Special Pov (Aktar)
Perempuan paling rumit. Tiga kalimat itu yang sangat cocok untuk menggambarkan Arimbi.
Hobinya suka marah-marah sendiri tak jelas dan itu sukses membuatku bingung sebagai suaminya. Karena apapun yang aku lakukan atau ucapkan pasti akan selalu salah saja. Tapi meski begitu, aku tidak bisa benci padanya. Hanya saja terkadang aku suka jengkel dengan isi kepalanya yang suka berprasangka buruk padaku. Padahal tidak pernah sedetik pun terlintas dalam pikiranku untuk berniat jahat padanya. Aku selalu belajar bagaimana cara menjadi suami yang baik, supaya dia merasa nyaman hidup bersamaku. Bahkan aku sengaja membuka komunikasi dengan mantannya dan juga salah satu sahabatnya, karena aku ingin tahu lebih banyak lagi mengenai dia yang tidak aku ketahui.
Sebelum menikah dengannya, dulu aku pernah mengalami masalah orientasi seksual. Di mana aku tertarik dan merasa nyaman dengan sesama jenisku. Anehnya perasaan itu hanya muncul dengan satu lelaki saja, yang tidak lain adalah sahabatku sendiri. Namanya Edgar, dia sahabatku semasa kuliah.
Dulu di kampus, aku dikenal sebagai laki-laki yang elegan dan smart. Aku memiliki prestasi akademik yang sangat baik, hanya saja aku tipe yang sensitif orangnya. Yang mana lebih suka menyendiri sehingga sulit bergaul dengan teman-teman di kampus. Sebenarnya aku ingin normal seperti orang lain yang mudah bergaul dengan sekitarnya tapi tidak tahu kenapa itu sangat sulit untuk kulakukan. Kadang-kadang aku putus asa dan tak pernah curhat kepada siapapun, sampai akhirnya aku bertemu Edgar.
Semua berawal dari pertemanan. Setiap kali bertemu Edgar aku merasa terhibur. Dia tahu benar bagaimana membuatku tertawa, itulah yang membuatku ketagihan untuk mencarinya. Aku butuh tempat untuk didengar, dimengerti dan Edgar menyediakannya. Perlakuannya yang seperti itu yang membuatku merasa nyaman bersamanya. Hal-hal yang tidak aku dapatkan dari keluargaku. Dari rasa nyaman itulah tumbuh menjadi kebutuhan.
Tapi meski begitu aku tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan Edgar. Aku memang menyukainya tapi hanya sekedar suka, bukan berarti aku ingin perasaanku dibalas lalu kami pacaran dan hidup bahagia selamanya. Bukan seperti itu. Aku hanya ingin kami bertemu, ngobrol, bermain catur dan tertawa bersama. Interaksi seperti itu yang aku suka. Dan rasa sukaku itu tidak pernah sampai ke tahap cemburu walau dia berteman atau dekat dengan orang lain.
Aku pernah berkonsultasi dengan beberapa psikiater, dan mereka bilang aku itu lelaki normal. Aku hanya merasa kesepian karena tidak mendapatkan perhatian dari Mamaku lagi semenjak Papaku meninggal. Memang dari kecil aku terbiasa dengan perhatian dari kedua orang tuaku. Sampai ketika aku lulus SMA, Papaku meninggal dunia. Semenjak itu Mama sibuk dengan pekerjaan di Hotel karena harus menggantikan posisi Papaku. Sehingga Mama menjadi sering pergi berhari-hari ke luar kota untuk memantau proyek lain yang sudah sempat dibeli oleh Papa.
"Tidak ada kebahagiaan yang sempurna sebagai gay. Karena kodratnya laki-laki ya dengan perempuan. Jika masih bisa berubah dan meninggalkan, lebih kamu baik hidup normal."
