《Tujuh Belas》
Dua minggu sudah berlalu. Dan besok adalah hari pernikahanku dengan Aktar. Mendadak rumahku ramai karena semua saudara dari keluarga Bapak dan Mama sudah datang ke sini.
Saat aku sedang melamun, tiba-tiba Mama membuka pintu kamarku. "Kenapa belum tidur kau? Dari tadi udah diteriakin dari luar biar cepat tidur. Besok pagi kau harus dirias."
"Bimbii nggak bisa tidur," Ujarku sedih.
Mama masuk ke dalam dan duduk di atas ranjangku. "Kenapa lagi? Apa yang kau pikirkan?"
"Bimbii ingat terus sama Niko."
"Haduh. Lebih bagus si Rory yang kau ingat daripada mantan kau itu."
"Aku cuma ngefans sama Rory. Kalau sama Niko itu kan cinta."
"Kau nggak niat mau kabur ke Batam jumpai dia lagi kan?" Tanya Mama curiga.
Aku bergeleng dengan air mata yang sudah jatuh menetes di pipi. "Bimbii cuma kepikiran aja sama dia. Nggak tahu kenapa."
"Dia yang putuskan kau. Jadi kenapa kau pikirkan dia lagi? Belum tentu dia ingat samamu. Entah pun dia lagi sama cewek lain sekarang. Udahlah Nak... lupakan Niko dan buka hati kau untuk Aktar. Mungkin sekarang kalian berdua belum cinta tapi pasti akan cinta kalau udah sering bersama. Mamak juga gitu, kau pikir dulu Mamak nikah sama Bapakmu karena cinta? Enggak. Mamak mau nikah sama Bapakmu karena Mamak lihat dia laki-laki yang mandiri dan pekerja keras. Bahkan waktu Abang sama Kakakmu lahir, di situ Mama belum cinta. Tapi seiring berjalannya waktu, lama-lama Mamak cinta juga. Waktu hamil kau itulah Mamak lagi masa kasmaran-kasmarannya sama Bapakmu. Nggak mau jauh, harus dekat Bapakmu. Kalau bisa nempel terus di ketiaknya. Nanti kau pun gitu sama Aktar. Yang penting, kau harus terima dia sebagai suami. Jadi kau pun bisa ikhlas menjalankan kewajiban sebagai istri."
"Kalau nanti di tengah jalan pernikahan Bimbii nggak sanggup, boleh cerai kan?"
Satu jitakan keras dari tangan Mama sukses mendarat di kepalaku. "Belum apa-apa udah cerai aja di otak kau ya. Di keluarga kita nggak ada cerai-cerai ya Bii! Kau dengar itu? Kecuali suami kau ninggal dunia. Baru kau boleh cari pria lain."
"Kan siapa tahu ke depannya si Aktar suami yang jahat? Dia suka main pukul atau psikopat gitu. Masa aku nggak bisa minta cerai?"
"Ya lihat alasannya dulu kenapa kau dipukul. Kalau kau pergi selingkuh sama cowok lain atau pergi malam terus pulang pagi karena mabuk, itu cocok kau dipukul. Karena kau salah. Tapi kalau dia pukul kau tanpa sebab, nah itu bilang aja sama Mamak. Biar Mamak yang hajar dia langsung di tempat."
"Jadi nggak bisa asal cerai?"
"Nggak bisa. Udahlah sekarang kau tidur, biar segar wajahmu dirias besok. Jangan pikir yang aneh-aneh lagi," Pesan Mama sebelum keluar kamar.
"Hmm...." Aku hanya bergumam. Setelah beliau menutup pintu, aku mencoba memejamkan mata supaya bisa tertidur.
****
Di pagi harinya Mama mertuaku langsung mengirim ke rumah dua orang laki-laki dengan tampilan feminim, untuk mendandaniku supaya terlihat cantik di hari pernikahan ini.
"Ya ampun say, kok tegang gitu mukanya? Senyum dong, masa udah dandan cantik kaya gini tapi ekspresinya begitu," Ledek pria yang sedang merias wajahku.
"Biasalah Cong, cewek pasti deg-deg'an di hari pernikahannya. Eike aja kalo diajak menikah pasti kayak dia ini. Apalagi diajak nikah sama anaknya tante Agatha yang gantengnya sadis kali. Mbak pakai pelet apa sih? Kok bisa luluhin hati anak tante Agatha?" Tanya pria satunya lagi.
Pelet katanya? Dia pikir aku lagi ternak ikan lele atau ayam apa? Dasar banci sialan..!
Tadinya aku ingin menyembur si bancu itu, tapi tiba-tiba Mama muncul di depan pintu dan melihat penampilanku.
"Ya Tuhan...ini si Bimbii kan?" Tanya Mamaku kepada dua salon perias itu.
"Mama jangan lebay dong. Emangnya Bimbii jelek, sampai nggak bisa dikenalin lagi kalau didandani gini?"
"Mamak yakin, si Aktar pasti klepek-klepek lihat kau nanti. Nggak sabar dia bawa kau ke kamar," Ujar beliau tertawa sendiri.
Aku hanya bisa mendengus dan memutar kedua bola mataku. Ternyata bakat mesumku itu turunan dari Mama.
Sekitar jam sepuluh pagi, kami menuju Gereja Katedral karena di sanalah tempat pemberkatan pernikahan akan berlangsung. Jantungku berdebar-debar ketika sudah tiba di depan Gereja. Aku turun dari mobil dengan gaun putih yang memanjang ke belakang. Dengan didampingi Bapak, aku berjalan perlahan menuju altar gereja.
Jantungku semakin berdetak kencang tidak karuan, saat semua orang yang ada di dalam sana berdiri dan memandangku.
Astaga... jangan sampai aku pipis berdiri di sini.
