Tiga puluh enam

Sejak dulu menstruasi-ku memang tidak pernah teratur datangnya. Maka dari itu aku benar-benar tidak sadar jika saat ini sedang hamil, karena telat haid adalah hal yang biasa aku alami. Dan meskipun aku menyukai anak kecil. Tapi untuk sekarang, aku belum menginginkan makhluk kecil yang bernama Janin itu hadir di dalam hidupku. Kedatangannya di dunia ini hanya akan merusak rencana yang sudah aku susun.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang??

"Kau pasti selingkuh. Itu bukan anak Aktar kan?" tuduh Edgar padaku begitu kami keluar dari ruangan Dokter.

"Enteng kali rahang kau itu ngomong ya. Kau pikir aku wanita murahan huh? Ini hormonku lagi nggak stabil ya. Jangan sampe muka kau yang glowing itu kuratakan kayak lantai rumah sakit ini. Aku kayak gitu orangnya kalau udah emosi. Setan pun lewat, rata kubuat!"

"Jadi itu benar anak Aktar?" tanyanya lagi.

"Yaiyalah! Ini 1000 persen anak dia. Awas ajalah kalau kau tanya lagi ini anak siapa, nanti batang leher kau itu kupijak-pijak. Ngerti kau?!" semburku dengan gaya berkaca pinggang.

Namun di detik berikutnya aku melongo, ketika Edgar menunduk dan menatap ke arah perutku yang tidak begitu langsing.

"Berarti ada Aktar junior di sini," ujarnya pelan. Lalu dia mendongak melihatku dengan mata berbinar-binar. "A--apa aku boleh menyentuh perutmu?" tanyanya dengan suara gemetar.

Aku menatapnya heran dan bergeleng cepat. "Enggak boleh!"

"Sebentar saja."

"Enggak!" tolakku seraya menutup perut dengan tas.

"Please..." Edgar memohon dengan kedua tangan menyatu.

"Kalau aku nggak mau, jangan dipaksa."

Dia kembali menegakkan tubuhnya. "Aku hanya penasaran. Tolonglah... sekali saja." pintanya dengan raut wajah memelas.

"Aneh kali anak sebiji inilah. Kalau mau minta tolong itu ya ke kantor polisi sana. Jangan samaku!" ujarku yang kemudian pergi menjauhinya, sebelum dia ingat kembali untuk menculikku lagi.

Kupercepat langkah kakiku saat Edgar berteriak dan mencoba mengejarku.

"Tunggu... Jangan lari!" teriaknya.

Sialan! Dia cepat sekali berlari. Jangan-jangan dia itu adalah jelmaan binatang kaki seribu.

Dan aku yakin sekali, orang-orang yang berada di lobi rumah sakit ini mengira kami berdua adalah pasangan sejoli yang sedang bertengkar seperti adegan di film-film dengan judul Pacarku ternyata manusia jelmaan kaki seribu.

"Hey hati-hati... Lihat di depanmu!" seru Edgar.

Mungkin karena aku terlalu fokus menoleh ke belakang untuk memastikan apakah dia sudah jauh atau tidak, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa ada tiga anak tangga di depanku.

Aku bersiap untuk teriak histeris karena tahu sebentar lagi akan terjatuh. Namun sebelum membuka mulut, ternyata Edgar sudah menyelamatkanku dari belakang.

"Hampir saja...." ucapnya lega.

Aku menatapnya dengan napas yang masih tersenggal-senggal. "Kau hampir membuatku celaka!"

"Aku tidak peduli denganmu. Tapi aku peduli dengan anak Aktar yang ada di dalam perutmu."

"Brengsek!" Aku memukul wajahnya dengan tasku. "Menjauhlah dariku!"

Dia meringis dan melepaskan kedua pegangannya dari tubuhku. "Jangan kabur lagi."

"Kalau aku enggak kabur, kau pasti akan menculikku."

"Tidak lagi. Aku sudah membatalkannya. Jadi mari, aku akan mengantarkanmu pulang."

"Aku bisa pulang sendiri."

Edgar menghalangi jalanku. "Aku harus memastikan anak Aktar aman."

"Justru kau yang bikin anak ini nggak nyaman. Kau hampir membuat kami celaka. Udah sana minggir kau!"

"Aku sungguh merasa bersalah. Biarkan aku menebusnya. Tolonglah... aku ingin mengantarnya pulang dan memastikan dia selamat," ucap Edgar seraya berlutut di depanku.

Aku menutup wajahku dengan tas saat orang-orang sekitar lobi rumah sakit sedang menonton live adegan yang memalukan ini.

"Eh Nutrijel, kau berdiri napa! Bikin malu aku aja!" kataku dengan mengeratkan gigi.

"Jawab iya dulu. Baru aku mau berdiri."

"Iya-iya... Suka kau aja lah. Udah cepat berdiri!"

Bukannya berdiri, dia malah berbalik dan memunggungiku. "Ayo naik... Aku akan menggendongmu sampai ke parkiran mobil."

"Kedua kakiku masih bisa berjalan dengan normal."

"Hanya berjaga-jaga saja. Aku tidak ingin kau tersandung saat berjalan nanti. Itu akan membahayakan dia."