Itu adalah pesan terakhir salah satu psikolog sebelum aku pergi meninggalkan ruang praktiknya. Dan sejujurnya aku juga ingin menyukai perempuan dan menikahinya, hanya saja aku belum menemukan perempuan yang bisa mencuri perhatianku untuk meliriknya sedetik saja. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Arimbi di dalam pesawat. Saat itu dia duduk di sampingku dalam keadaan menangis tersedu-sedu. Sebenarnya aku tipe orang yang sangat cuek dengan sekitar tapi suara tangisnya itu sukses menarik perhatianku.
Sebelumnya aku sudah diingatkan oleh Xiena sekretarisku di Hotel, dia memiliki kemampuan untuk melihat masa depan. Xiena bilang bahwa aku akan menikah dalam waktu dekat. Dia juga memberiku petunjuk, dengan mengatakan aku akan bertemu calon istriku di dalam toilet pria sebanyak dua kali. Saat di toilet bandara, aku belum sadar jika yang Xiena maksud bahwa calon istriku itu adalah Arimbi. Tapi ketika pertemuan ke dua, yaitu di dalam toilet kafe, di situ aku baru tersadar. Bahwa wanita yang berdiri di depanku saat itu adalah calon istriku, makanya aku berani mencium bibir Arimbi ketika Edgar mengejarku ke toilet. Itu sebabnya saat Mama menjodohkanku dengannya, aku tidak terlalu kaget dan tidak menolak untuk dinikahkan meski tanpa cinta. Menurutku menikah itu bukan cuma tentang cinta. Cinta dalam pernikahan itu nomor kesekian. Yang terpenting adalah komitmen masing-masing pasangan untuk bisa tetep menjaga baik hubungan suami-istri. Dan itu yang sedang aku usahakan saat ini.
"Aku pergi sebentar," ucapku pamit setelah mencium bibirnya tadi. Bibir yang biasa dia gunakan untuk menyalahkanku dengan kalimat jahanamnya, meski rasa bibirnya tidak seburuk ucapannya.
"Hmm...." gumamnya dengan wajah memerah.
Responnya itu di luar perkiraanku, tadinya aku pikir dia akan memarahiku dengan sumpah serapahnya karena berani menciumnya. Bukan tanpa alasan kenapa aku menciumnya, saat ini dia sedang sakit dan butuh dukungan orang di sekelilingnya. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku akan selalu ada di bersamanya.
"Ma... tolong jaga Arimbi sebentar," kataku kepada Mama mertuaku yang sedang duduk di kursi bersama Papa mertua dan juga Mamaku.
Mereka bertiga terlihat salah tingkah ketika aku menoleh ke belakang untuk memandang.
Mama mertuaku mengangguk cepat sambil merapikan rambutnya yang terlihat rapi. Sepertinya mereka melihatku mencium Arimbi tadi. Tapi aku tidak ambil pusing. Aku segera bergegas ke ruang perawat untuk menemui dokter kandungan Arimbi.
"Maaf pak Aktar. Saya sengaja memanggil Anda supaya bisa bicara berdua karena saya takut tensi bu Arimbi naik lagi kalau tahu kondisinya saat ini. Jadi begini pak Aktar, saya ingin memberitahukan bahwa hasil pemeriksaan dari bu Arimbi menunjukkan perburukan. Kadar hemoglobin dan trombositnya menurun dibanding pemeriksaan sebelumnya. Sedangkan enzim-enzim yang menunjukkan fungsi hati meningkat sampai 3x lipat menandakan fungsi organnya terganggu. Demikian juga pemeriksaan fungsi ginjalnya, kadar ureum dan kreatinin darah mulai meningkat yang menandakan ginjal terancam bahaya. Kondisi perburukan ini mengharuskan pengakhiran kehamilan segera dilakukan, sebelum kondisi ibu Arimbi menjadi lebih buruk. Karena ditakutkan sewaktu-waktu bisa terjadi komplikasi organ lainnya dan nyawa istri Anda sebagai taruhannya," jelas dokter Benitha panjang lebar dan membuat tubuhku seketika lemas begitu mendengarnya.
Bahkan suasana rumah sakit terasa sunyi sehingga aku dapat mendengar suara detak jantungku sendiri.
"Apa kondisinya yang sekarang juga yang membuat penglihatan istri saya kabur?"
