《Tujuh》

Aku masih terbengong di tempat, sementara tante Agatha begitu asik memeluk dan mencubit-cubit pipiku. Beliau seperti anak kecil yang baru menemukan mainan lamanya.

"Yohana!" Beliau terlihat senang ketika memanggil Mamaku. "Si Butetmu ini lucu kali. Aku nggak nyangka, wanita galak seperti kau bisa melahirkan anak semenggemaskan ini."

"Samalah kita," Sahut Mama riang yang masih menatap wajah  Aktar penuh kagum. "Aku pun nggak nyangka, wanita polos yang malu-malu kucing sepertimu memproduksi si Ucok ganteng ini."

Butet dan Ucok??

Ah yang benar saja! Rasanya aku ingin menari tor-tor di depan dua wanita ini, untuk merayakan panggilan baru aku dan Aktar.

"Gimana sayang?" Tanya tante Agatha pada Aktar. "Anak gadisnya teman Mama manis kan? Imut kan?"

Aku melirik ke arah pria itu untuk melihat ekspresi wajahnya. Dia memang tersenyum. Tapi aku tahu, itu jenis senyuman yang terpaksa. Karena aku sering melakukannya di saat tertentu.

Mendengar suara cekikikan tante Agatha, membuatku kembali meliriknya. "Tuh, anak Tante setuju. Kamu gimana? Mau ya jadi menantu Tante? Tante ingin cepat dapat cucu. Punya rumah besar tapi selalu sepi. Dari dulu Tante ingin punya banyak anak, cuma nggak bisa. Tiap kali mau adopsi anak, si Aktar selalu nolak. Katanya nggak mau punya saudara tiri. Akhirnya Tante selalu kesepian kalau lagi di rumah, apalagi Aktar suka pergi berhari-hari bareng temannya. Kamu mau kan Arimbi sayang?"

Aku memandang Mama dengan raut wajah meminta pertolongan untuk menyelamatkanku dari situasi konyol ini.

"Mak," Panggilku pelan.

Mama mengangguk paham. Lalu beliau datang menghampiri tante Agatha. Dan itu dapat membuatku bernapas lega karena bisa mengandalkan Mama.

"Aku setuju kali sama usulmu itu," Seru Mama sambil menepuk pelan bahu tante Agatha.

What the???!!

Wajah Mama terlihat gembira seperti memenangkan sebuah lotre berhadiah. "Kebetulan si Bimbii lagi jomblo. Dia baru diputusin sama pacarnya. Kurasa mereka berdua ini memang udah jodoh. Meskipun umur Bimbii masih muda, baru dua puluh tiga tahun. Tapi aku yakin, alat reproduksinya udah matang untuk hamil dan melahirkan calon cucu-cucu kita berdua. Apalagi anakmu Aktar kan udah dewasa umurnya, jadi cocoklah membimbing dan mengayomi putriku dalam membina rumah tangga."

Entah seperti apa mimik wajahku saat ini. Aku merasa telah dijebak oleh Mama kandungku sendiri.

Dasar penghianat!

"Oke! Jadi kita sepakat ya?" Seru tante Agatha. "Aku pikir kau sudah lupa dengan janjimu dulu."

"Ah... mana mungkin aku lupa!" Balas Mama tertawa. "Sejak dia lahir, kau udah pesan samaku. Kalau dia udah besar nanti harus jadi menantumu. Lagian aku pun senang besanan sama kau. Duit kau kan banyak, jadi aku nggak perlu khawatir lagi putriku makan nasi atau enggak. Tapi itulah, kau mendadak hilang. Aku jadi susah hubungi kau lagi."

"Bukan menghilang Yo." Tante Agatha memberi penjelasan pada Mama. "Semenjak suamiku meninggal dunia, aku yang harus mengurus semua bisnisnya. Mengunjungi kota yang satu ke kota yang lain. Bahkan untuk bertemu sama Aktar aja pun aku jarang. Tapi sekarang aku udah bisa lebih santai, karena Aktar membantuku mengurus sebagian. Kau jangan marahlah, yang penting kan sekarang kita tetap jadi besanan."

"Enggaklah. Aku nggak marah. Malah aku salut lihat kau, jadi wanita sukses sekarang."

Tante Agatha tertawa. "Tapi kau nggak sirik kan samaku?"

"Siriklah. Cuma dikit aja."

"Kalau itu sih nggak heran aku. Dari dulu kan kau emang suka sirik dan ngebully orang."