Aku tidak ingin berdebat dengannya lagi.Jadi aku segera naik ke punggungnya dan menutup wajahku dengan tas dari beberapa orang-orang yang mencoba mengambil foto kami.

Hari ini aku benar-benar sial.

*****

"Pasang sabuk pengamanmu," seru Edgar ketika kami sudah berada di dalam mobil.

Aku menatapnya kesal, namun tetap aku memakainya di tubuhku.

"Pak, tolong nyetirnya pelan-pelan saja. Karena wanita ini sedang mengandung. Jadi kalau bisa hindari jalan yang berlubang, berbatu dan polisi tidur. Pokoknya saya tidak mau mobil ini sampai bergoyang atau bergetar."

"Baik, Tuan."

Aku melongo mendengar perintah Edgar kepada supirnya barusan. Aku tidak percaya dia bisa begitu peduli dengan janin ini. Padahal dia tidak memiliki jenis ikatan apapun.

"Hey, Nutrijel!"

"Ya?" jawabnya lembut.

"Apa kau dan Aktar masih sering berhubungan atau bertemu diam-diam?"

Wajahnya terlihat sedih. "Dia bahkan tidak mau mengangkat telepon atau membalas pesan dariku. Aktar benar-benar melupakanku dan fokus dengan rumah tangga yang baru dia bina bersamamu. Itulah yang membuatku marah, kesal, kecewa. Dan aku berpikiran untuk menculikmu, lalu membuangmu sejauh mungkin. Karena aku tidak ingin Aktar dimiliki siapapun."

Astaga... Ternyata dia memiliki jiwa psikopat. Bulu kudukku merinding membayangkan Edgar sedang membuang potongan tubuhku di tengah laut.

"Tapi tenang saja. Selama anak Aktar ada di dalam perutmu, aku tidak akan menyakitimu," lanjutnya lagi.

"Kau lebih menakutkan dari semua jenis hantu yang ada di dunia ini."

Edgar hanya tersenyum merespon ucapanku. Dan itu justru membuatku semakin merinding disko.

Setelah dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku sampai di depan jalan rumah mertuaku dengan selamat. Sebelum turun dan membuka pintu mobil, aku menatap Edgar.

"Heh, Nutrijel! Apa kau bisa membantuku?"

"Kau ingin aku menggendongmu sampai ke dalam rumah?"

"Bukan itu."

"Jadi apa?" tanyanya penasaran.

"Bantu aku untuk merahasiakan kehamilanku ini dari siapapun, termasuk Aktar. Kau jangan beritahu dia."

Wajah Edgar terlihat bingung. "Kenapa tidak boleh?"

Jariku mengisyaratkannya untuk mendekat, setelah itu aku berbisik ke telinganya. "Aktar akan melenyapkan janin ini, karena dia tidak ingin memiliki keturunan."

"TIDAK MUNGKIN!" pekiknya kuat dan sialnya itu membuatku kaget.

"Mungkin saja. Di dunia ini apapun bisa terjadi." Aku terus meyakinkannya.

"Tapi untuk apa??!!"

"Kau tahu kan Aktar itu anak satu-satunya di keluarga Wiraatmaja?"

"Lalu?" keningnya berkerut menatapku.

"Aktar itu nggak mau kalau nanti semua harta-hartanya harus di bagi dengan siapapun, termasuk darah dagingnya." Kepalaku tertunduk ke bawah. Aku berusaha mengeluarkan air mata, dengan cara mengingat adegan paling sedih dari film Miracle in cell no 7. Aku harus melakukan ini, agar Edgar percaya padaku.

"Sudahlah jangan menangis." Satu tangannya mengusap lembut bahuku. "Aku benar-benar tidak menyangka dia bisa sepicik itu."

"Sejak awal menikah dia udah bilang padaku, tidak ingin punya anak."

"Lalu kenapa kau bisa sampai hamil?"

Aku menghapus air mata dengan tisu yang diberikan Edgar. "Ceritanya panjang... Kami sama-sama mabuk dan yah begitulah."

Edgar mengangguk paham. "Kau tenang saja. Aku tidak akan membiarkan Aktar menyakiti anak itu. Karena dia harus melangkahi mayatku dulu. Besok aku akan mendatanginya!"

"Eh jangan... Kau nggak perlu datangi dia. Dia nggak akan menyakiti anak ini, selama kau nggak kasih tahu kalau aku lagi hamil anaknya."

"Oke. Aku berjanji tidak akan memberitahunya demi keselamatan anak itu."

Kuacungkan jempol padanya. "Bagus!"

"Berikan nomormu padaku. Supaya kita lebih mudah berkomunikasi."

Setelah menyebutkan nomorku padanya, tak berapa lama ponselku langsung bergetar.

"Itu nomorku, kau harus menyimpannya. Jadi kalau terjadi sesuatu, langsung hubungi aku saja."

"Oke," jawabku cepat. Setelah itu aku turun dari mobil dan melambaikan tangan ketika mobilnya pergi menjauh.

Ternyata cinta itu bisa membuat orang jadi bodoh.

3-Desember-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top