Dokter Benitha mengangguk. "Ya Itu karena adanya perubahan tekanan darah pada pembuluh darah di retinanya, sehingga penglihatannya istri Anda kabur. Tapi hal tersebut hanyalah sementara. Penglihatannya akan kembali normal usai melahirkan."
"Lalu bagaimana dengan anak kami?"
"Sama seperti Ibunya. Kondisi bayi yang ada di dalam perutnya juga ikut menurun, gerakannya kurang aktif. Ada dua kemungkinan kenapa gerakan bayinya kurang aktif. Yang pertama, bisa jadi karena bayinya malas. Yang kedua, karena bayinya tidak punya tenaga untuk bergerak, ini disebabkan fungsi ginjal Ibunya terganggu sehingga asupan makanan menjadi sedikit untuk si bayi. Nah, yang saya khawatirkan adalah yang kedua. Jadi lebih baik kita keluarkan, untuk menyelamatkan Ibu dan bayinya."
Aku berusaha menyembunyikan raut kesedihanku di depan dokter itu. "Baiklah, bila memang itu yang terbaik. Tapi saya mau, bayi saya kalau dilahirkan nanti harus ditolong semaksimal mungkin ya Dokter. Sekarang juga saya mau tunggu obat pematangan parunya selesai sebelum dia dilahirkan," ucapku sambil menatapnya lekat.
"Saya akan berusaha untuk menyelamatkan dua-duanya. Tetapi yang menentukan umur bukanlah saya, melainkan Tuhan. Jadi pak Aktar berdoa saja, semoga Ibu dan bayinya sehat nanti."
"Kapan operasinya dilakukan Dok?"
"Lebih cepat lebih baik," jawabnya meyakinkanku. "Mungkin jam 9 pagi nanti operasinya dilakukan." tambahnya lagi.
*****
Penjelasan dokter Benitha tadi masih terus terngiang jelas di kepalaku, bahkan ketika aku sudah kembali ke ruang rawatan. Di kamar, kedua orang tua Arimbi dan Mamaku langsung bertanya kenapa aku dipanggil oleh dokter Benitha. Mau tidak mau, aku pun harus menjelaskan kepada mereka persis seperti yang dijelaskan oleh dokter Benitha kepadaku. Dan bisa ditebak mereka terkejut mendengar kabar tersebut, termasuk Arimbi.
"Aku nggak mau dioperasi!" tolaknya cepat.
"Hasil rekam jantung Arbi tidak bagus. Jadi mau tidak mau, anak kita mesti dikeluarkan secepatnya." jelasku lagi untuk sekian kalinya.
"Dia belum cukup umur untuk dilahirkan!"
"Udahlah Nak, operasi aja. Kalau kau memaksa mempertahankan Arbi di dalam perutmu, itu sama saja kau mau menyiksanya. Dia bisa meninggal di dalam sana karena kurang asupan makanan," komentar Mama mertuaku.
"Iya sayang. Ini juga demi keselamatanmu dan juga Arbi. Kalau kamu menolak, nyawa kalian berdua yang menjadi taruhannya." tambah Mamaku.
Arimbi tidak membuat bantahan lagi. Dia terlihat diam pertanda dia sudah pasrah demgan keputusan
Dia hanya diam lama terdiam, lalu kemudian sebelum akhirnya mendengar ada suara pintu diketuk dari luar kamar. Ternyata itu adalah suster yang memintaku segera ke bagian administrasi untuk membubuhkan tanda tangan di beberapa lembar dokumen sebagai tanda persetujuan operasi dan total biayanya juga. Sesampainya di bagian adminstrasi, langsung saja aku menandatangani lembar demi lembar dokumennya. Di saat yang bersamaan, tanpa sengaja aku mendengar percakapan dua orang dokter dan satu perawat yang berdiri tidak jauh dari tempatku.
"Kondisi bayi dikandungannya cukup baik Mbak. Pertumbuhannya sesuai dengan usia kehamilannya dan rekaman jantung bayinya juga baik meskipun jantung si Ibu kesulitan mencukupi pasokan untuk dirinya sendiri," ucap dokter pertama yang terlihat masih muda.