Di depan altar sudah ada Pastor dan Aktar yang berdiri di sana menungguku. Dia terlihat tampan sekali. Tuxedo hitam yang dia pakai pun, sangat cocok dan pas di tubuhnya.
Astaga... aku tidak sadar apa yang barusan aku katakan.
Setibanya di depan, Bapak melepas genggaman tangannya dan menyerahkanku kepada Aktar. "Bapak titip Bimbii. Jaga dan sayangi dia ya?"
Entah kenapa aku merasa sedih mendengar Bapak berkata seperti itu. Padahal aku hanya menikah bukan pergi jauh.
"Terimakasih sudah percayakan Bimbii padaku. Mulai hari ini dan seterusnya, aku yang akan menggantikan tanggung jawab Bapak untuk membahagiakan Bimbi," Balas Aktar tersenyum.
Setelah Bapak balik ke belakang bersama Mama. Lalu Pastor memulai acara pemberkatan kami.
"Saatnya untuk meresmikan pernikahan ini. Saya persilahkan umat sekalian untuk bangkit berdiri. Kedua mempelai saya minta untuk menumpangkan tangan di atas kitab suci ini dan mengucapkan janji perkawinan secara bergantian."
Aku dan Aktar sama-sama meletakkan tangan kanan di atas Kitab Suci. Selanjutnya Pastor meminta Aktar yang terlebih dahulu untuk mengucapkan janji perkawinan.
"Di hadapan Allah, Imam, dan para saksi serta hadirin sekalian. Saya Aktar Priawan Wiraatmaja menyatakan dengan tulus hati kepadamu Arimbi Phoebe Tamba, bahwa saya memilih engkau menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu seumur hidup, dalam untung dan malang. Dalam suka dan duka. Dalam keadaan sehat maupun sakit. Saya berjanji untuk mencintai dan menghormati engkau sampai maut memisahkan kita. Demikianlah janji saya di hadapan Allah dan Kitab Suci ini." Aktar terlihat serius menatapku.
Sekarang giliranku. Sebelumnya aku menarik nafas dan membuangnya. Setelah merasa tenang, aku menatap balik calon suamiku.
"Di hadapan Allah, Imam, dan para saksi serta hadirin sekalian. Saya Arimbi Phoebe Tamba, menyatakan dengan tulus hati kepadamu Aktar Priawan Wiraatmaja. Bahwa saya memilih engkau menjadi suami saya. Saya berjanji akan setia kepadamu seumur hidup. Dalam untung dan malang. Dalam suka dan duka. Dalam keadaan sehat maupun sakit. Saya berjanji untuk mencintai dan menghormati engkau sampai maut memisahkan kita. Demikian janji saya di hadapan Allah dan Kitab Suci ini." Suaraku terdengar bergetar saat mengatakannya.
"Atas nama Allah dan di hadapan para saksi serta hadirin sekalian, saya menegaskan bahwa perkawinan Aktar Priawan Wiraatmaja dan Arimbi Phoebe Tamba hari ini adalah perkawinan Katolik yang sah. Semoga sakramen ini menjadi kekuatan dan kebahagiaan bagi kalian berdua, sekarang dan selamanya. Berkat Allah yang mahakuasa, Bapa, Putera dan Roh Kudus Amin. Apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia," Seru sang Pastor di hadapan para jemaat. Seketika aku menjadi takut sendiri dengan janji yang baru saja aku ucapkan.
Kemudian Pastor itu memerciki kedua cincin yang akan kami pakai dengan air suci.
"Cincin ini menggambarkan kasih antara seorang suami dan istri. Cincin yang melingkar tidak mempunyai ujung dan pangkal, melambangkan kasih yang tidak akan berhenti. Cincin ini terbuat dari emas murni. Emas itu tidak akan berkarat, artinya melambangkan kasih yang tidak akan luntur dan rusak. Semoga pernikahan kalian tetap kuat walaupun banyak cobaan yang akan kalian hadapi nanti."
Pastor menyerahkan satu cincin kepada Aktar. "Kenakanlah cincin ini pada jari manis tangan kanan istrimu sebagai lambang cinta kasih dan kesetiaanmu padanya."
Aktar memasangkannya di jari manis kananku, begitu pun sebaliknya. Aku melakukan hal yang sama. Kemudian Pastor mempersilahkan Aktar untuk membuka selubung wajahku.
"Saudara Aktar, anda sudah diperbolehkan untuk mencium istri pertanda dia sudah menjadi milik anda."
Aktar mendekatiku dan sedikit menunduk untuk mencium keningku. Hanya dua detik. Setelah itu dia menjauh. Aku jadi malu karena semua para tamu tertawa melihat dia seperti itu.
"Haduh. Masih malu-malu. Udah cium aja bibirnya. Dia udah jadi istrimu," Seru Mamaku dari tempat duduknya.
Semua orang yang hadir ikut meminta Aktar untuk mencium bibirku. Pria itu menatapku seolah bertanya 'Gimana?'
Jadi aku membalas tatapannya dengan jawaban 'Terserah kau!'
Tanpa aba-aba, dia langsung menarik pinggangku mendekat padanya. Lalu menunduk dan mencium bibirku lembut.
Aku pikir bibir kami hanya akan menempel saja, namun ternyata tidak. Karena aku merasakan lidahnya memasuki mulutku, sehingga lidah kami saling bertemu. Aku balik membalas pagutannya dibibirku. Ada keharuman mint yang keluar saat aku menghisap lidahnya. Ini aneh, aku tidak mencintai Aktar tapi aku menikmati ciumannya.
Aku merasa kehilangan bibir kenyalnya saat Aktar mengakhiri ciuman kami.
Astaga... ternyata napsuku besar sekali.
8-Mei-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top