Tiga puluh dua
Setibanya di bandara Kualanamu Medan, Aktar langsung bergegas menuju toilet. Selama di dalam pesawat, tak terhitung ada berapa kali dia mengalami mual-mual. Dan dugaanku saat ini, sepertinya dia akan memuntahkan sesuatu yang ditahannya sepanjang perjalanan tadi. Demi Bikini Bottom, dia terlihat seperti seorang wanita yang sedang berbadan dua.
"Tunggu di sini. Jangan ikut masuk," ucapnya sambil menoleh ke belakang melihatku, seolah aku ini adalah seorang penguntit. Meski pada kenyataannya itu memang benar, tapi aku tidak mau mengakuinya.
Sori, Ferguso. Ini tentang harga diri!
"Perasaaan ganteng kali lah kau, siapa juga yang mau masuk." balasku sewot seraya menendang koper yang ada di sebelahku hingga terjatuh di lantai. Dan tololnya itu adalah koperku sendiri, terpaksa aku harus mendirikannya kembali.
Namun sebelum aku membungkukkan badan untuk meraihnya, Aktar sudah lebih dulu mendirikan koper itu untukku.
Apa dia sedang melakukan pencitraan?
"Gak usah sok-sok baik kayak gitulah. Gak ngefek samaku. Pokoknya aku ini masih marah karena tadi kau paksa pulang, dengar kau?"
Aktar tidak merespon perkataanku. Dia lebih memilih untuk masuk ke dalam toilet pria. Sialan ya, apa dia pikir aku ini radio rusak-rusak? Sungguh menyebalkan!
Aku mendengus kesal. Namun tiba-tiba aku teringat dengan wajah Niko. Hampir saja aku lupa mengabarinya, kalau pesawat kami sudah mendarat dengan selamat. Belum apa-apa tapi aku sudah rindu dengannya. Ternyata benar yang dikatakan Dilan. Rindu itu berat.
*****
Supir pribadi Aktar langsung tersenyum begitu melihat kami berdua keluar dari pintu kedatangan. Tanpa diminta, supir itu mengambil alih koper dari tanganku dan membawanya menuju mobil.
"Supri," panggilku yang membuat supir itu menoleh.
"Iya Bu?"
"Aku baru berapa hari gak ketemu kau, tapi daki di bawah hidungmu makin banyak kulihat."
Refleks dia memegang bagian atas bibirnya dan kemudian tertawa. "Ah Ibu bisa aja. Ini kumis loh Bu, bukan daki."
"Makan ayam pakai nasi, ah masa sih?"
Supri pun membalasnya dengan pantun juga. "Lee min ho pergi ke pasar, ah si Ibu mulai kasar."
Aku tertawa dan berniat membalasnya lagi. "Jalan-jalan ke kota Paris, jangan lupa membeli kerupuk----"
"Kurang kerjaan kali. Ngapain kau ke Paris cuma mau beli kerupuk?" ujar Aktar yang memotong pantunku dengan seenak jidatnya.
Aku menatapnya kesal. Dia tidak tahu seni berpantun. "Ikan hiu makan permen, fuck you man!"
"Kau itu ya, jangan dibiasain ngomong kasar. Kadang sekali-kali lucu tapi kalau udah berlebihan itu nggak baik."
Aku mendengus sembari memutar kedua bola mata. "Pak Lurah makan bekicot, dasar banyak bacot!" Lalu aku berjalan lebih dulu dari Aktar yang kemudian disusul Supri di sampingku.
"Pak Lurah makan salak, wow Ibu galak."
"Bu Mumu jualan jamu, diam kamu!"
Spontan dia menutup mulutnya dan membukakan pintu mobil untukku juga Aktar. Sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka suara, yang terdengar hanya lagu-lagu yang diputar oleh Supri.
Begitu sampai di depan rumah, aku terkejut melihat mobil Mamaku yang juga terparkir di halaman. Spontan saja aku menatap Aktar yang duduk di sebelahku.
"Kau mengabari Mamaku ya?"
"Mamamu tahu kalau hari ini aku menjemputmu pulang, tapi aku nggak tahu kalau beliau akan datang ke rumah."
"Kalau sampai hari ini aku digantung sama Mamaku, ingat ya nastar, kau orang pertama yang kuhantui." Ancamku padanya dengan menekan jari telunjukku di hidungnya yang mancung.
"Tenang saja. Malaikat pencabut nyawa pun berpikir seribu kali buat melihara kau. Jadi orang kayak kau gini pasti susah matinya."
"Apa maksudmu?" tanyaku yang gagal paham.
"Lupakan," jawabnya singkat dan pergi menuju rumah.
"Eh tunggu, kita sama jalannya." Aku berlari mengejarnya. "Pokoknya nanti kalau aku dimarahin, kau harus belain ya."
Dia menatapku sejenak, lalu berkata "Ke pasar beli tomat, bodo amat!"
Dasar suami yang tidak berperikemanusiaan.
23-November-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top