"Eh tapi jangan salah. Justru itu yang jadi daya pikatku. Nggak kau ingat gimana dulu cowok paling pendiem di sekolah kita bisa takluk dan berakhir menjadi suamiku sekarang?"

"Iya pula ya." Tante Agatha menggaruk keningnya. "Kau memang hebat Yo. Karena itulah aku mau ambil satu bibitmu untuk anakku."

"Dengan segala kerendahan hati kuserahkan bibitku siampudan (bungsu) ini untuk anakmu."

Tante Agatha bertepuk tangan sanking gembiranya. "Yaudah kalau gitu. Calon besan dan calon parumaen (menantu) ayo silahkan masuk ke gubuk tercinta kami."

"Ah sok merendah kau. Rumah besar kek gini dibilang gubuk? Terus rumah kami yang kecil mau dibilang apalagi?" Protes Mama.

"Kan biar terlihat rendah hati Yo. Nanti kalau aku bilang istana, tersinggung pula kau. Kan aku jadinya serba salah."

"Eh teringatnya, kau masak apa? Yang enak kan? Bosan lidahku makan yang diarsik terus. Sekali-kali mau cicip makanan daerah lain, kalau perlu luar negeri juga."

"Tahu aku seleramu. Makanya tadi aku yang turun langsung ke dapur sendiri masaknya," Ujar beliau.

Aku membiarkan tante Agatha dan Aktar berjalan lebih dulu di depan. Sementara aku sengaja menarik Mama ke belakang dan menahan tangannya. Langsung saja aku mengeluarkan protes yang sedari tadi kutahan.

"Perasaan semalam Mamak itu ngajak Bimbii ke sini cuma mau temani Mamak ketemu teman SMP. Tapi kenapa jadi bahas jodoh-jodohan? Bisa Mamak jelaskan ke aku maksudnya itu apa?"

"Kau nggak tahu? Jodohin itu artinya kau sama Aktar mau kami nikahkan. Kayak Mamak sama Bapakmu nikah, tinggal serumah terus punya anak."

Aku menggeram ke Mama. "Iyaaaaa aku tahu itu!"

"Oto (bodoh) kali lah. Kalau udah tahu kenapa tanya lagi?" Tanya Mama marah melototiku.

"Maksud aku. Kenapa tiba-tiba dijodohin tanpa izin dari aku?"

"Ngapain harus izin? Aku ini Mamak yang mengandung, melahirkan dan besarkan kau. Syukur lagi dicariin jodoh yang bagus. Bukannya terimakasih malah protes!"

"Mana bisa gitu! Aku pun lahir ke dunia ini karena Mamak sama Bapak. Jadi udah kewajiban kalian berdua untuk besarin aku."

Mama merangkul bahuku dan berbicara lembut. "Justru karena kewajiban makanya kau kusekolahkan tinggi sampai lulus sarjana pendidikan. Biar kau punya ilmu, nggak bodoh. Lagian Mamak sayang sama kau. Kau tahu kenapa Mamak setuju jodohin kau sama Aktar? Karena Mamak kenal baik siapa kedua orang tuanya. Mamak pun nggak akan bodoh nyerahkan kau ke keluarga yang nggak Mamak kenal asal-usulnya."

Masalahnya Aktar itu homo! Gimana jadinya aku menikah dengan lelaki yang suka main pedang-pedangan?

"Percaya sama pilihan Mamak. Kau nggak akan nyesal." Lanjut beliau sambil menarikku untuk berjalan ke dalam rumah.

*****

Selesai acara makan siang, tante Agatha menyuruh Aktar untuk membawaku berkeliling di dalam rumah mereka. Padahal aku tidak sanggup untuk berjalan lagi sanking kenyangnya. Gimana tidak? Semua hidangan yang dimasak beliau sangat enak. Sampai aku lupa sudah berapa kali meminta tambah.

"Hey!"

Aku mengabaikan suara Aktar dan terus berjalan sambil mengamati foto-foto yang ada di ruang keluarganya.

"Woy! Butet!"

Aku menoleh dengan tatapan tak suka. "Aku punya nama tahu. Bukan hey, woy, ataupun Butet!"

"Siapa?" Tanyanya datar.

"Arimbi. Tapi biasa dipanggil Bimbii."

"Siapa yang tanya?" Lanjutnya lagi.

Brengsek!

