu keluarga Dirga sudah menyiapkan kamar yang akan ditempati untuk beristirahat. Padahal aku tidak membawa pakaian ganti, hanya beberapa peralatan make up seadanya. Masa aku harus memakai baju yang sama selama dua hari. Gerah banget. Kamarku dan kamar Dirga bersebelahan. Tidak ada kamar mandi dalam.
"Ini kamar adiknya Ibu, Tantenya Dirga. Di lemari situ ada banyak baju yang saya rasa ukurannya pas buat Neng. Masih bagus, kok. Nggak jadul-jadul amat. Ada baju keponakannya Ibu juga. Pokoknya nggak usah sungkan. Saya tahu pasti kalian nggak ada rencana menginap. Nggak bawa apa-apa gitu."
"Terima kasih, Bik. Saya jadi ngerepotin."
"Nggak, Neng. Rumah ini sudah lama nggak kedatangan tamu. Jadi Ibu senang banget ada yang mau datang berkunjung. Silakan istirahat. Anggap rumah sendiri."
Aku mengangguk. Sesudah Bibik pergi, aku mengamati sekeliling. Sebuah kamar tidak terlalu besar yang memiliki jendela langsung menghadap ke taman. Memandang lemari besar di sudut kamar, aku merasa tidak tenang. Sebelumnya aku tidak pernah meminjam pakaian orang lain. Meskipun memiliki ukuran sama, tetap saja tidak nyaman. Setidaknya aku beruntung kalau menemukan toko baju tak jauh dari sini.
"Maaf, ya. Jadi nggak sesuai rencana." Dirga masuk ke kamar yang pintunya masih terbuka lebar.
"Nggak apa-apa. Kasihan ibu kamu. Kalian pasti sudah lama banget nggak ketemu, ya?"
"Iya, setahunan mungkin." Dirga bersandar di dinding dengan mata menerawang.
"Kok bisa? Sedekat itu jaraknya, lho. Masa kamu nggak sempat jenguk sebentar. Bukan karena ditanya kapan nikah kamu ngambek nggak mau pulang, kan?"
"Bukan, ada alasan lain. Kamu istirahat dulu, deh. Nanti sore kita jalan. Oke?"
"Eh, tunggu. Dekat sini ada toko pakaian gitu nggak? Aku nggak bisa pakai baju orang lain. Bukan masalah ukuran atau gimana, tapi aku risi saja pakai punya orang lain," bisikku.
Dirga tertawa. "Ada. Banyak malah. Rumah ini sangat strategis dengan area pertokoan. Mau cari baju, makanan, apa saja terjangkau. Kan cuma satu malam, kamu pakai baju yang ada saja. Bik Dieneu rajin bersih-bersih, kok. Aku capek banget, Sha. Mau tidur sebentar."
"Ah, kamu mana paham. Aku bisa pergi sendiri nggak usah diantar."
"Ya sudah, hati-hati. Kalau lupa jalan pakai google maps, ya. Atau order ojol saja."
Mataku membelalak mengawasi Dirga keluar kamar. Mauk ke kamar di sebelah. Aku kira dia tetap akan mengantarku. Oh, ya ampun. Ternyata Dirga seperti para pria kebanyakan. Tidak paham kode. Iya, sih. Aku tahu dia pasti capek memegang kemudi sepanjang Jakarta – Sukabumi. Tetapi, tidak bisa begini juga. Aku kan tidak paham daerah sini.
30.09.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top