"Kalau begitu jangan lupa kejar trainee dari PJT (Pelayanan Jantung Terpadu) untuk segera datang dan melakukan echocardiography ya!" instruksi perempuan di sebelahnya yang sepertinya dokter senior.
"Sudah saya telpon Mbak, tapi kata bagian administrasinya, pasien mesti bayar setengah uang muka dulu, satu juta setengah. Soalnya kan echo-nya mau dikerjakan di sini. Tapi suami si pasien belum datang, yang nunggu itu cuma Ibunya dan nggak punya uang sepeser pun." balas dokter pertama panjang lebar.
Sambil tersenyum manis, dokter senior itu mengalihkan tatapannya ke arah perawat. "Kak, bantu urusin dong surat-surat pasien itu biar cepet beres. Mesti echo sekarang juga nih. Kalo enggak, kita nggak bisa tahu kondisi jantungnya dan mau diapain pasiennya nanti."
"Yaelah Dok. Suaminya aja belum datang. Boro-boro surat, KTP aja nggak punya tuh pasien. Gimana mau bikin surat jaminan biar dapet keringanan?" jelas perawat itu sambil mengangkat bahu.
"Dia nggak punya KTP Medan Dok, apalagi KK. Dia aslinya dari Jawa. Pindah ke Medan karena ikut suaminya yang kerja di sini," sambung dokter muda tadi.
"Jadi gimana dong? Masa pasiennya nggak kita apa-apain kalau nggak punya surat-surat?"
Sambil mengangkat bahu, si perawat itu menjawab. "Ya mesti ngurus dululah KTP Medannya."
Biasanya aku jarang peduli dengan sekitarku. Apalagi aku tidak mengenal pasien Ibu hamil yang mereka bicarakan, namun perasaan iba itu tiba-tiba muncul. Sepertinya hatiku mudah tersentuh jika berkaitan dengan bayi. Tanpa ragu lagi aku langsung menghampiri mereka bertiga. "Maaf sebelumnya, tadi saya tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Kalau diizinkan, saya berniat mau bantu membayar semua biaya adminstrasi pasien tersebut."
Mereka bertiga secara kompak menunjukkan ekspresi yang sama saat melihatku dengan tatapan tak percaya.
*****
Begitu urusan administrasi selesai, dua orang perawat dengan sigap mempersiapkan semuanya, kamar, obat-obatan yang akan dipakai, termasuk perlengkapan-perlengkapan lainnya. Di atas tempat tidur, Arimbi yang sedang di tangani oleh suster untuk persiapan operasi, terus memanggilku, meminta untuk ditemani.
"Bu, rileks ya, sekarang kami akan memberikan suntikan di tangan dan bokong Ibu. Rasanya akan lumayan sakit," pinta seorang perawat.
Arimbi mengerang kesakitan begitu jarum suntik masuk menembus kulitnya. Aku merasa tak tega melihatnya. Arimbi yang biasanya kuat dalam segala hal, tak bisa menahan rasa sakit pada saat jarum itu menancap di tubuhnya, terutama setelah obatnya mulai bereaksi. Aku tidak tahu bagaimana cara menenangkannya, tapi aku berinisiatif untuk menggenggam satu tangannya sembari mengelus pelan kepalanya.
Tepat pukul 9 pagi, Arimbi kini sudah berada di ruang operasi. Saat ini aku dan keluarga sedang duduk di ruang tunggu operasi. Sambil menunggu operasi, aku berusaha membalas satu per satu pesan yang masuk di telepon genggamku sejak tadi, sebelum akhirnya suara panggilan suster menghentikannya.
"Suami ibu dari Arimbi?" panggil salah seorang suster.