Aku berjalan ke hadapannya. Sial! Dia terlalu tinggi untuk tubuhku yang pendek. Wajahku hanya sebatas dadanya. Terpaksa aku harus mendongakkan kepala. "Hey Nastar! Jangan mulai pancing emosi aku ya!"

"Aktar bukan nastar!" Ralatnya.

"Aku tahu. Ini aku kan lagi marah, makanya sengaja aku plesetin."

"Oh."

Double Brengsek!!

"Selain homo, kau itu nyebelin ya!" Ejekku padanya.

Spontan dia menutup mulutku dengan satu tangannya yang begitu harum dipenciumanku. "Jangan sembarangan bicara!"

Meskipun wangi, tapi aku cukup waras melepas tangannya itu. "Itu fakta tahu! Kau kan memang homo."

"Bisa pelankan sedikit suaramu?"

Kedua tanganku bersedekap di depan dada. "Kenapa? Kau takut Mamamu dengar?"

Aktar terdiam. Sepertinya dia takut atau memang sangat menyayangi Mamanya sehingga tidak ingin kalau beliau tahu tentang aibnya itu.

"Aku sudah meninggalkan masa lalu itu demi Mamaku."

"Jangan bilang kau menerima perjodohan ini demi menyenangkan Mamamu juga?" Tanyaku kesal.

"Hey! Aku juga tidak tahu, kalau kita sudah dijodohkan. Aku baru mendengarnya hari ini."

"Kalau begitu nanti kau harus membatalkan niat tante Agatha tadi. Gila aja! Aku masih muda. Belum mau nikah. Belum mau urus rumah, suami ataupun anak bayi."

"Kenapa harus aku yang membatalkan?"

"Ya karena dia Mamamu! Semua perjodohan itu datangnya dari ide beliau."

Aktar duduk di sofa dengan santai. "Seumur hidup, aku tidak pernah bisa protes ke Mama. Jadi kau saja yang melakukannya."

Aku menatapnya kesal. "Sepertinya kau sangat tertarik ingin menikah denganku."

Dia mendelik. "Yang benar saja! Aku lebih memilih jadi perjaka tua daripada punya istri sepertimu."

Sudut bibirku tertarik ke atas. Lalu aku duduk mendekatinya sambil mencolek-colek bahunya. "Oh jadi kau masih perjaka? Ciyeee... ciyeee...."

"Jangan menyentuhku!" Protesnya sambil menepis tanganku.

"Eh Nastar! Kemarin saja kau bebas mencium bibirku. Masa hanya mencolek bahumu saja aku nggak bisa?"

"Itu karena keadaan terpaksa. Jadi mulai sekarang kau harus jaga jarak denganku."

Aku berdesis. "Kalau gitu jangan terima perjodohan kita. Karena kalau kita udah menikah, ibaratkan lintah aku bakalan menempel terus di tubuhmu!" Ancamku seperti seorang begal pada korbannya.

Dia hanya berdengus dan memutar kedua bola matanya menanggapiku. Tanpa sengaja aku melihat foto Aktar yang sedang memakai baju wisuda dengan latar belakang bangunan salah satu kampus Universitas Indonesia.

"Wow. Ternyata kau lulusan UI ya?" Tanyaku sambil memegang fotonya.

Dia tidak menanggapiku dan malah asik memainkan ponsel di tangannya. Baru saja aku ingin membuka mulut tapi terhenti kala mendengar suara Mama yang memanggilku.

"Bimbii!"

"Ya Mak?" Jawabku sembari meletakkan kembali foto itu di atas meja.

Aktar mengantongi ponsel dan bangkit berdiri begitu sosok Mamaku juga Mamanya muncul.

"Kita pulang sekarang ya, udah sore soalnya."

Aku bergumam dan berjalan ke arah Mama.

"Nanti nak Aktar main-main ke rumah kami ya. Tadi alamatnya udah Tante kasih ke Mamamu."

Aktar tersenyum sembari mengangguk.

"Eh tapi di ponselmu ada BPJSnya kan? Lihat dari situ aja, biar nggak salah jalan nanti."

Wajah Aktar dan tante Agatha terlihat bingung menatap Mamaku.

"Maksud Mamak itu GPS hehe," Ralatku secepatnya dengan wajah super malu.

"Ooh...." Aktar dan Mamanya menjawab serentak.

Entah harus bagaimana lagi aku harus menjelaskan ke Mama mengenai penyebutan nama GPS. Apakah aku harus salto-salto dulu baru beliau akan mengerti?

11-Februari-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top