Aku langsung menyimpan ponsel ke dalam saku celana dan menghampiri suster tersebut. Ternyata aku diminta untuk segera mengganti pakaian yang aku kenakan dengan pakaian khusus untuk masuk ke ruangan operasi. Jantungku berdegup cukup kencang, apalagi suster tersebut memintaku untuk bergerak lebih cepat. Dan jantungku berdegup semakin kencang ketika melihat tubuh Arimbi terbujur kaku di meja operasi. Adegan yang biasa kulihat di film pada saat seseorang tengah dioperasi, kini aku saksikan secara langsung. Noda-noda darah menempel di mana-mana. Tangan-tangan dokter yang berlumuran darah dengan cekatan dan teliti berada di sekitar perut Arimbi. Kulihat tubuhnya tampak lemah tak berdaya.
Ya Tuhan, kuatkanlah dia.
Hanya itu doa yang sempat aku panjatkan, sebelum akhirnya dokter anak memanggilku.
"Pak, anaknya di sebelah sini," ucap dokter Anak yang bernama Jenni. "Anak Anda sudah lahir dan berjenis kelamin laki-laki. Tadi, pada saat anak bapak diangkat, dia tidak langsung menangis. Berat badannya hanya 900 gram dan saat ini kondisinya tidak cukup bagus. Jadi, sekarang mau tidak mau anak bapak harus dimasukkan ke incubator dan dibawa ke ruang perawatan intensif neonatal," lanjutnya sambil memperlihatkan kondisi Arbi padaku.
Sedih. Itu yang aku rasakan pada saat melihat anakku untuk pertama kalinya. Arbi dengan berat badan sekecil itu harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Tangisannya membuatku makin tak kuasa untuk melihatnya. Apalagi ketika aku melihat nafasnya yang naik turun, terasa berat, meskipun sudah diberikan oksigen lewat hidungnya oleh salah seorang suster. Air mata mulai memenuhi kelopak mataku kala melihat Arbi dimasukkan ke dalam incubator untuk mendapatkan perawatan intensif di ICU, sementara di sisi lainnya, istriku pun sedang berjuang juga untuk tetap bertahan menjalani proses operasi.
Aku menoleh ke belakang saat merasakan ada yang menepuk bahuku. Ternyata itu adalah dokter Benitha.
"Sekarang pak Aktar masuk ke dalam, temani istri Anda. Dia ada di ruang recovery pasca operasi", ujarnya sambil berlalu.
Aku bergegas menuju ruang Recovery. Di sana tampak Arimbi terbaring dengan ditutupi dua selimut tebal. Ada selang berukuran besar berasal dari sebuah mesin yang memancarkan hawa panas diarahkan ke tubuhnya.
"Dingin..." lirihnya sambil menggigil. Gigi-giginya beradu menimbulkan bunyi gemeretak. Ternyata dua selimut dan mesin tadi sengaja dipasang untuk menghangatkan tubuhnya. Sepertinya efek dingin pasca operasi masih terasa. Setelah dua jam berlalu, tekanan darah Arimbi masih 173 mmHg, masih belum stabil. Sehingga dokter yang jaga di ruang recovery, menyarankan agar Arimbi dirawat ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan intensif.
Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku sekarang. Khawatir bercampur takut karena istri dan anakku sama-sama harus dirawat di ruang ICU. Sebelumnya kemarin Xiena sudah mengatakan padaku tentang penglihatannya, tapi aku harap kali ini ramalannya salah.
Setelah mereka berdua masuk ke ruang ICU, seorang perempuan yang terbilang masih muda datang menghampiriku. "Pak, mohon maaf, ada beberapa hal yang harus bapak tanda tangani lagi", pintanya seraya menyerahkan beberapa lembar kertas ke arahku. "Ini adalah lembar persetujuan dari pihak keluarga atas tindakan yang akan dilakukan terhadap anak dan istri bapak, yakni perawatan di ruang ICU."
Aku segera menandatanganinya. Setelah itu pergi melihat anakku setelah mendapat izin dari dokter. Aku duduk di samping inkubator sambil memegang tangan anakku. Tubuhnya yang sangat kecil, tertutup kabel-kabel pernafasan dan benda-benda medis yang lainnya. Kulitnya sangat merah, membuatku bisa melihat bagian dalam kulitnya.
Arbi Dewandra. Kamu harus kuat, seperti nama yang diberikan Mamamu.
19-Mei-2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top